Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Konsep Pendidikan Nilai Dalam Perspektif Islam


BAB III

Konsep Pendidikan Nilai Dalam Perspektif Islam


A.    Hakikat dan Dasar Pendidikan Nilai Dalam Perspektif Islam

Pendidikan nilai, moral dan etika merupakan hidden curriculum yang secara integral terkait dengan hampir semua mata pelajaran sekolah. Keberhasilan menanamkan dan menumbuhkembangkan nilai-nilai tersebut tergantung dari peranan pendidik (guru) yang mendukung sistem penyelenggaraan pendidikan sekolah dan sejauh mana komitmen masyarakat dan pemerintah dalam memberikan teladan kepada anak-anak.[1]
Pendidikan nilai tidak dapat dilaksanakan dengan pengajaran di tengah-tengah pelanggaran moral dan anomali yang terus terjadi seperti sekarang ini. Musuh utama pendidikan nilai ialah birokrasi yang korup dan serakah, politisi yang berperilaku ”seperti preman”, konglomerat (pengusaha) yang merampas hak-hak ekonomi rakyat, para pendidik yang menempatkan siswi-siswi sebagai ”sapi perah”, para selebritis yang gonta-ganti pasangan, dan eneka macam penyakit moral. Pendidikan nilai tidak sebatas pada teori dan pengajaran, tetapi harus disertai dengan perilaku hidup.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa nilai adalah sesuatu yang sangat urgen baik secara psikologis, sosial, etika dan estetika yang selalu didambakan oleh setiap insan yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian relevansi dengan kajian ini maka nilai yang hendak dibentuk atau diwujudkan dalam peribadi anak didik sehingga fungsional dan aktual dalam prilaku muslim, adalah nilai Islami yang melandasi moralitas (akhlak).
Islam memberikan sistem nilai dan moral yang dikehendaki oleh Allah Swt. Yang harus diimplementasikan dalam amal prilaku hamba-Nya dalam masyarakat. Sistem nilai dan moral dimaksud adalah suatu keseluruhan tatanan yang terdiri dari dua atau lebih dari komponen yang satu sama lain saling mempengaruhi atau bekerja dalam satu kesatuan atau keterpaduan yang bulat yang berorientasi pada nilai dan moralitas Islami. Jadi di sini tekanannya pada action system.[2]
Mengingat suatu pendidikan adalah proses pendewasaan anak manusia baik intelektual, emosional maupun spiritual dan akan sangat berpengaruh pada masa depan peserta didik, negara, bangsa dan agama maka harus dilakukan terprogram, sistematis terpadu dan integral. Demikian halnya dengan landasan baik operasional maupun yang lainnya. Sesuatu yang naif bila membicarakan pendidikan Islam namun tercerabut dari landasan esensial yaitu nash (al-Qur’an dan al-Hadits), maka berikut ini adalah sebahagian ayat dan hadits yang dianggap dapat mewakili yang lain dan menjadi dasar pendidikan nilai dalam Islam.
1.     Dasar Al-Qur’an
Sebagaimana dimaklumi bahwa al-Qur’an adalah landasan utama setiap aktivitas umat Islam, aturannya mencakup semua aspek hidup dan kehidupan dan bersifat universal. Demikian juga terhadap permasalahan pendidikan, banyak ayat-ayat al-Qur’an yang berindikasi kepadanya, diantaranya adalah Surat Luqman ayat 13-14:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ, وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ) لقمان: ١٣ -١٤(
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (Q.S. Luqman: 13-14)

Tujuan atau orientasi pendidikan Islam adalah pemahaman dan internalisasi nilai sesuai dengan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 187:
وَإِذَ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاء ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْاْ بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ) آل عمران: ١٨٧(
Artinya:   Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima. (Q.S. Ali Imran: 187)

Landasan naqli (nash) al-Qur’an tersebut barulah sebagian kecil indikasi dan sinyalemen tentang urgensitas sebuah pendidikan dalam keluarga. Nukilan tersebut hanya sebagai dalil dan bukti konkrit bahwa al-Qur’an dengan jelas membicarakan masalah tersebut.
2. Landasan al-Hadits
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة (رواه إبن ماجه(
Artinya:   Dari Anas bin Malik Ra. Berkata, Rasulullah Saw. Bersabda “Menuntut ilmu itu adalah fardlu atas setiap muslimim dan muslimat” (H.r. Ibn Majah).[3]

Sesuai dengan hadits di atas bahwa menuntut ilmu pengetahuan merupakan kewajiban bagi kaum Muslimin dan muslimat secara kontinuitas, sebagai amanah Allah yang telah diwajibkan kepada mereka. Kewajiban belajar tersebut berimplikasi pada adanya suatu lembaga yang dapat mengimplementasikan perintah tersebut. Maka kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan formula di rumah tangga di-taklif-kan atas orang tua sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
عن أبي هريرة رضى الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أوينصرانه أو يمجسانه (رواه البخارى)
Artinya:   “Dari Abu Hurairah (ra) Rasulullah SAW bersabda: “tidak seorang anak pun yang baru lahir kecuali dia bersih, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani dan Majusi.”(HR.Bukhari).[4]

