Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Konsekwensi Fungsi Advokat


BAB TIGA
PERAN ADVOKAT SYARI’AH DALAM RANGKA PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM



A.  Konsekwensi Fungsi Advokat
Advokat merupakan sebuah lembaga bantuan hukum yang berfungsi untuk memberikan keadilan kepada klien dalam proses persidangan. Namun demikian, eksistensi advokat satu sama lainnya sangat berbeda. Artinya, telah terjadi perbedaan antara advokat umum dengan keberadaan advokat syari’ah. Hal ini terjadi disebabkan adanya perbedaan persepsi dalam memahami advokat syari’ah itu sendiri. Padahal, realitasnya tidak terjadi perbedaan antara kedua advokat tersebut, baik dilihat dari fungsi maupun lapangan kerjanya. Karena kedua-duanya bertujuan untuk memberikan keadilan kepada terdakwa di pengadilan. Hal ini juga bukan berarti pengadilan tidak pernah memberikan keadilan, namun sebagai pengontrol keadilan yang diputuskan oleh hakim di pengadilan.
Menurut penuturan Ibu Durriati, bahwa keberadaan avokat di pengadilan tidak lain bertujuan untuk memberikan rasa berkeadilan kepada terdakwa walaupun pengadilan itu sendiri merupakan lembaga yang memberikan keadilan, tetapi dengan adanya advokat (pengacara) seorang hakim akan lebih berhati-hati dalam memberikan putusan, karena hakim merasa bahwa putusannya ada yang mengontrol. Dan dipihak terdakwa akan lebih percaya dalam menghadapi kasus yang disidangkan. Begitulah pengaruh pengacara dalam sebuah peradilan.[1]
Dalam penyelesaian perkara di Pengadilan tanpa adanya advokat akan  terasa hampa, bahkan kepercayaan masyarakat akan berkurang dengan sendirinya. Apalagi keberadaan advokat termasuk hal yang paling penting  dalam memberikan bantuan kepada terdakwa yang berperkara di peradilan guna tercapainya keadilan yang hakiki, baik di peradilan umum maupun di peradilan agama. Oleh karena itu, bagi seorang terdakwa kehadiran pengacara (advokat) sebagai pembela terhadap yang didakwakan kepadanya merupakan suatu kehormatan bagi dirinya, sehingga dalam mengikuti persidangan terdakwa tidak akan merasakan ragu terhadap ketidakadilan hukum yang diputuskan oleh hakim. Namun demikian, seorang pengacara tidak boleh bekerja karena adanya dukungan materi dari kliennya, melainkan dia harus bekerja ikhlas tanpa mengharapkan imbalan.
Menurut keterangan disampaikan bapak Yahya Alinza menyatakan, bahwa seorang pengacara tidak diperbolehkan bekerja karena berdasarkan keuntungan materi yang diberikan kliennya, tetapi dia harus bekerja atas dasar keikhlasan, jika seorang pengacara membantu kliennya karena dukungan materi, maka sudah barang tentu hukum tidak mungkin dapat ditegakkan, bahkan kalau hal demikian terjadi, maka kecurangan yang mendominasi lembaga peradilan.[2]
Dari keterangan di atas dapat diketahui, bahwa seorang pengacara dilarang membela kliennya atas dasar pemberian uang, karena hal tersebut akan merusak kode etik dan citra advokat itu sendiri. Proses  yang dilaksanakan pun tidak sesuai dengan hukum. Di sisi lain, dapat dipahami pula, bahwa seorang advokat dalam membela kliennya harus mengedepankan rasa ikhlas. Karena itu, dalam pengangkatan pengacara ditetapkan adanya kode etik kepengacaraan. Hal tersebut ditetapkan guna menghindari kecurangan yang dilakukan oleh oknum pengacara. Salah satu contoh  kecurangan yang dapat dilakukan pengacara adalah tidak memberikan bantuan hukum kepada kliennya. Artinya, seorang pengacara baru bersedia membela seorang terdakwa apabila si terdakwa dapat menyediakan materi (uang) sesuai dengan permintaan pengacara.
Sebenarnya, pekerjaan yang dikualifikasikan sebagai advokat memiliki  ketentuan baku yang harus ditempuh oleh seorang yang berprofesi sebagai advokat dalam menjalani pekerjaannya. Standar  kualifikasi advokat disusun secara sistematis dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Biasanya standar tersebut telah dipelajari pada saat seorang pengacara menjalani proses pelatihan untuk menjadi advokat. Dalam hal ini bapak Samsul Bahri, SH. menyatakan bahwa dalam hal-hal tertentu, kualifikasi advokat juga ditetapkan oleh organisasi advokat. Sebab organisasi advokat berhak menetapkan prosedur baku dan harus ditempuh oleh anggota advokasi, dan apabila tidak diindahkan, maka hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran.[3]
Advokat sebagai salah satu unsur penegak hukum memiliki makna tersendiri dalam masyarakat. Putusan hakim yang dijatuhkan kepada orang yang tidak didampingi atau diwakili oleh seorang pengacara akan sangat berbeda aplikasi hukumnya dengan jika dijatuhkan kepada pihak-pihak yang didampingi atau diwakili oleh seorang advokat. Oleh karena itu, peran dan fungsi advokat merupakan profesi bebas, mandiri dan bertanggung jawab dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara merupakan hal yang penting di samping lembaga peradilan. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ibu Rosmaninda, bahwa kegiatan advokasi merupakan kegiatan atau upaya yang dilakukan oleh seorang advokat atau penasehat hukum untuk melaksanakan azas kebenaran, persamaan hak di hadapan hukum, azas fairness (azas kejujuran), azas kepastian berdasarkan hukum guna memperjuangkan hak-hak dan kewajiban pihak yang didampingi (kliennya), dalam rangka mewujudkan kesetaraan hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak.[4]
Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami, bahwa advokat (penasehat hukum) merupakan salah satu catur wangsa penegak hukum yang berupaya menegakkan kebenaran, keadilan dan persamaan hak di muka hukum dengan cara memfasilitasi seorang klien dalam suatu proses peradilan hukum. Oleh karena itu, seorang pengacara diwajibkan mengangkat sumpah jabatan yang telah dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia dan organisasi advokat.
Menurut pernyataan Ibu Durriati menjelaskan, bahwa dalam Undang-Undang telah diatur secara komprehensif berbagai ketentuan penting yang melingkupi profesi advokat dengan tetap mempertahankan prinsip kebebasan advokat, khususnya dalam pengangkatan, pengawasan dan penindakan serta ketentuan bagi pengembangan organisasi advokat yang kuat di masa yang akan datang.[5]
Dasar hukum advokat untuk pertama kalinya disahkan oleh pemerintah adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 yang menggantikan aturan hukum sebelumnya yaitu aturan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintahan kolonial Belanda.
Berdasarkan keterangan yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami dengan jelas, bahwa konsekwensi advokat syari’ah tidak lain hanyalah sebagai pembela untuk memberi keadilan kepada masyarakat dalam proses peradilan sesuai dengan kode etik yang telah ditetapkan.

