BAB II
LANDASAN TEORETIS
A. Lingkungan Tempat
Tinggal dan Macam-macam Lingkungan
Lingkungan tempat tinggal
merupakan segala sesuatu yang ada disekitar kita, baik itu benda, udara
dan hewan, termasuk manusia. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh H.A. Mustafa dalam Kamus
Lingkungan, lingkungan tempat tinggal adalah “kesatuan ruang dengan semua
benda, daya keadaan dan makhluk hidup termasuk didalamnya manusia dan
prilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lainnya.”[1]
Hubungan individu
dengan lingkungannya ternyata tidak hanya berjalan sebelah, dalam arti hanya
lingkungan saja yang mempunyai pengaruh terhadap individu. Hubungan antara
individu dengan lingkungannya terdapat hubungan yang saling timbal balik, yaitu
lingkungan dapat mempengaruhi individu, tetapi sebaliknya individu juga dapat
berpengaruh dengan lingkungannya. Menurut
Abu Ahmadi memberikan gambaran tentant bagaimana sikap individu terhadap
lingkungan, sebagai berikut.
(1) Individu menolak lingkungan, dalam hal ini
lingkungan tidak sesuai dengan yang ada dalam diri individu. Dalam keadaan yang
tidak sesuai ini individu dapat memberikan bentuk atau perubahan lingkungan
seperti yang dikehendaki oleh individu tersebut; (2) Individu menerima lingkungan,
dalam hal ini sesuai dengan yang ada dalam diri individu. Dengan demikian
individu akan menerima lingkungan itu; (3) Individu bersikap netral, dalam hal
ini individu tidak menerima tetapi juga tidak menolak. Individu dalam keadaan
netral.[2]
Dalam
Pembahasan ini lebih mementingkan pengaruh lingkungan terhadap perkembangan
anak termasuk teori-teori mengenai sosialisasi
yang bersufat sosiolagis. Dalam teori perkembangan dijelasan bahwa
“bertambangnnya potensi untuk bertingkah laku. Berjalan harus dipelajari,
bergaul dengan orang-orang lain juga harus dipelajari, begitu juga berfikir
secara logis.”[3] Ketiga hal ini membutuhkan cara belajar yang berlainan. Otto Sumarwato
memberikan gambaran tentang potensi dalam bertingkahlaku yaitu “Belajar
berjalan adalah cara belajar sensorik-motorik,
belajar bergaul termasuk belajar sosial dan berfikir secara logik
termasuk belajar kognitif.”[4]
Manusia hidup di bumi ini
tidak sendiri, melainkan bersama makhluk (manusia ) lain. Manusia yang lain
bukan sekedar kawan hidup yang hidup bersama secara netral atau pasif terhadap
manusia lain, melainkan hidup manusia itu terkait erat dengan bagaimana
kehidupan manusia lain.[5] Kenyataan ini
dengan mudah dapat kita lihat dengan mengandaikan bumi tidak ada manusia lain.
Lingkungan yang
penulis maksudkan dalam penelitian ini adalah lingkungan tempat tinggal, yaitu
keadaan, sifat, karakter dan sikap
daripada manusia pada suatu daerah yaitu tempat dimana seseorang individu
bergaul dan bekerja sama dengan manusia
yang lain.
Lingkungan tempat
melangsungkan kehidupan manusia termasuk orang dewasa dan anak-anak mempunyai
dua, yaitu lingkungan fisik dan lingkungan abstrak.
1. Lingkungan fisik,
Lingkungan yang terdiri dari objek, materi dan ruang.
Lingkungan fisik yang berbeda akan mempengaruhi anak. Misalnya anak yang
dibesarkan dalam lingkungan dengan objek yang serba mewah, alat mainan yang
bervariasi serta ruang gerak yang luas akan lebih memungkinkan berkembang
secara optimal bila dibandingkan dengan mereka yang serba kekurangan dan
tinggal di rumah yang sempit.
Lingkungan fisik
juga terdiri dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Moh. Shoclihib,
menuturkan bahwa “lingkungan fisik dapat mengemas kebersamaan dalam
merealisasikan nilai-nilai moral oleh anggota keluarga dengan cara melibatkan
anak untuk menatanya.”[6]
Hal ini perlu agar mereka merasa menentukan penataannya sehingga memudahkan,
terutama orang tua anak, menggugah anak
untuk merealisasikan nilai-nilai moral yang dikemas secara berasama-sama, dan
memungkinkan adanya kesempatan diantara mereka untuk saling merasakan dalam
merealisasikan nilai-nilai moral bagi anak itu sendiri dalam keberamaan,
misalnya shalat berjamaah, membersihkan ruangan dan mejaga kesucian di ruangan
rumah.
Dengan demikian
seluruh anggota keluarga dapat tergugah untuk melaksanakan kewajiban terhadap
anak-anaknya yang telah dibuat bersama. Selanjutnya bagi penata lingkungan
fisik untuk anak-anak mereka memperoleh kebebasan untuk mengatur, orang tua
hanya membantu jika penataan yang dilakukan oleh si anak dirasakan dapat
mengganggu, merusak atau melanggar nilai-nilai moral.
Pelibatan orang tua
dalam menata lingkungan fisik tersebut bagi anak adalah wahana untuk saling
menerima, menautkan diri dan menghindarkan diri. Dengan demikian mereka merasa terpanggil
dengan apa yang telah diatur oleh anak itu sendiri sebelumnya. Begitu juga bagi
anak yang menata ruangan untuk kepentingan yang sesuai dengan selera dan
dunianya. Hal ini dapat menimbulkan perasaan bahwa selera dan keinginannya
telah terealisasikan, misalnya dalam menata meja belajar, kamar, letak pakaian,
tempat tidur dan sebagainya. Oleh sebab itu anak-anak akan terpanggil untuk
tetap merealisasikan nilai-nilai moral yang dikemas dalam penataan fisik
walaupun orang tua tidak ada di rumah.
Begitu pula halnya
lingkungan fisik di sekolah, anak-anak ditata oleh pendidik (guru) salah
satunya dalam bidang kedisiplinan dalam belajar. Dengan kedisiplinan dalam
belajar, dengan sendirinya ilmu yang didapatkan di sekolah tersebut akan
bermutu, tidak kalah pendidikan yang bersifat ukhrawi, anak bisa menanamkan
nilai-nilai agamis bagi dirinya, seperti moral, tatakrama, kesopanan dan
berperilaku yang baik.
Selain lingkungan
keluarga dan sekolah yang bersifat fisik, juga ada lingkungan fisik dalam
masyarakat. Bila anggota masyarakat itu baik dan berpendidikan, maka dengan
sendirinya anak yang ada dalam masyarakat tersebut juga ikut baik, misalnya ada
pengajian dalam masyarakat dan ada kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya
mendidik, sehingga anak tersebut bisa berperilaku dan moral yang baik.
2. Lingkungan Abstrak
Lingkungan anak yang sifatnya abstrak dapat berupa
lingkungan sosial. Lingkungan sosial baik anak adalah tempat anak beraktifitas,
terdiri dari kegiatan, bermain, kebiasaan sehari-hari, dan upacara bersifat
keagamaan. Misalnya anak yang aktivitas sehari-hari diisi dengan kegiatan yang
bermakna misalnya bermain bersama dengan ibu, hasilnya akan lebih lebih
berkualitas dibandingkan dengan anak yang bermain sendiri.
Menurut Moh. Shoclib, menyebutkan bahwa “lingkungan
sosial dalam keluarga dapat mengemas makna kebersamaan diantara anggota
keluarga melalui komunikasi yang dapat saling menghadirkan orang tua dan anak.”[7]
Bagi anak yang terlibat dalam berkomunikasi adalah mengemas pesan makna
terlarang terganggu untuk merealisasikan nilai-nilai moral secara bersama-sama,
terutama pada saat berkumpul, misalnya orang tua memancing untuk berdialog dan
bagi si anak diberi kebebasan berbicara. Pada saat terjadi dialog orang tua
mampu membaca situasi dan kondisi keluarga sehingga dapat mengemas nilai-nilai
moral untuk direalisasikan dan memuat aturan-aturannya untuk tetap berkomunikasi, misalnya pada saat itu orang
tua mengatakan bahwa ruangan kotor sekali, dan sehingga gaduh, pada saat mereka
sedang istirahat, kondisi ini, oleh orang tua dikomunikasikan kepada semua
anggota keluarga untuk menentukan cara yang terbaik untuk mengatasinya, dengan
demikian akan terjadi dialog diantara mereka untuk menentukan aturan-aturan
yang mengatur mereka dalam menjaga kebersihan dan ketertiban dalam keluarga
serta menciptakan situasi dan kondisi yang nyaman pada saat istirahat. Juga mereka terlibat secara intensif dalam
berdialog. Hal itu memungkinkan mereka untuk secara bersama-sama mentaati
aturan yang dibuat.