Hadits tersebut di atas menunjukkan orang tua mempunyai peranan penting dalam mendidik anak dan keluarga, sebab kedua orang tuanya yang akan mewarnai anaknya dengan Yahudi, Nasrani maupun Majusi. Dominasi peran orang tua dalam pendidikan anak merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, maka konsekwensinya adalah anak sebagai hamba lemah selalu membutuhkan orang dewasa untuk mendidik dan membimbingnya ke arah kedewasaan dan intelektualitas. Dengan bahasa lain lingkungan keluarga mendominasi perubahan prinsip, sikap dan sifat anak, maka jika lingkungan keluarga baik otomatis potensi kebaikan yang ada pada diri anak akan terus berkembang demikian juga sebaliknya.
Kewajiban belajar juga dapat dipahami melalui penelaahan hadits sebagai berikut:
عن ابن عمر رضىالله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ...الرجل راع فى أهله ومسؤول عن رعيته والمرأة راعية فى بيت زوجها ومسؤولة عن رعيتها (رواه البخارى و مسلم(

Artinya: Ibnu Umar r.a berkata, Rasulullah Saw Bersabda, ...suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan bertanggungjawab terhadap mereka. seorang isteri adalah pemimpin rumah tangga, suami dan anak-anaknya, dia akan bertanggungjawab terhadap mereka (HR. Bukhari, Muslim)[5]

Dari hadits di atas, dapat dipahami bahwa pembelajaran harus diberdayakan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh kedua orang tuanya. Taklif yang dipikulkan kepada laki-laki (ayah) dan perempuan (ibu) berupa tanggung jawab atas keselamatan diri, anak, harta dan segala sesuatu yang menjadi miliknya atau yang diamanahkan kepadanya. Tanggung jawab tersebut juga meliputi kesehatan, kesejahteraan fisik, mental moral serta kebahagiaan yang bersifat ukhrawi.[6]
Mencermati ayat-ayat maupun hadits di atas, dapat diketahui bahwa konsep belajar sejak dari rumah tangga dalam perspektif Islam telah dicanangkan bersamaan dengan tugas Nabi Muhammad sebagai Rasulullah. Melihat kenyataan ini konsep belajar sepanjang hayat versi Barat (UNESCO) baru terfikirkan sejak tahun 1970 yang disebut sebagai Tahun Pendidikan Internasional, yang bersumber dari gagasan Paul Lengrand dan Laporan Faure 1972. Pada dekade 1980-an muncul gagasan lebih baru lagi dari life long education, menjadi no limits to study, belajar tanpa batas.[7] Latar belakang yang mendorong konsep ini adalah perubahan konseptualisasi sekolah yang tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya tempat atau masa untuk belajar, tetapi sekolah adalah salah satu mata rantai dari konsep belajar sepanjang hayat tersebut.
Sedangkan dalam operasional aplikasi dalam tataran Negara Indonesia pendidikan sejak usia dini dalam lingkungan tri pusat pendidikan (rumah tangga, sekolah dan masyarakat) adalah sebagai mana disebutkan dalam TAP MPR No. IV/MPR/1973 jo TAP MPR No. IV/MPR/1978, tentang GBHN dalam Bab IV Bagian Pendidikan ditetapkan: Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat.[8]
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa baik secara normatif religius maupun operasional pendidikan agama dalam rumah tangga, sekolah dan masyarakat mendapat jaminan dan kekuatan hukum positif manusiawi serta agama ilahiyah. Karenanya tiada alasan bagi orang tua untuk tidak melaksanakannya bahkan pendidikan itu merupakan kewajiban dan kebutuhan.
B.    Sistem Pendidikan Nilai Dalam Perspektif Islam

