Mendidik Anak Menurut Ibrahim Amini
BAB
IV
MENDIDIK
ANAK MENURUT IBRAHIM AMINI
A.
Berperilaku
1.
Terhadap Diri Sendiri
Bagi setiap
makhluk telah ditentukan kesempurnaan yang menjadi tujuannya. Ibrahim Amini
mengemukakan bahwa “dari
semua makhluk, hanya manusia yang mempunyai tanggung jawab mengembangkan dan
menyempurnakan dirinya”[1]. Manusia memiliki
kelayakan dan kemampuan menerima kewajiban perintah dan larangan, hal demikian
tidak diragukan lagi dan para Nabi di utus untuk meletakkan tanggung jawab
besar ke atas pundak manusia dan membantu mereka dalam melaksanakannya.
Lebih
lanjut Ibrahim Amini mengemukakan bahwa dari sifat dan prilaku, manusia adalah
maujud potensial (bil guwwah). Pada
saat dia dilahirkan manusia sama sekali kosong dari segala macam sifat, namun
dia makhluk yang mempunyai kemampuan menerima berbagai macam sifat. Secara
perlahan manusia menerima berbagai macam sifat, yang kemudian menjadi sesuatu
yang menempel pada dirinya dan memberinya bentuk[2].
Pada
bagian lain Ibrahim Amini mengemukakan bahwa “seseorang itu tentunya berpengalaman
dan penuh kecintaan yang ikhlas kepada dirinya, yang dengan sukarela meluangkan
waktu dan energinya untuk membantunya mengembangkan segala potensi yang
dimilikinya”.[3]
Menurut
pembahasan diatas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa agar hidup ini
selalu sehat dan lebih bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungannya, maka perilakunya harus ditata atau dikelola
sedemikian rupa. Tanpa dikelola dengan baik, maka banyak waktu, kesempatan, dan
berbagai potensi terbuang percuma. Namun
pada kenyataannya tidak semua orang bisa mengelola perilakunya sendiri dengan
baik. Padahal kunci keberhasilan seseorang sebenarnya terletak pada
kemampuannya mengelola perilaku dirinya
sendiri, dan begitu juga sebaliknya.
2.
Terhadap Orang Tua
Kedua orang tua
memiliki kelayakan menjadi ayah dan ibu manakala mereka bersungguh-sungguh
dalam mendidik anak mereka. Disamping itu Ibrahim Amini mengemukakan bahwa “Islam menganggap
pendidikan sebagai salah satu hak anak, yang jika kedua orang tua melalaikannya
berarti mereka telah menzalimi anaknya dan kelak pada hari kiamat mereka
diminta pertanggung jawabannya”[4].
Seorang anak
juga mempunyai kewajiban terhadap kedua orang tuanya. Sebagaimana Allah Swt berfirman
dalam Alquran Surat Al Isra’ ayat 23-24.
وَقَضَى
رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا
يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا
أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً, وَاخْفِضْ لَهُمَا
جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي
صَغِيراً) الإسراء: ٢٣-٢٤(
Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia, Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil.(Qs. Al-Isra: 23-24).
Lebih
lanjut Ibrahim Amini mengemukakan bahwa “seorang anak yang buruk akan
menghancurkan kehormatan ayah dan ibu dan meruntuhkan nama baik moyangnya”[5].
Berdasarkan
keterangan diatas, bahwa menghormati dan berbakti kepada orang tua, berbuat baik dengan sesama, beribadah kepada
Tuhan, menurut tuntunan agama apapun, adalah merupakan kewajiban, tetapi
ternyata tidak semua orang mampu menjalankannya. Banyak orang melupakan orang
tua, berbuat sesuatu yang tidak menyenangkan orang lain, dan selalu enggan beribadah. Mereka berperilaku
seenaknya sendiri tanpa mempedulikan adat istiadat dan tuntunan agamanya.
Artinya, mereka itu tidak bisa mengelola dirinya sendiri.