B.  Responsif Advokat Umum dan Masyarakat Terhadap Keberadaan Advokat Syari’ah.
Kalau dicermati secara mendalam terhadap perkembangan profesi advokat syari’ah di Nanggroe Aceh Darussalam dewasa ini, disadari atau tidak, belum menunjukkan hasil yang maksimal dalam peranannya terhadap upaya memberikan sumbangsih guna membantu masyarakat baik di dalam maupun luar lingkup peradilan, hal ini mungkin disebabkan karena  Undang-undang terhadap eksistensi advokat syari’ah ini baru diberlakukan yaitu pada tahun 2003. Selain faktor yang telah penulis sebut di atas, juga disebabkan karena adanya upaya-upaya yang sistematis sejak dahulu yaitu memarginalisasi advokat syari’ah dalam konteks perkembangan hukum. Terbukti seorang yang berlatar belakang pendidikan hukum Islam hanya dapat beracara pada pengadilan agama saja, akan tetapi seorang advokat yang berlatar belakang pendidikan umum dapat menjadi advokat pada semua lingkungan peradilan.
Pada hal ada beberapa persoalan hukum yang dianggap tidak merupakan otoritas advokat umum kalau dikaji menurut hukum agama. Di antaranya dapat disebutkan adalah:
a.    Bidang perkawinan. Dalam bidang ini banyak dijumpai persoalan yang menghendaki proses penyelesaian hukum terutama dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi dan informasi. Transplantasi jaringan tubuh telah dikembangkan oleh kemajuan teknologi dan tidak mustahil terjadi transplantasi instrument rahim perempuan. Kasus fertilasi manipulatif menimbulkan persoalan hukum, apabila sperma bukan berasal dari suami, sel telur bukan dari isteri, alat kandungan dari hasil transplantasi. Jika dalam hal tersebut terjadi pembuahan alami, maka fertilisi in vitro menunjukkan pembuahan terjadi secara artifisial yang pada akhirnya menimbulkan persoalan hukum waris, apakah anak yang lahir dari rahim itu mewarisi ibu yang melahirkannya secara pembuahan artifisial, demikian pula terhadap larangan kawin terhadap orang-orang tertentu.
b.   Jual beli saham, sistem pembayaran melalui transfer of credit atau delegasi kredit, letters of credit, sistem leasing, aneka deposito, sistem fudicia, hipotik, cheque, bunga berganda, asuransi jiwa, asuransi kecelakaan, berbagai santunan, hak atas kekayaan intelektual, memberikan gambaran lahirnya permasalahan hukum mengenai kepemilikan di bidang hukum, dan persoalan seperti itu terkait erat dengan hukum harta bersama, kemudian menjadi persoalan hukum waris, dan ujung-ujungnya adalah persoalan keyakinan hukum berdasarkan agama.
c.    Pemberlakuan hukum Islam di bidang mu’amalat yang mempunyai kedudukan tersendiri sejak diberlakukan Undang-Undang tentang Perbankan tahun 1992 yang telah dijabarkan ke dalam Peraturan Pemerintah, sistem operasi Bank Muamalat Indonesia berdasarkan syari’at Islam diakui secara hukum.
Dari beberapa contoh di atas menunjukkan, bahwa persoalan tersebut sebenarnya membutuhkan peran penting advokat syari’ah dalam penyelesaian hukumnya berdasarkan disiplin ilmu yang dipelajarinya. Akan tetapi perkara tersebut di atas dalam penyelesaiannya masih menggunakan peran advokat umum.
Respon masyarakat terhadap keberadaan advokat syari’ah. Sekurang-kurangnya terdapat dua hal pokok yang menyebabkan adanya sorotan seperti itu, antara lain:
1.   Besarnya tuntutan masyarakat terhadap kehadiran advokat syari’ah yang sejalan dengan perubahan dan perkembangan hokum yang terjadi, sementara sumber daya yang ada pada advokat syari’ah sendiri oleh sebagian kalangan dianggap masih pada kondisi yang stagnan.
2.   Ada yang menganggap advokat syari’ah terlambat dalam memberikan respon hukum terhadap peradilan yang diselenggarakan kepada masyarakat. Sehingga dengan demikian masyarakat lebih dominan meminta bantuan kepada advokat umum.
Beranjak dari anggapan di atas ada dua hal yang sangat menarik untuk dikaji pertama bagaimana menempatkan advokat syari’ah agar diperlakukan sederajat dan diberikan kesempatan yang sama dengan advokat umum. Kedua, bagaimana menempatkan peradilan agama sama peranannya dengan lembaga peradilan yang lain. Oleh karena itu, lulusan Fakultas Syari’ah harus memenuhi kualifikasi yang ada dan memenuhi standar sebagai seorang advokat yang dapat berpraktek legitasi tidak hanya di lingkungan peradilan agama, tetapi juga di lingkungan peradilan yang lain. Sedangkan dari aspek non legitasi juga mampu memberikan jasa pelayanan hukum dalam rangka memfasilitasi kepentingan masyarakat.
Penilaian-penilaian tersebut memang diakui pernah ada, akan tetapi sekarang telah terjadi perubahan pola pikir masyarakat yang sangat signifikan, apalagi pada praktek peradilan, terbukti beberapa sarjana syari’ah telah berhasil menjalankan profesinya sebagai praktisi hukum. Kenyataan juga menunjukkan, bahwa dalam konteks hukum mawaris advokat syari'ah sudah dapat menerima reaktualisasi hukum tentang pembagian waris laki-laki dan perempuan, yang dahulu dianggap sebagai pemikiran yang haram dan menyalahi nash. Untuk itulah, maka sangat tidak beralasan jika ada yang memandang bahwa advokat syari'ah tidak mampu menjadi pengacara praktek, kecuali kalau itu dianggap didasari atas sikap apriori dan su’udzan yang menyimpang dari penilaian objektif dan transparan.
Menurut penuturan Ibu Rosmaninda, SH. menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada halangan bagi seorang sarjana syari’ah untuk menjadi advokat baik di peradilan agama maupun di peradilan umum, sebagaimana terdapat dalam ketentuan undang-undang yang telah mengatur tentang status atau kedudukan advokat. Bagi advokat syari’ah bisa saja memanfaatkan peradilan umum sebagai wilayah kerjanya dan begitu juga sebaliknya advokat umum juga bisa beracara di pengadilan agama.[6]
Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami, bahwa advokat  syari’ah memiliki kesempatan yang sama untuk beracara di semua lingkungan peradilan yang ada di Indonesia. Hal ini disebabkan telah keluarnya Undang-undang yang mengatur secara langsung tentang profesi advokat sebagai sebuah profesi yang pembentukannya untuk melakukan koordinasi hukum antara hakim dengan terdakwa. Artinya advokat yang bekerja sebagai penasehat/pembela bertugas untuk memberikan keadilan bagi terdakwa, karena dikhawatirkan terdakwa didhalimi oleh putusan hakim.
Berdasarkan keterangan yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat diketahui, bahwa kalangan masyarakat dan advokat umum memberikan respon yang sangat positif terhadap kehadiran advokat syari’ah, mengingat Nanggroe Aceh Darussalam saat ini telah diberlakukan Syari’at Islam terutama dalam bidang peradilan yang sekarang tidak hanya terbatas pada perkara tertentu saja, akan tetapi kewenangannya juga meliputi tiga hal yang paling utama, yaitu perkara yang berhubungan dengan muamalah, perkara yang berhubungan dengan munakahat dan perkara yang berhubungan dengan jinayah.

