A.
Kriteria Memilih Jodoh dalam Islam
Pedoman untuk memilih pasangan hidup cukup banyak dan beragam. “Hal
yang paling penting adalah membuat urutan langkah dan skala prioritas dalam
menyikapi dasar-dasar ini. Selanjutnya, perlu menganalisis lagi apakah semua
langkah tersebut sudah jelas bagi orang yang akan melangkahkan kakinya untuk
menikah atau belum”.[1]
Dalam hadis Nabi terdapat empat fakor yang menjadi kiteria dalam
pemilihan pasangan hidup, yang sekali lagi sudah menjadi kecenderungan manusia
pada umumnya. Idealnya keempat kriteria itu dapat dicapai dalam sebuah
keluarga. Sebab, kunci kesuksesan bagi tatanan sebuah rumah tangga
(suami-istri) adalah memilih pasangan hidup.
Salah satu hadis tentang kriteria memilih pasangan hidup adalah
sebagai berikut:
عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا
وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. (رواه
البخاري)
Artinya: Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi Saw.
bersabda wanita dinikahi karena empat faktor. Karena hartanya, nasabnya,
kecantikannya, dan karena agamanya. Maka, menangkanlah wanita yang mempunyai
agama, engkau akan beruntung(HR. Bukhari).[2]
Beberapa faktor ini disampaikan dalam sabda Rasul Saw. riwayat Ibnu
Majah dari Abu Hurairah sebagaimana tersebut di atas. Hanya saja, dalam sabda
Rasul Saw. tersebut dijelaskan tidak secara pasti dan rinci maksud kata al-diin,
yang kemudian ditegaskan dengan perkataan “Jatuhkan pilihanmu pada yang
beragama”. Dari ungkapan ini, bisa saja seseorang yang beragama (Islam)
“biasa”atau sederhananya “yang penting beragama Islam” termasuk ke dalam
kategori ini (al-diin). Padahal, keberagamaan seseorang yang hanya
berupa identitas tidak cukup dijadikan sebagai hasil akhir dari penggambaran
kepribadian seseorang yang baik. Sebab, bisa saja orang yang rajin melaksanakan
salat, puasa, haji dan ibadah-ibadah lainnya, perilakunya dalam masyarakat masih
jauh dari maksud dan tujuan yang diharapkan oleh agama itu sendiri.
Oleh karena itu, sudah barang tentu sabda Rasul Saw. tersebut
jangan dipahami secara parsial. Sebab, Islam dengan aturan-aturannya yang jelas
mengajarkan kesempurnaan dalam beragama (kaffah). Maksud beragama dalam
hadis itu bukan sekadar seseorang yang melaksanakan ibadah dalam segi
ritual-formal belaka. Akan tetapi, keberagamaan orang tersebut
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Jika seorang suami, ia
betul-betul suami yang bertakwa. Adapun “jika
seorang istri, ia juga bertakwa, bisa memberi nasihat, bisa dipercaya, pandai
menjaga diri, berakhlak mulia, taat menjalankan perintah agama, mengetahui hak
Allah swt. dan hak suami, pandai menjaga nama baik keluarga, tidak bermaksiat,
serta berusaha menciptakan ketenangan dan kedamaian jiwa bagi suami”.[3]
Dengan ungkapan lain, maksud agama dalam hadis tersebut adalah
keberagamaan secara hakiki dan menyeluruh (kaffah) yang meliputi
keseimbangan antara iman dan amal sesuai dengan yang diharapkan dan
dicita-citakan oleh Islam. Dalam rangka menjalani kehidupan rumah tangga, terlebih kehidupan masyarakat secara lebih luas, didasarkan pada
ketentuan dan ketetapan Ilahi.
B.
Memilih Jodoh dalam Perspektif Islam
Taat kepada Allah adalah kriteria yang paling utama dari
kriteria yang lain. Memilih calon pasangan hidup, minimal harus terdapat satu
syarat ini. Karena Allah Ta’ala berfirman sebagai berikut:
….إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ
اللَّهِ أَتْقَاكُمْ)….الحجرات:١٣(
Artinya: Sesungguhnya yang paling mulia di antara
kalian adalah yang paling bertaqwa. (Qs. Al Hujurat: 13).
Taqwa dalam pandangan kami adalah menjaga diri dari adzab
Allah Ta’ala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka
hendaknya seorang muslim berjuang untuk mendapatkan calon pasangan yang paling
mulia di sisi Allah, yaitu seorang yang taat kepada aturan agama. Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam pun menganjurkan memilih istri yang baik agamanya.
