Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Konsep Dasar Uswatun Hasanah


BAB II

PERSPEKTIF TEORITIS TENTANG USWATUN HASANAH  DALAM PENDIDIKAN ISLAM


A.    Konsep Dasar Uswatun Hasanah

1.     Pengertian Uswatun Hasanah

Uswatun hasanah atau keteladanan berasal dari kata “Teladan yang berarti sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh”. Sedangkan dalam bahasa Arab adalah Uswatun Hasanah. Mahmud Yunus mendefinisikan “ uswatun sama dengan qudwah yang berarti ikutan”[1]. Sedangkan “hasanah diartikan perbuatan yang baik”[2]. Jadi Uswatun Hasanah adalah suatu perbuatan baik seseorang yang ditiru atau diikuti oleh orang lain.
Keteladanan merupakan perilaku seseorang yang sengaja ataupun tidak sengaja dilakukan atau dijadikan contoh bagi orang yang mengetahuinya atau melihatnya. Keteladanan guru adalah suatu perbuatan atau tingkah laku yang baik, yang patut ditiru oleh anak didik yang dilakukan oleh seorang guru didalam tugasnya sebagai pendidik, baik tutur kata ataupun perbuatannya yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh murid, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
Berbicara tentang masalah keteladanan, Rasulullah SAW memang sangat pantas menjadi sosok idola yang bisa diteladani oleh setiap manusia dimanapun berada, apa pun profesinya. Inilah kelebihan Rasulullah SAW karena Allah sendiri dengan jelas menyatakan dalam firman-Nya bahwa terdapat suri tauladan yang baik dalm diri Rasulullah SAW. Siapa pun ada, jika ingin sukses dunia akhirat, contohlah Rasulullah, karena Rasulullah adalah diibaratkan sebagai Al Qur’an Hidup. Panduan Muslim memang Al Qur’an yang merupakan firman Allah, namun contoh penerapan Al Qur’an dalam kehidupan sehari-hari dapat kita lihat dari kepribadian Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman dalam surat Al – Ahzab ayat 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً﴿الأحزاب: ٢١
Artinya:   Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah( Qs. Al – Ahzab : 21 )

              Dan dalam surat Al – Anbiya ayat 107 Allah SWT juga berfirman
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ) الأنبياء: ١٠٧(
Artinya:   ”Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”(Qs.Al-Anbiya’:107)

              Sebagai pribadi muslim banyak yang harus diteladani dari Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW senantiasa berusaha memelihara dan meningkatkan kesehatan, kebersihan dan keindahan tubuhnya secara islami. Dalam hubungannya dengan sesama manusia Nabi Muhammad SAW senantiasa membiasakan diri dengan akhlak terpuji dan menjauhkan diri dari kahlak tercela serta giat beramal shaleh yang bermanfaat bagi orang banyak .
                 Bahkan Allah SWT telah memujinya dengan sebuah firman :
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ﴿القلم : ٤

Artinya:   Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. al-Qalam:4)

               Sebagaimana dikutip dalam situs Internet ada sepuluh karakter atau ciri khas yang mesti melekat pada pribadi muslim yang sesuai dengan apa dicontohkan oleh Rasulullah Saw sebagai berikut:
1. Salimul Aqidah (Aqidah yang bersih)
              Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah SWT. Dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-An’am ayat 162 sebagai berikut:
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ) الأنعام :١٦٢(

Artinya: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam. (Qs. Al-An’am:162).

                        Karena aqidah yang salim merupakan sesuatu yang amat penting, maka dalam awal da’wahnya kepada para sahabat di Mekkah, Rasulullah SAW mengutamakan pembinaan aqidah, iman dan tauhid.
2. Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)
              Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Rasulullah SAW yang penting. Dalam satu haditsnya, beliau bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku shalat”. Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul SAW yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.
3. Matinul Khuluq (akhlak yang kokoh)
              Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah SAW diutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan oleh Allah SWT di dalam Al Qur’an. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Qalam ayat 4 sebagai berikut:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ) القلم :٤(
Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung” (Qs. Al-Qalam:4)

4. Qawiyyul Jismi (kekuatan jasmani)
Qowiyyul jismi merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.
5. Mutsaqqaful Fikri (intelek dalam berfikir)
              Mutsaqqoful fikri merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang juga penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatanah (cerdas). Al Qur’an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir, misalnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 219 sebagai berikut:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبيِّنُ اللّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ )البقرة: ٢١٩(

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir (Qs. Al-Baqarah:219)

              Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas.
6. Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu)
              Mujahadatul linafsihi merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam.
7. Harishun Ala Waqtihi (pandai menjaga waktu)
              Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT banyak bersumpah di dalam Al Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan seterusnya.
              Allah SWT memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama, yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: “Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu”. Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi.
8. Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu urusan)
              Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya.
              Dengan kata lain, suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan. Bersungguh-sungguh, bersemangat , berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam penunaian tugas-tugas.
9. Qodirun Alal Kasbi (memiliki kemampuan usaha sendiri/mandiri)
              Qodirun alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam al-Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.
10. Nafi’un Lighairihi (bermanfaat bagi orang lain.
              Nafi’un lighoirihi merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan seorang muslim tidak menggenapkan dan ketiadaannya tidak mengganjilkan. Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berfikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya.[3]
2.     Tujuan Uswatun Hasanah

