A.
Metode Pendidikan
Sarana untuk membentuk keluarga dalam Islam harus melalui ikatan
pernikahan. Dengan melangsungkan pernikahan, maka pasangan suami istri akan
memperoleh manfaat dari pernikahan tersebut. Salah satu manfaatnya adalah memelihara
kelangsungan jenis manusia di dunia yang fana ini. Kelahiran anak merupakan
amanat dari Allah Swt kepada bapak dan ibu sebagai pemegang amanat yang
harusnya dijaga, dirawat, dan diberikan pendidikan. Itu semua merupakan bagian
dari tanggung jawab orang tua kepada anaknya.
Anak dilahirkan tidak dalam keadaan lengkap dan tidak pula dalam keadaan
kosong. Ia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Memang ia dilahirkan dalam keadaan
tidak tahu apa-apa, akan tetapi anak telah dibekali dengan pendengaran, penglihatan,
dan kata hati. Dengan diberikannya penglihatan, pendengaran, dan kata hati
tersebut, diharapkan orang tua harus mampu membimbing, mengarahkan, dan
mendidiknya dengan ekstra hati-hati karena anak sebagai peniru yang ulung. Oleh
karena itu semaksimal mungkin orang tua memberikan pelayanan terhadap anaknya.
Pelayanan yang maksimal akan menghasilkan suatu harapan bagi bapak ibunya,
tiada lain suatu kebahagiaan hasil jerih payahnya. Sebab anak adalah sumber
kebahagiaan, kesenangan, dan sebagai harapan dimasa yang akan datang.
Harapan-harapan orang tua akan terwujud, tatkala mereka mempersiapkan sedini
mungkin pendidikan yang baik sebagai sarana pertumbuhan dan perkembangan bagi
anak.
Diantara metode pendidikan anak menurut Ibrahim Amini
adalah sebagai berikut:
1.
Metode Pembiasaan Diri
Metode
pembiasaan adalah “strategi yang sangat aktif dalam mengembangkan
perilaku-perilaku yang positif”[1].
Tapi metode ini ada kelemahan-kelemahannya karena kebiasaan ini dipraktikkan
oleh si anak tanpa pemahaman atas manfaatnya padahal kalau anak-anak kecil
membiasakan perbuatan keterampilan tersebut sambil benar-benar menghayatinya
maka efektifitasnya akan sangat tinggi ketika beranjak dewasa. Orangtua memang
sulit menjelaskan kegunaan dari praktik-praktik yang harus dilakoni anak-anak
sejak kecil. Tapi orangtua juga memiliki kesempatan untuk menjelaskan dengan
cara yang dapat dipahaminya. Ketika mereka mulai memasuki usia sekolah,
tanggung jawab penjelasan ini bisa diambil alih oleh guru-guru mereka di
sekolah-sekolah.
Khoja
Nashiruddin Thusi sebagaimana yang dikutip oleh Ibrahim Amini beliau mengatakan
bahwa:
Ketika anak-anak sudah menginjak dewasa dan mereka bisa memahami perkataan
orang-orang yang dewasa, maka ajarkanlah kepada mereka bahwa tujuan dari
memiliki kekayaan dan sebagainya itu adalah untuk kekuatan dan kesehatan badan,
agar mereka tidak jatuh sakit dan bisa mengumpulkan bekal untuk hari akhirat,
jelaskan juga kepada mereka bahwa kelezatan badan itu tidak lain dari terlepas
dari penderitaan.[2]
Ketika anak
sudah mencapai usia tujuh tahun, maka mulailah ajarkan shalat dan bersuci
dengan cara yang bijak, kalau sudah berusia 10 tahun belum mau juga melakukan
shalat pukullah dan didiklah. Berikanlah pengertian tentang keburukan dan
kejahatan mencuri dan ketika mereka sudah dewasa barulah jelaskan (hikmah) di
balik semua aturan-aturan yang harus mereka kerjakan tersebut. Berikan
keterangan pada mereka bahwa makanan yang dimakan mereka itu harus menjadi
energi untuk taat kepada Allah Swt.
Dunia adalah ladang untuk akhirat.
Lebih lanjut Ibrahim
Amini juga mengemukakan bahwa “kebiasaan yang sering dilakukan memang
memberikan pengaruh yaitu ia merasa perbuatan itu sudah menyatu dengan dirinya”[3].
