Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Menyoal Tugas Pokok dan Fungsi Lembaga Tuha Peut Gampong Menuju Desa Partisipatif


Desa dalam sejarah pembentukan negara kesatuan republik Indonesia yang lebih kepada pemerintahan, tercatat bahwa desa telah ada sejak zaman dahulu kala, jauh sebelum kolonial datang dan negara Indonesia terbentuk. Sebagai suatu bentuk organisasi pemerintahan, desa memiliki otonomi asli. Otonomi asli yaitu hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus atau menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, yang diperoleh dari dalam masyarakat desa itu sendiri berdasarkan hukum adat.

Selain dari pada itu pada sisi sosiologis masyarakat desa lebih pada kebiasaan-kebiasaan yang dianut sejak nenek moyang. Mulai dari pernikahan, syukuran, hingga pada pengaturan pemerintahannya. Yang dimana desa lebih menyukai aturan yang disebut dengan aturan kebiasaan masyarakat desa.

Tetapi, seiring berjalannya waktu dan keinginan pemerintah pusat untuk membangun hukum berdasarkan peraturan yang dibuat mulai dari atas hingga ke bawah (up to down). Penyelenggaraan pemerintah desa yang semula diatur berdasarkan hukum adat atau kebiasaan secara demokratis untuk mengatur masyarakat desa, kemudian mulai mengalami perubahan dengan munculnya campur tangan penguasa atau pemerintah. Dalam hal ini desa dijadikan objek kekuasaan daripada subjek oleh pemerintah. Terbukti pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintah desa. Yang isinya :
"Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai keesatuan masyarakat termasuk didalamnya masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara definisi desa mengalami kerancuan bagi penyelenggaraan pemerintah desa yang demokratis, karena di satu sisi memberikan kewenangan kepada desa untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri dan di sisi lain pemerintah desa disebutkan sebagai organisasi pemerintahan di bawah camat.

Rezim Orde Baru juga menetapkan Pemerintah Desa adalah Keuchiek dan Lembaga Musyawarah Desa. Keuchiek yang terpilih oleh masyarakat desa bertanggung jawab kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II atau Walikotamadya Tingkat II, melalui camat sebagai pejabat yang memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan Keuchiek. Seharusnya Keuchiekbertanggung jawab kepada masyarakat desa yang telah memilihnya. Hal tersebut merupakan suatu bentuk kesalahan dalam melaksanakan pemerintahan yang demokratis yang menjadi ciri kehidupan masyarakat desa dan bentuk penyelenggaraan pemerintah desa.

Selain Keuchieksebagai lembaga eksekutif, di desa dibentuk pula Lembaga Musyawarah Desa (LMD) sebagai lembaga legislatif yang pembentukannya bertujuan sebagai sarana demokratisasi di desa dan difungsikan sebagai pengontrol dari kinerja Keuchiekdan perangkatnya dalam menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan desa.

Keanggotaan LMD pemilihannya dilakukaan oleh Keuchiekselaku Ketua LMD dan memiliki otoritas penuh dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 pasal 17, sehingga anggota LMD yang terpilih merupakan orang-orang atau kroni Keuchiekuntuk menjaga kepentingan politis Keuchiekagar dapat menjaga , dan memperkuat serta melanggengkan kekuasaan Keuchiek. Dampaknya LMD hanya sebagai "lembaga konspirasi", bukan sebagai lembaga kontrol.

Pada struktural pemerintahan desa, maka selain membentuk LMD di desa, dibentuk juga Lembaga Keamanan Masyarakat Desa (LKMD) melalui instruksi Presiden No. 28 Tahun 1980 dan Instruksi mendagri No. 4 Tahun 1981. Tujuan pembentukan LKMD sebagai sebuah lembaga yang berfungsi untuk mengkoordinasikan dan mengatur pelaksanaan proyek-proyek pembangunan di tingkat Desa. Permasalahannya kepengurusan LKMD hampir sama dengan LMD, ketua LKMD dijabat oleh Keuchiek(ex officio). Keanggotaan dalam kepengurusan LKMD harus persetujuan Keuchiek. Sehingga kroni-kroni Keuchiekkembali menduduki keanggotaan LKMD.