Sistem nilai atau moral yang dijadikan kerangka acuan yang menjadi rujukan cara berprilaku lahirian dan rohaniah manusia muslim adalah nilai dan moralitas yang dijarkan oleh agama Islam sebagai wahyu Allah, yang diturunkan kepada utusann-Nya Muhammad Saw. Nilai dan moralitas Islami adalah bersifat integral tidak terpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang satu sama lainnya berdiri sendiri. Suatu kebulatan nilai dan moralitas itu mengandung aspek normatif (kaidah, pedoman) dan operatif (menjadi landasan amal perbuatan). Pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu dapat dianalisis dari segi sistemik atau pendekatan sistem. Dari segi ini pendidikan Islam dipandang sebagai rposes melalui sistem yang terdiri dari sub-sub sistem atau komponen-komponen yang berkaitan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam.[9] Konsep dan pemikiran tersebut terinspirasi dari fenomena gerakan yang sistematik seperti yang terdapat dalam mekanisme benda-benda samawi secara makrokosmik dan dalam tubuh manusia sendiri secara mikrokosmik.
Orientasi pendidikan Islam adalah kebutuhan umat manusia yang mendambakan kemajuan yang mensejahterakan hidupnya masa kini dan masa depan sampai hidup di alam akhirat. Watak ilmu pendidikan Islam adalah sistematis dan konsisten menuju arah tujuan yang hendak dicapai. Untuk itu maka pendidikan Islam membutuhkan pemikiran sistematik dan mengarahkan prosesnya dalam sistem-sistem yang aspiratif terhadap kebutuhan umatnya. Bila tidak demikian maka, akan timbul gangguan dan hambatan teknis operasional yang dapat menghilangkan orientasinya yang benar. Pendidikan berfungsi untuk menumbuh kembangkan potensi subjek didik ke arah yang positif, meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam proses pendidikan dewasa ini terlihat adanya ketimpangan antara pendidikan nilai dengan pendidikan keilmuan dan ketrampilan. Akibatnya muncul beberapa fenomena sosial yang memprihatinkan, prilaku menyimpang, tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan dan tidak sesuai dengan norma-norma sebagai warga negara yang baik.[10]
Gejala tersebut menunjukkan kegagalan pendidikan nilai keagamaan. Memang sebagaimana diungkapkan oleh M.I. Soelaeman bahwa kebijakan mengenai pendidikan religi hanya diberikan “pendidikan tentang religi” dan tidak “pendidikan religi” ataupun pendidikan ke arah kehidupan religius. Religi ditempatkan di luar pribadi manusia, tidak terjamah oleh pribadinya, tidak dipersonisasikannya dan tidak direalisasikan dalam prilaku keseharian melainkan sekedar menjadi hiasan intelektual belaka.[11]
Pandangan “objective oriented” (berorientasi pada tujuan) mengajarkan bahwa tugas guru yang sesungguhnya bukanlah mengajarkan ilmu atau kecakapan tertentu pada anak didiknya saja, akan tetapi juga merealisir atau mencapai tujuan pendidikan. Ultimate goals (sasaran utama) pendidikan merupakan sentral dalam proses pendidikan, karena tanpa tujuan yang jelas proses pendidikan akan berjalan tidak efektif dan tidak efisien, kepentingan ini dapat dipelajari dari firman Allah SWT.
فايـن تــذهبـــون ) التكوير: ٢٦ (
Artinya: Maka kemanakah kalian akan pergi? (Q.S. al-Takwir: 26).
Firman Allah ini pada prinsipnya ditujukan kepada orang-orang kafir yang tidak insyaf akan tujuan hidupnya. Begitulah urgensitas tujuan dari sesuatu, bila tidak jelas sasaran dari apa yang dimaksud, maka akan sesat di tengah jalan.
Istilah “tujuan” atau “sasaran” atau “maksud”, dalam bahasa Arab dinyatakan dengan ghayah atau ahdaf atau maqasid. Sedangkan dalam bahasa Inggris, istilah “tujuan” dinyatakan dengan “goal atau purpose atau objective atau aim”.[12] Secara umum istilah-istilah itu mengandung pengertian yang sama, yaitu perbuatan yang diarahkan kepada suatu tujuan tertentu, atau arah, maksud yang hendak dicapai melalui upaya atau aktifitas.
Tujuan itu sendiri, menurut Zakiah Daradjat, adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai.[13] Sedangkan menurut H.M. Arifin tujuan itu bisa jadi menunjukkan kepada futuritas (masa depan) yang terletak suatu jarak tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan usaha melalui proses tertentu.[14] Perumusan tujuan pembelajaran berfungsi sebagai pengarah kegiatan dan sebagai tolak ukur efektivitas pencapaian hasil kegiatan tersebut, bahwa dengan adanya kejelasan rumusan tujuan maka dapat diketahui telah sejauhmana tingkat perubahan tingkah laku, sebagaimana dirumuskan dalam tujuan pembelajaran. Meskipun terjadi variasi tentang pengertian tujuan, akan tetapi pada umumnya pengertian itu berpusat pada usaha atau perbuatan yang dilaksanakan untuk suatu maksud tertentu.
Hery Noer Aly misalnya menuliskan tujuan pendidikan adalah mengakhiri usaha pendidikan. Apabila tujuannya telah tercapai, maka berakhir pula usaha tersebut.[15] Dengan demikian usaha membimbing yang terhenti sebelum sampai ke tujuan, termasuk usaha yang gagal, yang antara lain dapat disebabkan oleh tidak jelasnya rumusan tujuan pendidikan. Maka karena itu perlu rumusan tujuan pendidikan. Bentuk dan isi rumusan atau formulasi tujuan pendidikan bagi setiap bangsa berbeda. Perbedaan itu disesuaikan dengan sistem nilai yang terkandung dalam aspek-aspek kehidupan suatu bangsa dalam kurun waktu tertentu.[16] Walaupun demikian, minimal terdapat tiga persamaan dari setiap tujuan pendidikan, yaitu untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan memperbaiki atau bahkan mengubah sikap peserta didik.[17]
Keragaman rumusan tersebut merupakan hal yang kondisional dan situasional, namun kejelasan sebuah tujuan mutlak diperlukan hal ini dijelaskan oleh Robert Mager “jika tujuan pendidikan tidak dibatasi dengan jelas maka ketetapan dan program mustahil berjalan dengan efektif, di samping itu kita tidak memiliki dasar yang kuat untuk menyusun materi pelajaran, cakupan dan metode pengajaran yang cocok”.[18] Namun dalam perumusan tujuan pembelajaran juga perlu memperhatikan potensi sumberdaya yang ada baik sumber daya manusianya maupun ketersediaan sarana dan prasarananya. Penggunaan sarana yang tidak tepat, kesulitan bahkan, kekeliruan, kegagalan disebabkan ketidak jelasan tujuan pendidikan.[19]Secara lebih rinci, manfaat pembatasan tujuan adalah:
Pertama, Mengembangkan arah perencanaan proses pendidikan yang baik dan bermutu yang akan membangkitkan kesungguhan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, kedua, Menyusun kekuatan antara berbagai instansi dan pihak terkait yang ikut berperan dalam membangun manusia, yang terpenting di antaranya adalah rumah, sekolah, media informasi serta lembaga budaya, olah raga dan seni. ketiga, Membatasi materi dan cakupan pengajaran, sarana dan metode yang cocok serta segala kegiatan latihan dan praktek lapangan. Memperbaiki komunikasi bagian-bagian administrasi, transparansi dan membangunnya di antara para guru dengan administrasi sekolah di satu sisi dan dengan administrasi pengajaran di sisi lain.[20] Keempat, Mengevaluasi, memperbaiki dan mengembangkan metode, evaluasi tidak akan sempurna kecuali dengan adanya tujuan pendidikan yang ingin dicapai, dengannya dimungkinkan menentukan kekurangan dan kelebihan serta mana yang harus diatasi, diperbaiki dan dikembangkan.[21] Kelima, Mengevaluasi kemampuan siswa dalam melakukan aktivitas dan kegiatan yang disukainya sebagai proses pembelajaran. Karena test merupakan stasiun utama jalur belajar. Test yang diberikan adalah sebagai umpan balik (feed beck) bagi guru, siswa dan orang tua tentang keberhasilan mereka dalam mewujudkan tujuan pembelajaran dari cakupan yang diberikan yang selanjutnya mewujudkan tujuan pendidikan yang saling terkait. Tujuan pendidikan membantu guru dan siswa menyusun waktu dan jadwal kegiatan sesuai dengan tujuan tersebut serta tatacara mencapainya.[22]
Berdasarkan uraian di atas nyatalah pentingnya pembatasan tujuan pendidikan, baik tujuan umum maupun tujuan khusus pada setiap strata dan jenis pendidikan bahkan setiap materinya, sebagaimana pentingnya menjaga keselarasan dan susunan serta saling isi antara tujuan umum dan pembentukan dasar dari falsafah sosial dan pengertiannya serta tujuan khusus tiap tingkat pendidikan dan materi pelajaran.
Menurut Iman Ghazali, tujuan pendidikan yaitu membentuk insan pari purna, baik di dunia maupun di akhirat.[23] Lebih lanjut dikatakan bahwa manusia dapat mencapai kesempurnaan apabila berusaha mencari ilmu dan selanjutnya mengamalkan fadilah melalui ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Fadhilah ini selanjutnya dapat membawanya dekat kepada Allah dan akhirnya membahagia-kannya hidup di dunia dan di akhirat.
Berdasarkan paparan tersebut maka, pendidikan Islam merupakan suatu proses yang dilakukan secara terpogram dan sistematis. Dengan demikian manajemen terhadap unsur-unsur atau komponen-komponen pendidikan harus berjalan sinergis mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Secara konseptual tujuan sebuah pendidikan sangat dipengaruhi oleh idiologi dan falsafah lembaga. Namun demikian esensinya harus menumbuh kembangkan dan memperkuat iman serta mendorong kepada kesadaran beragama dengan mengamalkan ajarannya. Secara umum dan ringkas dapat dikatakan bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam itu harus mengandung berbagai aspek pembinaan manusia seutuhnya, sehingga nantinya ia dapat hidup dengan baik sebagai manusia Pancasilais yang bertaqwa kepada Allah menurut ajaran Islam.
C.    Konsep Pendidikan Nilai dalam Perspektif Islam