Dalam dialog maka membuat
aturan-aturan tersebut, secara tersirat mereka telah menghayatinya dalam
dunianya yang relatif sama. Dengan
demikian dalam dialognya telah dihadirkan pertemuat makna sehingga substansi
esensial adanya kebersamaan dalam merealisasikan nilai-nilai moral tesrebut.
Sehungan dengan itu mereka saling
beridentifikasi diri dalam memilki sikap dan pendirian untuk merealisasikan
nilai-nilai moral yang sepatutnya dilaksanakan secara bersama-sama oleh anggota
keluarga.
Begitu pula keadaan anak di
lingkungan sosial di sekolah dan masyarakat. Di lingkungan sekolah ada guru
(pendidik) bisa membangkitkan diri anak dengan nilai-nilai moral. Dalam
lingkungan sosial masyarakat juga bisa dilakukan hal yang sama dengan
lingkungan keluarga dan sekolah, bila di lingkungan masyarakat kehidupannya
semberaut, artinya tidak ada orang yang patut dicontohi oleh anak, maka anak
tersebut juga akan berpengaruh terhadap perilaku dan nilai-nilai moral.
B. Pengaruh Lingkungan
terhadap Karakter Anak
Lingkungan tempat
kelangsungan hidup manusia termasuk anak, sangat menentukan karakter anak, baik
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Bila ketiga lingkungan ini bagus,
maka dengan sendirinya juga karakter anak akan terbawa untuk bagus, begitu pula
sebaliknya. Perkembangan anak lebih menitik beratkan peran lingkungan dan
pengalaman ketimbang psikologi anak. tentu saja hal ini tidak berarti bahwa
psikologi anak mengabaikan peran lingkungan dan pengalaman, tetapi penekanan
hal tersebut lebih kurang daripada yang dilakukan para ahli psikologi
perkembangan.
Elizabeth Horlock, menyebutkan bahwa “perkembangan anak
penekanannya adalah pada bagaimana seorang anak berbicara, pola karakteristik cara
mereka belajar berbicara, dan kondisi yang menyebabkan variasi dalam pola
karakteristik.”[8] Perkembangan
anak menunjukkan suatu proses tertentu, yaitu suatu proses yang menuju ke depan
dan tidak dapat begitu saja di ulang. Dalam perkembangan terjadi
perubahan-perubahan yang sedikit banyak bersifat tetap dan tidak dapat diputar
kembali.
Pertumbuhan fisik memang mempengaruhi perkembangan
psikologik. Bertambahnya fungsi-fungsi otak memungkinkan anak dapat tersenyum,
berjalan, bercakap dan lain sebagainya. Kemampuan berfungsi dalam tingkat yang
lebih tinggi ini sebagai hasil pertumbuhan, dapat disebut kemasakan.
Pengaruh lingkungan terhadap karakteristik anak adalah
pada pola asuh anak, baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Anak
yang baru lahir adalah dalam keadaan suci, lingkunganlah yang menentukan baik
atau tidaknya karakter anak tersebut
Hal awal dalam membentuk karakter anak adalah bagaimana
anak tersebut cara berinteraksi dengan lingkungannya dan bagaimana hasilnya
atau konsekuensi dari ineteraksi tersebut. Dengan berkembangnya lingkungan maka
berkembang pula minat seseorang. Para pendidik
yang bekerja dengan anak sebaiknya memperhatikan lingkungan anak. Anak pada
usia tersebut mempunyai pengalaman bersama keluarga, lingkungan rumah, seman
sebaya, orang dewasa lainnya dan lingkungan sekolah. Pengalaman dan lingkungan
anak yang dialaminya adalah saling berinteraksi antara satu dengan lainnya.
Soemiarti Patmono Dewo dalam bukunya Pendidikan Anak Prasekolah, menyebutkan
bahwa “ perkembangan
anak yang dihubungkan pada interaksi anak dengan lingkungannya secara terus
menerus saling mempengaruhi satu sama lain secara transaksional”.[9]
Lingkungan anak di rumah adalah lingkungan pertama.
Dengan meningkatnya usia, anak akan mengenal teman sebaya di luar rumah atau
dari lingkungan tetangga. Selanjutnya anak akan masuk lingkungan sekolah,
dimana mereka akan mengenal pula teman sebaya. Dari sinilah akhlak dan prilaku
anak bergantung pada lingkungan, bila lingkungan tempat berada si anak itu
baik, maka baik pula prilaku anak, begitu juga sebaliknya.
Lingkungan anak terdiri dari tiga lapisan yang masing mengandung
lingkungan ekologi yang berorientasi pada:
1.
Lingkungan
fisik, yang terdiri dari objek, materi dan ruang. Lingkungan fisik yang berbeda
akan mempengaruhi anak. Misalnya anak yang dibesarkan dalam lingkungan dengan
objek yang serba mewah, alat mainan yang bervariasi serta ruang gerak yang luas
akan lebih memungkinkan berkembang secara optimal bila dibandingkan dengan
mereka yang serba kekurangan dan tinggal di rumah yang sempit.
2.
Lingkungan
yang bersifat aktivitas, terdiri dari kegiatan, bermain, kebiasaan sehari-hari,
dan upacara bersifat keagamaan. Misalnya anak yang aktivitas sehari-hari diisi
dengan kegiatan yang bermakna misalnya bermain bersama dengan ibu, hasilnya
akan lebih lebih berkualitas dibandingkan dengan anak yang bermain sendiri.
3.
Berbagai
orang yang ada di sekitar anak yang dapat dibedakan dalam usia, jenis kelamin,
pekerjaan, status kesehatan dan tingkat pendidikannya. Lingkungan anak akan
lebih baik bila orang-orang di sekitarnya berpendidikan dibandingkan dengan
lingkungannya terdiri orang yang tidak pernah mengikuti pendidikan formal.
4.
Sistem
nilai, sikap dan norma. Ekologi anak akan lebih baik apabila anak diasuh dalam lingkungan yang
menanamkan disiplin yang konsisten, dibandingkan bila mereka tinggal dalam
lingkungan yang tidak menentu aturannya.
5.
Komunikasi
antara orang disekelilingnya akan menentukan perkembangan sosial dan emosional
anak.
6.
Hubungan
yang hangat dan anak merasa kebutuhannya terpenuhi oleh lingkungannya, akan
menghasilkan perkembangan kepribadian yang lebih mantap dibandingkan apabila
hubungannya lebih banyak mendatangkan kecemasan.[10]
C. Pola Asuh Anak dan Macam-macamnya
Anak yang baru lahir ibarat kertas putih tanpa
noda, yaitu tidak ada dosa karena belum pernah melakukan hal-hal yang tidak
baik dan dilarang oleh agama, yang menasranikan dan memajusikan dia adalah
orang tuanya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari,
sebagai berikut:
ﻛﻞ
مولد على ﻟﻔﻄﺮﺓ ﻓﺄﺑﻮاه ﻳﻬﻮﺩﺍﻧﻪ
أو ﻳﻮﻧﺼﺭﺍﻧﻪ أوﻳﻤﺠﺴﺎﻧﻪ (ﺭﻮﺍﻩ ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻟﻴﻪ)
Artinya: Setiap
anak adam dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), orang tuanyalah yang
meyahudikannya atau menasranikannya dan memajusikannya (H.R. Bukhari Muslim)
Hadits
di atas, menunjukkan bahwa anak yang baru lahir ibarat kertas putih tidak ternoda
dengan perbuatan dan tingkah laku yang tidak baik, kecuali yang merubah keadaan
ini hanyalah orang tuanya, karena orang pertama yang dikenal oleh anak adalah
kedua orang tua, dan itu menjadi lingkungan awal bagi anak. Terhadap hal yang
demikian peran orang tua dalam mengasuh anak menentukan nasib anak dalam
menjalani kehidupan dia kelak. Mengasuh anak bisa dilakukan dengan beberapa
hal, di antaranya melalui pendidikan, kasih sayang dan motivasi orang tua.