C.  Proses Penegakan Hukum di kalangan Advokat Syari’ah
          Penegakan hukum yang adil merupakan salah satu tugas yang diemban oleh seorang advokat. Sebab advokat termasuk salah satu unsur penegak hukum yang bertugas untuk mengawasi hakim dalam memutuskan hukuman setiap perkara yang disidangkan. Apalagi kenyataan sekarang ini, sering putusan hukuman yang dibacakan oleh hakim memberatkan terdakwa. Hal ini bisa terjadi disebabkan hakim kurang jeli dalam memeriksa berkas-berkas perkara yang diajukan oleh pihak penyidik, sehingga perbuatan demikian merugikan terdakwa dalam menerima tuntutan hukuman. Oleh karena itu, advokat sebagai penasehat hukum bagi terdakwa mempunyai peranan sangat penting untuk memberikan keadilan yang sesungguhnya terhadap penjatuhan hukuman bagi kliennya. Hal ini tidak berarti, advokat bekerja sebagai petugas yang mengabaikan hukum, melainkan sebagai pemberi keadilan dalam penegakan hukum di pengadilan.
          Daniel S Lev menyatakan, paling tidak ada enam fungsi penting profesi advokat:
1.     Mewakili dan melindungi kepentingan warga negara dalam proses hukum
2.     Turut menjamin keadilan menurut hukum.
3.     Turut menjaga pekerjaan dan integritas pengadilan, kejaksaan, polisi dan instansi lain.
4.     Menjaga integritas praktek para advokat itu sendiri.
5.     Turut mengatur kemampuan profesional para advokat, dan
6.     Turut mendidik masyarakat tentang hukum, proses hukum, prinsip hukum, hak  warga negara, dan sebagainya[7]

Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh bapak Yahya Alinza, bahwa advokat merupakan salah satu unsur penegak hukum yang dapat memberikan keadilan kepada terdakwa atau kliennya. Sebab apabila dalam sebuah peradilan, terdakwa tidak didampingi oleh seorang pengacara, maka dikhawatirkan proses persidangan yang dilangsungkan dapat saja menyalahi prosedur dalam menjatuhkan vonis terhadap terhukum. Karena itu, sebagai jalan untuk mengatasi hal demikian, peranan advokat sangat penting dalam proses peradilan.[8]
Berdasarkan gambaran di atas, maka jelaslah, bahwa kehadiran advokat dalam proses persidangan sangat membantu seorang terdakwa dalam menerima putusan yang seadil-adilnya. Apalagi dalam pemutusan hukuman yang berkaitan dengan hukum Islam tentu sangat diperlukan advokat yang memahami seluk beluk hukum Islam. Tanpa pemahaman hukum Islam yang mantap, sudah pasti advokat kewalahan dalam memberikan keadilan di pengadilan. Namun berbeda halnya, jika putusan hukuman dijatuhkan seorang hakim, sedangkan yang menanggapinya advokat syari’ah, maka advokat  tersebut bisa mengetahui kelemahan-kelemahan hukuman yang dijatuhkan hakim tersebut.
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa putusan hukuman dalam sebuah perkara yang berkaitan langsung dengan hukum Islam memerlukan beberapa persyaratan seperti pada perkara perzinaan, hakim wajib menghadirkan saksi empat orang laki-laki yang adil serta bukti-bukti yang bisa dipertanggung jawabkan dan sebagainya. Jika kedua hal terpenting tersebut tidak sanggup di bawa ke pengadilan, maka hakim tidak bisa dengan serta merta dapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, walaupun jaksa telah mengajukan tuntutannya. Dalam peristiwa semacam ini peranan seorang advokat sangat dibutuhkan, karena dalam usaha memberikan keadilan hukum kepada kliennya. Advokat berkewajiban untuk meminta kepada hakim, menghadirkan saksi dan menunjukkan bukti-bukti kongkrit untuk menjatuhkan hukuman.
Menurut penuturan Ibu Durriati menjelaskan, bahwa proses pelaksanaan pengadilan perkara umum dengan perkara yang berhubungan dengan hukum Islam sangat berbeda. Perbedaan ini terjadi dalam bentuk pemahaman hukum yang wajib dipelajari oleh seorang hakim atau advokat. Selanjutnya beliau mengakui, bahwa selama perjalanan proses peradilan, mengadili perkara yang berkaitan dengan hukum Islam merupakan proses peradilan yang paling sulit dilaksanakan, karena pada penyelesaian perkara yang berkaitan dengan hukum Islam, acuan yang digunakan langsung bersumber pada al-Qur'an dan Hadits, sehingga jika pemahaman kedua sumber hukum itu tidak begitu sempurna, maka hukum yang diputuskan akan keluar dari ketentuan yang telah ditetapkan .[9]
Keterangan di atas membuktikan, bahwa dalam proses peradilan umum terdapat perbedaan dengan proses peradilan agama. Perbedaan ini terjadi dalam bentuk pemahaman konsep hukum yang harus dipelajari baik oleh hakim maupun advokat. Kalau pada  peradilan umum, sumber yang dijadikan dalam penjatuhan hukuman hanya berdasarkan KUHP dan Undang-undang yang berkenaan dengan perkara tersebut, sedangkan perkara yang berhubungan dengan hukum Islam, sumber hukum yang dijadikan acuan dalam penjatuhan hukuman adalah Al-Qur'an dan hadits, dan kedua jenis sumber hukum ini memerlukan ketelitian yang dalam untuk menterjemahkan konsep hukum yang terkandung di dalamnya.
Melihat perkembangan hukum dewasa ini, maka dapat dipastikan bahwa proses penegakan hukum yang dilakukan oleh kalangan advokat umum dalam perkara yang berkaitan dengan hukum Islam masih dapat diragukan keadilannya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman advokat umum dalam menterjemahkan sumber hukum Islam baik al-Qur'an maupun Hadits. Namun demikian, keadilan dalam proses peradilan semacam itu juga dapat ditemukan apabila perkara tersebut ditangani langsung oleh advokat syari’ah, walaupun hakim yang mengadili terdakwa adalah hakim umum. Sebab seorang advokat dapat meminta hakim untuk menunjukkan bukti-bukti dan saksi yang sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan oleh kliennya.
Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda:
ﺍﻠﺒﻴﻨﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﺪﺍﻋﻲ والميمينﻋﻠﻰ من ﺍﻨﻜﺮ (رﻮاﻩ مسلم)[10]                         
Artinya: “Bukti dari yang mendakwa dan sumpah pada yang terdakwa” ) H. R. Muslim)
Ketentuan hadist di atas, sesuai dengan pengakuan yang disampaikan oleh Ibu Durriati, bahwa dalam proses peradilan yang tidak ada saksi dan bukti dalam berperkara, maka hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman, walaupun terdakwa tersebut telah secara nyata berbuat pelanggaran. Hal ini dilakukan karena pada prinsipnya penegak hukum adalah menganut azas praduga tak bersalah. Artinya apabila dalam proses persidangan hakim tidak dapat menunjukkan saksi dan bukti sebagaimana yang dimintai oleh advokat, maka hal tersebut dapat dikatagorikan sebagai pengadilan yang tidak menganut azas tersebut.[11]
Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami, bahwa dalam proses peradilan baik peradilan umum maupun peradilan agama, seorang penegak hukum tidak dibolehkan mengabaikan azas praduga tak bersalah. Artinya, seorang penegak hukum tidak boleh menduga-menduga kesalahan yang dilakukan seorang terdakwa, sehingga hakim menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa tersebut. Jika hal ini dilakukan, maka sudah barang tentu, proses peradilan yang dijalankan tidak lagi menunjukkan keadilan, melainkan dapat menjadi proses pendhaliman.
Berdasarkan keterangan yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat diketahui dengan pasti, bahwa dalam proses penegakan hukum, advokat mengambil peranan penting dalam memberikan keadilan kepada kliennya. Hal ini tidak berarti seorang advokat berprofesi sebagai orang yang dapat merubah hukum, akan tetapi advokat hanya mencari keadilan kepada kliennya melalui kelemahan-kelemahan yang tidak dapat ditunjukkan oleh seorang hakim dalam proses peradilan.