Uraian dari yang ada pada pengaturan baik Instruksi Presiden dan Instruksi Mendagri memberikan gambaran bagaimana pemerintahan desa dilaksanakan secara sentralistis, struktur kekuasaan yang monolitik telah menghilangkan tatanan pemerintahan yang demokratis karena tidak akan pernah terdengar pandangan-pandangan yang berbeda dengan Keuchiek.
Berakhirnya rezim orde baru hasil reformis yang diperjuangan oleh mahasiswa, mengakhiri segala otoriter politik kekuatan politik dan sosial yang selama ini berlangsung. Awal reformasi kekuasaan beralih ke tangan Habibie yang kemudian mulai membentuk kabinet reformasi. Implikasi kebijakan kabiner reformasi membawa dampak pada perubahan politik dan pola penyelenggaraan pemerintah pusat hingga ke Desa. Salah satu produk peraturan pada kabinet reformasi adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dan didalam undang-undang ini juga mengatur tentang Pemerintahan Desa.

Latar belakang kelahiran maupun implementasi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menurut Ryaas Rasyid antara lain adalah : " Pemerintah Desa harus dikembalikan kepada bentuk aslinya yang disebut self governing community.Pemerintahan Desa sebaiknya bukan merupakan pemerintahan pada level administratif yang paling rendah tetapi sebagai lembaga tradisional Desa."

Pelakasanaan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, dilakukan oleh pemerintah desa bersama Lembaga Tuha Peut Gampong . Lembaga Tuha Peut Gampong merupakan penyempurnaan dari LMD karena Lembaga Tuha Peut Gampong lebih bersifat independen pemilihan anggotanya dilakukan sendiri oleh masyarakat desa dari elit-elit desa yang mencalonkan diri untuk menjadi Lembaga Tuha Peut Gampong .
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 di set up untuk merubah sistem pemerintah desa yang sentralistik menjadi demokratis. Hal ini terlihat dari isi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang memisahkan antara kewenangan Keuchiek dan Lembaga Tuha Peut Gampong serta membatasi kewenangan Keuchiekseperti Orde Baru.
Hasil penelitian Iberamsyah di Gede Pangrango memperoleh temuan-temuan antara lain bahwa : "Pembentukan Lembaga Tuha Peut Gampong sebagai lembaga perwakilan yang lebih otonom dan representatif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah memunculkan tokoh-tokoh masyarakat sebagai elit formal baru mendampingi eksekutif dan birokrasi desa. Dominasi Keuchiekterhadap lembaga perwakilan desa telah berakhir dan Lembaga Tuha Peut Gampong menjadi penyeimbang kekuasaan elit formal desa. Pada proses pembuatan pembuatan keputusan desa Lembaga Tuha Peut Gampong kadang lebih dominan, pembuatan keputusan juga mengalami perubahan semula dilakukan secara musyawarah dan mufakat berubah menjadi pemungutan suara terbanyak. Pemerintah Desa lebih terlihat otonom dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan desa, karena pemerintah ditingkat atasnya tidak melakukan interventis terhadap pembuatan keputusan".
Kutipan di atas tersebut menunjukan implentasi kebijakan undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah telah mempengaruhi pola penyelenggaraan pemerintah desa yang sebelumnya di Orde Baru berlangsung secara sentralistik kemudian berubah menjadi demokratis melalui kewenangan Lembaga Tuha Peut Gampong . Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 telah membagi kekuasaan pada elit pemerintahan desa, sehingga muncul kekuasaan antara Keuchiekdan Lembaga Tuha Peut Gampong dalam penyelenggaraan pemerintah desa dan peraturan desa. Lembaga Tuha Peut Gampong akhirnya menjadi peran yang aktif dalam penyeimbang kekuasaan Keuchiek.

Pada tahun 2004 dan berbagai konflik atas implementasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahu 1999 tentang pemerintahan daerah, menyebabkan pemerintah mengundangkan peraturan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, karena pada undang-undang sebelumnya tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.