Ilmu agama adalah poin penting yang menjadi perhatian dalam
memilih pasangan. Karena bagaimana mungkin seseorang dapat menjalankan perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya, padahal dia tidak tahu apa saja yang
diperintahkan oleh Allah dan apa saja yang dilarang oleh-Nya? Dan disinilah
diperlukan ilmu agama untuk mengetahuinya. Maka pilihlah calon pasangan hidup
yang memiliki pemahaman yang baik tentang agama. Karena salah satu tanda orang
yang diberi kebaikan oleh Allah adalah memiliki pemahaman agama yang baik.
Sekufu atau al-kafa’ah secara bahasa adalah sebanding
dalam hal kedudukan, agama, nasab, rumah dan selainnya. “Al Kafa’ah
secara syariat menurut mayoritas ulama adalah sebanding dalam agama, nasab
(keturunan), kemerdekaan dan pekerjaan”[4]. Atau
dengan kata lain kesetaraan dalam agama dan status sosial. Banyak dalil yang
menunjukkan anjuran ini. Di antaranya firman Allah Ta’ala dalam Alquran surat
An-Nur ayat: 26 sebagai berikut:
الْخَبِيثَاتُ
لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ
وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُوْلَئِكَ مُبَرَّؤُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُم
مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ) النور:
٢٦(
Artinya: Wanita-wanita yang keji adalah untuk
laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang
keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan
laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh
mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).(Qs. An Nur: 26).
Salah satu hikmah dari anjuran ini adalah kesetaraan
dalam agama dan kedudukan sosial dapat menjadi faktor kelanggengan rumah
tangga. Hal ini diisyaratkan oleh kisah Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu,
seorang sahabat yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dinikahkan dengan Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha. Zainab adalah
wanita terpandang dan cantik, sedangkan Zaid adalah lelaki biasa yang tidak
tampan. Walhasil, pernikahan mereka pun tidak berlangsung lama. Jika kasus
seperti ini terjadi pada sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menyenangkan jika dipandang, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits yang telah disebutkan, membolehkan kita untuk
menjadikan faktor fisik sebagai salah satu kriteria memilih calon pasangan.
Karena paras yang cantik atau tampan, juga keadaan fisik yang menarik lainnya
dari calon pasangan hidup kita adalah salah satu faktor penunjang keharmonisan
rumah tangga. Maka mempertimbangkan hal tersebut sejalan dengan tujuan dari
pernikahan, yaitu untuk menciptakan ketentraman dalam hati.
Sebagaimana firman Allah dalam Alquran surat Ar-rum ayat
21 sebagai berikut:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ
أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ) الروم: ٢١(
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir. (Qs. Ar-Ruum; 21).
Oleh karena itu, Islam menetapkan adanya nazhar, yaitu
melihat wanita yang yang hendak dilamar. Sehingga sang lelaki dapat
mempertimbangkan wanita yang yang hendak dilamarnya dari segi fisik.
Sebagaimana ketika ada seorang sahabat mengabarkan pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa ia akan melamar seorang wanita Anshar.
Subur (mampu menghasilkan keturunan). Di antara hikmah
dari pernikahan adalah untuk meneruskan keturunan dan memperbanyak jumlah kaum
muslimin dan memperkuat izzah (kemuliaan) kaum muslimin. Karena dari
pernikahan diharapkan lahirlah anak-anak kaum muslimin yang nantinya menjadi
orang-orang yang shalih yang mendakwahkan Islam.
Karena alasan ini juga sebagian fuqaha (para pakar
fiqih) berpendapat bolehnya fas-khu an nikah (membatalkan pernikahan)
karena diketahui suami memiliki impotensi yang parah. As Sa’di berkata: Jika
seorang istri setelah pernikahan mendapati suaminya ternyata impoten, maka
diberi waktu selama 1 tahun, jika masih dalam keadaan demikian, maka pernikahan
dibatalkan (oleh penguasa).
[1]
Adil Fathi Abdullah, 25 Wasiat Rasulullah Menuju Rumah Tangga Sakinah, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2004), hal. 34.
[2]
Al-Hafidz Bin Hajar Al-Atsqalani, Bulughul Maram Min Adilatil Ahkam, Kitab
Nikah, No. 995, (Semarang: Pustaka Alawiyah, tt), hal. 201.
0 Comments
Post a Comment