D.  Peluang dan Tantangan Advokat Syari’ah dalam Profesi Kepengacaraan
Setelah lahirnya Undang-undang tentang Advokat, maka akan semakin memberikan citra yang positif bagi sarjana syari’ah. Namun, lahirnya Undang-Undang ini bukanlah akhir sebuah perjuangan, melainkan awal dari sebuah tantangan yang harus dihadapi. Melihat kuatnya penolakan dari kalangan advokat tersendiri, mendapat kesan bahwa dari kalangan advokat yang berkompeten untuk menyuarakan aspirasi yang masih memiliki kelemahan. Hal ini terkesan kurang mampu mengartikulasikan gagasan dan meyakinkan para advokat terhadap kesejajaran advokat syari’ah dengan advokat umum lainnya.
Untuk merespon keberatan-keberatan tersebut perlu upaya-upaya serius dan signifikan dari berbagai pihak. Memang, selama ini telah dilakukan beberapa hal seperti perubahan gelar kesarjanaan untuk lulusan IAIN umumnya dan sarjana syari’ah khususnya. Sekarang sarjana syari’ah tidak lagi menggunakan gelar Sarjana Agama (S. Ag), tetapi menggunakan gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI). Setidaknya perubahan ini memberikan kesan kesetaraan dengan sarjana hukum umum. Dengan gelar ini, seorang sarjana syari’ah tidak harus mengikuti pendidikan di Fakultas Hukum untuk memperoleh gelar SH. Selama ini mungkin sebagian sarjana syari’ah masih memiliki inferiority complex dengan gelar kesarjanaannya, sehingga di antara mereka ada yang mengambil kuliah di Fakultas Hukum. Pilihan ini tentu sah-sah saja dan tidak dilarang, meskipun ada kesan kurang PD (percaya diri) dengan gelar kesarjanaan mereka.[12]
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah pembenahan kurikulum sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan tantangan. Fakultas Syari’ah perlu memperhatikan beberapa mata kuliah hukum umum lainnya, di samping yang telah mapan diajarkan selama ini, seperti hukum ketenagakerjaan, kepengacaraan, hukum pertanahan, hukum acara dan hukum militer. Ini barangkali beberapa mata kuliah lain yang mesti diajarkan sejauh relevan dengan upaya menjawab tantangan kebutuhan tersebut.
Di sisi lain, mahasiswa sendiri perlu meningkatkan keilmuan dan ketrampilan di bidang yang bersentuhan langsung dengan profesi kepengacaraan. Diundangkannya Undang-undang Advokat ini adalah peluang dan kesempatan emas bagi mereka. Namun peluang ini akan hilang begitu saja manakala mereka tidak menyahutinya dengan mengembangkan kemampuan intelektual dan tidak terlatih dalam penerapan hukum. Mereka akan kalah bersaing dengan para sarjana hukum umum lainnya. Untuk itu, Fakultas Syari’ah barangkali bisa memfasilitasi alumninya untuk memberikan kursus atau pendidikan kepengacaraan yang memadai.[13]
Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami, bahwa disahkannya UU Nomor 18 Tahun 2003 sebagai upaya memberi peluang yang besar untuk sarjana syari’ah dalam berprofesi sebagai avokat. Bahkan dengan adanya peraturan tersebut, maka advokat syari’ah dapat melakukan prakteknya dengan bebas, sehingga kedudukannya sama seperti advokat umum. Namun yang lebih penting lagi adalah dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan bagi advokat syari’ah, karena dalam melaksanakan praktek advokasi tidak mungkin dilakukan tanpa memiliki ilmu pengetahuan yang memadai. Oleh karenanya, seorang sarjana syari’ah diharuskan menggali ilmu pengetahuan tentang hukum secara mendalam, baik hukum Islam maupun hukum umum.
Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah pemahaman berbasis moral kepada mahasiswanya. Sebab profesi advokat sering diidentikkan orang dengan “membela yang bayar”. Artinya, advokat berjuang membela mati-matian kliennya. Dengan kemampuannya bersilat lidah dan bermain kata-kata, advokat sering dianggap sebagai orang yang mampu menghitamkan yang putih dan memutihkan yang hitam. Ia bisa membuat kliennya yang bersalah terbebas dari jeratan hukum, atau membuat sesuatu yang bukan haknya. Idealismenya bukan membela kebenaran, melainkan membela kliennya. Kalau advokat memiliki “reputasi” menang terus membela kliennya, maka ia akan semakin dicari orang dengan bayarannya semakin tinggi. Makanya, sebagian orang memberi tamsil miring terhadap profesi advokat ini seperti gunting. Kedua sisi gunting saling bersinggungan dan berlawanan, namun yang terjepit dan terkoyak adalah kain yang berada di tengah-tengah kedua sisi tersebut. Advokat barangkali bisa berdebat sengit di pengadilan dalam membela kliennya, namun di luar pengadilan mereka mungkin akan saling bertanya berapa penghasilan yang kamu peroleh dari klien kamu.
Tentu saja tidak semua advokat memiliki sikap dan prilaku demikian. Masih banyak advokat yang bekerja sesuai dengan hati nurani mereka dan berjuang dalam menegakkan kebenaran. Tidak sedikit mereka yang menjaga nilai-nilai moral dan etika, karena mereka adalah salah satu pilar penting dalam penegakan hukum dan keadilan. Namun banyak advokat yang bermain gunting juga tidak dapat dinafikan. Bukankah sudah lama negeri ini mengenal istilah “pokrol bambu” yang kurang lebih sama dengan tamsilan gunting. Apalagi pada zaman reformasi sekarang ini, advokat atau penasehat hukum sering mendapatkan keuntungan. Mereka membela para keruptor atau konglomerat hitam yang jelas-jelas merugikan negara. Tidak sedikit uang yang telah mereka dapatkan untuk membela dan membebaskan klien mereka tersebut. Ketidakmampuan hukum tersebut untuk menjerat para pelaku tindak pidana kelas kakap tersebut, di samping karena perangkat dan aparat hukum yang lemah juga dikarenakan oleh kecanggihan penasehat hukum mereka dalam mempermainkan hukum.[14]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa seorang addvokat (pengacara) tidak boleh membela kliennya dengan cara mengukur pembelaannya berdasarkan hasil pembayaran. Sebab pembelaan tersangka yang jelas salah merupakan salah satu upaya untuk mengaburkan hukum yang berlaku su sebuah Negara. Namun kenyataanya, sekarang ini masih banyak advokat yang melakuka pembelaan terhadap pejabat Negara yang sudah jelas melakukan pelanggaran. Salah satu pelanggaran  yang dilakukan pejabat Negara di antara kerupsi, manipulasi dan maney politic yang rata-rata dilakukan oleh pejabat Negara yang mengingkan kekuasaan.
Berdasarkan gambaran yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat diketahui dengan pasti, bahwa sarjana syari’ah memiliki peluang yang cukup besar untuk menjadi advokat syari’ah. Peluang ini dapat dicapai oleh sarjana syari’ah setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Profesi Advokat. Namun demikian, sarjana syari’ah juga tidak boleh melupakan tantangan yang dihadapi ke depan, karena pada umumnya sarjana syari’ah dianggap belum mampu untuk berprofesi sebagai advokat. Ketidakmampuan ini, menurut anggapan sebagian masyarakat karena sarjana syari’ah tidak mempelajari hukum yang berkaitan dengan hukum positif (KUHP), sehingga sangat diragukan kalau mereka beracara baik di peradilan agama maupun peradilan umum.
Namun demikian, penulis melihat bahwa setelah disahkan UU No. 18 Tahun 2003, peluang sarjana syari’ah untuk menekuni bidang advokasi sudah terbuka lebar. Namun yang sangat disayangkan adalah masih kurang minat sarjana syari’ah untuk menekuni bidang advokasi. Hal ini terjadi kemungkinan besar disebabkan dalam pengurusan izin advokasi sangat berbelit, sehingga sarjana syari’ah merasa kewalahan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh lembaga advokat tersebut. Di sisi lain, juga terlihat bahwa sarjana syari’ah belum mampu mengaplikasikan ilmu hukumnya untuk membela seorang klien. Hal ini terlihat dari kenyataan sehari-hari bahwa sarjana syari’ah umumnya masih kurang memahami ilmu pengetahuan hokum, bahkan yang sangat menyedihkan ada sebagian sarjana syari’ah yang memang tidak mengerti sama sekali tentang hukum, baik hukum Islam maupum umum.