Mengajarkan hal-hal seperti ini pada anak-anak tak ubahnya dengan memahat
sebongkah batu, tapi kalau terlupakan maka apa yang kita sampaikan itu seperti
tanah yang berjatuhan dari dinding.
Menurut
Abdullah Nashih Ulwan “peranan pembiasaan, pengajaran dan pendidikan dalam
pertumbuhan dan perkembangan anak akan menemukan tauhid yang murni,
keutamaan-keutamaan budi pekerti, spritual dan etika agama yang lurus”[4].
2. Mendidik dengan Teladan
Menurut Ibrahim
Amini, “mendidik dengan memberi contoh adalah salah satu cara yang paling
banyak meninggalkan kesan”[5].
Carilah sosok figur yang memiliki nilai-nilai yang ingin kita ajarkan di tengah-tengah mereka. Lebih lanjut Ibrahim
Amini mengemukakan bahwa: “Teladan itu seperti magnet yang menyedot anak murid
untuk mengikuti apa yang mereka lihat dengan kepala mata sendiri. Tidak ada
yang meragukan betapa efektifnya teladan itu karena di setiap jiwa manusia
tersimpan semangat seperti itu”[6].
Keteladanan
dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil
dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual dan etos anak.
Mengingat pendidik adalah seorang figur terbaik dalam pandangan anak yang tindak tanduk dan sopan santunnya, disadari
atau tidak akan ditiru oleh mereka. Bahkan bentuk perkataan, perbuatan dan
tindak tanduknya akan senantiasa tertanam dalam kepribadian anak. Oleh karena
itu masalah keteladanan menjadi faktor penting dalam menentukan baik buruknya
anak.
Berbicara tentang masalah keteladanan, Rasulullah Saw. memang
sangat pantas menjadi sosok idola yang bisa diteladani oleh setiap manusia
dimanapun berada, apa pun profesinya. Inilah kelebihan
Rasulullah Saw. karena Allah sendiri dengan jelas menyatakan dalam firman-Nya bahwa
terdapat suri tauladan yang baik dalm diri Rasulullah Saw. Siapa pun ada, jika
ingin sukses dunia akhirat, contohlah Rasulullah, karena Rasulullah adalah
diibaratkan sebagai Alquran
hidup. Panduan Muslim
memang Alquran
yang merupakan firman Allah, namun contoh penerapan Alquran dalam kehidupan
sehari-hari dapat kita lihat dari kepribadian Rasulullah Saw. Allah Swt berfirman
dalam surat Al-Ahzab ayat 21 sebagai
berikut:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن
كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً﴿الأحزاب:
٢١﴾
Artinya:
Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. (Qs.
Al-Ahzab: 21).
Dan
dalam surat Al-Anbiya
ayat 107 Allah Swt juga berfirman
sebagai berikut:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ
إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ) الأنبياء: ١٠٧(
Artinya: Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.(Qs.Al-Anbiya’:107)
Sebagai pribadi muslim banyak yang
harus diteladani dari Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad Saw senantiasa berusaha
memelihara dan meningkatkan kesehatan, kebersihan dan keindahan tubuhnya secara
islami. Dalam hubungannya dengan sesama manusia Nabi Muhammad Saw senantiasa
membiasakan diri dengan akhlak terpuji dan menjauhkan diri dari kahlak tercela
serta giat beramal shaleh yang bermanfaat bagi orang banyak .
3. Insting Meniru
“Hasrat untuk
meniru perbuatan orang lain tersimpan di setiap sanubari manusia. Sang anak
adalah sang peniru dan terus akan menjadi peniru. Kecerdasan dan kedewasaannya
tidak akan menurunkan semangat menirunya”[7]. Lebih
lanjut Ibrahim Amini mengemukakan bahwa:
Insting meniru-niru yang ada di dalam diri anak cukup membantunya dalam
beradaptasi dengan lingkungan dan komunitas manusia. Karena adanya insting
meniru inilah yang menjadikan manusia bisa dengan mudah mempelajari cara makan,
minum, berpakaian, berbicara, menyatakan perasaannya, menyatakan rasa takut dan
kekhawatirannya dan kebiasaan-kebiasaan yang hidup di tengah lingkungannya.[8]
Jadi insting
meniru itu sangat bermanfaat dan kita tidak bisa melenyapkan insting tersebut,
justru harus didayagunakan. Hidupkanlah potensi ini sambil tidak lupa
menyuguhkan contoh-contoh yang baik.
0 Comments
Post a Comment