Konsep Pendidikan Nilai Dalam Perspektif Islam
BAB III
Konsep Pendidikan Nilai Dalam Perspektif Islam
A.
Hakikat dan Dasar Pendidikan Nilai
Dalam Perspektif Islam
Pendidikan nilai, moral dan etika
merupakan hidden curriculum yang secara integral terkait dengan hampir
semua mata pelajaran sekolah. Keberhasilan menanamkan dan menumbuhkembangkan
nilai-nilai tersebut tergantung dari peranan pendidik (guru) yang mendukung
sistem penyelenggaraan pendidikan sekolah dan sejauh mana komitmen masyarakat
dan pemerintah dalam memberikan teladan kepada anak-anak.[1]
Pendidikan nilai tidak dapat
dilaksanakan dengan pengajaran di tengah-tengah pelanggaran moral dan anomali
yang terus terjadi seperti sekarang ini. Musuh utama pendidikan nilai ialah
birokrasi yang korup dan serakah, politisi yang berperilaku ”seperti preman”,
konglomerat (pengusaha) yang merampas hak-hak ekonomi rakyat, para pendidik
yang menempatkan siswi-siswi sebagai ”sapi perah”, para selebritis yang
gonta-ganti pasangan, dan eneka macam penyakit moral. Pendidikan nilai tidak
sebatas pada teori dan pengajaran, tetapi harus disertai dengan perilaku hidup.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
bahwa nilai adalah sesuatu yang sangat urgen baik secara psikologis, sosial,
etika dan estetika yang selalu didambakan oleh setiap insan yang dapat
dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian relevansi dengan
kajian ini maka nilai yang hendak dibentuk atau diwujudkan dalam peribadi anak
didik sehingga fungsional dan aktual dalam prilaku muslim, adalah nilai Islami
yang melandasi moralitas (akhlak).
Islam memberikan sistem nilai dan moral
yang dikehendaki oleh Allah Swt. Yang harus diimplementasikan dalam amal
prilaku hamba-Nya dalam masyarakat. Sistem nilai dan moral dimaksud adalah
suatu keseluruhan tatanan yang terdiri dari dua atau lebih dari komponen yang
satu sama lain saling mempengaruhi atau bekerja dalam satu kesatuan atau
keterpaduan yang bulat yang berorientasi pada nilai dan moralitas Islami. Jadi
di sini tekanannya pada action system.[2]
Mengingat suatu pendidikan adalah
proses pendewasaan anak manusia baik intelektual, emosional maupun spiritual
dan akan sangat berpengaruh pada masa depan peserta didik, negara, bangsa dan
agama maka harus dilakukan terprogram, sistematis terpadu dan integral.
Demikian halnya dengan landasan baik operasional maupun yang lainnya. Sesuatu
yang naif bila membicarakan pendidikan Islam namun tercerabut dari landasan
esensial yaitu nash (al-Qur’an dan al-Hadits), maka berikut ini adalah
sebahagian ayat dan hadits yang dianggap dapat mewakili yang lain dan menjadi dasar
pendidikan nilai dalam Islam.
1.
Dasar Al-Qur’an
Sebagaimana dimaklumi bahwa al-Qur’an
adalah landasan utama setiap aktivitas umat Islam, aturannya mencakup semua
aspek hidup dan kehidupan dan bersifat universal. Demikian juga terhadap
permasalahan pendidikan, banyak ayat-ayat al-Qur’an yang berindikasi kepadanya,
diantaranya adalah Surat Luqman ayat 13-14:
وَإِذْ
قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ, وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ
وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
إِلَيَّ الْمَصِيرُ) لقمان: ١٣ -١٤(
Artinya: Dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah)
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar". Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (Q.S. Luqman: 13-14)
Tujuan atau orientasi pendidikan Islam
adalah pemahaman dan internalisasi nilai sesuai dengan firman Allah dalam surat
Ali Imran ayat 187:
وَإِذَ
أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ
وَلاَ تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاء ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْاْ بِهِ ثَمَناً
قَلِيلاً فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ) آل عمران: ١٨٧(
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil
janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu
menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu
menyembunyikannya." Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung
mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran
yang mereka terima. (Q.S. Ali Imran: 187)
Landasan naqli (nash) al-Qur’an
tersebut barulah sebagian kecil indikasi dan sinyalemen tentang urgensitas
sebuah pendidikan dalam keluarga. Nukilan tersebut hanya sebagai dalil dan
bukti konkrit bahwa al-Qur’an dengan jelas membicarakan masalah tersebut.
2. Landasan al-Hadits
عن أنس بن مالك رضي
الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة
(رواه إبن ماجه(
Artinya: Dari Anas bin Malik Ra. Berkata, Rasulullah
Saw. Bersabda “Menuntut ilmu itu adalah fardlu atas setiap muslimim dan
muslimat” (H.r. Ibn Majah).[3]
Sesuai dengan hadits di atas bahwa
menuntut ilmu pengetahuan merupakan kewajiban bagi kaum Muslimin dan muslimat
secara kontinuitas, sebagai amanah Allah yang telah diwajibkan kepada mereka.