3.
Terhadap Orang Lain
Menurut Ibrahim
Amini, “manusia adalah makhluk
sosial. Manusia mempunyai kecendrungan kepada masyarakat dan kehidupan social”[6]. Disamping itu
Ibrahim Amini juga mengemukakan bahwa “seorang manusia menganggap dirinya itu
(bagian) dari masyarakat dan masyarakat itu dari (bagian) dirinya dan begitu
juga kemunduran masyarakat adalah kemunduran dirinya”.[7]
Lebih
lanjut Ibrahim Amini mengemukakan bahwa “sebagai makhluk sosial, manusia
memerlukan bantuan manusia-manusia di sekelilingnya, jadi ia tidak bisa hidup
bebas sekehendak hatinya”.[8]
Hal
tersebut sesuai dengan firman Allah Swt dalam surat
Al-maidah ayat 2 sebagai berikut:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُحِلُّواْ شَعَآئِرَ اللّهِ وَلاَ الشَّهْرَ
الْحَرَامَ وَلاَ الْهَدْيَ وَلاَ الْقَلآئِدَ وَلا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ
يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّن رَّبِّهِمْ وَرِضْوَاناً وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُواْ
وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
أَن تَعْتَدُواْ وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ
عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ) المائدة: ٢(
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram , jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia
dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji,
maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu
kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu
berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.(Qs. Al-Maidah: 2).
Melalui
ayat ini Allah swt. menyuruh umat manusia untuk saling membantu, tolong
menolong dalam mengerjakan kabaikan/kebajikan dan ketaqwaan. Sebaliknya Allah
melarang kita untuk saling menolong dalam melakukan perbuatan dosa dan
pelanggaran. Sebagai makhluk sosial, manusia tak bisa hidup sendirian. Meski
segalanya ia miliki harta benda yang berlimpah sehingga setiap apa yang ia mau
dengan mudah dapat terpenuhi, tetapi
jika ia hidup sendirian tanpa orang lain yang menemani tentu akan kesepian
pula. Kebahagiaan pun mungkin tak pernah ia rasakan.
Berdasarkan
pembahasan yang telah penulis kemukakan diatas, maka penulis berkesimpulan
bahwa mendidik anak berprilaku terhadap diri sendiri; mendidik anak bertanggung jawab mengembangkan
dan menyempurnakan dirinya. Mendidik anak berprilaku terhadap orangtua;
menghormati dan berbakti kepada orang tua,
berbuat baik dengan sesama, beribadah kepada Allah Swt. Mendidik anak berprilaku terhadap orang lain;
mendidik anak untuk saling membantu, tolong menolong dalam mengerjakan
kabaikan/kebajikan dan ketaqwaan.
B.
Berfikir
Menurut Ibrahim
Amini, “akal pada dasarnya
berfungsi untuk mengirim keinginan-keinginan yang tidak benar dan mendorong
pada perbuatan yang positif. Akal adalah pembimbing manusia yang paling efektif”.[9] Disamping itu Ibrahim
Amini juga mengemukakan bahwa “salah
satu metode untuk mengoptimalkan akal adalah dengan sering mempraktikkan
kegiatan berfikir”.[10]
1.
Linguistik Verbal
Kecerdasan
ini memiliki kemampuan untuk menyusun pikirannya dengan jelas. Mereka juga
mampu mengungkapkan pikiran dalam bentuk kata-kata seperti berbicara, menulis,
dan membaca. Orang dengan kecerdasan verbal ini sangat cakap dalam berbahasa,
menceriterakan kisah, berdebat, berdiskusi, melakukan penafsiran, menyampaikan
laporan dan berbagai aktivitas lain yang terkait dengan berbicara dan menulis.