Dalam analisis penulis perubahan yang mendasar pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah ada dua hal yaitu, pertama, Lembaga Tuha Peut Gampong diganti menjadi Lembaga Tuha Peut Gampong dengan penetapan dilakukan secara musyawarah dan mufakat. Perubahan tersebut diharapkan dapat mencegah konflik dan mewujudkan demokratisasi desa. Kedua, sekretaris Desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.

Munculnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Pemerintahan pada era Joko Widodo mengeluarkan kebijakan, desa mendapatkan dana satu miliar lebih dengan berlandaskan pada aturan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Yang dimana menurut penulis dalam hal ini pemerintah memulai langkah untuk mewujudkan pemerintahan desa yang otonom dan mandiri, dan menegaskan bahwa dalam pemerintahan desa terdapat Lembaga Tuha Peut Gampong yang mempunyai lembaga legislatif di tingkat desa.

Pengurus Lembaga Tuha Peut Gampong merupakan badan permusyawaratan yang terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat yang ada di Desa yang berfungsi mengayomi adat-istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintah Desa.

Lembaga Tuha Peut Gampong berperan dalam membuat Rancangan Peraturan Desa yang secara bersama-sama Pemerintah Desa kemudian ditetapkan menjadi Peraturan Desa. Dalam hal ini, Lembaga Tuha Peut Gampong sebagai lembaga pengawasan berperan untuk melakukan kontrol terhadap implementasi peraturan desa serta anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes).

Pada pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa fungsi Badan Permusyawaratan Desa ada 3, yaitu : membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Keuchiek, menampung dan menyepakati aspirasi masyarakat Desa, serta melakukan pengawasan kinerja Keuchiek.

Tetapi dalam implementasinya fungsi Lembaga Tuha Peut Gampong tidak terlaksananya secara optimal. Yang disebabkan dua faktor yaitu, pertama hambatan intern, yang dimana pengurus Lembaga Tuha Peut Gampong mempunyai pekerjaan diluar daripada tugas Lembaga Tuha Peut Gampong dana operasional yang tidak memenuhi. Dan terkadang Lembaga Tuha Peut Gampong tidak secara profesional melaksanakan fungsinya sebagaimana amanat undang-undang. Kedua, Hambatan Ekstern, yaitu hambatan luar Lembaga Tuha Peut Gampong yaitu mekanisme kerja dari pemerintah desa yang kurang terbuka kepada Lembaga Tuha Peut Gampong serta kurangnya pemahaman dari pemerintah desa dan masyarakat atas kedudukan Lembaga Tuha Peut Gampong di Desa.


Kesimpulan

Sejarah peraturan yang mengatur Lembaga Tuha Peut Gampong mulai dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan lebih spesialis lagi pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Menjadi tolak ukur bahwa Pemerintahan Desa adalah bagian yang sangat penting bagi pembangunan nasional.

Sampai saat ini peraturan yang ada masih belum bisa mengakomodir secara efektif dan lengkap untuk fungsi dan wewenang Lembaga Tuha Peut Gampong . Hal ini terbukti dari berbagai permasalahan yang ada, baik secara internal yaitu yang dimana pengurus Lembaga Tuha Peut Gampong mempunyai pekerjaan diluar daripada tugas Lembaga Tuha Peut Gampong dana operasional yang tidak memenuhi. Dan terkadang Lembaga Tuha Peut Gampong tidak secara profesional melaksanakan fungsinya sebagaimana amanat undang-undang, dan ekseternal yaitu hambatan luar Lembaga Tuha Peut Gampong yaitu mekanisme kerja dari pemerintah desa yang kurang terbuka kepada Lembaga Tuha Peut Gampong serta kurangnya pemahaman dari pemerintah desa dan masyarakat atas kedudukan Lembaga Tuha Peut Gampong di Desa.

Sehingga perlu ada pembaharuan yang mengatur secara lengkap fungsi Lembaga Tuha Peut Gampong dalam pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yaitu memasukkan klausal dana operasional Tuha Peut Gampong (Tuha Peut) dan Peningkatan kualitas sumber daya Lembaga Tuha Peut Gampong (Tuha Peut) melalui pelatihan masih guna menunjang fungsi Lembaga Tuha Peut Gampong menuju desa mandiri dan partisipatif.


sUMBER: https://www.kompasiana.com