Kewajiban belajar tersebut berimplikasi pada adanya suatu lembaga yang dapat
mengimplementasikan perintah tersebut. Maka kewajiban untuk menyelenggarakan
pendidikan formula di rumah tangga di-taklif-kan atas orang tua sebagaimana
sabda Rasulullah Saw.:
عن أبي هريرة رضى الله
عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أوينصرانه
أو يمجسانه (رواه البخارى)
Artinya: “Dari Abu Hurairah (ra) Rasulullah SAW
bersabda: “tidak seorang anak pun yang baru lahir kecuali dia bersih, maka
kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani dan Majusi.”(HR.Bukhari).[4]
Hadits tersebut di atas menunjukkan
orang tua mempunyai peranan penting dalam mendidik anak dan keluarga, sebab
kedua orang tuanya yang akan mewarnai anaknya dengan Yahudi, Nasrani maupun
Majusi. Dominasi peran orang tua dalam pendidikan anak merupakan kenyataan yang
tidak dapat dipungkiri, maka konsekwensinya adalah anak sebagai hamba lemah
selalu membutuhkan orang dewasa untuk mendidik dan membimbingnya ke arah
kedewasaan dan intelektualitas. Dengan bahasa lain lingkungan keluarga
mendominasi perubahan prinsip, sikap dan sifat anak, maka jika lingkungan
keluarga baik otomatis potensi kebaikan yang ada pada diri anak akan terus
berkembang demikian juga sebaliknya.
Kewajiban belajar juga dapat dipahami
melalui penelaahan hadits sebagai berikut:
عن ابن عمر رضىالله
عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ...الرجل راع فى أهله ومسؤول عن رعيته والمرأة
راعية فى بيت زوجها ومسؤولة عن رعيتها (رواه البخارى و مسلم(
Artinya: Ibnu
Umar r.a berkata, Rasulullah Saw Bersabda, ...suami adalah pemimpin bagi
keluarganya dan dia akan bertanggungjawab terhadap mereka. seorang isteri
adalah pemimpin rumah tangga, suami dan anak-anaknya, dia akan bertanggungjawab
terhadap mereka (HR. Bukhari, Muslim)[5]
Dari hadits di atas, dapat dipahami
bahwa pembelajaran harus diberdayakan baik secara langsung maupun tidak
langsung oleh kedua orang tuanya. Taklif yang dipikulkan kepada laki-laki
(ayah) dan perempuan (ibu) berupa tanggung jawab atas keselamatan diri, anak,
harta dan segala sesuatu yang menjadi miliknya atau yang diamanahkan kepadanya.
Tanggung jawab tersebut juga meliputi kesehatan, kesejahteraan fisik, mental
moral serta kebahagiaan yang bersifat ukhrawi.[6]
Mencermati ayat-ayat maupun hadits di
atas, dapat diketahui bahwa konsep belajar sejak dari rumah tangga dalam
perspektif Islam telah dicanangkan bersamaan dengan tugas Nabi Muhammad sebagai
Rasulullah. Melihat kenyataan ini konsep belajar sepanjang hayat versi Barat
(UNESCO) baru terfikirkan sejak tahun 1970 yang disebut sebagai Tahun
Pendidikan Internasional, yang bersumber dari gagasan Paul Lengrand dan Laporan
Faure 1972. Pada dekade 1980-an muncul gagasan lebih baru lagi dari life long
education, menjadi no limits to study, belajar tanpa batas.[7]
Latar belakang yang mendorong konsep ini adalah perubahan konseptualisasi
sekolah yang tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya tempat atau masa untuk
belajar, tetapi sekolah adalah salah satu mata rantai dari konsep belajar
sepanjang hayat tersebut.
Sedangkan dalam operasional aplikasi
dalam tataran Negara Indonesia pendidikan sejak usia dini dalam lingkungan tri
pusat pendidikan (rumah tangga, sekolah dan masyarakat) adalah sebagai mana
disebutkan dalam TAP MPR No. IV/MPR/1973 jo TAP MPR No. IV/MPR/1978, tentang
GBHN dalam Bab IV Bagian Pendidikan ditetapkan: Pendidikan berlangsung seumur
hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan
masyarakat.[8]
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa
baik secara normatif religius maupun operasional pendidikan agama dalam rumah
tangga, sekolah dan masyarakat mendapat jaminan dan kekuatan hukum positif
manusiawi serta agama ilahiyah. Karenanya tiada alasan bagi orang tua untuk
tidak melaksanakannya bahkan pendidikan itu merupakan kewajiban dan kebutuhan.
B.
Sistem Pendidikan Nilai Dalam
Perspektif Islam
Sistem nilai atau moral yang dijadikan
kerangka acuan yang menjadi rujukan cara berprilaku lahirian dan rohaniah manusia
muslim adalah nilai dan moralitas yang dijarkan oleh agama Islam sebagai wahyu
Allah, yang diturunkan kepada utusann-Nya Muhammad Saw. Nilai dan moralitas
Islami adalah bersifat integral tidak terpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang
satu sama lainnya berdiri sendiri. Suatu kebulatan nilai dan moralitas itu
mengandung aspek normatif (kaidah, pedoman) dan operatif (menjadi landasan amal
perbuatan). Pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu dapat dianalisis dari segi
sistemik atau pendekatan sistem. Dari segi ini pendidikan Islam dipandang sebagai
rposes melalui sistem yang terdiri dari sub-sub sistem atau komponen-komponen
yang berkaitan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam.[9]
Konsep dan pemikiran tersebut terinspirasi dari fenomena gerakan yang
sistematik seperti yang terdapat dalam mekanisme benda-benda samawi secara
makrokosmik dan dalam tubuh manusia sendiri secara mikrokosmik.
Orientasi pendidikan Islam adalah
kebutuhan umat manusia yang mendambakan kemajuan yang mensejahterakan hidupnya
masa kini dan masa depan sampai hidup di alam akhirat. Watak ilmu pendidikan
Islam adalah sistematis dan konsisten menuju arah tujuan yang hendak dicapai.