Pengertian “nilai” sangat beraneka ragam, tergantung pada benda atau keadaan yang dinilai. Nilai moral dengan nilai budaya misalnya, kedua-keduanya mempunyai pengertian yang berbeda satu dengan yang lainnya. Demikian juga pengertian nilai kegamaan dengan nilai nominal mempunyai pengertian yang berbeda, meskipun kedua hal tersebut pada awalnya terdapat kata nilai. Menurut Simanjuntak, “nilai adalah gagasan-gagasan masyarakat tentang sesuatu yang baik. Nilai bukanlah keinginan, tetapi apa yang diinginkan. Artinya nilai itu bukan hanya diharapkan tetapi diusahakan sebagai suatu yang pantas dan benar bagi diri sendiri dan orang lain”.[24]
Selanjutnya Notonegoro dalam Budianto membagi nilai ke dalam beberapa bagian yang satu dengan lainnya saling berhubungan, yaitu: “Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kebutuhan fisik manusia. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani (bathin) manusia. Nilai kerohanian dibagi lagi menjadi nilai kebenaran, nilai keindahan, nilai moral, dan nilai regelius”.[25]
Semua nilai tersebut diperlukan bagi manusia dalam mengarungi kehidupan dengan sesama dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut merangkum dalam suatu pelajaran baik pelajaran agama Islam maupun pelajaran yang lainnya yang ada diajarkan di sekolah. Dengan memasukkan unsur-unsur ajaran agama mengenai nilai ini diharapkan siswa dapat dengan mudah menyusuaikan diri dengan lingkungannya dan berinteraksi dengan baik dalam masyarakat.
Nilai-nilai yang tercakup dalam nilai Islami yang merupakan komponen atau subsistem adalah sebagai berikut:
1.  Sistem nilai kultural yang senada dan senafas dengan Islam
2. Sistem nilai sosial yang memiliki nilai mekanisme gerak yang berorientasi kepada kehidupan sejahtera dunia dan akhirat
3. Sistem nilai yang bersifat psikologis dari masing-masing individu yang di dorong oleh fungsi-fungsi psikologinya untuk berprilaku secara terkontrol oleh nilai yang menjadi sumber rujukannya yaitu Islam
4. Sistem nilai tingkah laku dari makhluk (manusia mengandung interkomunikasi dengan yang lainnya). Tingkah laku ini timbul karena adanya tuntunan dari kebutuhan mempertahankan hidup yang banyak diwarnai oleh nilai-nilai motivatif dalam pribadinya.
Daya pancar dari sistem nilai yang menerangi moralitas umat manusia menurut pandangan Islam adalah bersumber dari cahaya Allah yang digambarkan dalam surat Al-Maidah ayat 15, yaitu sebagai berikut:
Ÿيَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيراً مِّمَّا كُنتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ قَدْ جَاءكُم مِّنَ اللّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُّبِينٌ) المائدة: ١٥(
Artinya: Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. (Q.S. Al-Maidah: 15).

            Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi masyarakat Islam. Karenanya konsep pendidikan Qur’ani merupakan suatu aplikasi penyelenggaraan pendidikan yang paling pokok menurut ketentuan Islam. Dengan itu dapatlah diketahui bahwa penyelenggaraan pendidikan dalam agama islam merupakan penjabaran dari kaidah-kaidah pendidikan yang terkandung dari al-Qur’anul Karim.
            Dalam al-Qur’an banyak terdapat metode pendidikan yang efektif serta sesuai dengan akal pikiran manusia dengan memberikan berbagai contoh pendidikan yang dapat diamati oleh manusia melalui berbagai kejadian alam yang konkrit dapat dilihat. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh An Nahlawi, bahwa "Kelebihan al-Qur’an, di antaranya terletak pada metode yang menakjubkan dan unik sehingga dalam konsep pendidikan yang terkandung didalamnya, al-Qur’an mampu menciptakan individu yang beriman dan senantiasa meng-Esakan Allah, serta mengimani hari akhir."[26]
Al-Qur’an telah memberikan kepuasan penalaran yang sesuai dengan kesederhanaan dan fitrah manusia tanpa unsure paksaan dan disisi lain disertai dengan mengutamakan afeksi dan emosi manusiawi. Dengan demikian al-Qur’an mengetuk akal dan hati sekaligus. "al-Qur’an mengawali konsep pendidikannya dari hal yang sifatnya kongkrit, seperti hujan, angina, tumbuh-tumbuhan, guntur ataupun kilat menuju kepada hal yang abstrak, seperti keberadaan, kebesaran dan kekuasaan serta berbagai sifat kesempurnaan Allah."[27]
Penyajian materi tersebut kadang-kadang menggunakan metode-metodenya, baik untuk tujuan mengkrtik maupun mengingatkan, atau menggunakan metode untuk menyebutkan keindahan, atau hal lain yang dapat menggali emosi rabbaniyah dalam diri seseorang, seperti ketundukan, rasa syukur serta mahabbah dan kekhususan kepada Allah. Kemudian al-Qur’an menampilkan masalah ibadah dan prilaku ideal sebagai aplikasi praktis akhlak rabbaniah.
            Berdasarkan kutipan di atas dapatlah diketahui konsep pendidikan melalui metode al-Qur’an dapat mempengaruhi emosi anak didik tanpa melalui pemaksaan atau doktrinisasi. Karena konsep pendidikan menurut Qur’ani sesuai dengan fitrah manusia mudah untuk dicerna dan tidak berbelit-belit karena penyampaian pendidikan menurut Qur’ani sesuai dengan jiwa manusia dan selaras dengan psikologi pendidikan modern.
            Dengan demikian metode tersebut sangat sesuai dengan apa yang dewasa ini digembar-gemborkan para psikolog dalam menggali unsur efeksi manusia. Lewat metode Qur’ani, ketika kita berulang-ulang memberi suatu materi, kita akan merasakan bahwa metode tersebut berhasil mempengaruhi emosi yang dilengkapi pengalaman prilaku sehingga dalam diri seseorang tumbuhlah kesiapan emosi yang jika sewaktu-waktu materi yang bersangkutan disentuh, emosi tersebut akan kembali muncul. Itulah pengalaman emosional yang hanya kita peroleh dari metode Qur’ani. Menurut Abdurrahman An Nahlawi, mengemukakan bahwa "Jika perilaku ideal tersebut dilengkapi dengan sifat efeksi, artinya pendidikan telah berperan dalam penyatuan jiwa dan menggali potensi seorang manusia sehingga menjadi manusia yang berkualitas."[28]
Menurut konsepsi pendidikan Qur’ani, manusia merupakan makhluk yang berpotensi mendapatkan pendidikan. Seseorang tidak akan memperoleh ilmu pengetahuan atau tidak akan bisa mendidik jika dia tidak dapat membaca. Karena pendidikan merupakan suatu unsure yang sangat penting bagi manusia dalam memahami agama. Sehingga membaca itu merupakan prioritas utama dalam konsep pendidikan Qur’ani. Ayat al-Qur’an yang pertama diturunkan menyuruh manusia membaca.
Menurut An Nahlawi memberikan konsepsi pendidikan dalam al-Qur’ani berorientasi kepada hal-hal sebagai berikut.
1.     Islam memiliki kejelasan pikiran yang menjadi landasan hidup seseorang muslim. Artinya seorang muslim menganut pikiran tersebut, mempercayainya, mengikuti perintahnya, dan menyerukannya secara hati-hati. Karena hanya pikiran itulah yang mengontrol segala prilaku dan perbuatan manusia;
2.     Islam memiliki kelogisan aqidah dan kesesuaiannya dengan fitrah, akal dan jiwa manusia.
3.     Islam memiliki objek keyakinan yang jelas karena disajikan secara memuaskan lewat al-Qur’an yang dengannya manusia akan menyajikan realitas sebagai bahan perenungan serta mengantarkan manusia pada pengetahuan tentang kekuasaan dan ke-Esaan Allah sesuai tabi’at psikologis dan fitrah manusia. Jika seseorang manusia merenungkan firman Allah, ia akan menemukan bahwa al-Qur’an menjadikan dirinya sebagai bahan renungan sehingga dia mampu melihat bagaimana Allah menciptakan dirinyadari segumpal darah, mengajarinya membaca, menulis atau mendayagunakan semesta dan dapat mendidik, serta bagaimana Allah menciptakan dan membentuk dirinya dari dalam rahim ibu melalui beberapa fase perkembangan hingga posturnya menjadi sempurna sekarang dan lahir dalam keadaan tidak mengetahui apapun, kemudian dewasa hingga  tiba-tiba menjadi musuh yang nyata.
4.      Jika ada di antara kita yang bertanya-tanya, mengapa Al-Qur’an menggunakan dialek yang menyentuh perasaan dan emosi serta membahas akal dan pengalaman yang mampu mengalirkan air mata dan menimbulkan getaran hati tatkala semuanya diungkapkan secara berulang-ulang, terutama tentang alam semesta dan diri? sesungguhnya pengulangan gambaran alam semesta dan manusia serta variatif dalam berbagai kondisi tidak hanya untuk mengenal aspek budaya kepada manusia atau untuk di kompetisikan dengan budaya atau filsafat lain agar keunggulan logika Al-Qur’an dapat dipertahankan dan kemampuan argumentasinya mampu mengalahkan budaya lain, atau dimaksudkan untuk melatih akal manusia melalui penghafalan dan pemahamannya. Lebih dari itu metode tersebut menjadi gerak pikiran dan perasaan yang kemudian menjadi berkembang menjadi kekuatan yang mendorong realisasinya dalam dunia realita. Tegasnya agar manusia mewujudkan penghambaannya kepada Allah yang tidak menjadi gambaran semesta yang mengagumkan ini kecuali sebagai peringatan bagi manusia yang tidak takut.[29]