1. Pendidikan
Menurut Muhibbin Syah
memberikan pengertian pendidikan yaitu “suatu proses dengan metode-metode
tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah
laku yang sesuai dengan kebutuhan”.[11]
Sedangkan menurut Syaiful Bahri
Djamarah defenisi pendidikan adalah “usaha sadar dan bertujuan untuk
mengembangkan kualitas manusia, sebagai suatu kegiatan yang sadar akan suatu
tujuan, maka dalam pelaksanaannya berada dalam suatu proses yang
berkesinambungan dalam setiap jenis dan jenjang pendidikan.”[12]
Dari kedua kutipan di atas mempunyai
defenisi yang berbeda tentang defenisi pendidikan, namun memiliki makna dan
tujuan yang sama, yiatu sama-sama untuk mewujudkan manusia yang berpengetahuan
dan merubah pola pikir manusia ke arah yang lebih baik. Dasar kehidupan adalah
pandangan hidup, sebagaimana dijelaskan Ahmad Tafsir, bahwa “pendidikan yang
amat penting itu tujuannya harus diambil dari pandangan hidup.”[13] Maka dalam hal ini jika pandangan hidup
manusia adalah Islam, maka tujuan pendidikan bagi manusia itu adalah ajaran
yang harus diambil dari Islam. Di sini manusia menghendaki tujuan pendidikan
Islam adalah manusia yang baik. Ini terlalu umum.
Islam menghendaki agar manusia dididik supaya
ia mampu merealisasikan tujuan agar manusia mampu merealisasikan tujuan
hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup manusia
adalah untuk beribadah kepada-Nya. Pendidikan mulai diperkenalkan kepada
manusia adalah sejak manusia itu lahir ke dunia. Mempelajari ilmu pendidikan,
terutama pendidikan agama adalah pada usia dini.
Pendidikan mendasar yang diberikan kepada anak
dalam mengasuhnya adalah berupa pendidikan agama (ukhrawi), diantaranya ilmu tauhid, fiqih, akhak dan sebagainya.
Begitu juga pendidikan umum, seperti pendidikan ekonomi, teknologi.
a. Pendidikan
Agama
Pendidikan
agama merupakan pendidikan yang peling harus diperkenalkan kepada anak, dimana
dalam pendidikan agama mengandung pengetahuan untuk mengenal diri dan mengenal
siapa penciptanya, setelah mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya, maka ia tahu
bagaimana cara berhubungan dengan Allah SWT, dan berhubungan dengan sesama
manusia. Dalam mengenal penciptanya (Allah SWT) tentunya seorang anak harus
mempelajari ilmu tauhid atau keimanan, begitu juga untuk bergaul sesama manusia
anak-anak harus mempelajari ilmu akhlak.
1) Pendidikan Tauhid dan
Keimanan
Islam sangat
memperhatikan pendidikan keimanan bagi anak, karena pendidikan ini memberikan
pengaruh di dunia. Pengaruh itu antara lain adalah timbulnya ketenangan jiwa,
di mana jika hati telah baik, biasanya jiwa akan tenang. Selain itu, kematangan
rohani juga membantu manusia dalam menghadapi cobaan hidup.
Rasulullah SAW memerintahkan para orang
tua untuk menyuruh anak-anak menjalankan shalat. Jika anak-anak itu meninggalkan
shalat, maka para orang tua harus memukul mereka dengan pukulan yang tidak
menimbulkan cedera.
Kita juga menjumpai seorang anak kecil
menjadi imam shalat bagi kaumnya, karena ia paling hafal ayat-ayat Al-Quran. Para sahabat yang mulia juag membiasakan anak-anak mereka
melaksanakan puasa ramadhan dengan cara menghibur anak-anak itu hingga tengah
hari. Mereka melakukan semua
ini secara bertahap, sampai sang anak terbiasa. Anak-anak kecil juga ikut serta
dalam pengajian dan dzikir.
Seharusnya
pula anak-anak diarahkan untuk menghormati syariat dan
menjalankannya.kebiasaanini harus dilakukan sejak kecil,gar kelak mengakar kuat
didalam dirinya tatkala dewasa, dan tercerminkan dalam setiap perilakunya.
Menurut Syaikh Muhammad Said Mursi, hal-hal yang perlu dilakukan orang tua
dalam berperilaku anak adalah sebagai berikut.
(1)Mengarahkan anak untuk menghafal
minimal tiga juz dari Al-Qur’an.(2) Membiasakan anak untuk menyedekah
sebagian uang jajannya, meski hanya
sekali seminggu. (3) Membiasakan anak membaca Al-Qur’an minimal satu ayat
sehari. (4) Menanamkan rasa cinta terhadap surga dan rasa benci terhadap
neraka. (5) Membiasakan anak untuk berpuasa di bulan Ramadhan secara bertahap.
(6) Mengajarkan anak untuk menjaga pandangan dengan cara memetikan televisi
minimal sehari seminggu, disamping mengajarinya untuk memindahakan chanel jika
ada adegan vulgar.[14]
Dalam melakukan dan menjaga
nilai-nilai yang telah disebutkan di atas perlu diperhatikan beberapa hal
diantaranya memberikan motivasi, menjauhi
cara-cara kekerasan dan mencari cara-cara menarik serta menjauhi cara-cara
yang membosankan.
2) Pendidikan Akhlak
Akhlak
merupakan intisari ajaran Islam, hal ini bisa kita ambil contoh pada kehidupan
Nabi Muhammad SAW sehari-hari. Hadits Rasulullah SAW,
yang diriwayatkan oleh Abu Daud, sebagai berikut.
عن
أبي هريرة قال: قال رسول الله عليه وسلم: إﻧﻤﺎ بعثت لأتمم ﻣﻜﺎﺭﻡ ﺍلأﺧﻼﻖ (ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺎلك)
Artinya: Sesungguhnya Nabi Muhammad
diutuskan untuk memperbaiki akhlak (H.R. Malik)[15]
Ayat di atas Nabi
Muhammad SAW punya suri tauladan yang baik, maka sudah sepatutnyalah kita
mempedomani terhadap akhlak beliau dan semua sikap yang dimiliki Nabi Muhammad
SAW kita jadikan bagi kita di dalam setiap aspek kehidupan kita. Mengawali
sikap dan akhlak baik yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW adalah dimulai sejak
usia dini (anak-anak).
Pendidikan akhlak
adalah roh dan tujuan utama pendidikan Islam. Menurut Syaikh Muhammad Said
Mursi, Ketika kita memberikan pendidikan akhlak terhadap anak, berarti kita.
Membiasakan anak umtuk berakhlak mulia dan menjauhkannya dari akhlak
tercela; membersihkan anak dari akhlak tercela dan menghiasinya dengan akhlak
mulia; Mengembangkan anak
supaya menjadi manusia yang sempurna akhlaknya, dimana ia akan menjadi kunci
pembuka kebaikan dan kunci penutup kejahatan; Membiasakan anak untuk membedakan
anatara akhlak mulia dengan akhlak tercela.[16]
Dalam upaya mendidik anak dalam pendidikan agama, ada
beberapa hal yang perlu dilakukan oleh orang tua, diantaranya adalah senantiasa
memberikan teladan terhadap anak dengan tidak berdusta, menghina, mencela dan
melaknat dihadapan anak-anaknya. Kemudian menyajikan cerita dan hikayat yang
bermanfaat, mengajak anak bermain bersama. Dalam permainan itu, anak tidak
boleh menang sendiri, demikian juga waktu makan. Selain itu kita juga
membiasakan untuk bersifat santun dan penyayang dengan cara membantu orang tua,
orang sakit atau orang lemah ketika
menyeberang jalan dan masih banyak cara yang lain yang sifatnya menyantuni
orang lain.
Upaya lain yang dilakukan dalam mendidik anak berakhlak
mulia adalah membiasakan anak untuk senantiasa menolong dan bekerja sama dengan
anak, seperti bermain bersama dengan anak-anak yang lain, makan bersama shalat
berjamaah dan lain-lain. Melatih anak untuk berani, seperti melakukan permaian
karat, pencak silat dan sebagainya.
Melatih anak untuk bersikap amanah, salah satu dengan cara tidak membuka
rahasia temannya. Membiasakan anak untuk punya rasa malu, seperti tidak mencela
dan mengucapkan kata-kata kotor, tidak menceritakan barang jorok yang dilihat
atau didengar, tidak membuka baju dihadapan orang lain, meski saudara sendiri,
meminta izin jika hendak masuk ke kamar orang tua, dan sebagainya.