Uswatun hasanah dalam pendidikan adalah metode influentif yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk anak didalam moral, spiritual dan sosial. Hal ini karena pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak, yang akan ditirunya dalam tindak tanduknya, dan tata santunnya, disadari ataupun tidak, bahkan tercetak dalam jiwa dan perasaan suatu gambaran pendidik tersebut, baik dalam ucapan dan perbuatannya, baik material ataupun spiritual, diketahui atau tidak diketahui.
Dari sini, masalah Uswatun hasanah menjadi faktor penting dalam hal baik buruknya anak. Jika pendidik jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia, berani dan menjauhkan diri dari perbuatan–perbuatan yang bertentangan dengan agama, maka sianak akan tumbuh dalam kejujuran, terbentuk dengan akhlak mulia, keberanian dan dalam sikap yang menjauhkan diri dari perbuatan – perbuatan yang bertentangan dengan agama. Dan jika pendidik bohong, khianat, durhaka, kikir, penakut dan hina, maka sianak akan tumbuh dalam kebohongan, khianat, durhaka, kikir, penakut dan hina.10
Anak, bagaimanapun besarnya usaha yang dipersiapkan untuk kebaikan, bagaimanapun suci beningnya fitrah, ia tidak akan mampu memenuhi prinsip – prinsip kebaikan dan pokok-pokok pendidikan utama, selama ia tidak melihat sang pendidik sebagi teladan nilai-nilai moral yang tinggi. Kiranya sangat mudah bagi pendidik untuk mengajari anak dengan berbagai metode pendidikan, tetapi teramat sukar bagi anak melaksanakan berbagi metode tersebut, ketika ia melihat orang yang mengajarinya tidak mengamalkan metode-metode tersebut.
Oleh karena itu, kenabian adalah penugasan bukan yang di cari-cari, karena Allah SWT lebih mengetahui dimana ia menempatkan tugas kerasulan. Dia juga lebih mengetahui manusia pilihanNya yang ditugaskan sebagai Rasul yang membawa kabar baik dan peringatan! Hal ini sesuai dengan firmanNya yang terdapat dalam al-Qur’an surat Al-ahzab ayat 21 Dijelaskan bahwa Alllah SWT. telah menghiasi pribadi Rasulullah SAW dengan kepribadian yang mulia yaitu kepribadian yang dapat membawa manusia kepada kebahagian dunia dan akhirat.
Nabi menjadikan sifat lemah lembut sebagai salah satu faktor keberhasilan dalam pendidikan. Sifat lemah lembut lebih diperlukan lagi pada saat terjadi kesalahan yang tidak disengaja. Kadang, ketika seseorang berbuat salah kepada kita, kita merasa kesal sehingga emosi kita tak terkendali, kita tidak bisa bersifat lembut dan cenderung bersifat kasar.
            Dalam ayat yang lain Allah SWT juga berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِداً وَمُبَشِّراً وَنَذِيراً, وَدَاعِياً إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجاً مُّنِيراً) الأحزاب  ٤٦ - ٤٥  (
Artinya: Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. ( Qs. Al-ahzab : 45-46 )

Bila dicermati historis pendidikan di zaman Rasulullah SAW. Dapat dipahami bahwa salah satu faktor terpenting yang membawa beliau kepada keberhasilan adalah keteladanan (uswah). Rasulullah SAW ternyata banyak memberikan keteladanan dalam mendidik para sahabatnya. Oleh karena itu, pada bab ini akan dikemukakan hal-hal yang terkait dengan keteladanan dalam hubungannya dengan pendidikan.
Beliau selalu terlebih dahulu mempraktekkan semua ajaran yang disampaikan Allah sebelum menyampaikannya kepada umat, sehingga tidak ada celah bagi orang-orang yang tidak senang untuk membantah dan menuduh bahwa Rasulullah SAW. hanya pandai bicara dan tidak pandai mengamalkan. Metode keteladanan sebagai suatu metode digunakan untuk merealisasikan tujuan pendidikan dengan memberi contoh keteladanan yang baik kepada siswa agar mereka dapat berkembang baik fisik maupun mental dan memiliki akhlak yang baik dan benar.11
Uswatun hasanah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pendidikan ibadah, akhlak, kesenian dll. Untuk menciptakan anak yang saleh, pendidik tidak cukup hanya memberikan prinsip saja, karena yang lebih penting bagi siswa adalah figur yang memberikan keteladanan dalam menerapkan prinsip tersebut. Dalam hal ini Allah mengingatkan dalam surat Al-Baqarah ayat 44:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ)البقرة:٤٤(

Atinya:            Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan sedang kamu melupakan dirimu sendiri, dan kamu membaca kitab, tidaklah kamu pikirkan? (Qs. Al Baqarah: 44).



[1] Mahmud Yunus, Metode Khusus Pendidikan Agama Islam, Cet IV, (Jakarta, Hidayah, 1968), hal. 16.

[2] Ibid., hal. 17.
[3] (http://jaisyumuhammad.multiply.com/journal/item/7/Profil_Pribadi Muslim diakses tanggal 07/12/2009)
               10 Andrias Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2001), hal. 29.

               11 Fromm, Erich, “The Anatomy of Human Destructiveness” dalam Kamdani, terj. Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000), hal 67.