            Pendidikan adalah sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi. Potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuia dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan.[30]Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus sepanjang hayat. tanpa pendidikan sama sekli mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtra, dan bahagia di dunia dan di akhirat kelak.[31]
               Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan nilai adalah nilai yang mencakup keseluruhan aspek sebagai pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar mnyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan, melalui proses pertimbangan nilaiyang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten.
            Seacara umum, pendidikan nilai dimaksudkan untuk membantu peserta didik agar memahami, menyadari, dan mengalami niali-nilai serta mampu manempatkannya secara integral dalam kehidupa. Untuk sampai pada tujuan dimaksud, tindakan-tindakan pendidikan yang mengarah pada prilaku yang baik dan benarperlu diperkenalkan oleh para didik. Dalam proses pendidikan nilai, tindakan-tindakan pendidikan yang lebih spesifik dimaksud untuk mencapai tujuan yang lebih khusus. Pendidikan nilai secara khusus ditujukan untuk:
a.      Menerapkan pembentukan nilai kepada anak.
b.     Menghasilakn sikap yang mencerminkan nilai-nilaiyang diinginkan.
c.      Membimbing prilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut.
Dengan demikian, tujuan pendidikan nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan prilaku-prilaku yang berniali. Pendidikan nilai sebagai ilmu memiliki karakter. Disebut karakter karena melalui pendidikan nilai kita dapat bersikap kritis, analitik, dan selektif terhadap “harga” nilai yang terdapat dalam filsafat dan ilmu pengetahun. Kita dapat mempertanyakan kembali “harga” nilai, moral, etika, dan estetika yang telah dikembangkan  melalui filsafat dan ilmu pengetahuan.
Pendidikan nilai sebagai ilmu sekurang-kurangnya memiliki tiga fungsi. Fungsi ini tidak dapat dipisahkan dari karakter keilmuan seperti yang telah dikemukakan diatas. Tiga fungsi tersebut adalah:
a.            Fungsi seleksi terhadap nilai terdapat dalam filsafat. Fungsi ini menempatkan ahli pendidikan nilai untuk senantiasa menata kerangka dan garis berfikir filosofisnya untuk dapat mengartikulasikan nilai-nilai unggul yang terdapat dalam filsafat bangsa, filsafat yunani, dan filsafat pendidikan agama. Fungsi ini juga berkenaan dengan penelaahan “harga” nilai-niali yang terdapat dalam diskursus hakikat manusia, hakikat pengetahuan, dan terhadap teori dan tindakan pendidikan nilai.
b.           Fungsi seleksi terhadap nilai dalam ilmu pengetahuan. Fungsi ini menempatkan ahli pendidikan nilai untuk selalu cermat dalam menelaah perkembangan ilmu pengetahuan beserta implikasi-implikasinya terhadap praktik pendidikan.
c.            Fungsi seleksi terhadap nilai dalam teori pendidikan. Fungsi ini menempatkan ahli dan praktisi pendidikan nilai untuk cermat dalam memilih teori pndidikan yang sesuai dengan kebutuhan penyadaran nilai. Perkembangan pemikiran tentang penddidikan yang berakar dari filsafat pendidikan yunani, tidak hanya berpengaruh terhadap pemaknaan nilai ilmu pengetahuan, tetapi juga sampai pada pemahaman tentang teori-teori pendidikan. Pada wilwyah fungsional ini, muncul beragam teori pendidikan dengan tekanan yang berbeda-beda. Jika dipilih berdasarkan esensi nilai yang dikembangkan, ada teori yang menekankan pada pengembangan nilai humanistik yang pada gilirnnya melahirkan model pendidikan liberal yang berbasis nilai kemanusiaan, ada juga yang bersumber pada wahyu yang kemudian melahirkan model pendidikan agama yang berbasis pada nilai ketuhanan.[32]