3)
Pendidikan
Umum
Mengasuh anak, selain melalui pendidikan agama juga
melalui pendidikan umum seperti, pendidikan ekonomi, dan pendidikan teknologi.
4)
Pendidikan
Ekonomi
Pendidikan ekonomi
boleh diberikan kepada anak-anak, karena ini adalah bukti kesempurnaan ajaran
Islam, jika Islam tidak sempurna, mengapa Al-Qur’an merasa perlu berbicara
tentang riba, jual beli, dan transaksi-transaksi yang lain. Kita tidak mengajak
anak-anak untuk mencebur diri ke dalam lapangan ekonomi secara langsung, akan
tetapi kita mendidiknya dengan wacana ekonomi yang sesuai dengan tingkatan umur
mereka. Menurut Syaikh Muhammad Said Mursi, Pendidikan ekonomi kita berikan
kepada anak-anak melalui cara-cara sebagai berikut.
Memberikan anak keterampilan yang akan berguna nati pada saat mereka
dewasa, membiasakan anak menggunakan liburan panjang untuk bekerja mencari uang
saku dengan keterampilannya sendiri, yaitu dengan cara kita mengarahkan dia
untuk melakukan pekerjaan tertentu seperti menjual sesuatu kepada kerabat.
Membiasakan anak untuk menysihkan sebagian uang sakunya untuk ditabung di dalam celengan. Mendampingi anak ketika
membeli kebutuhan keluarga di pasar, dengan praktik langsung, anak diajarkan
etika dan tata krama jual beli.[17]
5)
Pendidikan
Tenologi
Teknologi adalah
salah satu mata pelajaran terpenting bagi pendidikan anak. Kita membutuhkan
teknologi di saat kita hidup dalam buaian kemajuan besar bangsa lain dalam
segala bidang, dimana Islam dan kaum muslimin tidak mempunyai tempat yang
pantas diperhitungkan umat lain. Padahal, dahulu kita memimpin peradaban dunia,
dan orang Barat mengakui kenyataan ini, namun sekarang kita tidak mampu berbuat
apa-apa, selain menjadi kolektor, kolektor mobil yang diciptakan Barat atau barang
kali Yahudi, kita menjadi kolektor komputer yang tidak kita ketahui rahasia
pembuatannya.
Kita selaku orang
tua bertanggung jawab kepada Allah SWT atas kelalaian kita memberikan
pendidikan teknologi kepada anak-anak, padahal dewasa ini Islam sangat membutuhkan
teknologi, untuk mewujudkan keninginan ini, kita bisa melakukan langkah-langkah
sebagai berikut.
- Kita bisa menceritakan kepada anak-anak tentang keagungan Islam dan sejarahnya yang cemerlang serta pengaruhnya dalam memajukan ilmu-ilmu kemanusiaan.
- Segala permainan , apapun ragam dan bentuknya, haruslah permainan yang membawa manfaat bagi anak-anak. Sedangkan permainan yang tidak mendatangkan manfaat harus dijauhi.
- Segala cerita dan hikayat yang dibaca dan didengarkan oleh anak harus mempunyai nilai yang bisa membentuk prilaku terpuji.
- Sebisa mungkin kita dorong anak untuk mengungkapkan gagasan dan pemikirannya, meski sederhana dan khayal. Jangan sampai kita menghambat dan membunuh pikiran anak, bahkan kita harus membantu mengembangkan pikirannya sejak awal.
- Bakat dan kemampuan anak harus dikembangkan, jangan sampai dihambat.[18]
Pendidikan yang berikan kepada anak terutama dalam
bidang akhlak atau bidang lainnya dapat dilakukan di beberapa tempat,
diantaranya adalah rumah tangga; sekolah
dan masyarakat.
a. Pendidikan Rumah Tangga
Rumah tangga merupakan bagian
terkecil dari masyarakat, disinilah anak-anak pertama sekali mendapatkan
pendidikan yang disebut dengan pendidikan orang tua sebelum anak tersebut
bergaul dan berhadapan dengan masyarakat luas. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh M. Arifin M.Ed bahwa lingkungan keluarga adalah “lingkungan pendidikan
pertama yang menjadi pangkal atau dasar hidup dikemudian hari.”[19]
Anak akan menjadi baik bila pendidikan dalam keluarga baik, begitu pula
sebaliknya. Karena keluarga adalah lingkungan pertama bagi anak.
Pendidikan pertama
yang harus diterapkan dalam keluarga tersebut adalah pendidikan yang menyangkut
dengan akhlak karena dengan akhlak dapat menentukan. Bila pendidikan akhlak
telah tertanam dalam jiwa anak maka anak tersebut menjadi anak yang ber akhlakul
karimah, jadi apa saja yang diperbuat oleh anak selalu diikuti dengan akhlak
yang baik. Begitu juga bila anak tersebut mahu mencari ilmu-ilmu lain selain
ilmu agama juga akan manusia yang. Misalkan saja bila anak tersebut menuntut
ilmu kedokteran, maka nantinya akan menghasilkan dokter yang baik akhlaknya,
selain itu bila anak tersebut masuk tentara maka akan menghasilkan tentara yang
baik, tidak melakukan perbuatan yang sewena-wenanya saja.
Rumah tangga
sebagai lembaga pendidikan juga dapat dikatakan sebagai lembaga sosial, dan
pendidikan yang diperoleh anak sangat menentukan terhadap perkembangan
selanjutnya. Maka oleh sebab itu mengingat besarnya peranan keluarga dalam
pembinaan jiwa agama anak, untuk itu kedua orang tua sebagai orang yang
bertanggung jawab terhadap pendidikan anak.
Orang tua harus
dapat menciptakan situasi rumah tangga dengan baik, memperlihatkan sikap dan
tindak tanduk yang baik pula kepada anak-anaknya sebagaimana yang dianjurkan dalam
agama, disamping orang-orang terdekat dengan lingkungan sehari-hari.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muchtar Yahya bahwa “Lingkungan keluarga
itulah lingkungan yang lebih baik untuk kanak-kanak dan membentuknya.”[20]
Anak yang dilahirkan dalam lingkungan rumah tangga yang baik dan ta’at dalam
mengenal ajaran agama, maka ia akan berkembang dan tumbuh dengan baik pula.
Begitu pula sebaliknya bilamana anak yang dilahirkan itu dalam rumah tangga
yang jahat, kemungkinan anak itu akan menjadi jahat pula, dengan kata lain anak
itu akan jauh dari ajaran-ajaran keagamaan.
Maka untuk membina
anak yang shaleh, orang tua harus menjadi contoh teladan dalam setiap
kehidupan. Sebagai contoh bagaimana orang tua mengajak anak-anaknya untuk
melaksanakan yang baik, dan bagaimana tata cara yang baik dalam pergaulan. Maka
untuk itu orang tua harus mampu dan dapat memperlihatkan atau menunjukkan
contoh-contoh yang baik kepada anaknya dengan penuh rasa tanggung jawab dan
bijaksana.
Orang tua besar
sekali pengaruhnya dalam membina aqidah anaknya, terutama dalam memperoleh
kebahagiaan dalam hidupnya. Ditangan kedua orang tuanyalah terletak masa depan
anak-anaknya, maka orang tua tidak mendidik akan anaknya sesungguhnya ia akan
terbawa ke arah yang sesat, sebagaimana firman Allah dalam Surat at-Tahrim ayat 6, sebagai berikut:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydßqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pkön=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâxÏî ×#yÏ© w tbqÝÁ÷èt ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtur $tB tbrâsD÷sã ÇÏÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan. (Q.S. at-Tahrim: 6)
Dari ayat di atas
dapat di ambil kesimpulan, kedua orang tua bertanggung jawab terhadap
kelangsungan pendidikan anaknya lahir batin.
b. Pendidikan di Sekolah
Sekolah merupakan
lembaga kedua setelah rumah tangga bagi anak untuk mendapatkan pendidikan. Anak
mendapatkan kesempatan yang luas dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan
jiwanya. Sekolah juga merupakan lembaga pendidikan yang teratur dan berencana
dan terpimpin yang disebut dengan pendidikan formal. Pengalaman, pengetahuan
dan pendidikan keterampilan serta pergaulan yang lebih luas dari pergaulan
keluarga bisa anak dapatkan di sekolah.