Untuk itu maka pendidikan Islam membutuhkan pemikiran sistematik dan
mengarahkan prosesnya dalam sistem-sistem yang aspiratif terhadap kebutuhan
umatnya. Bila tidak demikian maka, akan timbul gangguan dan hambatan teknis
operasional yang dapat menghilangkan orientasinya yang benar. Pendidikan
berfungsi untuk menumbuh kembangkan potensi subjek didik ke arah yang positif,
meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam proses pendidikan dewasa
ini terlihat adanya ketimpangan antara pendidikan nilai dengan pendidikan
keilmuan dan ketrampilan. Akibatnya muncul beberapa fenomena sosial yang
memprihatinkan, prilaku menyimpang, tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan
dan tidak sesuai dengan norma-norma sebagai warga negara yang baik.[10]
Gejala tersebut menunjukkan kegagalan
pendidikan nilai keagamaan. Memang sebagaimana diungkapkan oleh M.I. Soelaeman
bahwa kebijakan mengenai pendidikan religi hanya diberikan “pendidikan tentang
religi” dan tidak “pendidikan religi” ataupun pendidikan ke arah kehidupan
religius. Religi ditempatkan di luar pribadi manusia, tidak terjamah oleh
pribadinya, tidak dipersonisasikannya dan tidak direalisasikan dalam prilaku
keseharian melainkan sekedar menjadi hiasan intelektual belaka.[11]
Pandangan “objective oriented”
(berorientasi pada tujuan) mengajarkan bahwa tugas guru yang sesungguhnya
bukanlah mengajarkan ilmu atau kecakapan tertentu pada anak didiknya saja, akan
tetapi juga merealisir atau mencapai tujuan pendidikan. Ultimate goals (sasaran
utama) pendidikan merupakan sentral dalam proses pendidikan, karena tanpa
tujuan yang jelas proses pendidikan akan berjalan tidak efektif dan tidak
efisien, kepentingan ini dapat dipelajari dari firman Allah SWT.
فايـن تــذهبـــون
)
التكوير: ٢٦ (
Artinya: Maka kemanakah kalian akan pergi? (Q.S.
al-Takwir: 26).
Firman Allah ini pada prinsipnya
ditujukan kepada orang-orang kafir yang tidak insyaf akan tujuan hidupnya.
Begitulah urgensitas tujuan dari sesuatu, bila tidak jelas sasaran dari apa
yang dimaksud, maka akan sesat di tengah jalan.
Istilah “tujuan” atau “sasaran” atau “maksud”, dalam
bahasa Arab dinyatakan dengan ghayah atau ahdaf atau maqasid. Sedangkan dalam
bahasa Inggris, istilah “tujuan” dinyatakan dengan “goal atau purpose atau
objective atau aim”.[12]
Secara umum istilah-istilah itu mengandung pengertian yang sama, yaitu
perbuatan yang diarahkan kepada suatu tujuan tertentu, atau arah, maksud yang
hendak dicapai melalui upaya atau aktifitas.
Tujuan itu sendiri, menurut Zakiah
Daradjat, adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau
kegiatan selesai.[13]
Sedangkan menurut H.M. Arifin tujuan itu bisa jadi menunjukkan kepada futuritas
(masa depan) yang terletak suatu jarak tertentu yang tidak dapat dicapai
kecuali dengan usaha melalui proses tertentu.[14]
Perumusan tujuan pembelajaran berfungsi sebagai pengarah kegiatan dan sebagai
tolak ukur efektivitas pencapaian hasil kegiatan tersebut, bahwa dengan adanya
kejelasan rumusan tujuan maka dapat diketahui telah sejauhmana tingkat
perubahan tingkah laku, sebagaimana dirumuskan dalam tujuan pembelajaran.
Meskipun terjadi variasi tentang pengertian tujuan, akan tetapi pada umumnya
pengertian itu berpusat pada usaha atau perbuatan yang dilaksanakan untuk suatu
maksud tertentu.
Hery Noer Aly misalnya menuliskan
tujuan pendidikan adalah mengakhiri usaha pendidikan. Apabila tujuannya telah
tercapai, maka berakhir pula usaha tersebut.[15]
Dengan demikian usaha membimbing yang terhenti sebelum sampai ke tujuan,
termasuk usaha yang gagal, yang antara lain dapat disebabkan oleh tidak
jelasnya rumusan tujuan pendidikan. Maka karena itu perlu rumusan tujuan
pendidikan. Bentuk dan isi rumusan atau formulasi tujuan pendidikan bagi setiap
bangsa berbeda. Perbedaan itu disesuaikan dengan sistem nilai yang terkandung
dalam aspek-aspek kehidupan suatu bangsa dalam kurun waktu tertentu.[16]
Walaupun demikian, minimal terdapat tiga persamaan dari setiap tujuan
pendidikan, yaitu untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan memperbaiki
atau bahkan mengubah sikap peserta didik.[17]
Keragaman rumusan tersebut merupakan
hal yang kondisional dan situasional, namun kejelasan sebuah tujuan mutlak
diperlukan hal ini dijelaskan oleh Robert Mager “jika tujuan pendidikan tidak
dibatasi dengan jelas maka ketetapan dan program mustahil berjalan dengan
efektif, di samping itu kita tidak memiliki dasar yang kuat untuk menyusun
materi pelajaran, cakupan dan metode pengajaran yang cocok”.[18]
Namun dalam perumusan tujuan pembelajaran juga perlu memperhatikan potensi
sumberdaya yang ada baik sumber daya manusianya maupun ketersediaan sarana dan
prasarananya. Penggunaan sarana yang tidak tepat, kesulitan bahkan, kekeliruan,
kegagalan disebabkan ketidak jelasan tujuan pendidikan.[19]Secara
lebih rinci, manfaat pembatasan tujuan adalah:
Pertama, Mengembangkan
arah perencanaan proses pendidikan yang baik dan bermutu yang akan
membangkitkan kesungguhan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, kedua,
Menyusun kekuatan antara berbagai instansi dan pihak terkait yang ikut berperan
dalam membangun manusia, yang terpenting di antaranya adalah rumah, sekolah,
media informasi serta lembaga budaya, olah raga dan seni. ketiga, Membatasi
materi dan cakupan pengajaran, sarana dan metode yang cocok serta segala
kegiatan latihan dan praktek lapangan. Memperbaiki komunikasi bagian-bagian
administrasi, transparansi dan membangunnya di antara para guru dengan
administrasi sekolah di satu sisi dan dengan administrasi pengajaran di sisi
lain.[20]
Keempat, Mengevaluasi, memperbaiki dan mengembangkan metode, evaluasi
tidak akan sempurna kecuali dengan adanya tujuan pendidikan yang ingin dicapai,
dengannya dimungkinkan menentukan kekurangan dan kelebihan serta mana yang
harus diatasi, diperbaiki dan dikembangkan.[21]
Kelima, Mengevaluasi kemampuan siswa dalam melakukan aktivitas dan
kegiatan yang disukainya sebagai proses pembelajaran. Karena test merupakan
stasiun utama jalur belajar. Test yang diberikan adalah sebagai umpan balik
(feed beck) bagi guru, siswa dan orang tua tentang keberhasilan mereka dalam
mewujudkan tujuan pembelajaran dari cakupan yang diberikan yang selanjutnya
mewujudkan tujuan pendidikan yang saling terkait. Tujuan pendidikan membantu
guru dan siswa menyusun waktu dan jadwal kegiatan sesuai dengan tujuan tersebut
serta tatacara mencapainya.[22]
Berdasarkan uraian di atas nyatalah
pentingnya pembatasan tujuan pendidikan, baik tujuan umum maupun tujuan khusus
pada setiap strata dan jenis pendidikan bahkan setiap materinya, sebagaimana
pentingnya menjaga keselarasan dan susunan serta saling isi antara tujuan umum
dan pembentukan dasar dari falsafah sosial dan pengertiannya serta tujuan
khusus tiap tingkat pendidikan dan materi pelajaran.
Menurut Iman Ghazali, tujuan pendidikan
yaitu membentuk insan pari purna, baik di dunia maupun di akhirat.[23]
Lebih lanjut dikatakan bahwa manusia dapat mencapai kesempurnaan apabila
berusaha mencari ilmu dan selanjutnya mengamalkan fadilah melalui ilmu
pengetahuan yang dipelajarinya. Fadhilah ini selanjutnya dapat membawanya dekat
kepada Allah dan akhirnya membahagia-kannya hidup di dunia dan di akhirat.
Berdasarkan paparan tersebut maka,
pendidikan Islam merupakan suatu proses yang dilakukan secara terpogram dan
sistematis. Dengan demikian manajemen terhadap unsur-unsur atau
komponen-komponen pendidikan harus berjalan sinergis mencapai tujuan yang telah
dirumuskan. Secara konseptual tujuan sebuah pendidikan sangat dipengaruhi oleh
idiologi dan falsafah lembaga. Namun demikian esensinya harus menumbuh
kembangkan dan memperkuat iman serta mendorong kepada kesadaran beragama dengan
mengamalkan ajarannya. Secara umum dan ringkas dapat dikatakan bahwa tujuan
Pendidikan Agama Islam itu harus mengandung berbagai aspek pembinaan manusia
seutuhnya, sehingga nantinya ia dapat hidup dengan baik sebagai manusia
Pancasilais yang bertaqwa kepada Allah menurut ajaran Islam.
C.
Konsep Pendidikan Nilai dalam
Perspektif Islam
Pengertian “nilai” sangat beraneka
ragam, tergantung pada benda atau keadaan yang dinilai. Nilai moral dengan
nilai budaya misalnya, kedua-keduanya mempunyai pengertian yang berbeda satu
dengan yang lainnya. Demikian juga pengertian nilai kegamaan dengan nilai
nominal mempunyai pengertian yang berbeda, meskipun kedua hal tersebut pada
awalnya terdapat kata nilai. Menurut Simanjuntak, “nilai adalah gagasan-gagasan
masyarakat tentang sesuatu yang baik. Nilai bukanlah keinginan, tetapi apa yang
diinginkan. Artinya nilai itu bukan hanya diharapkan tetapi diusahakan sebagai
suatu yang pantas dan benar bagi diri sendiri dan orang lain”.[24]
Selanjutnya Notonegoro dalam Budianto
membagi nilai ke dalam beberapa bagian yang satu dengan lainnya saling
berhubungan, yaitu: “Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi
kebutuhan fisik manusia. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi
manusia untuk dapat mengadakan kegiatan. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu
yang berguna bagi rohani (bathin) manusia. Nilai kerohanian dibagi lagi menjadi
nilai kebenaran, nilai keindahan, nilai moral, dan nilai regelius”.[25]
Semua nilai tersebut diperlukan bagi
manusia dalam mengarungi kehidupan dengan sesama dalam masyarakat. Nilai-nilai
tersebut merangkum dalam suatu pelajaran baik pelajaran agama Islam maupun
pelajaran yang lainnya yang ada diajarkan di sekolah. Dengan memasukkan
unsur-unsur ajaran agama mengenai nilai ini diharapkan siswa dapat dengan mudah
menyusuaikan diri dengan lingkungannya dan berinteraksi dengan baik dalam
masyarakat.
Nilai-nilai yang tercakup dalam nilai
Islami yang merupakan komponen atau subsistem adalah sebagai berikut:
1.