Landasan pendidikan nilai yang akan diketengahkan tertera atas empet bagian, yaitu: landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosiologis, dan landasan estetik. Landasan filosofis mengetengahkan akar pemikiran tentang hakikat manusia dari perspektif filsafat. Landasan psikologis menjelaskan aspek-aspek psikis     
D.    Eksistensi dan Perkembangan Pendidikan Nilai Dalam  Perspektif Islam

Pemikiran filsafat mencakup ruang lingkup yang berskala makro yaitu: kosmologi, ontology, philosophy of mind, epistimologi, dan aksiologi. Untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia dalam pandangan filsafat pendidikan, maka setidaknya karena manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos). Berangkat dari situ dapat kita ketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang pada hakekatnya sebagai abdi penciptanya (ontology). Agar bisa menempatkan dirinya sebagai pengapdi yang setia, maka manusia diberi anugerah berbagai potensi baik jasmani, rohani, dan ruh (philosophy of mind).
Sedangkan pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam hal memperoleh pengetahuan itu berlajan secara berjenjang dan bertahap (proses) melalui pengembangan potensinya, pengalaman dengan lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan (epistimologi), oleh karena itu hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua makhluk ciptaan Allah dan hubungan dengan Allah sebagai pencita seluruh alam raya itu harus berjalan bersama dan tidak bisa dipisahkan. Adapun manusia sebagai makhluk dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu, manusia diikat oleh nilai-nilai illahi (aksiologi), sehingga dalam pandangan FPI, manusia merupakan makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi ditawarkan padanya pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa manusia itu makhluk alternatif (bebas) tetapi sekaligus terikat (tidak bebas nilai).
Manusia adalah subyek pendidikan, sekaligus juga obyek pendidikan. manusia dewasa yang berkebudayaan adalah subyek pendidikan yang berarti bertanggung jawab menyelenggareakan pendidikan. mereka berkewajiban secara moral atas perkembangan pribadi anak-anak mereka, yang notabene adalah generasi peneruis mereka. manusia dewasa yang berkebudayaaan terutama yang berprofesi keguruan (pendidikan) bertanggung jawab secara formal untuk melaksanakan misi pendidikan sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai yang dikehendaki ,masyarakan bengsa itu. Manusia yang belum dewasa, dalam proses perkembangan kepribadiannya, baik menuju pembudayaan maupun proses kematangan dan intregitas, adalah obyek pendidikan. Artinya mereka adalah sasaran atau bahan yang dibina. Meskipun kita sadarai bahwa perkembangan kepribadian adalah self development melalui self actifities, jadi sebagai subjek yang sadar mengembangkan diri sendiri.Alam semesta adalah media pendidikan sekaligus sebagai sarana yang digunakan oleh menusia untuk melangsungkan proses pendidikan. [33]
Didalam alam semesta ini manusia tidak dapat hidup dan “mandiri” dengan sesungguhnya. Karena antara manusia dan alam semesta saling membutuhkan dan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Dimana alam semesta ini butuh manusia untuk merawat dan memeliharanya sedangkan manusia butuh alam semesta sebagai sarana berinteraksi dengan manusia lainnya. Proses pendidikan yang berlangsung didalam antar aksi yang pluralistis (antara subjek dengan lingkungan alamiah, sosial dan cultural) amat ditentukan oleh aspek manusianya. Sebab kedudukan manusia sebagai subyek didalam masyarakat, bahkan didalam alam semesta, memberikan konsekuensi tanggung jawab yang besar bagi diri manusia. Manusia mengembang amanat untuk membimbing masyarakat, memelihara alam lingkungan hidup bersama. bahkan manusia terutama bertanggung jawab atas martabat kemanusiaannyu (human dignity).
Pendidikan berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran pada manusia, maka sangat urgen sekali untuk memperhatikan konsep atau pandangan Islam tentang manusia sebagai makhluk yang diproses kearah kebahagian dunia dan akhirat, maka pandangan Islam tentang manusia antara lain:
Pertama, konsep Islam tentang manusia, khsusunya anak, sebagai subyek didik, yaitu sesuai dengan Hadits Rasulullah, bahwa “anak manusia” dilahirkan dalam fitrah atau dengan "potensi" tertentu.[34]
Dalam al-Qur'an, dikatakan "tegakkan dirimu pada agama dengan tulus dan mantap, agama yang cocok dengan fitrah manusia yang digariskan oleh Allah. Tak ada perubahan pada ketetapan-Nya. Dengan demikian, manusia pada mulanya dilahirkan dengan "membawa potensi" yang perlu dikembangkan dalam dan oleh lingkungannya. Pandangan ini, "berbeda dengan teori bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu dengan membawa "potensi tabularasa yang menganggap anak menerima "secara pasif" pengaruh lingkungannya, sedangkan konsep fitrah mengandung "potensi bawaan" aktif [innate patentials, innate tendencies] yang telah di berikan kepada setiap manusia oleh Allah.[35]
Di samping itu, hal yang juga penting implikasinya bagi pendidikan adalah tanggung jawab yang ada pada manusia bersifat pribadi, artinya tidaklah seseorang dapat memikul beban orang lain, beban itu dipikul sendiri tanpa melibatkan orang lain. Sifat lain yang ada pada manusia adalah manusia diberi oleh Allah kemampuan al-bayan [fasih perkataan - kesadaran nurani] yaitu daya untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang baik.  Kedua, peranan pendidikan atau pengarah perkembanagan. Potensi manusia yang dibawah sejak dari lahir itu bukan hanya bisa dikembangkan dalam lingkungan tetapi juga hanya bisa berkembang secara terarah bila dengan bantuan orang lain atau pendidik. Dengan demikian, tugas pendidik mengarahkan segala potensi subyek didik seoptimal mungkin agar ia dapat memikul amanah dan tanggung jawabnya baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, sesuai dengan profil manusia Muslim yang baik. Ketiga, profil manusia Muslim. Profil dasar seorang Muslim yang baik adalah ketaqwaan kepada Allah. Dengan demikian, perkembangan anak haruslah secara sengaja diarahkan kepada pembentukan ketaqwaan. Keempat, metodologi pendidikan. Metodologi diartikan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang, khususnya pada proses belajar-mengajar. Maka, pandangan bahwa seseorang dilahirkan dengan potensi bawaan tertentu dan dengan itu ia mampu berkembang secara aktif dalam lingkungannya, mempunyai implikasi bahwa proses belajar-mengajar harus didasarkan pada prinsip belajar siswa aktif [student active learning].[36]
Jadi, dari pandangan di atas, pendidikan menurut Islam didasarkan pada asumsi bawaan" seperti potensi "keimanan", potensi untuk memikul amanah dan tanggung jawab, potensi kecerdasan, potensi fisik. Karena dengan potensi ini, manusia mampu berkembang secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan bantuan orang lain atau pendidik secara sengaja agar menjadi manusia muslim yang mampu menjadi khalifah dan mengabdi kepada Allah.