Kasih sayang
memiliki daya untuk menghidupkan semangat anak-anak. Menurut Ibrahim Amini, “kasih sayang adalah
kebutuhan asasi setiap orang, maka kasih sayang sedemikian dahsyat mempengaruhi kehidupan
anak manusia. Anak-anak yang dibesarkan dalam limpahan kasih sayang akan tumbuh
menjadi anak yang mandiri dan kuat”.[11]
Anak-anak tidak
boleh kehilangan kasih sayang orang tuanya tapi juga jangan dibiarkan bebas
begitu saja. Kasih sayang orang tua memang penting, tapi kalau terlalu
berlebihan akan mendatangkan akibat yang tidak diharapkan. Kasih sayang itu
seperti air atau makanan kalau diberikan dengan ukuran yang tepat dan sejumlah
yang tepat maka akan memberikan hasil yang maksimal, tapi kalau tidak demikian
akan berubah menjadi sesuatu yang tidak baik.
Lebih lanjut
Ibrahim Amini mengemukakan bahwa “cinta
dan kasih sayang adalah sebuah kebutuhan alami bagi manusia, dan kehidupan yang
tidak disertai kasih sayang adalah kehidupan yang dingin, kering dan melelahkan”.[12] Pada
bagian lain Ibrahim Amini juga mengemukakan bahwa “kasih sayang juga akan
menyelamatkan anak-anak dari sifat-sifat kerdil. Anak-anak yang kurang atau
tidak mendapatkan kasih sayang orang tuanya akan tumbuh sebagai anak yang
merasa terkucilkan”.[13]
Proses
pendidikan verbal merupakan proses sulit untuk dilatih, maka proses ini
hendaknya dilakukan sejak anak pada usia egresifnya pada usia kanak-kanak,
terkadang orang tua takun ketika anaknya sedang mengalami kelincahan bergerak
hingga melarang untuk bergerak kemana yang ia mau, akhirnya progresif anak
untuk melakukan sesuatu haras diurungkan karena ketakutan dari orang tuannya. Kecerdasan
Linguistik berkaitan dengan kemampuan bahasa dan dalam hal penggunaannya.
Orang-orang yang berbakat dalam bidang ini senang bermain-main dengan bahasa,
gemar membaca dan menulis, tertarik dengan suara, arti dan narasi. Mereka
seringkali pengeja yang baik dan mudah mengingat tanggal, tempat dan nama.
2.
Matematis
Berpikir
matematis merupakan kegiatan mental yang dalam prosesnya selalu menggunakan
abstraksi atau generalisasi. Dalam proses aktivitas ini, salah satu hal penting
yang diusung oleh para ilmuwan di era Euclids adalah berpikir aksiomatis. Islam
membagi-bagi tahapan-tahapan kedewasaan manusia menjadi tiga bagian. Menurut
Ibrahim Amini, sejak anak lahir hingga usia tujuh tahun adalah tahapan
perkembangan pertama”.[14]
Strategi yang paling baik bagi anak-anak dalam tahapan usia seperti ini
adalah menyuruhnya bermain-main. Dengan permainan anak-anak bisa mengembangkan
bakatnya.
Disamping
itu Ibrahim Amini juga mengemukakan bahwa:
Anak-anak
dalam usia ini yaitu 7 tahun kedua (7-14) secara fisik dan kecerdasan dianggap
telah matang. Ia sudah dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk dan
secara intelektual siap untuk memulai proses pembelajaran.[15] Lebih lanjut Ibrahim Amini mengemukakan
bahwa pada tahapan ketiga ini merentang semenjak usia 14 tahun hingga 21 tahun.
Ini adalah masa-masanya untuk belajar secara serius dan melatih pengembangan
watak secara maksimal.[16]
Berdasarkan
keterangan diatas, maka penulis berkesimpulan bahwa pemikiran matematis sebagai
suatu kemampuan berpikir yang berkaitan dengan kemampuan dalam menggunakan penalaran
untuk membangun argument matematis, kemampuan mengembangkan strategi atau
metode, pemahaman konten matematika, serta kemampuan mengkomunikasikan gagasan.