Anak-anak usia enam
tahun harus diserahkan ke sekolah untuk di didik dan dibelaki dirinya dengan
ilmu pengetahuan yang lebih selain yang didapatkan dalam lingkungan keluarga,
dengan demikian bukan berarti tugas orang tua terlepas dari tanggung jawab,
akan tetapi anak-anak masih membutuhkan orang dalam menunjang pendidikan yang
diberikan di sekolah melalui bimbingan dan arahan agar anak tidak malas dan
bisa belajar dengan serta menjadi anak yang bermoral nantinya. Pembinaan
pendidikan di sekolah dilaksanakan hanya secara formal saja atau secara garis
besar saja, sedangkan untuk memantapkan semua itu di tunjang melalui pendidikan
di rumah oleh orang tua secara kontinyu, sehingga terbinanya rasa keyakinan
yang dapat menumbuhkan rasa keimanan atau rasa keagamaan kepada anak-anak.
Melalui pendidikan yang diberikan disekolah para guru sebagai orang yang
mendidiknya harus dapat menanamkan keyakinan beragama pada murid-muridnya
disamping mengadakan kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan seperti ceramah
agama, membaca Al-Qur’an.
Jika pendidikan
ingin menjelaskan sesuatu yang mengangkut tentang aqidah hendaklah seseorang
dapat menjelaskan dengan dalil-dalil berupa ayat-ayat dan Hadits sesuai dengan
tingkat kemampuan berfikir masing-masing, agar murid dapat menerima dengan
mudah dan lancar. Selanjutnya kepada anak-anak perlu menghafal ayat-ayat Al-Qur’an
terhadap ilmu yang dipelajarinya. Dengan demikian anak telah mendapatkan
pertolongan dari guru atau orang tuanya dibantu dalam hal ilmu yang sedang
dipelajarinya. Kesemuanya ini sungguh sangat berguna sekali bagi anak bahwa
pengetahuan yang dipelajarinya itu sejalan dengan agama yang diajarkan.
Dalam pelaksanaan
pendidikan agama di sekolah setiap guru baik guru agama ataupun bukan, maka
hendaklah ia harus berjiwa agama dan berakhlak agama, sehingga anak akan
mencintai agama dalam kehidupannya sesuai dengan tuntutan dalam ajaran agama
Islam. Apabila jiwa agama itu tidak mencerminkan dalam sikap dan tingkah laku
di sekolah itu sama sekali tidak ada manfaatnya bagi anak, maka seorang guru
memikirkan akhlak keagamaan adalah akhlak yang tinggi, sedangkan akhlak mulia
itu tiang dari pendidikan Islam.
Oleh karena itu,
pendidikan mempunyai tugas yang cukup berat terhadap kelangsungan pendidikan
anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua yang telah menyerahkan anak
ke sekolah, untuk dididik dan dibekali dengan ilmu pengetahuan, harus ada
hubungan timbal balik antara guru dengan orang tua sehingga rasa tanggung jawab
itu benar-benar dapat terlaksana dengan baik.
c. Pendidikan dalam Masyarakat
Masyarakat
merupakan lingkungan ketiga setelah keluarga dan sekolah. Dalam kehidupan
masyarakat anak juga dapat mengembangkan pendidikannya lewat media masa, hasil
karya seni, perkumpulan, tempat peribadatan dan lainnya. Kesemuanya ini besar
sekali manfaatnya terhadap pendidikan anak.
Pendidikan agama
yang diterima oleh anak di sekolah dan rumah tangga dapat berkembang sepenuhnya
dalam kehidupan masyarakat. Apabila pendidikan tersebut tidak sejalan dengan
kenyataan yang berlaku dalam masyarakat, maka akan terjadilah suatu sifat rasa
bimbang atau ragu dalam diri anak. Oleh karena itu, pembinaan masyarakat harus
terlebih dahulu dibina dengan baik.
Hubungan sosial
anak semakin berkembang pada masa sekolah, kemungkinan juga perhatian terhadap
agama banyak dipengaruhi oleh teman-teman sekelilingnya sekalipun hal tersebut
bertentangan dengan nilai-nilai agama. Oleh karena itu usaha-usaha untuk
memperbanyak kegiatan keagamaan dapat dilakukan dengan keluarganya.
Pembinaan aqidah
Islamiyah dalam masyarakat haruslah sungguh-sungguh baik pada anak-anak maupun
pada remaja serta orang tua. Pelaksanaan tersebut dilakukan dengan mengadakan
pengajian-pengajian atau kursus keagamaan dalam rangka menyempurnakan aqidah
Islamiyah baik dalam lingkungan keluarga maupun di dalam kehidupan masyarakat.
Dalam pelaksanaan
ini pula tidak hanya anak-anak yang dilibatkan, akan tetapi harus segenap
lapisan masyarakat harus aktif di dalamnya, termasuk para alim ulama serta
guru-guru agama ikut bekerja sama demi untuk terwujudnya masyarakat yang
diridhai oleh Allah SWT.
2. Kasih Sayang
Cinta dan kasih
sayang merupakan sikap dan sifat yang terpuji. Uken Junaedi dalam bukunya Membangkitkan Sikap dan Sifat Positif Anak, menyebutkan
bahwa “Seseorang yang memiliki sikap dan sifat kasih sayang, akan tampil
menjadi orang yang disenangi orang lain. Begitu juga apabila sikap dan sifat
ini melekat pada diri anak, tentunya akan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi orang
tua.”[21]
Anak yang merupakan buah hati dari kasih sayang antara dua insan yang bersatu
dengan ikatan kasih sayang akan melahirkan juga anak tersebut yang penuh dengan
kasih sayang. Begitu juga bila ikatan awal kedua orang tua tersebut diikat
bukan dengan kasih sayang, maka akan melahirkan anak yang tidak ada kasih
sayang.
Anak-anak yang
memiliki sikap dan sifat kasih sayang tersebut tidak melupakan perhatiannya
meski mereka telah berkeluarga, atau meskipun mereka telah berada jauh dari
tempat tinggal dengan orang tuanya, mereka senantiasa memperhatikan buah dari
kasih sayangnya terhadap orang tuanya. Untuk meraih itu semua maka orang tua harus
membelaki rasa kasih sayang tersebut sejak mereka masih kecil. Pendidikan yang
bisa membangkitkan sikap dan sifat cinta dan kasih sayang orang tua kepada anak
atau sebaliknya. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan,
diantaranya adalah.
a. Senantiasa Menampilkan Wajah Berseri
Menampilkan wajah
berseri senantiasa bisa menyegarkan suasana rumah. Terutama wajah berseri
bermuatan kasih sayang ini ditampilkan setiap berada dihadapan anak-anak.
Anak-anak seolah-olah mendapatkan motivasi gairah kehidupan yang indah melalui
wajah berseri yang ditampilkan dan dilengkapi dengan senyuman tulus sebagai
pancaran kasih sayang yang senantiasa orang tua berikan terhadap anak-anak akan
mampu membangkitkan sikap sikap dan sifat cinta dan kasih sayang.
Orang tua juga senantiasa memberi
tanggapan terhadap wajah anak-anaknya sebagai cermin dari suasana hati mereka.
Ketika menyaksikan anak tidak menunjukkan wajah berseri seperti hari-hari
sebelumnya dengan penuh kasih sayang, misalnya ungkapan “gerangan apakah yang
terjadi, sehingga wajah berseri anak tersayang ibu hari ini menghilang?”.
Dengan
ungkapan seperti ini, anak akan tersandar bahwa wajah berseri yang selama ini
dia akan berkembang ternyata tidak tampak lagi, dengan memohon cinta dan kasih
sayang dari orang tuanya dia akan terbuka terhadap perkara yang membuat dirinya
murung. Sehingga setelah orang tua menghibur dirinya dengan wajah yang
senantiasa berseri maka sikap dan sifat cinta dan kasih sayangnya akan dengan
mudah dibangkitkan kembali.
b. Senantiasa Memberi Salam
Ucapan
salam dari orang tua terhadap anaknya adalah sebuah nilai yang tak terhingga,
karena di dalam ucapan tersebut terdapat ungkapan doa yang membuktikan rasa
cinta dan kasih sayang orang tua yang hakiki. Orang tua berharap agar
anak-anaknya mendapat curahan keselamatan, cinta dan kasih sayang yang
bersumber dari pemilik keselamatan, cinta dan kasih sayang, yakni Allah yang
Maha pengasih dan Maha penyayang.
Dalam
praktik keseharian orang tua dapat mengajarkan kepada anak-anaknya agar setiap
mereka masuk dan keluar dari rumah selalu mengucapkan salam terlebih dahulu.