[1] Sulaiman, Sistem...,hal. 55.
[2] H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. IV, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hal. 139.
[3] Aba ‘Abd’l-Lah Muhammad bin Yazid al-Qazwayni, Sunan Ibn Majah, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 87.

[4] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz II, (Bandung: Dahlan, tt), hal. 458.
[5] Imam Bukhari, Shahih, ..., hal. 452
[6] Baihaqi AK, Pendidikan Agama dalam Keluarga, Cet. I, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), hal. 26

[7] Baihaqi, Mendidik Anak dalam Kandungan Menurut Ajaran Islam, (Jakarta: Darul Ulum Press, 2001), hal. 53.

[8] Tim Dosen FIK-IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hal. 126.
[9] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teroritis dan Praktis Bersadarkan Pendekatan Indisipliner, Cet. IV, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 116.
[10] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu,......., hal. 60

[11] M.I. Soelaeman, Suatu Telaah Tentang Manusia, Religi Pendidikan, (Jakarta: Depdikbud. Dirjen. Dikti., PPLTK, 1998), hal. 100.
[12] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. III, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hal. 65.

[13] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 29.
[14] M. Arifin, Ilmu…, hal. 223.

[15] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wicaksana Ilmu, 1999), hal. 53.

[16] Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 39.

[17] Endang Soenarya, Pengantar: Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem, cet. I, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), hal. 2-3.

[18] obert F. Mager, Preparing Instructional Objectives, (Belmont, California: Feamon Publisher, 1962), hal. 3

[19] Muhammad Hadi ‘Afifi, al-Tarbiyah wa al-Taghayyur al-Tssaqafiy, (Cairo: Anjalu Misriyyah), hal. 67.

[20] . Jr. Lewis, Appraising Teachers Performance, (West Nyache, N.Y.: Parker Publishing Co., 1973), hal. 104.

[21] Damrodash Sarhan, al-Manahij al Mu‘asharah, (Kuwait: Maktabah al-Falah, 1977), hal. 95.

[22] Muhammad Ziad Hamdan, Taqyîm al-Ta‘allum; Asasuhu wa al-Tatbiqatuhu, (Dar ‘Ilm li al-Malayin, 1980), hal. 28.

[23] Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Islam Versi Al-Ghazali, (terj. Fathurrahman May dan Syamsuddin Asyrafi), (Bandung: Al-Ma‘arif, 1986), hal 25.
[24] B. Simanjuntak, Sumber-Sumber Hukum Positif, (Jakarta: Alumni, 1994), hal. 41.

[25] Bidianto, Kewarganegaraan, (Jakarta: Erlangga, 2004), hal. 4.
[26]Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam, (Jakarta: GIP,  1995), hal. 28.

[27]Ibid.,  hal. 29.
[28]Ibid…hal. 30.
[29]. Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam…, hal. 25.

[30] Fuad Ikhsan, Dasar-dasar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 4.

[31] Ibid., hal. 5.
[32] Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam…, hal. 30.

[33] H.M. Arifin, M. Ed., Filsafat Pendidikan Islam,Cet. VI, ( Jakarta: PT Bumi Aksara, 2000), hal. 38.
[34] Ali, Hamdani, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1986), hal. 27.

[35] Noor Syam, Mohammad, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filasafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), hal. 34.
[36] Ibid, hal. 35.