E.   Realitas Kepengacaraan dalam Advokasi Syari’ah
Dalam menyikapi pemberlakuan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Profesi Advokat yang saat ini sudah berjalan, maka sudah sepantasnyalah kalangan praktisi hukum maupun akademisi melalui lembaga pendidikan tinggi memberikan masukan sebanyak-banyaknya dalam dimensi yang berbeda-beda, sehingga diharapkan nanti memiliki landasan hukum yang mengatur profesi advokat yang benar-benar telah melalui pentahapan uji public dan uji shahih di tengah-tengah masyarakat.
Dewasa ini kepengacaraan merupakan salah satu dilema yang tidak dapat dipisahkan dalam proses peradilan baik peradilan umum mapun peradilan Islam. Oleh karena itu, kedudukan pengacara dalam perkembangan kehidupan hukum adalah sangat penting dan dapat menentukan perubahan di dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan pernyataan bapak Kadri Sufi, SH bahwa wujud hukum yang terpenting dan paling utama merupakan budaya para pengacara dan lebih khusus lagi merupakan kultur pembuat hukum, dalam hal ini, mencakup para hakim, di mana mereka sebagai pengendali mekanisme perubahan hukum.[15]
Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami, bahwa advokat memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat penegak hukum. Sebab melalui berbagai dalil yang digunakan advokat berusaha membela kliennya untuk dijatuhkan hukuman yang sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya. Namun sebaliknya, jika seorang terdakwa tidak dibela oleh advokat dikhawatirkan hukuman yang dijatuhkan kepada tidak sesuai dengan kesalahan yang diperbuat. Kekhawatiran ini memang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun, dalam kehidupan manusia sering terjadi hal demikian dikarenakan oleh kbeutuhan ekonomi yang mendesak, sehingga menyebabkan seseorang rela melakukan apa saja demi memperoleh keuntungan sesaat. Demikian pula halnya dengan hakim menjatuhkan hukuman bukan didasarkan kepada hukum yang berlaku, melainkan karena bayaran dari tergugat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa dengan seberat-beratnya.
Oleh karena itu, putusan hakim yang dijatuhkan kepada orang lain yang tidak didampingi atau diwakili oleh pengacara akan berbeda aplikasi hukumnya jika dijatuhkan kepada pihak-pihak yang didampingi atau diwakili oleh pengacara, karena putusan tersebut telah dikaji lebih jauh dan secara tepat oleh hakim dalam proses penyelesaian perkara. Karena itu, kehadiran advokat dalam lembaga peradilan sangat menguntungkan bagi terdakwa, sebab semua kekhawatiran terhadap ketidakadilan dapat dikontrol langsung oleh pengacaranya. Namun di sini tidak berarati pengacara bias merubah keputusan hukum, tetapi sebaliknya pengacara hanya bertugas mengawasi keadilan hukum yang dijatuhkan oleh hakim.
Keberadaan lembaga peradilan pada dasarnya diharapkan dapat memberikan keadilan kepada masyarakat, akan tetapi dalam kenyataannya banyak menimbulkan permasalahan di tengah masyarakat. Salah satu ungkapan yang sering dilontarkan adalah para penegak hukum yang ada dalam lembaga tersebut, tidak hanya untuk memenuhi suatu kebutuhan, mereka secara terang-terangan berani memutar balikkan fakta demi memperkaya diri atau popularitas. Padahal perlakuan semacam ini sangat bertentangan dengan konsep hukum yang dijalankan di Negara kita, sebab Indonesia merupakan salah satu Negara yang menjunjung tinggi hukum dan tidak menganut azas praduga tidak bersalah.
Berbeda dengan advokat, kewenangan yang dimiliki oleh seorang pengacara praktek tergantung pada izin praktek, oleh karena itu, bila izin telah habis masa berlakunya, maka ia tidak dapat lagi beracara di muka pengeadilan sebelum memperbaharuinya. Dalam hal ini advokat syari'ah dapat juga menjadi pengacara praktek di semua lingkungan peradilan sambil menunggu kesempatan dan proses selanjutnya untuk menjadi advokat.
Namun kenyataan tersebut, sampai saat ini advokat yang bergelar syari’ah masih sangat sedikit. Hal ini kemungkinan terjadi karena lemahnya sosialisasi di kalangan advokat itu sendiri, sehingga banyak sarjana syari’ah yang tidak berminat untuk menjadi advokat. Dalam hal ini bapak Samsul Basri, SH. menukilkan bahwa salah satu penyebab sedikitnya advokat syari’ah tidak lain hanyalah karena kurangnya minat dari para sarjana syari’ah untuk menjadi advokat. Bahkan mereka lebih berminat untuk  menekuni usaha lainnya daripada menjadi advokat.[16]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa penyebab sedikitnya advokat syari’ah tidak lain hanyalah disebabkan kurangnya minat dar para sarjana syari’ah dalam menekuni profesi tersebut. Di samping itu, prospek untuk menjadi advokat juga masih hanya sebatas wacana. Artinya, para sarjana syari’ah masih diragukan intelektualitasnya dalam berprofesi sebagai advokat, sehingga kepercayaan dari pihak kehakiman pun berkurang. Tetapi pada kenyataan lain, sarjana syari’ah tidak layak disorot sebagai sarjana yang tidak memiliki intelektualitas hukum, karena pandangan demikian merupakan sinyalemen yang tidak menguntungkan bagi sarjana syari’ah khusus dalam merebut peluang sebagai advokat.
Memperlihatkan arogansi advokat yang berlatarbelakang sarjana hukum. Mereka menganggap hanya mereka yang berhak menjadi advokat karena ini merupakan wilayah ekslusif mereka. Namun mereka lupa bahwa di negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila juga ada peradilan agama yang kedudukannya sederajat dengan peradilan lainnya. Peradilan agama adalah lembaga yang menyelesaikan perkara-perkara perdata umat Islam dan sarjana syari’ah adalah uot putnya yang akan mengisi peradilan agama, baik sebagai hakim maupun sebagai advokat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ibu Rosmaninda, SH. Menyatakan, bahwa kuatnya pengaruh berfikir konflik antara sistem hukum tersebut masih membekas sampai sekarang. Banyak di antara advokat dan sarjana hukum Indonesia yang termakan oleh cara berpikir yang dipengaruhi oleh prinsip kolonialis, sebab Belanda telah menciptakan konflik hukum yang berkepanjangan. Dalam konflik ini hukum Islam diposisikan pada pihak yang terkalahkan. Artinya hukum Islam harus dipinggirkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.[17]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa kenyataan selama ini sarjana syari’ah enggan menjalani profesi sebagai advokat karena mereka merasa terpinggirkan dengan sarjana hukum yang telah mendapatkan peluang untuk menjadi advokat secara bebas. Padahal sarjana syari’ah dapat juga menjadi advokat seperti sarjana hukum umum, walaupun gelar yang mereka sandang berbasis agama, tetapi kapasitas intelektual mereka berbasis hukum.
Akan tetapi, dalam kenyataan sekarang ini terlihat bahwa, tidak semua sarjana syari’ah masih belum mampu beracara di pengadilan baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Umum. Hal ini terlihat berdasarkan hasil observasi penulis. Dalam observasi penulis terlihat dengan jelas bahwa sebagian besdar sarjana syari’ah belum mampu menguasai bidang hukum yang menjadi kajiannya. Misalnya seorang sarjana syari’ah yang merupakan alumni dari prodi hukum keluarga tidak memahami sama sekali tentang hukum keluarga yang seharusnya, ilmu tentang hukum keluarga merupakan bidang kajian yang harus di dalaminya. Nah, kalau hal semacam ini terjadi, maka sudah barang pasti sarjana syari’ah semacam tidak akan mampu beracara di pengadilan, walaupun dia menyandang gelar Sarjana Hukum Islam (SHI).
Namun demikian, penulis tidak menyalahkan Fakultas Syari’ah dalam mendidik mahasiswanya, tetapi perlu diperbaiki kinerja tenaga pengajar agar tidak memberikan nilai tinggi apabila mahasiswa tidak mampu menguasai ilmu pengetahuan yang mereka kaji. Jika hal ini masih terus berlanjut, maka sarjana syari’ah tidak akan dapat memasuki pangsa pasar peradilan, khususnya untuk menjadi tenaga advokasi, yang tidak lain karena keterbatasan ilmu pengetahuan mereka sendiri.
Berdasarkan gambaran yang telah penulis uraikan di atas maka dapat dipahami, bahwa setelah pengesahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Profesi Advokat, tapi kenyataannya sampai sekarang masih sangat sedikit sarjana syari’ah yang menjalani profesi sebagai advokat. Hal ini terjadi karena pada umumnya sarjana syari’ah masih enggan untuk beracara, disebabkan oleh masih lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan advokat syari’ah, bahkan masyarakat lebih percaya keberadaan advokat yang berlatar belakang pendidikan hukum umum sebagai penasehat hukumnya.

