BAB II
Motivasi Orang Tua Dan Pendidikan Anak
A.
Landasan
Pendidikan Anak
Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu
tujuan mempunyai tujuan landasan tempat berpijak yang baik dan kuat. Oleh
karena itu pendidikan anak sebagai usaha untuk membentuk manusia, harus
mempunyai landasan ke mana kegiatan dan perumusan tujuan pendidikan anak itu
dihubungkan.
Landasan itu terdiri dari Al-Qur’an dan Sunnah yang dikembangkan dalam
bentuk ijtihad. Kemudian landasan
tersebut juga dikembangkan dan bentuk undang-undang negara yaitu UUD 1945.
untuk memperjelas persoalan tersebut, maka ada baiknya penulis menguraikan
dasar pendidikan anak menurut katagori masing-masing antara lain:
a.
Al-Qur’an
Al-Qur'an ialah firman Allah berupa
wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad saw. Di dalamnya
terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek
kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam Al-Qur'an itu terdiri
dua prinsip besar, yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut
dengan aqidah, yang berhubungan dengan ibadah disebut syari’ah.
Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan
wahyu tidak banyak dibicarakan dalam Al-Qur'an, tidak sebanyak ajaran yang
berkenaan dengan amal perbuatan. Ini menunjukkan bahwa amal itulah yang paling
banyak dilaksanakan, sebab semua amal perbuatan manusia dalam hubungannya
dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan manusia sesamanya (masyarakat),
dengan alam dan lingkungannya, dengan makhluk lainnya, termasuk dalam ruang lingkup
amal shaleh (syari’ah). Istilah-istilah yang biasa digunakan dalam membicarakan
ilmu tentang syari’at ini ialah:
a.
Ibadah untuk perbuatan langsung
berhubungan dengan Allah.
b.
Mu’amalah untuk perbuatan yang
berhubungan dengan selain Allah.
c.
Akhlak untuk tindakan yang menyangkut
etika dan budi pekerti manusia, baik pribadi maupun masyarakat.[1]
Pendidikan, karena termasuk ke dalam
usaha atau tindakan untuk membentuk manusia, termasuk ke dalam ruang lingkup
mua’amalah. Pendidikan sangat penting karena ia ikut menentukan corak dan
bentuk amal dan kehidupan manusia, baik pribadi maupun masyarakat.
Di dalam Al-Qur'an terdapat banyak
ajaran yang berisi prinsip-prinsip berkenaan dengan kegiatan atau usaha
pendidikan itu. Sebagai contoh dapat dibaca dalam kisah Luqman mengajari
anaknya dalam surat Luqman ayat 12 sampai 19 sebagai berikut:
ولقد
أتينا لقمان الحكمة أن اشكر لله ومن يشكر فانما يشكر لنبسه ومن كفر فان الله غني حميد،
واذ قال لقمان لإبنه وهو يعظه يابني لا تشرك بالله ان الشرك لظلم عظيم، ووصينا
الإنسان بوالديه حملته أمه وهن على وهن وفصله فى عامين ان اشكرلى ولوالديك الي
المصير، وان جاهدك علي انتشرك بى ماليس لك به علم فلا تطعمها وصاحبهما فى الدنيا
معروفا واتبع سبيلا من اناب الي ثم الي مرجعكم فانبئكم بما كنتم تعلمون، يبني انها
ان تك مثقال حبة من خردل فتكن فى صخرة اوفى السماوات او فى الأرض يأت بهاالله ان
الله لطيف الخبير، يبني اقم الصلاة وأمر بالمعروف وانه عن المنكر واصرب على
مااصابك ان ذلك من عزم الامور، ولا تصعر خدك للناس ولا تمش فى الارض مرجا ان الله
لايحب كل مختال فخور، وقضد فى مشيك واغضض من صوتك ان انكر الاصوات لصوت الحبير.
