A.
Konsep Estetika
Konsep estetikan merupakan konsep-konsep yang berasosiasi
dengan istilah yang mengangkat kelengkapan estetika yang mengacu pada deskripsi
dan evaluasi mengenai pengalaman-pengalaman yang melibatkan objek suatu
kejadian artistik dan estetik.[1]
Konsep estetika mimesis (Pasca Plato) mengatakan bahwa karya seni indah adalah
yang mirip dengan aslinya, yang sesuai dengan realita dan kenyataannya[2].
Tapi teori ini punya kelemahan. Tidak semua yang mirip itu bagus dan tidak
semua karya seni yang bagus harus mirip dengan sesuatu. Contohnya adalah poster
tipografi. Tidak ada sesuatu yang mirip dengan huruf-huruf itu, namun karya itu
tetaplah indah.
Konsep estetika ekspresivis (CC) menganggap karya seni
sebagai indah bila lewat emosi yang diekspresikan mampu mengundang audiens
untuk berimajinasi dan kemudian mengekspresikan emosinya sendiri. Teori ini
juga memiliki kelemahan. Konsep dan imajinasi sebaik apapun tidak akan cukup
menjadikan sebuah karya seni menjadi indah tanpa adanya visual yang menarik[3].
Dapat disimpulkan bahwa kedua kelemahan dari paham
estetika mimesis dan ekspresivis berhubungan dengan visual, bahwa ada visual
yang dapat berdiri sendiri sebagai sesuatu yang indah, tanpa kemiripan maupun
konsep. Keindahan karena bentuk inilah yang disebut estetika formalis. Namun
estetika formalis pun mempunyai kelemahan, yakni hanya dengan visual yang
menarik, tanpa kemiripan akan realita, tanpa konsep, maka nilai sebuah karya
seni menjadi rendah. Hanya dengan menggabungkan ketiga paham estetika inilah,
dengan kelebihan dan kekurangan yang saling melengkapi, kita dapat mempelajari
dan mengkaji seni dan apa yang membuat seni menjadi indah secara menyeluruh.
Pada abad ke 18 filosof seperti Edmund Burke
dan David Hume berusaha untuk menerangkan konsep estetik. Misalnya keindahan
secara empiris dengan cara menghubungkan dengan respon fisik dan psikologis
serta mengelompokannya ke dalam tipe tipe penghayatan individual atas objek-objek dan ke jadian-kejadian
yang berbeda. Jadi mereka melihat suatu dasar objektivitas reaksi
pribadi. Kant mengatakan bahwa konsep estetik secara esensial bersifat
subjektif ialah berakar pada perasaan pribadi mengenai rasa senang dan rasa
sakit. Juga mengatakan bahwa konsep itu memiliki
objektifitas tertentu dengan dasar bahwa pada dasar estetik murni perasaan
sakit dan senang merupakan respon yang universal.[4]
Lingkup bahasan estetika meliputi dua pokok
bahasan utama, yaitu segala persoalan yang berkaitan dengan keindahan (estetis)
dan persoalan yang berkaitan dengan seni. Kadangkala pembahasan kedua persoalan
itu saling terkait dan sulit dipisahkan. Beberapa persoalan yang tergolong di
dalam kedua lingkup bahasan tersebut di antaranya:
1.
Persoalan Nilai Estetis (esthetic value) menyangkut antara lain:
apakah keindahan itu; apakah keindahan bersifat objektif atau subjektif; apakah
yang menjadi ukuran baku keindahan, bagaimanakah peranan keindahan dalam
kehidupan manusia; dan bagaimanakah hubungan keindahan dengan kebenaran dan
kebaikan?
2.
Persoalan
Pengalaman Estetis (esthetic eksperience) menyangkut antara lain: apakah
yang disebut pengalaman estetis; bagaimanakah sifat dasar atau ciri-ciri suatu
pengalaman estetis; apakah yang menyebabkan orang menghargai sesuatu yang
indah; apakah yang merupakan rintangan dari pengalaman estetis; dan objek
apakah yang dapat menjadi sasaran pengalaman estetis?
3.
Persoalan
Perilaku Seniman menyangkut antara lain: apa dan siapakah seniman itu; bedakah
seorang seniman dengan perajin; apakah yang mendorong seseorang menciptakan
suatu karya seni; bagaimanakah proses penciptaan itu berlangsung dalam diri
seseorang; dan bagaimanakah hubungan kepribadian seniman dengan karya seni
ciptaannya?
4.
Persoalan Seni menyangkut antara lain: apakah seni itu; bagaimanakah
penggolongan seni yang tepat; apakah sifat dasar dan nilai-nilai dari karya
seni; manakah yang lebih penting antara bentuk dan isi dari karya seni; dan
bagaimanakah hubungan seni dengan agama, filsafat, dan ilmu?[5]
Estetika adalah salah satu hal dasar yang akan dialami
dan dihadapi oleh manusia sehari-hari. Sifatnya dalam keseharian sangat
spontan, hanya dalam pikiran, nyaris berbarengan dengan alam bawah sadar,
hingga terkadang membuat kita tidak begitu menghiraukannya. Kecantikan berada
di mata pemandangnya dan keindahan adalah hal yang subjektif, tidak usah
diperdebatkan lagi. Padahal estetika merupakan salah satu faktor pertama yang
akan diperhatikan dalam berbagai interaksi kehidupan sosial.
Pada umumnya estetika adalah penilaian utama yang selalu
dijatuhkan pada setiap karya seni. Walaupun begitu dalam perkembangannya
keindahan tidak selalu menjadi yang utama dalam seni. Banyak hal lain yang
terungkap dalam pencarian para filsuf dan ahli lain yang berkontribusi pada
bidang ini, salah satunya adalah filsafat seni. Estetika menjadi salah salah
satu pencarian yang tak pernah usai digali, baik dalam filsafat maupun seni.
[2] Binus.ac.id, theory-and-critique-platos-mimesis-theory/
diakses pada tanggal 02 Agustus 2019 di laman https://dkv.binus.ac.id/2013/05/15/theory-and-critique-platos-mimesis-theory/
0 Comments
Post a Comment