BAB EMPAT
PENUTUP

          Bab ini merupakan bab terakhir dalam pembahasan skripsi ini yang di dalamnya penulis akan menarik beberapa kesimpulan dari bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini penulis juga mengajukan beberapa saran yang berhubungan dengan pembahasan ini. Adapun kesimpulan dan saran-sarannya adalah:

A.  Kesimpulan
1.   Advokat merupakan sebuah lembaga bantuan hukum yang berfungsi untuk memberikan keadilan kepada kliennya baik di dalam maupun di luar proses persidangan dan juga sebagai konsultan hukum. Eksistensi  advokat satu sama lainnya tidak ada perbedaan yang mandasar. Artinya, antara advokat umum dengan keberadaan advokat syari’ah itu sama-sama bertujuan memberikan bantuan hukum kepada masyarakat.  
2.   Dewasa ini bagi sarjana syari’ah telah terbuka peluang yang lebar untuk menjadi seorang advokat. Hal ini terlihat dari pemberlakuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Pengaturan Mengenai Profesi Advokat. Dalam Undang-Undang tersebut tidak lagi dibatasi antara sarjana hukum dengan dengan sarjana syari’ah untuk menjalani profesi sebagai advokat. Bahkan melalui Undang-undang tersebut para sarjana syari’ah diberikan peluang yang besar untuk menjadi advokat dalam wilayah pengadilan.
3.   Faktor yang menjadi tantangan bagi sarjana syari’ah untuk menjadi advokat di lingkungan peradilan karena sampai saat ini sarjana syari’ah masih belum mampu meraih kepercayaan masyarakat. Padahal kehadiran advokat syari’ah untuk mendukung pemberlakuan Syari'at Islam di Aceh sangat dibutuhkan. Tetapi kenyataannya sampai saat ini sarjana syari’ah masih sangat sedikit yang menjalani profesi sebagai advokat.
4.   Penggalangan institusi kepengacaraan yang belum  memadai sehingga kurang dikenal luas dalam wujud penegakan dedikasi kepengacaraan.