(لفمان: ١٢-١۹)
Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat
kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang
bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri;
dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi
Maha Terpuji". Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya
di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Q. S. Luqman: 12-19)
Cerita ini menggariskan prinsip materi
pendidikan yang terdiri dari masalah iman, akhlak ibadah, sosial dan ilmu
pengetahuan. Ayat lain menceritakan tujuan hidup dan nilai tentang sesuatu
kegiatan dan amal saleh. Itu berarti bahwa kegiatan pendidikan harus mendukung
tujuan hidup tersebut. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus mengunakan
Al-Qur'an sebagai sumber utama dalam merumuskan berbagai materi tentang
pendidikan Islam.[2]
Dengan kata lain, pendidikan Islam harus berlandaskan ayat-ayat Al-Qur'an yang
penafsirannya dapat dilakukan berdasarkan ijtihad disesuaikan dengan perubahan
dan perkembangan zaman.
b.
Hadits
As-Sunnah ialah perkataan, perbuatan
ataupun pengakuan Rasul Allah SWT. Yang dimaksud dengan pengakuan ialah
kejadian atau perbuatan orang lain yang diketahui Rasulullah dan beliau
membiarkan saja kejadian atau perbuatan itu berjalan. As-Sunnah merupakan
sumber ajaran kedua sesudah Al-Qur'an. Seperti Al-Qur'an, As-Sunnah juga berisi
tentang aqidah dan syari’ah. Sunnah berisi petunjuk (pedoman) untuk
kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat menjadi
manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa. Untuk itu, Rasul menjadi guru dan
pendidik utama. Beliau sendiri mendidik, pertama dengan menggunakan rumah
Al-Arqam ibn Abi Al-Arqam, kedua dengan memanfaatkan tawanan perang untuk
mengajar baca tulis, ketiga dengan mengirim para sahabat ke daerah-daerah yang
baru masuk Islam. Semua itu adalah pendidikan dalam rangka pembentukan manusia
muslim dan masyarakat Islam.[3]
Oleh karena itu, Sunnah merupakan
landasan kedua bagi cara pembinaan pribadi manusia muslim. Sunnah selalu
membuka kemungkinan penafsiran berkembang. Itulah sebabnya, mengapa ijtihad
perlu ditingkatkan dalam memahaminya termasuk sunnah yang berkaitan dengan
pendidikan.
c.
UUD 1945
Pendidikan adalah usaha untuk mendidik
manusia agar ia mampu menjalani kehidupannya baik dalam kehidupan berbangsa
maupun dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, dalam UUD 1945 dijelaskan
bahwa “Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung
seumur hidup.”[4]
Berdasarkan keterangan di atas, maka
dapat difahami bahwa proses pembelajaran wajib diterima setiap manusia
Indonesia seumur. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan salah satu usaha yang
dilakukan secara sadar dalam mengembangkan kemampuan dan kepribadian.
Di sisi lain, pendidikan juga perlu
diberikan kepada semua bangsa Indonesia, apalagi semua bangsa Indonesia
memperoleh hak yang sama dalam memperoleh pendidikan dan pengajaran. Hal ini
sesuai pula dengan UUD 1945 bahwa “setiap warga negara berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran yang sama”.[5] Ini berarti
dalam proses pendidikan dan pengajaran, negara tidak memperlakukan rakyatnya
secara semena-mena, bahkan diberikan hak yang sama dalam menuntut ilmu
pengetahuan.
B.
Tujuan Pendidikan
Anak
Tujuan dari melaksanakan pendidikan
anak untuk memberikan pengetahuan tentang pelajaran agama Islam yang diajarkan
untuk memahami, menghayati, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan
agama termasuk salah pengetahuan terpenting dalam mengembangkan wawasan keagamaan
anak, karena dengan adanya pendidikan agama, anak dapat mengetahui hal-hal yang
berkaitan langsung dengan pengabdian manusia kepada Khaliknya.
Oleh karena itu, secara garis besar, pendidikan anak
mempunyai tujuan sebagai berikut:
a.
Untuk mengenal hubungan manusia dengan
Allah SWT (Hablumminallah).
Hubungan vertikal antara manusia dengan Khaliknya mencakup
dari segi aqidah yang meliputi: iman kepada Allah, iman kepada
malaikat-malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada
rasul-rasul-Nya, iman kepada hari akhir, dan iman kepada qadha qadar-Nya.[6]
b.
Untuk mengenal hubungan
manusia dengan manusia (Hablumminannas).