Juga dikala mereka menerima salam adalah hal yang ditekankan kepada mereka. Agar sikap dan sifat cinta dan kasih sayangnya kian bersemi dalam
hati sanubarinya.
c. Meluangkan Waktu untuk Bermain Bersama Anak
Bermain dengan anak
sesungguhnya merupakan aktivitas yang menyenangkan bagi orang tua. Selain
menenangkan pikiran-pikiran yang sedang kalut, bermain bersama anak merupakan
wujud tindakan yang bisa membangkitkan rasa cinta dan kasih sayang pada diri
mereka, misalnya dengan bermain kuda-kudaan bersama. Pada saat itu anak
merasakan sebuah curahan cinta dan kasih sayang yang kelak akan dia pantulkan
ketika dia bersikap pada orang-orang yang
ada di sekelilingnya.
Bagi orang tua yang
mempunyai keinginan agar sikap dan sifat cinta dan kasih sayang pada diri anak
akan bangkit maka meluangkan waktu untuk bermain bersama mereka merupakan
bagian penting dari rangklaian pendidikan yang diberikan terhadapnya. Melalui
sarana penuh canda ria dan cinta serta kasih sayang antara anak dengan orang
tua dalam sebuah nuansa dunia bermain, anak akan merasakan sekali pancaran
cinta dan kasih sayang orang tua terhadap dirinya.
d. Menjalin Mesra dan Harmonis dengan Seluruh Anggota
Keluarga
Sensitivitas anak
sangat tinggi, karena itu berhati-hatilah memperlihatkan isi hati kepadanya.
Hal ini dapat mempengaruhi psikologi kejiwaan cinta dan kasih sayangnya. Ketika
hati sedang tidak lapang karena sedang mengalami permasalahan dengan isteri,
maka seorang anak bisa membaca situasi tersebut, meskipun orang tua telah
berupaya menyembunyikannya. Untuk membangkitkan rasa cinta dan kasih sayang
pada diri anak, menjalin hubungan yang mesra dan cara harmonis dengan seluruh
anggota keluarga merupakan cara efektif dalam metode pendidikannya. Karena dengan
adanya anak senantiasa merasakan nuansa rumah yang penuh dengan cinta dan kasih
sayang dalam dirinya akan dengan mudah bisa bangkit dan mencuat keluar dalam
setiap pola sikap yang merupakan sifatnya.
e. Memberikan Ciuman Hangat Penuh Kasih Sayang.
Ciuman orang tua
terhadap anaknya ibarat memberikan suntikan benih cinta dan kasih sayang orang
tua terhadapa anak. Pada saat
melakukannya pun tanpa terasa telah mengalir energi cinta dan kasih sayang
terhadap anak. Semakin sering orang tua memberikan ciuman kepada anaknya, maka
semakin banyak benih cinta dan kasih sayang yang telah disuntikan. Sehingga
benih cinta dan kasih sayang yang telah disuntikan tersebut akan terus
berkembang dan membangkitkan sikap dan sifat cinta dan kasih sayang kelak jika
dia dewasa. Hanya dari sebuah ciuman di pipi atau kening berdampak pada akhlak
anak hingga dewasa kelak.
D. Faktor Genetik dalam
Perkembangan Prilaku Anak
Faktor endogen adalah “Faktor pembawaan atau sifat
yang dibawa oleh individu sejak dalam kandungan hingga kelahiran.”[22] Jadi faktor endogen merupakan faktor
keturunan atau faktor pembawaan. Oleh karena itu pada individu tersebut terjadi
dari bertemuanya ovum dari ibunya dan sperma dari ayahnya, maka tidak heran
bila faktor yang terbawa oleh seseorang individu sama dengan yang dialami oleh
orang tuanya.
Setiap manusia
sebagai pribadi tentu berkomunikasi dengan manusia lainya. Dalam proses
antar individu itu manusia akan terbawa oleh sikap spontan karena latihan atau
pembawaan. Disinilah Islam kemudia memberikan ajaran tegas bagaimana seseorang
itu bergaul dengan sesamanya, apakan pada tingkatan emosi ataupun dalam bentuk
berperilaku nyata.
Pada
dasarnya setiap orang diajarkan oleh Allah SWT untuk menolong sesamanya yang memerlukan
pertolongan. Islam mengajarkan manusia
agar membantu sesama makhluk, bahkan hewan sekalipun bila menderita perlu
ditolong. Prilaku menolong sesama ini perlu dilatih dan dibiasakan sehingga
akhirnya menjadi akhlak atau kepribadian setiap pribadi manusia. Sifat egois
yang mementingkan diri sendiri dan acuh terhadap lingkungan sekitarnya bukan
tuntunan Islam.
Sesungguhnya situasi interaksi
edukatif tidak bisa terlepas dari pengaruh latar belakang kehidupan anak. untuk
itulah pembawaan (genetik) dan lingkungan anak perlu dibicarakan untuk
mendapatkan gambaran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi anak sebelum
masuk lembaga pendidikan formal.
Pendidikan merupakan bagian dari kehidupan manusia. karena itu
mutlak diperlukan. Anak yang baru lahirpun memerlukan pendidikan, bahkan sejak
ia dalam kandungan ibu. Pada umumnya sikap dan kepribadian anak ditentukan oleh
pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan, yang dilalui sejak masa kecil.
Pendidikan merupakan kebutuhan hidup dan tuntutan kejiwaan.
Anak yang baru
lahir membawa sifat-sifat keturunan, tapi ia tidak bedaya dan tak mampu, baik
secara fisik maupun secara mental. Bakat dan mental yang diwariskan orang tua
merupakan benih yang perlu dikembangkan. Semua anggota jasmani membutuhkan
bimbingan untuk tumbuh. Demikian juga jiwanya membutuhkan bimbingan untuk
berkembang sesuai iramanya masing-masing, sehingga suatu waktu anak mampu
membimbing diri sendiri.
Anak yang baru
lahir belum mampu menghadapi kehidupan, tapi tergantung pada lingkungan. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Syaiful Bahri Djamarah dalam bukunya Guru dan Anak Didik dalam Interaksi edukatif, menyatakan bahwa
“Anak yang tumbuh dan berkembang di lingkungan yang baik, ia akan baik demikian
juga sebaliknya, bakat kurang berperan penting dalam membentuk pribadi anak,
karena bakat tak mampu tumbuh dan berkembang pada situasi yang tak sesuai.”[23]
Bakat akan tumbuh
dan berkembang pada situasi yang sesuai. Bakan atau sifat keturunan dengan
interaksi lingkungan mempengaruhi perkembangan anak. bakat atau sifat keturuna
dengan interaksi lingkungan mempengaruhi perkembangan anak. Hal ini identik
dengan apa yang disebutkan oleh Syaiful Bahri Djamarah bahwa “gen mengatur
sifat menurun tertentu yang mengandung satuan informasi genetika. Gen ini
merupakan satuan kimia yang diwariskan dalam kromosum yang dengan interaksi
lingkungan mempengaruhi atau menentukan perkembangan suatu individu.[24]
Genitas manusia telah ada semenjak manusia itu lahir,
jahat, baik, dan buruk semua telah ada, tinggal bergantung pada manusia itu
sendiri, menumbuhkan baik atau yang jahat. Hal ini merupakan faktor pembawaan (endogen) Abu Ahmadi dalam bukunya Psikologi Umum mengatakan bahwa “endogen adalah faktor atau sifat yang
dibawa oleh individu sejak dalam kandungan hingga kelahirannya.”[25]
Jadi faktor endogen merupakan faktor
keturunan atau faktor pembawaan. Oleh karena individu itu terjadi dari
bertemunya ovum dari ibu dan sperma dari ayah, maka tidaklah mengherankan kalau
faktor endogen yang dibawa oleh
individu itu mempunyai sifat-sifat
seperti orang tuanya. Seperti pepatah indonesia “air di cucuran akhirnya
jatuh ke pelimbahan juga.” Ini berarti bahwa keadaan atau sifat-sifat dari anak
itu tidak meninggalkan sifat-sifat dari orang tuanya.
Demikian pula gen ini merupakan satuan kimia yang
diwariskan dalam kromosum yang dengan interaksi lingkungan mempengaruhi atau
menetukan suatu individu. Demikian juga perpaduan antara bakat yang dibawa dari
kelahiran serta pendidikan yang tepat merupakan cara yang paling tepat dalam
proses pembentukan anak dalam masyarakat.