B.  Saran-Saran
1.  Diharapkan kepada sarjana syari’ah agar mendaftarkan diri sebagai advokat syari’ah, karena profesi advokat merupakan salah satu jalan untuk membantu masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap hukum Islam.
2.  Kepada seluruh masyarakat Islam diharapkan agar dapat mendukung Undang-Undang 18 Tahun 2003 tentang Advokat, karena dengan adanya Undang-Undang tersebut, telah terbuka peluang yang cukup besar bagi sarjana syari’ah untuk melibatkan diri sebagai praktisi hukum, sehingga dapat menegakkan keadilan yang sesungguhnya dalam proses peradilan.
3.  Diharapkan kepada Fakultas Syari’ah agar dapat menambah pengetahuan mahasiswa Syari’ah dengan berbagai disiplin ilmu hukum lainnya seperti hukum tata negara, hukum humaniter, karena dengan lengkapnya intelektualitas mahasiswa, maka lebih terbuka peluang untuk menjadi advokat.


DAFTAR KEPUSTAKAAN


Al-Qur'anul Karim

Abdul Fatah Idris, Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2004

Abdul Gani Abdullah, Fakultas Syari’ah; Fungsi, Tugas dan Keluarannya, Mimbar Hukum No. 11 Tahun IV, Jakarta: DIBINPERA Departemen Agama, 1993

Abdullah Ghofar, Profesi Advokat bagi Sarjana Syari’ah dan Standar Kualifikasi Bidang Hukum, Mimbar Hukum No. 61 Tahun XIV, 2003

Aboebakar Atjeh, Filsafat Akhlak dalam Islam, Cet. I, Semarang: Ramadhani, 1971

Abu Qasim, al-Bajuri, Jil. II, Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Toha Putra, t.t.

Dardji Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Gramedia, 2002

Departemen Agama Republik Indonesia , Al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur'an, 1990

Daniel S. live, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi,  Cet. III, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2001
  
Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman RI, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1945 Tentang Mahkamah Agung, Jakarta: 1996

Djayusman MS., Prospek Sarjana Syari’ah dalam Profesi Kepengacaraan di Peradilan Agama, Makalah Disampaikan dalam Studium General Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH) Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, Yokyakarta: 22 Mei 2001

Frans Magnis Suseno, Etika Sosial, Jakarta: Gramedia, 1991

Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1995

Imam Bukahri, Shahih Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Matari E., Tendensi Diskriminasi Hukum dalam RUU Advokat, Mimbar Hukum, No. 61 Tahun XIV 2003

Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Terj, Firdaus AN, Jakarta: Bulan Bintang, 1975

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam.

Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1994

Sulchan Yasyin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Amanah, t.t.

Taufiq, Sarjana Syari’ah dan Problematika Kepengacaraan, Mimbar Hukum No. 61 Tahun XIV 2003

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, Jakarta: Sinar Grafika, 2003




_____________________








DAFTAR UNDANG-UNDANG


Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, Jakarta: Sinar Grafika, 2003

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam








____________________

DAFTAR RESPONDEN


No
Nama
Pekerjaan
Alamat
Keterangan
1
Dra. Durriati, SH
Pengacara
Jln. Tgk. Syech Muda Waly No. 3 A Banda Aceh
Wawancara tanggal 15 Juli 2006
2
Kadri Sufi, SH
Pengacara
Jln. Tgk. Syech Muda Waly No. 3 A Banda Aceh
Wawancara tanggal 15 Juli 2006
3
Yahya Alinza, SH
Pengacara
Jln. Tgk. Dayd Beureu-eh No. 85 Banda Aceh
Wawancara tanggal 16 Juli 2006
4
Rosmaninda, SH
Pengacara
Jln. Tgk. Syech Muda Waly No. 3 D Banda Aceh
Wawancara tanggal 18 Juli 2006
5
Samsul Bahri, SH
Pengacara
Jln. Tgk. Chik Pante Kulu Banda Aceh
Wawancara tanggal 17 Juli 2006



[1]Wawancara penulis dengan Ibu Dra. Durriati, SH., pengacara Syari’ah di Banda Aceh tanggal 15 Juli 2006

[2] Wawancara penulis dengan bapak Yahya Alinza, SH., Pengacara di Banda Aceh tanggal 16 Juli 2006
[3] Hasil wawancara penulis dengan bapak Samsul Bahri, SH. Pengacara di Banda Aceh tanggal 17 Juli 2006
[4] Hasil wawancara penulis dengan Ibu Rosmaninda SH. Pengacara di Banda Aceh tanggal 18 Juli 2006

[5]Wawancara penulis dengan ibu Dra. Durriati, SH., pengacara Syari’ah di Banda Aceh tanggal 15 Juli 2006
[6] Wawancara dengan Ibu Rosmaninda, SH, tanggal 18 Juli 2006
[7] Daniel S. Lev, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Cet. III, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2001, Hlm. 9.

[8] Wawancara Penulis dengan Bapak Yahya Alinza, SH., tanggal 16 Juli 2006
[9] Wawancara dengan Ibu Durriati, SH, tanggal 15 Juli 2006
[10]Imam Muslim, Shahih Muslim, Beirut: dar al-Fikr, t.t., hln. 164

[11] Wawancara dengan Ibu Durriati, SH, tanggal 18 Juli 2006
[12] Wawancara dengan bapak Yahya Alinza, SH, Pengacara di Banda Aceh tanggal 16 Juli 2006
[13] Ibid, tanggal 16 Juli 2006
[14]Wawancara penulis dengan vapak Yahya Alinza, SH, Pengacara di Banda Aceh tanggal 16 Juli 2006
[15] Hasil wawancara dengan bapak Kadri Sufi, SH, Pengacara di Banda Aceh tanggal 20 Juli 2006
[16] Hasil wawancara penulis dengan Bapak Basri, SH tanggal 19 Juli 2006
[17] Wawancara dengan Ibu Rosmaninda, SH tanggal 18 Juli 2006