Sistem nilai kultural yang senada dan senafas dengan Islam
2. Sistem nilai sosial yang memiliki nilai mekanisme gerak yang
berorientasi kepada kehidupan sejahtera dunia dan akhirat
3. Sistem nilai yang bersifat psikologis dari masing-masing individu yang
di dorong oleh fungsi-fungsi psikologinya untuk berprilaku secara terkontrol
oleh nilai yang menjadi sumber rujukannya yaitu Islam
4. Sistem nilai tingkah laku dari makhluk (manusia mengandung
interkomunikasi dengan yang lainnya). Tingkah laku ini timbul karena adanya
tuntunan dari kebutuhan mempertahankan hidup yang banyak diwarnai oleh
nilai-nilai motivatif dalam pribadinya.
Daya pancar dari sistem nilai yang
menerangi moralitas umat manusia menurut pandangan Islam adalah bersumber dari
cahaya Allah yang digambarkan dalam surat Al-Maidah ayat 15, yaitu sebagai
berikut:
يَا
أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيراً مِّمَّا
كُنتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ قَدْ جَاءكُم مِّنَ
اللّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُّبِينٌ) المائدة: ١٥(
Artinya: Hai
ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu
banyak dari isi Al kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang)
dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab
yang menerangkan. (Q.S. Al-Maidah: 15).
Al-Qur’an
merupakan pedoman hidup bagi masyarakat Islam. Karenanya konsep pendidikan
Qur’ani merupakan suatu aplikasi penyelenggaraan pendidikan yang paling pokok
menurut ketentuan Islam. Dengan itu dapatlah diketahui bahwa penyelenggaraan
pendidikan dalam agama islam merupakan penjabaran dari kaidah-kaidah pendidikan
yang terkandung dari al-Qur’anul Karim.
Dalam al-Qur’an
banyak terdapat metode pendidikan yang efektif serta sesuai dengan akal pikiran
manusia dengan memberikan berbagai contoh pendidikan yang dapat diamati oleh
manusia melalui berbagai kejadian alam yang konkrit dapat dilihat. Hal ini
sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh An Nahlawi, bahwa "Kelebihan al-Qur’an,
di antaranya terletak pada metode yang menakjubkan dan unik sehingga dalam
konsep pendidikan yang terkandung didalamnya, al-Qur’an mampu menciptakan
individu yang beriman dan senantiasa meng-Esakan Allah, serta mengimani hari
akhir."[26]
Al-Qur’an telah memberikan kepuasan
penalaran yang sesuai dengan kesederhanaan dan fitrah manusia tanpa unsure
paksaan dan disisi lain disertai dengan mengutamakan afeksi dan emosi
manusiawi. Dengan demikian al-Qur’an mengetuk akal dan hati sekaligus. "al-Qur’an
mengawali konsep pendidikannya dari hal yang sifatnya kongkrit, seperti hujan,
angina, tumbuh-tumbuhan, guntur ataupun kilat menuju kepada hal yang abstrak,
seperti keberadaan, kebesaran dan kekuasaan serta berbagai sifat kesempurnaan
Allah."[27]
Penyajian materi tersebut kadang-kadang
menggunakan metode-metodenya, baik untuk tujuan mengkrtik maupun mengingatkan,
atau menggunakan metode untuk menyebutkan keindahan, atau hal lain yang dapat
menggali emosi rabbaniyah dalam diri seseorang, seperti ketundukan, rasa syukur
serta mahabbah dan kekhususan kepada Allah. Kemudian al-Qur’an menampilkan
masalah ibadah dan prilaku ideal sebagai aplikasi praktis akhlak rabbaniah.
Berdasarkan
kutipan di atas dapatlah diketahui konsep pendidikan melalui metode al-Qur’an
dapat mempengaruhi emosi anak didik tanpa melalui pemaksaan atau doktrinisasi.
Karena konsep pendidikan menurut Qur’ani sesuai dengan fitrah manusia mudah
untuk dicerna dan tidak berbelit-belit karena penyampaian pendidikan menurut
Qur’ani sesuai dengan jiwa manusia dan selaras dengan psikologi pendidikan
modern.
Dengan
demikian metode tersebut sangat sesuai dengan apa yang dewasa ini
digembar-gemborkan para psikolog dalam menggali unsur efeksi manusia. Lewat
metode Qur’ani, ketika kita berulang-ulang memberi suatu materi, kita akan
merasakan bahwa metode tersebut berhasil mempengaruhi emosi yang dilengkapi
pengalaman prilaku sehingga dalam diri seseorang tumbuhlah kesiapan emosi yang
jika sewaktu-waktu materi yang bersangkutan disentuh, emosi tersebut akan
kembali muncul. Itulah pengalaman emosional yang hanya kita peroleh dari metode
Qur’ani. Menurut Abdurrahman An Nahlawi, mengemukakan bahwa "Jika perilaku
ideal tersebut dilengkapi dengan sifat efeksi, artinya pendidikan telah
berperan dalam penyatuan jiwa dan menggali potensi seorang manusia sehingga
menjadi manusia yang berkualitas."[28]
Menurut konsepsi pendidikan Qur’ani,
manusia merupakan makhluk yang berpotensi mendapatkan pendidikan. Seseorang
tidak akan memperoleh ilmu pengetahuan atau tidak akan bisa mendidik jika dia
tidak dapat membaca. Karena pendidikan merupakan suatu unsure yang sangat
penting bagi manusia dalam memahami agama. Sehingga membaca itu merupakan
prioritas utama dalam konsep pendidikan Qur’ani. Ayat al-Qur’an yang pertama
diturunkan menyuruh manusia membaca.
Menurut An Nahlawi memberikan konsepsi
pendidikan dalam al-Qur’ani berorientasi kepada hal-hal sebagai berikut.
1. Islam memiliki
kejelasan pikiran yang menjadi landasan hidup seseorang muslim. Artinya seorang
muslim menganut pikiran tersebut, mempercayainya, mengikuti perintahnya, dan
menyerukannya secara hati-hati. Karena hanya pikiran itulah yang mengontrol
segala prilaku dan perbuatan manusia;
2. Islam memiliki
kelogisan aqidah dan kesesuaiannya dengan fitrah, akal dan jiwa manusia.