Perkembangan dan
kematangan jiwa seseorang anak dipengaruhi oleh faktor pembawaan lingkungan.
Lingkungan dapat dijadikan tempat kematangan jiwa seseorang. Dengan demikian
baik tidaknya seseorang ditentukan oleh dua faktor tersebut.
Anak yang baru
lahir selalu menuntut penyempurnaan dirinya, bahkan sejak ia dalam kandungan.
Anak dalam kandungan melalui ibunya mengalami proses pematangan diri, baik
fisik mental dan emosional. Hubungan batin antara ibu dan anak dalam kandungan
terjalin sangat erat sekali. Keconcangan emosional dan keterbatasan yang
dilakukan ibu mempengaruhi perkembangan anak secara keseluruhan. Perkembangan
dalam arti kuantitatif maupun kulaitatif dengan perantaraan ibu, anak dalam
kandungan memenuhi tuntutan kejiawaannya untuk mencapai perkembangan tersebut.
Begitu besarnya
pengaruh ibu terhadap anak, sehingga pendidikan anak dapat dilakukan selama
dalam kandungan. Menurut Syaiful bahri Djamarah mengatakan “bahwa anak harus
diberikan pendidikan sedini mungkin bahkan sejak kedua orang tuanya memasuki
jenjang perkawinan, harus sudah mengkakulasikan bagaimana anak yang akan mereka
lahirkan nanti.”[26]
Semenjak lahir manusia telah ada sifat-sifat yang
berhubungan dengan faktor kejasmanian, misalnya bagaimana kulit putih, hitam
atau coklat, bagaimana keadaan rambutnya hitam, pirang dan sebagainya.
Sifat-sifat ini merupakan sifat-sifat yang mereka dapatkan karena faktor
keturunan, seperti yang dikenal dengan hukum Mendel.[27]
Ketika suami isteri bergaul sudah diawali dengan do’a
agar dengan do’a itu setan tidak ikut campur (menurut ajaran Islam) karena
dalam tetes air suci (ovom) yang tersimpan dalam rahim isteri bukan terdiri
dari bahan-bahan jasmaniah semata, tetapi juga mengandung benih watak dan
tabiat calon anak. makanan ibu yang mengandung akan menjadi vitamin anak kelak.
Demikian juga kelakuan ibu dan bapak akan menjadi vitamin jiwa calon anak.
Anak yang dilahirkan ke dunia ini adalah sebagai
individu yang memiliki ciri dan bakat tertentu yang bersifat laten. Ciri-ciri dan
bakat inilah yang akan membedakan dengan anak lainnya dalam lingkungan sosial.
Lingkungan sosial di sini adalah lingkungan sosial masyarakat dalam arti yang
luas.
Faktor pembawaan yang
berhubungan dengan keadaan jasmani pada umumnya tidak dapat diubah. Bagaimana
besar keinginan orang untuk mempunyai warna kulit yang putih bersih, hal ini
tidak mungkin kalau karena faktor keturunan kulitnya berwarna coklat, demikian
pula halnya dengan lainnya.
Di samping itu
individu juga mempunyai sifat-sifat pembawaan psikologik yang erat hubungannya
dengan keadaan jasmani yaitu temperamen. Temperamen merupakan sifat-sifat
seseorang yang erat hubungannya dengan struktur kejamanian seseorang, yaitu
yang berhubungan dengan fungsi-fungsi seperti darah, kelenjar, dan cairan-cairan
lain yang terdapat dalam diri manusia.
Temperamen berbeda
dengan karakter atau watak, yang kadang-kadang kedua pengertian itu
dipersamakan satu dengan yang lain. Karakter atau watak yaitu merupakan
keseluruhan dari sifat seseorang yang nampak dalam perbuatannya sehari-hari,
sebagai hasil pembawaan maupun lingkungan. Temperamen pada umumnya bersifat
tidak konstan, dapat berubah-ubah sesuai dengan pengaruh lingkungan,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Ahmadi adalah “pada individu ada bagian
yang dapat berubah dan ada yang tidak dapat diubah. Yang tidak dapat berubah
inilah yang lebih bersifat konstan yaitu yang berhubungan dengan temperamen.
Agar potensi anak
menjadi aktualisasi dibutuhkan kesempatan untuk dapat mengaktualisasi moral dan
karekter anak, karena kemungkinan ada bakat yang tidak dapat berkembang atau
tidak dapat beraktualisasi karena kesempatan tidak atau kurang memungkinkan.
Mengaktualisasi moral dan karakter anak diperlukan lingkungan yang baik, yang
mendukung, disinilah letak peranan lingkungan dalam perkembangan akhlak anak.
Karena itu langkah yang baik ialah memberi kesempatan untuk mengembangkan
pendidikan akhlak anak.
Faktor eksogen merupakan faktor yang datang
dari luar diri individu, merupakan pengalaman-pengalaman, alam sekitar
pendidikan dan sebagainya, yang sering disebut dengan “milie.” Pengaruh pendidikan
dan pengaruh lingkungan bersifat pasif, dalam arti bahwa lingkungan tidak
memberikan suatu paksaan kepada individu. Lingkungan memberikan
kemungkinan-kemungkinan atau kesempatan kepada individu. Bagaimana individu
mengambil manfaat dari kesempatan yang diberikan oleh lingkungan tergantung
kepada individu yang bersangkutan. Tidak demikian halnya dengan pendidikan,
pendidikan dijalankan dengan penuh kesadaran dan dengan secara sistematik untuk
mengembangkan potensi-potensi yang ada pada individu sesuai dengan cita-cita
atau tujuan pendidikan. Dengan demikian pendidikan itu bersifat aktif, penuh
tangung jawab dan ingin mengarahkan perkembangan individu ke suatu tujuan tertentu.
Sekalipun pengaruh lingkungan tidak bersifat memaksa, namun tidak dapat
diingkari peranan lingkungan cukup besar pengaruhnya dalam perkembangan akhlak
anak.
Hubungan individu
dengan lingkungan ternyata tidak hanya berjalan sebelah, dalam arti hanya
lingkungan saja yang mempunyai pengaruh terhadap individu. Hubungan antara
individu dengan lingkungannya terdapat hubungan yang saling timbal balik, yaitu
lingkungan dapat mempengaruhi individu, tetapi sebaliknya juga dapat
mempengaruhi lingkungan.
E. Aspek yang Berpotensi untuk Pembentukan Prilaku
Anak
1. Pendidikan Anak
Pembentukan prilaku anak adalah semata-mata dengan
memberikan pendidikan kepada anak trersebut, karena tidak bisa dipungkiri bahwa
anak yang tidak berpendidikan jauh lebih berbeda dengan anak yang
berpendidikan. Pendidikan sangat menunjang dalam perkembangan prilaku anak.
Pendidikan awal yang diperkenalkan kepada anak adalah
pendidikan yang menyangkut dengan keagamaan, seperti ilmu tauhid, ilmu akhlak
dan ilmu lainnya yang ada kaitannya dengan pembentukan prilaku dirinya. Dalam
pendidikan inilah langkah awal dalam memperkenalkan bagaimana cara bergaul,
cara bersikap kepada orang, kepada adik seluruh keluarganya, dan kepada teman
sebaya, begitu juga pendidikan yang menyangkut dengan moral.
Setelah kita memperkenalkan ilmu tersebut kepada anak,
barulah kita ajarkan ilmu yang bersifat umum seperti ilmu sosial, agar ia bisa
berinteraksi dengan lingkungannya. Kalau ilmu telah melakat pada dirinya, maka
dalam kehidupan sehari-hari juga terealisasi dengan baik.
Setiap muslim juga diajarkan untuk bisa memberikan
percontohan yang baik pada orang lain. Kebaikan yang dimaksud tentulah kebaikan
sesuai dengan ajaran Allah SWT. Penampilan sederhana walau memiliki banyak
harta lebih terpuji dari kesombongan dan sikap pamer yang mendatangkan hati
ceburu pada yang lain.
2. Perhatian Orang Tua
Anak-anak yang setiap hari bersama orang tua berbeda
dengan anak-anak yang sering ditinggal oleh orang tuanya. Peran orang disini
adalah mengontrol setiap apa yang dilakukan oleh anak, serta mengawasi setiap kesalahan
yang dilakukan anak, mulai dari setelah bangun tidur apakah anak tersebut
merapikan tempat tidurnya, begitu juga hal-hal yang lain sampai kepada masalah
disekolah orang tua memperhatikannya.