Kemampuan berpikir matematis perlu ditempatkan sebagai tujuan pembelajaran dan
sekaligus sebagai suatu cara untuk pembelajaran matematika (a way of
learning mathematics).
3.
Interpersonal
Kemampuan
untuk mengamati dan mengerti maksud, motivasi dan perasaan orang lain. Peka
pada ekpresi wajah, suara dan gerakan tubuh orang lain dan ia mampu memberikan respon
secara efektif dalam berkomunikasi. Kecerdasan ini juga mampu untuk masuk ke
dalam diri orang lain, mengerti dunia orang lain, mengerti pandangan, sikap
orang lain dan umumnya dapat memimpin kelompok. Masing-masing
anak berbeda dari sisi kecerdasan. Sebagian anak sangat cerdas, sebagian lagi
sedang dan sebagian lainnya kurang. Ibrahim Amini mengemukakan bahwa:
Setiap
anak yang dilahirkan dengan masing-masing wataknya, dalam lingkungan yang
berbeda-beda akan mengalami tingkat perkembangan kecerdasan yang berbeda-beda.
Oleh karena itu sampai batas tertentu pendidikan dapat memberikan pengaruh pada
tingkat kecerdasan anak, meskipun tidak semua anak sama dan faktor-faktor lain
juga tidak bisa di abaikan.[17]
Pada
bagian lain Ibrahim Amini juga mengemukakan bahwa “pada dasarnya semua anak
memiliki akal tapi mereka tidak memaksimalkan akalnya, ia akan mampu memahami
realitas dengan baik. Ia akan mampu memilih cara dan jalan
yang terbaik yang akan mengantarkan ke pintu gerbang kebahagiaan”.[18]
Berdasarkan
pembahasan diatas, maka penulis berkesimpulan bahwa mendidik anak
berfikir menurut pandangan Ibrahim Amini adalah adalah
linguistik verbal; mendidik kemampuan anak untuk menyusun pikirannya dengan jelas. Mereka juga
mampu mengungkapkan pikiran dalam bentuk kata-kata seperti berbicara, menulis,
dan membaca. Matematis; mendidik anak berpikir matematis merupakan kegiatan
mental yang dalam prosesnya selalu menggunakan abstraksi atau generalisasi. Interpersonal;
mendidik kemampuan untuk mengamati dan mengerti maksud, motivasi dan perasaan
orang lain.
C.
Berjiwa Sehat
Diantara
individu-individu manusia terdapat berbagai perbedaan sifat dan kondisi
kejiwaan. Manusia memiliki berbagai macam naluri kejiwaan, antara lain:
1.
Jiwa Bersih
Menurut Ibrahim
Amini, meskipun hakikat manusia adalah “jiwanya
dan tujuan asli dari pendidikan adalah mendidik sifat-sifat kesempurnaan jiwa,
namun dimensi jasmani anak yang tidak boleh di abaikan”.[19] “Sejak anak dilahirkan,
Islam telah memerintahkan kepada para pendidik untuk mengajari dasar-dasar
kesehatan jiwa yang memungkinkan anak menjadi seorang manusia yang berakal,
berfikir sehat, bertindak penuh keseimbangan dan kemauan yang tinggi”.[20]
Lebih
lanjut Ibrahim Amini mengemukakan bahwa “manusia yang senantiasa berusaha
menyempurnakan akhlaknya yang mulia berarti juga menyempurnakan jiwanya, ketika
jiwa sempurna maka akan semakin dekat dengan Allah Swt”.[21]
Hal
tersebut diatas, sesuai dengan firman Allah dalam Alquran surat Asy-Syams
ayat 7-10 sebagai berikut:
وَنَفْسٍ وَمَا
سَوَّاهَا, فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا, قَدْ
أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا, وَقَدْ
خَابَ مَن دَسَّاهَا) الشمس: ٧-١٠(
Artinya: Dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Qs. Asy-Syams:
7-10).