Pengetahuan yang diajarkan meliputi: akhlak dalam pergaulan
hidup sesama manusia, kewajiban membiasakan berakhlak yang baik terhadap diri
sendiri dan orang lain, serta menjauhi akhlak yang buruk.[7]
c.
Untuk mengenal hubungan manusia dengan
alam sekitarnya.
Pengetahuan tentang hubungan manusia dengan alam sekitarnya
meliputi akhlak manusia terhadap alam lingkungannya, baik lingkungan dalam arti
luas, maupun makhluk hidup selain
manusia, yaitu binatang dan tumbuh-tumbuhan.[8]
Proses penyaluran ilmu pengetahuan mempunyai fungsi dan
peranannya yang amat luas, baik di dalam tujuan pokok maupun dalam tujuan
sementara. Karena hal tersebut menyangkut keimanan dan ketaqwaan kepada Allah
SWT sudah sejak awal menjadi ciri dan unsur pokok umat manusia.
Iman dapat diartikan dengan “keyakinan yang mantap akan
adanya keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, syari’at serta keputusan-Nya, Maha
Pencipta segalanya Dialah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dengan
sebenarnya, tiada Tuhan selain Dia”.[9]
Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa:
عن
أبى عمرو وقيل أبى عمرة سفيان بن عبدالله رضي الله عنه قال قالت يارسول الله قل لى فى الإلام قولا أسأل عنه أحدا غيرك، قال:
قل أمنت بالله، ثم استقم (رواه مسلم)[10]
Artinya: Abu Amar atau Abu Amrah Aufan
bin Abdullah Rasulullah saw berkata: wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku satu
perkataan dalam Islam yang tidak akan pernah aku tanyakan kepada selain
engkau”. beliau bersabda, “katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian
beristiqamah”. (H. R. Muslim)
Namun demikian konsep iman yang
dibicarakan dalam bacaan pada umumnya mengacu pada masalah berbakti kepada
Allah dan Rasul-Nya. Menurut Mahmud Syaltut, yang dimaksud dengan keimanan
“mengamalkan apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi saw dan para sahabatnya;
disebut “taqwa” karena mereka teguh mengikuti sunnah Nabi saw; disebut
muslimin, karena mereke berpegang di atas al-haq (kebenaran), tidak berselisih
dalam agama, mereka terkumpul pada para imam al-haq, dan mengikuti apa yang
telah menjadi kesepakatan para ulama”.[11]
Karena itu mengikuti sunnah Rasulullah Saw, maka mereka
disebut dengan ahlul hadits, ahlul autsar, ahlul ‘ittiba’, thaifah al-mansurah
(kelompok yang dimenangkan), dan firqah an-najah (golongan yang selamat).[12]
Oleh karena itu, mempelajari aqidah akhlak merupakan suatu kewajiban bagi kaum
muslimin yang hendak beriman kepada secara teguh kepada Allah SWT.
Demikian juga dengan akhlak sebagian dari pelajaran pokok
yang diajarkan dalam aqidah akhlak menyangkut masalah-masalah akhlak dan
moralitas dengan mengangkat cerita-cerita kesabaran dan ketabahan Nabi Saw
dalam menghadapi segala macam cobaan, maka dapatlah diketahui pembinaan akhlak
dan moralitas merupakan hal yang sangat diutamakan disetiap masyarakat sejak
dahulu sampai sekarang, terutama dalam upaya pembinaan manusia seutuhnya dan
pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas.
C.
Metode Orang Tua
Terhadap Pendidikan Anak
Penerapan suatu metode dalam setiap situasi pengajaran
haruslah mempertimbangkan dan memperhatikan berbagai kemungkinan-kemungkinan
yang dapat mempertinggi mutu dan efektifitas suatu metode tertentu. Kalau
tidak, maka bukan saja akan berakibat proses pengajaran terhambat, akan tetapi
akan berakibat lebih jauh, yaitu tidak tercapai tujuan pendidikan sebagaimana
yang telah ditetapkannya. Namun demikian dalam proses memberikan pendidikan
terhadap anak-anak tidak ditetapkan metode khusus, tetapi metode-metode yang
berlaku umum diterapkan dalam pengajaran anak. Adapun metode tersebut adalah:
1.