3. Islam memiliki
objek keyakinan yang jelas karena disajikan secara memuaskan lewat al-Qur’an
yang dengannya manusia akan menyajikan realitas sebagai bahan perenungan serta
mengantarkan manusia pada pengetahuan tentang kekuasaan dan ke-Esaan Allah
sesuai tabi’at psikologis dan fitrah manusia. Jika seseorang manusia
merenungkan firman Allah, ia akan menemukan bahwa al-Qur’an menjadikan dirinya
sebagai bahan renungan sehingga dia mampu melihat bagaimana Allah menciptakan
dirinyadari segumpal darah, mengajarinya membaca, menulis atau mendayagunakan
semesta dan dapat mendidik, serta bagaimana Allah menciptakan dan membentuk
dirinya dari dalam rahim ibu melalui beberapa fase perkembangan hingga
posturnya menjadi sempurna sekarang dan lahir dalam keadaan tidak mengetahui
apapun, kemudian dewasa hingga tiba-tiba
menjadi musuh yang nyata.
4. Jika ada di antara kita yang bertanya-tanya,
mengapa Al-Qur’an menggunakan dialek yang menyentuh perasaan dan emosi serta
membahas akal dan pengalaman yang mampu mengalirkan air mata dan menimbulkan
getaran hati tatkala semuanya diungkapkan secara berulang-ulang, terutama
tentang alam semesta dan diri? sesungguhnya pengulangan gambaran alam semesta
dan manusia serta variatif dalam berbagai kondisi tidak hanya untuk mengenal
aspek budaya kepada manusia atau untuk di kompetisikan dengan budaya atau
filsafat lain agar keunggulan logika Al-Qur’an dapat dipertahankan dan
kemampuan argumentasinya mampu mengalahkan budaya lain, atau dimaksudkan untuk
melatih akal manusia melalui penghafalan dan pemahamannya. Lebih dari itu
metode tersebut menjadi gerak pikiran dan perasaan yang kemudian menjadi
berkembang menjadi kekuatan yang mendorong realisasinya dalam dunia realita.
Tegasnya agar manusia mewujudkan penghambaannya kepada Allah yang tidak menjadi
gambaran semesta yang mengagumkan ini kecuali sebagai peringatan bagi manusia
yang tidak takut.[29]
Pendidikan
adalah sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi.
Potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuia dengan nilai-nilai yang ada
di dalam masyarakat dan kebudayaan.[30]Pendidikan bagi kehidupan
umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus sepanjang hayat. tanpa
pendidikan sama sekli mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang
sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtra, dan bahagia di dunia
dan di akhirat kelak.[31]
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat
dipahami bahwa pendidikan nilai adalah nilai yang mencakup keseluruhan aspek
sebagai pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar mnyadari nilai
kebenaran, kebaikan, dan keindahan, melalui proses pertimbangan nilaiyang tepat
dan pembiasaan bertindak yang konsisten.
Seacara
umum, pendidikan nilai dimaksudkan untuk membantu peserta didik agar memahami,
menyadari, dan mengalami niali-nilai serta mampu manempatkannya secara integral
dalam kehidupa. Untuk sampai pada tujuan dimaksud, tindakan-tindakan pendidikan
yang mengarah pada prilaku yang baik dan benarperlu diperkenalkan oleh para didik.
Dalam proses pendidikan nilai, tindakan-tindakan pendidikan yang lebih spesifik
dimaksud untuk mencapai tujuan yang lebih khusus. Pendidikan nilai secara
khusus ditujukan untuk:
a.
Menerapkan pembentukan nilai kepada
anak.
b.
Menghasilakn sikap yang mencerminkan
nilai-nilaiyang diinginkan.
c.
Membimbing prilaku yang konsisten
dengan nilai-nilai tersebut.
Dengan demikian, tujuan pendidikan
nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran
nilai sampai pada perwujudan prilaku-prilaku yang berniali. Pendidikan nilai
sebagai ilmu memiliki karakter. Disebut karakter karena melalui pendidikan
nilai kita dapat bersikap kritis, analitik, dan selektif terhadap “harga” nilai
yang terdapat dalam filsafat dan ilmu pengetahun. Kita dapat mempertanyakan
kembali “harga” nilai, moral, etika, dan estetika yang telah dikembangkan melalui filsafat dan ilmu pengetahuan.
Pendidikan nilai sebagai ilmu
sekurang-kurangnya memiliki tiga fungsi. Fungsi ini tidak dapat dipisahkan dari
karakter keilmuan seperti yang telah dikemukakan diatas. Tiga fungsi tersebut
adalah:
a.
Fungsi seleksi terhadap nilai terdapat dalam filsafat.
Fungsi ini menempatkan ahli pendidikan nilai untuk senantiasa menata kerangka
dan garis berfikir filosofisnya untuk dapat mengartikulasikan nilai-nilai
unggul yang terdapat dalam filsafat bangsa, filsafat yunani, dan filsafat
pendidikan agama. Fungsi ini juga berkenaan dengan penelaahan “harga”
nilai-niali yang terdapat dalam diskursus hakikat manusia, hakikat pengetahuan,
dan terhadap teori dan tindakan pendidikan nilai.
b.
Fungsi seleksi terhadap nilai dalam ilmu pengetahuan.
Fungsi ini menempatkan ahli pendidikan nilai untuk selalu cermat dalam menelaah
perkembangan ilmu pengetahuan beserta implikasi-implikasinya terhadap praktik
pendidikan.
c.
Fungsi seleksi terhadap nilai dalam teori pendidikan.