Bila kegiatan ini dimulai sejak dini, maka sampai ia
dewasa akan terbawa semua hal yang telah diarahkan oleh tuanya sejak kecil.
Maka oleh sebab itu perhatian orang tua terhadap anak tidak pernah luput dari
kehidupan anak-anak. Bila anak tidak pernah diperhatikan oleh orang tua, maka
hidupnya amburadul, bisa melakukan semua hal yang dia inginkan tanpa
membentengi apakah hal itu bisa dilakukan atau tidak. Anak yang demikian mudah
sekali terjerumus pada kenakalan remaja di kala ia besar kelak.
Kenakalan remaja adalah perbuatan yang tidak baik
dilakukan oleh para remaja. Soedarsono dalam bukunya Kenakalan Remaja, menyebutkan bahwa:
kenakalan remaja adalah meliputi perbuatan-perbuatan anak remaja
yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum tertulis, baik yang terdapat dalam
pidana khusus maupun perundang-undangan di luar pidana. Dapat pula terjadi
perbuatan remaja tersebut berupa anti sosial yang menimbulkan keresahan pada
masyarakat pada umumnya, akan tetapi tidak tergolong delik pidana umum maupun
pidana khusus.[28]
Selain yang telah disebutkan oleh Soedarsono di atas,
ada juga perbuatan anak remaja yang bersifat anti susila seperti durhaka pada
kedua orang tuanya, sesama saudara saling bermusuhan, disamping itu dapat
dikatakan kenakalan remaja, jika perbuatan tersebut bertentangan dengan
norma-norma agama yang dianutnya, misalnya remaja muslim enggan berpuasa,
padahal sudah tamyis bahkan sudah baligh, dan sebagainya.
Agar anak bisa hidup dengan rukun dengan orang tuanya,
dengan sesama orang lain dan sebagainya, maka dibutuhkan perhatian orang sejak
dia usia dini. Karena pada
usia awal kita selaku orang tua mudah dalam mengarahkan anak tersebut.
F. Perlunya Pembinaan
Akhlak Bagi Anak
Sebagaimana kita ketahui
bahwa stiap kegiatan yang perlu dilakukan oleh manusia pada dasarnya telah
mempunyai tujuan tertentu sebagaimana yang diharapkan. Akan tetapi tidak semua
tujuan yang diharapkan itu akan tercapai sebagaimana yang diinginkan bila
faktor-faktor tidak mendukungnya.
Demikian pula
halnya dengan tujuan pendidikan akhlak, para orang tua dan guru selalu
memikirkan moral serta tingkah laku si anak supaya dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik. Orang tua tidak hanya cukup dengan sekedar menuangkan sejumlah
pengetahuan kepada anak atau dengan kata lain memikirkan peningkatan pengetahuan
semata-mata, akan tetapi bagaimana tugas seorang orang tua atau guru dalam
mendidik dan membina kepribadiannya, moral serta akhlak anak dalam
pendidikannya. Maka dalam pendidikan dan pengajaran anak tidak hanya memadai
dengan menerima apa yang diajarkan di sekolah saja, akan tetapi pendidikan
akhlak harus diikut sertakan atau diutamakan agar anak dapat berguna dalam
kehidupan masyarakat kelak. Jika anak tidak dididik dengan pendidikan akhlak
kemungkinan dalam kehidupannya ia selalu memikirkan kepentingan untuk dirinya
sendiri.
Maka setiap ilmu
pengetahuan yang diberikan oleh orang tua terhadap anaknya seharusnya
pendidikan akhlak dan moral serta pembinaan kepribadian yang sehat, pendidikan
yang diberikan itu hendaknya tegas dan jelas akan sasarannya terhadap yang kita
inginkan, karena kita lihat bagaimanapun sistem yang diberikan pendidikan itu
selalu mengikuti dasar negara itu sendiri, sebab negara berdasarkan demokrasi,
maka pendidikan yang diberikan kepada anak-anak juga harus sesuai dan punya tujuan
tertentu demi untuk terbinanya jiwa demokrasi pada anak.
Begitu pula dengan
keadaan negara yang berdasarkan atas ketuhanan, maka seharusnya anak dibawa ke
arah menumbuhkan jiwa ketuhanan yakni kepribadian anak. di samping sikap jiwa
dalam hidup harus dapat dikendalikan prilakunya dengan cara-cara yang baik
sesuai dengan ajaran dan tuntunan ketuhanan itu sendiri.
Demikian pula dalam
keluarga, anak perlu dibiasakan dengan memberikan pendidikan akhlak yang baik,
karena hal ini sangat dianjurkan dalam agama Islam. Negara kita berdasar
Pancasila, maka pendidikan haruslah mempersiapkan anak-anak untuk dapat
mengerti dan memahami tentang Pancasila dan mapu menjadikan Pancasila itu
sebagai dasar hidupnya. Maka dalam hal ini sekolah sebagai lembaga utama dalam
membina dan mempersiapkan anak supaya menjadi warga negara yang baik, maka
hendaklah diajarkan tata cara yang baik-baik dikehendaki oleh Pancasila itu
sendiri. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Zakiah Daradjat, berikut
ini.
Pendidikan yang diberikan di sekolah haruslah ditujukan untuk
menumbuhkan pada anak adalah (1) Keperccayaan dan taqwa kepada Allah SWT, serta
membiasakan bertingkah laku dan pandangan hidup yang sesuai dengan ajaran sila
pertama; (2) Dalam pergaulan dengan orang lain, sikap dan tindakannya haruslah
menunjukkan dan menampakkan sopan santun dan berperikemanuiaa sebagaimana sila
kedua; (3) Meghargai pendapat dan pemikiran orang lain, tidak merasa dia yang
terpandai dengan kata lain menumbuhkan jiwa demokrasi sebagaimana sila keempat;
(4) Rasa keadilan, kebenaran, kejujuran dan suka menolong orang lain
sebagaimana sila kelima.[29]
Pendidikan yang tidak diberikan di sekolah akan tetapi
dalam lingkungan keluarga sejak anak dilahirkan maka mulailah anak menerima
didikannya dan prilaku diri pada orang tuanya, di samping anggota keluarga
turut memberikan dasar-dasar pertumbuhan pembentukan kepribadian. Dengan
demikian dapatlah dikatakan bahwa arah tujuan itu dapat dicapai bilamana
pendidikan itu mencukupi pendidikan akhlak dan agama.
[1]A. Mustofa, Kamus Lingkungan, Cet.I,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal.69.
[2]Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal 67.
[3]Otto Sumarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Perkembangannya, Cet.X (Jakarta:
Imagraph, 2004), hal. 52
[4]Ibid.,
hal. 50.
[5]Ibid.,
hal. 54
[6]Moh. Shoclib, Pola Asuh Orang Tua dalam Membantu Anak Meningkatkan Disiplin Diri,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hal. 67.
[8]Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1978), hal. 3.
[9]Soemiarti Patmono Dewo, Pendidikan Anak Prasekolah, Cet.II,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 45.
[11]Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005),
hal. 19.
[12]Syaiful Bahri Djamarah, Guru
dan Anak Didik dalam Interaktif Edukatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000),
hal. 22
[13]Amhad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Rosda, 2004),
hal. 46
[14]Syaikh Muhammad Said Mursi, Seni
Mendidik Anak, cet.1, (Jakarta: al-Kausar, 2001), hal. 49.
[15] Imam Malik, Al-Muwatha', Juz' II, (Mesir: Darul Ihyail Qutub
Arabiya Isa Al-Baby Al-Halaby Wasyirkah, t.t.), hal. 5.
[19]M. Afrifin, Hubungan Timbal
Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), hal. 84
[20]Muchtar Yahya, Pertumbuhan
Akal dan Menempatkan Naluri Kanak-kanak, Cet.I, (Jakarta: Bulan Bintang,
1970), hal.175
[21]Uken Junaedi, Membangkitkan
Sikap dan Sifat Positif Anak, (Bandung: Ikhtiar Publishing, 2005), hal. 52
[22]Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 56
[23]Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi
Edukatif, Cet I, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 53
[24]Ibid., hal. 54
[25]Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal.198
[26]Ibid., hal. 58
[28]Soedarsono, Kenakalan Remaja, Cet.
IV, (Jakarta: Rineka Cipta,
2004), hal. 13
[29]Zakiah Daradjat, Kesehatan
Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hal. 129
0 Comments
Post a Comment