Metode Hiwar
Hiwar (dialog) ialah “percakapan silih berganti antara dua
pihak atau lebih melalui tanya jawab mengenai suatu topik yang mengarah kepada
satu tujuan, sehingga kedua pihak dapat bertukar pendapat tentang suatu perkara
tertentu“.[13]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami metode
hiwar merupakan pengajaran agama Islam yang memfokuskan diri dalam bentuk
pertukaran pandangan antara si siswa dengan orang tuanya atau sebaliknya.
2.
Metode Kisah
Dalam pendidikan Islam, kisah mempunyai fungsi edukatif yang
tidak dapat diganti dengan bentuk lain selain bahasa. Hal ini disebabkan kisah
“Qur’ani dan Nabawi memiliki beberapa keistimewaan yang membuat dampak
psikologis dan edukatif yang sempurna, rapih, dan jauh jangkauannya seiring
dengan perjalanan zaman”.[14]
Contohnya adalah orang tua memberikan contoh-contoh kepada anaknya berdasarkan
kisah-kisah masa lalu seperti kisah ashabul kahfi.
3.
Metode Amtsal
Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat dalam bentuk
amtsal (perumpamaan) dalam rangka mendidik umatnya.[15]
Demikian juga dalam proses pelaksanaan pendidikan sangat banyak
perumpamaan-perumpamaan yang harus diberikan oleh seorang orang tua. Contohnya orang tua memberikan
perumpamaan berdasarkan Al-Qur'an seperti perumpamaan yang dialami oleh
Nabi Yusuf As.
4.
Meotde ‘Ibrah dan Mau’izah
‘Ibrah adalah suatu metode yang digunakan untuk melakukan
pertimbangan dari kejadian-kejadian yang ada dalam Al-Qur’an. Sedangkan
mau’izah adalah “metode yang penekanannya kepada memperkuat ingatan terhadap
kejadian-kejadian yang telah lalu, khususnya mengenai kisah-kisah yang ada
dalam Al-Qur’an”.[16]
D.
Prinsip-Prinsip
Pendidikan Terhadap Anak
Secara umum prinsip pendidikan mempunyai pengertian suatu
haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan.
Dihubungkan dengan pendidikan anak, strategi dapat diartikan sebagai pola-pola
kegiatan ayah-anak dalam perwujudan pendidikan agama untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.[17]
Belajar mengajar merupakan suatu proses untuk membimbing anak
untuk menjadi orang yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Oleh karena itu,
manusia membutuhkan pendidikan secara optimal agar mampu mencapai kebahagiaan
di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi, kegiatan pengajaran tersebut mempunyai
prinsip tersendiri dalam usaha mencapai tujuan pengajaran. Namun demikian, prinsip-prinsip
pendidikan semua pendidikan sama saja, termasuk terhadap prinsip pendidikan
anak.
Hal tersebut dikarenakan belajar mengajar adalah suatu
kondisi yang dengan sengaja diciptakan. Orang tua yang menciptakan guna
membelajarkan anak didik. Orang tua yang mengajar dan anak didik yang belajar.
Perpaduan dari kedua unsur manusiawi ini lahirlah interaksi edukatif dengan
memanfaatkan keluarga sebagai mediumnya. Di sana semua bentuk pendidikan diperankan
secara optimal guna mencapai tujuan pengetahuan yang telah ditetapkan sebelum
pengajaran dilaksanakan.
Sebagai orang tua tentunya sudah menyadari apa yang
sebaiknya dilakukan untuk mencapai kondisi belajar mengajar yang dapat
mengantarkan anak-anak kepada kebaikan. Di sini tentu saja tugas orang tua
berusaha menciptakan suasana yang menggairahkan dan menyenangkan bagi anaknya.
Oleh karena itu, memberikan pengetahuan agama bagi seorang anak
menghendaki hadirnya sejumlah prinsip pendidikan. Sebab belajar tidak selamanya
memerlukan seorang guru. Cukup banyak aktifitas yang dilakukan seseorang anak di
luar dari keterlibatan guru. Belajar di rumah cenderung menyendiri dan tidak
terlalu banyak mengharapkan bantuan dari orang lain, apalagi aktifitas itu
berkenaan dengan kegiatan membaca sebuah buku.