Fungsi ini menempatkan ahli dan praktisi pendidikan nilai untuk cermat dalam
memilih teori pndidikan yang sesuai dengan kebutuhan penyadaran nilai.
Perkembangan pemikiran tentang penddidikan yang berakar dari filsafat
pendidikan yunani, tidak hanya berpengaruh terhadap pemaknaan nilai ilmu
pengetahuan, tetapi juga sampai pada pemahaman tentang teori-teori pendidikan.
Pada wilwyah fungsional ini, muncul beragam teori pendidikan dengan tekanan
yang berbeda-beda. Jika dipilih berdasarkan esensi nilai yang dikembangkan, ada
teori yang menekankan pada pengembangan nilai humanistik yang pada gilirnnya
melahirkan model pendidikan liberal yang berbasis nilai kemanusiaan, ada juga
yang bersumber pada wahyu yang kemudian melahirkan model pendidikan agama yang
berbasis pada nilai ketuhanan.[32]
Landasan pendidikan nilai yang akan
diketengahkan tertera atas empet bagian, yaitu: landasan filosofis, landasan
psikologis, landasan sosiologis, dan landasan estetik. Landasan filosofis
mengetengahkan akar pemikiran tentang hakikat manusia dari perspektif filsafat.
Landasan psikologis menjelaskan aspek-aspek psikis
D.
Eksistensi dan Perkembangan Pendidikan Nilai
Dalam Perspektif Islam
Pemikiran filsafat mencakup ruang
lingkup yang berskala makro yaitu: kosmologi, ontology, philosophy of
mind, epistimologi, dan aksiologi. Untuk melihat bagaimana sesungguhnya
manusia dalam pandangan filsafat pendidikan, maka setidaknya karena manusia
merupakan bagian dari alam semesta (kosmos). Berangkat dari situ dapat
kita ketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang pada hakekatnya sebagai
abdi penciptanya (ontology). Agar bisa menempatkan dirinya sebagai
pengapdi yang setia, maka manusia diberi anugerah berbagai potensi baik
jasmani, rohani, dan ruh (philosophy of mind).
Sedangkan pertumbuhan serta
perkembangan manusia dalam hal memperoleh pengetahuan itu berlajan secara
berjenjang dan bertahap (proses) melalui pengembangan potensinya, pengalaman dengan
lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan (epistimologi), oleh
karena itu hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua makhluk ciptaan
Allah dan hubungan dengan Allah sebagai pencita seluruh alam raya itu harus
berjalan bersama dan tidak bisa dipisahkan. Adapun manusia sebagai makhluk
dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu, manusia diikat
oleh nilai-nilai illahi (aksiologi), sehingga dalam pandangan FPI,
manusia merupakan makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi ditawarkan padanya
pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat. Dari sini dapat kita
simpulkan bahwa manusia itu makhluk alternatif (bebas) tetapi sekaligus terikat
(tidak bebas nilai).
Manusia adalah subyek pendidikan,
sekaligus juga obyek pendidikan. manusia dewasa yang berkebudayaan adalah
subyek pendidikan yang berarti bertanggung jawab menyelenggareakan pendidikan.
mereka berkewajiban secara moral atas perkembangan pribadi anak-anak mereka,
yang notabene adalah generasi peneruis mereka. manusia dewasa yang berkebudayaaan
terutama yang berprofesi keguruan (pendidikan) bertanggung jawab secara formal
untuk melaksanakan misi pendidikan sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai yang
dikehendaki ,masyarakan bengsa itu. Manusia yang belum dewasa, dalam proses
perkembangan kepribadiannya, baik menuju pembudayaan maupun proses kematangan
dan intregitas, adalah obyek pendidikan. Artinya mereka adalah sasaran atau
bahan yang dibina. Meskipun kita sadarai bahwa perkembangan kepribadian adalah self
development melalui self actifities, jadi sebagai subjek yang sadar
mengembangkan diri sendiri.Alam semesta adalah media pendidikan sekaligus
sebagai sarana yang digunakan oleh menusia untuk melangsungkan proses
pendidikan. [33]
Didalam alam semesta ini manusia tidak
dapat hidup dan “mandiri” dengan sesungguhnya. Karena antara manusia dan alam
semesta saling membutuhkan dan saling melengkapi antara satu dengan yang
lainnya. Dimana alam semesta ini butuh manusia untuk merawat dan memeliharanya
sedangkan manusia butuh alam semesta sebagai sarana berinteraksi dengan manusia
lainnya. Proses pendidikan yang berlangsung didalam antar aksi yang pluralistis
(antara subjek dengan lingkungan alamiah, sosial dan cultural) amat ditentukan
oleh aspek manusianya. Sebab kedudukan manusia sebagai subyek didalam
masyarakat, bahkan didalam alam semesta, memberikan konsekuensi tanggung jawab
yang besar bagi diri manusia. Manusia mengembang amanat untuk membimbing
masyarakat, memelihara alam lingkungan hidup bersama. bahkan manusia terutama
bertanggung jawab atas martabat kemanusiaannyu (human dignity).