Ayat
diatas, Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya",yakni memberi penjelasan kepada jiwa itu,mana jalan menuju
kejahatan dan mana jalan menuju ketaqwaan. Maksudnya,Allah menampakkan hal itu
kepada jiwa tersebut dan memudahkannya kepada apa yang telah Dia tetapkan
untuknya.
2.
Jiwa Sosial
Sebagai sesama
manusia, hak dan kewajiban sebagai makhluk sosial sebaiknya diutamakan karena
manusia adalah makhluk sosial yang seharusnya berjiwa sosial. Ibrahim Amini
mengemukakan bahwa “seorang
manusia memiliki ikatan tanggung jawab dengan rakyat, dengan penduduk sekota,
dengan tetangga, dengan ayah, ibu, keluarga istri, anak-anak, murid, pegawai,
pekerja, dan ecara umum terikat tanggung jawab dengan manusia lain”.[22]
Lebih lanjut
Ibrahim Amini mengemukakan bahwa “sebagai
seorang anggota dalam sebuah lingkungan
masyarakat maka ia lebih peduli dengan nasib sesamanya. Karena semua sama-sama
saling membutuhkan”.[23] Sehubungan dengan itu
Zakiah Daradjat juga mengemukakan bahwa “sebagai
makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial, manusia tentu saja mempunyai
kebutuhan inividu dan kebutuhan sosial menurut tingkatan-tingkatannya”.[24]
Berdasarkan
keterangan diatas, maka manusia selaku makhluk sosial, tentu senantiasa berhubungan
dengan sesamanya. Dalam hubungan-hubungan dengan sesama ini, kadangkala ada
ketidakcocokan, entah itu berbeda pemikiran, beda pendapat atau pun tindakan.
Di sinilah sebenarnya letak kehebatan manusia sekaligus tantangan, yang
dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan pikiran; untuk memilih dan
memilah, mana pemikiran yang baik, dan mana yang tidak bermanfaat inilah bentuk
tantangannya memilih dan memilah informasi yang masuk ke dalam pikiran, untuk
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
3.
Jiwa Toleransi
Toleransi
merupakan suatu sikap atau prilaku manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana
seseorang menghargai setiap tindakan yang orang lain lakukan. Ibrahim Amini
mengemukakan bahwa “berbagai
aktifitas manusia memiliki esensi sosial dan oleh karena mau tidak mau mereka
bisa membagi pekerjaan diantara mereka. Sehingga dengan begitu mereka dapat
memberikan manfaat kepada yang lain dan sekaligus mengambil manfaat dari mereka”[25].
Ketika seseorang
mampu merangkul cahaya toleransi untuk menerangi pandangan hidupnya, maka
dirinya akan tercerahkan dari kegelapan dan jiwa menjadi energi baik untuk
menerangi kehidupan. Toleransi selalu tercipta dari hati nurani yang baik dan
memperkaya emosional serta mental untuk menyatukan semua perbedaan dalam
kekuatan cinta dan kemanusiaan. Lebih
lanjut Ibrahim Amini juga mengemukakan bahwa “secara material manusia tidak berbeda
dengan binatang tetapi ada substansi lain yang abadi di dalam diri manusia
yaitu ruhnya”[26].
Mendidik anak berjiwa sehat menurut pandangan Ibrahim Amini
adalah; jiwa bersih; menyempurnakan akhlaknya berarti mendidik
menyempurnakan jiwanya, ketika jiwa sempurna maka akan semakin dekat dengan
Allah Swt. Jiwa sosial; mendidik
anak agar ia lebih peduli dengan nasib sesamanya. Karena semua sama-sama saling
membutuhkan. Jiwa toleransi; mendidik anak agar tidak
menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghargai setiap tindakan yang orang
lain lakukan.
[2] Ibid., hal. 247.
[3] Ibid., hal. 247.
[5] Ibid., hal. 112.
[8] Ibid., hal. 231.