Sebenarnya semua halnya yang menyangkut dengan memberikan
pendidikan kepada anak pada hakikatnya merupakan suatu proses, yaitu mengatur,
mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar anak-anak, sehingga dapat
menumbuhkan dan mendorong anak-anak melakukan belajar. Oleh karena itu, Nana
Sudjana menerangkan bahwa “pada tahap berikutnya mengajar adalah proses
memberikan bimbingan/bantuan kepada anak didik dalam melakukan proses belajar”.[18]
Oleh karena itu, sebagai upaya pengaturan kegiatan belajar
mengajar anak, maka Adi Suardi sebagaimana yang dikutip oleh Syaiful Bahri
Djamarah dan Aswan Zein menerangkan ciri-ciri pembelajaran sebagai berikut:
1.
Pembelajaran memiliki tujuan, yaitu
untuk membentuk anak dalam suatu perkembangan tertentu.
2.
Ada suatu prosedur (jalannya interaksi)
yang direncanakan, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
3.
Kegiatan pendidikan ditandai dengan
penggarapan metode yang khusus.
4.
Ditandai dengan aktifitas anak sebagai
konsekwensi, bahwa anak merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya kegiatan
belajar.
5.
Dalam kegiatan belajar orang tua harus
berperan sebagai pembimbing.
6.
Dalam kegiatan belajar membutuhkan
kedisiplinan.[19]
Melihat realitas tersebut di atas, maka di sini penulis
merumuskan prinsip-prinsip pendidikan anak sebagai berikut:
1.
Memelihara dan membesarkan anak. Inilah
prinsip paling sederhana dan merupakan
dorongan alami untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia.
2.
Melindungi dan menjamin kesamaan, baik
jasmani maupun rohani, dari berbagai penyakit dan dari penyelewengan kehidupan
dan dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafah hidup dan agama yang
dianutnya.
3.
Memberikan pengajaran dalam arti yang
luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan
seluas dan setinggi mungkinyg dapat dicapainya.
4.
Membahagiakan anak baik dunia maupun
akhirat, sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup muslim.[20]
Dari keterangan di atas, maka dapat digambarkan bahwa dalam
menerapkan pendidikan anak juga harus menggunakan prinsip yang sama dengan pendidikan
lainnya, karena pada dasarnya para ahli pendidikan belum merumuskan prinsip yang
khusus untuk masing-masing model pendidikan. Oleh karena itu, untuk mencapai
tujuan pendidikan, maka digunakan prinsip pendidikan yang berlaku secara umum
guna tercapainya tujuan pendidikan tersebut.
---000---
[1]Zakiah Daradjat, Ilmu
Pendidikan Islam, Cet. V, (Jakarta :
Bumi Aksara, 2004), hal. 20
[3]Herry Noer Aly, Ilmu
Pendidikan Islam, (Yokyakarta: Logos Wanan Ilmu, 1999), hal. 56
[4]UUD 1945, hal. 27
[5]UUD 1945, hal. 59
[6]Ahmad Amin, Etika
dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992), hal. 2
[9]Muhammad
Abduh, Risalatut Tauhid, (Beirut: Wasyirkah al-Halabi al-Babi, 1953),
hal. 122
[10]Imam Muslim, Shahih
Muslim, Juz. II, (Beirut Libanon: Dar al-Fikri, t.t.), hal. 85
[11]Mahmud
Syaltut, Aqidah wa Syari’ah, (Mesir: Dar al-Kutub, t.t.), hal. 65
[13]Ramayulis, Metodologi
Pengajaran Agama Islam, cet. II, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hal. 113
[17]Syaiful Bahri Djamarah
dan Aswan Zein, Strategi Belajar Mengajar, hal. 5
[18]Nana Sudjana, Dasar-Dasar
Proses Belajar Mengajar, Cet. II, (Bandung: Sinar Baru, 1991), hal. 29
[19]Syaiful Bahri Djamarah
dan Aswan Zein, Strategi Belajar Mengajar, hal. 46-49
[20]Zakiah Daradjat, Ilmu
Pendidikan Islam, hal. 38
0 Comments
Post a Comment