Pendidikan berupaya untuk menumbuhkan
pemahaman dan kesadaran pada manusia, maka sangat urgen sekali untuk
memperhatikan konsep atau pandangan Islam tentang manusia sebagai makhluk yang
diproses kearah kebahagian dunia dan akhirat, maka pandangan Islam tentang
manusia antara lain:
Pertama, konsep Islam tentang manusia, khsusunya anak,
sebagai subyek didik, yaitu sesuai dengan Hadits Rasulullah, bahwa “anak
manusia” dilahirkan dalam fitrah atau dengan "potensi" tertentu.[34]
Dalam al-Qur'an, dikatakan
"tegakkan dirimu pada agama dengan tulus dan mantap, agama yang cocok
dengan fitrah manusia yang digariskan oleh Allah. Tak ada perubahan pada
ketetapan-Nya. Dengan demikian, manusia pada mulanya dilahirkan dengan
"membawa potensi" yang perlu dikembangkan dalam dan oleh
lingkungannya. Pandangan ini, "berbeda dengan teori bahwa manusia
dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu dengan membawa "potensi tabularasa
yang menganggap anak menerima "secara pasif" pengaruh lingkungannya,
sedangkan konsep fitrah mengandung "potensi bawaan" aktif [innate
patentials, innate tendencies] yang telah di berikan kepada setiap manusia oleh
Allah.[35]
Di samping itu, hal yang juga penting
implikasinya bagi pendidikan adalah tanggung jawab yang ada pada manusia
bersifat pribadi, artinya tidaklah seseorang dapat memikul beban orang lain,
beban itu dipikul sendiri tanpa melibatkan orang lain. Sifat lain yang ada pada
manusia adalah manusia diberi oleh Allah kemampuan al-bayan [fasih perkataan - kesadaran
nurani] yaitu daya untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui kemampuan
berkomunikasi dengan bahasa yang baik. Kedua,
peranan pendidikan atau pengarah perkembanagan. Potensi manusia yang dibawah
sejak dari lahir itu bukan hanya bisa dikembangkan dalam lingkungan tetapi juga
hanya bisa berkembang secara terarah bila dengan bantuan orang lain atau
pendidik. Dengan demikian, tugas pendidik mengarahkan segala potensi subyek
didik seoptimal mungkin agar ia dapat memikul amanah dan tanggung jawabnya baik
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, sesuai dengan profil
manusia Muslim yang baik. Ketiga, profil manusia Muslim. Profil dasar
seorang Muslim yang baik adalah ketaqwaan kepada Allah. Dengan demikian,
perkembangan anak haruslah secara sengaja diarahkan kepada pembentukan
ketaqwaan. Keempat, metodologi pendidikan. Metodologi diartikan sebagai
prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang,
khususnya pada proses belajar-mengajar. Maka, pandangan bahwa seseorang
dilahirkan dengan potensi bawaan tertentu dan dengan itu ia mampu berkembang
secara aktif dalam lingkungannya, mempunyai implikasi bahwa proses
belajar-mengajar harus didasarkan pada prinsip belajar siswa aktif [student
active learning].[36]
Jadi, dari pandangan di atas,
pendidikan menurut Islam didasarkan pada asumsi bawaan" seperti potensi
"keimanan", potensi untuk memikul amanah dan tanggung jawab, potensi
kecerdasan, potensi fisik. Karena dengan potensi ini, manusia mampu berkembang
secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan bantuan orang lain
atau pendidik secara sengaja agar menjadi manusia muslim yang mampu menjadi
khalifah dan mengabdi kepada Allah.
[3] Aba
‘Abd’l-Lah Muhammad bin Yazid al-Qazwayni, Sunan Ibn Majah, Juz I,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 87.
[4]
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz II, (Bandung: Dahlan, tt), hal. 458.
[6]
Baihaqi AK, Pendidikan Agama dalam Keluarga, Cet. I, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1996), hal. 26
[7]
Baihaqi, Mendidik Anak dalam Kandungan Menurut Ajaran Islam, (Jakarta:
Darul Ulum Press, 2001), hal. 53.
[8] Tim
Dosen FIK-IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, (Surabaya:
Usaha Nasional, 1988), hal. 126.
[9]
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teroritis dan Praktis
Bersadarkan Pendekatan Indisipliner, Cet. IV, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996),
hal. 116.
[11]
M.I. Soelaeman, Suatu Telaah Tentang Manusia, Religi Pendidikan,
(Jakarta: Depdikbud. Dirjen. Dikti., PPLTK, 1998), hal. 100.
[13]
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992),
hal. 29.
[16]
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan
Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 39.
[17]
Endang Soenarya, Pengantar: Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan
Pendekatan Sistem, cet. I, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), hal.
2-3.
[18]
obert F. Mager, Preparing Instructional Objectives, (Belmont,
California: Feamon Publisher, 1962), hal. 3
[19] Muhammad Hadi ‘Afifi, al-Tarbiyah wa al-Taghayyur al-Tssaqafiy,
(Cairo: Anjalu Misriyyah), hal. 67.
[20] .
Jr. Lewis, Appraising Teachers Performance, (West Nyache, N.Y.: Parker
Publishing Co., 1973), hal. 104.
[22]
Muhammad Ziad Hamdan, Taqyîm al-Ta‘allum; Asasuhu wa al-Tatbiqatuhu,
(Dar ‘Ilm li al-Malayin, 1980), hal. 28.
[23]
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Islam Versi Al-Ghazali,
(terj. Fathurrahman May dan Syamsuddin Asyrafi), (Bandung: Al-Ma‘arif, 1986),
hal 25.
[24] B.
Simanjuntak, Sumber-Sumber Hukum Positif, (Jakarta: Alumni, 1994), hal.
41.
[25]
Bidianto, Kewarganegaraan, (Jakarta: Erlangga, 2004), hal. 4.
[26]Abdurrahman
An-Nahlawi, Pendidikan Islam, (Jakarta: GIP, 1995), hal. 28.
[29].
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam…, hal. 25.
[30]
Fuad Ikhsan, Dasar-dasar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal.
4.
[31] Ibid.,
hal. 5.
[32]
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam…, hal. 30.
[33]
H.M. Arifin, M. Ed., Filsafat Pendidikan Islam,Cet. VI, ( Jakarta: PT Bumi Aksara, 2000), hal. 38.
[35]
Noor Syam, Mohammad, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filasafat Pendidikan
Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), hal. 34.