A.
Nilai-nilai
Keagamaan secara Umum
Dalam proses pendidikan yang selama ini
diselenggarakan di sekolah-sekolah formal tidak cukup hanya dengan meningkatkan
intelektual, keterampilan dan pengetahuan saja namun penanaman nilai- nilai keagamaan bagi anak terutama pada usia
yang terbilang berada di usia emas antara 0 – 6 tahun menjadi kebutuhan yang
fundamental karena fungsi dan tujuan pendidikan yang terpenting adalah moral
bukan kecerdasan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi:
Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.[1]
Quraish Shihab menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai
dengan pembacaan, penyucian dan pengajaran adalah “pengabdian kepada Allah
sejalan dengan tujuan penciptaan manusia yang ditegaskan dalam terjemahan
Al-Qur‟an Surat
Adz-Dzariyat 56”.[2]
Sehingga tujuan pendidikan oleh Alquran adalah:
Membina manusia secara pribadi dan kelompok
sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifahanNya. Manusia yang dibina Pendidikan agama sesungguhnya adalah
pendidikan untuk pertumbuhan total seorang peserta didik dan tidak dibatasi
oleh pada pengertian-pengertian konvensional dalam masyarakat, oleh karena itu
peran orang tua dalam mendidik anak melalui pendidikan keagamaan adalah benar
dan penting.[3]
Oleh karena itu pendidikan keagamaan dalam keluarga tidak
hanya melibatkan orang tua saja akan tetapi seluruh komponen-komponennya dalam
menciptakan suasana keagamaan yang hakiki. Peran orang tua tidak hanya berupa
pengajaran tetapi berupa peran tingkah laku, keteladanan dan pola-pola
hubungannya dengan anak yang dijiwai dan disemangati oleh nilai-nilai keagamaan
menyeluruh. Pendidikan dengan bahasa perbuatan atau perilaku (tarbiyah
bi lisan-I-lhal), untuk anak lebih efektif dan lebih mantap daripada pendidikan
dengan bahasa ucapan (tarbiyah bi lisan-il-maqal).
Menurut Pimpinan Pusat Aisyiyah (pokok-pokok ajaran islam
adalah :
Pertama, Aqidah, dengan intisari tauhid yang
juga merupakan ajaran sejak nabi Adam AS hingga Muhammad Saw. Oleh karena itu
Islam tidak membawa ajaran baru, tetapi meneruskan pesan tauhid dari semua nabi
sebelumnya. Pengakuan atas keesaan Allah ini terdapat dalam kalimat syahadat
yang yakni : Lã Ilaha Illa Allah (tiada Tuhan selain Allah). Di atas
dasar pengakuan itulah kehidupan keagamaan seseorang, dan esensi pengakuan itu
harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, Ibadah, sebagai tata
hubungan dengan Allah dan merupakan wujud penghambaan diri kepadaNya dengan
segala ketundukan dan kepatuhan, ibadah juga mengandung latihan ruhani agar
jiwa manusia selalu dekat dengan Allah. Ketiga,
Akhlak, sebagai tata cara berbuat atau sebagai aturan, tidak hanya
mengatur hubungan antara sesama manusia, hubungan antara manusia dengan
lingkungannya, tetapi juga mengatur bagaimana manusia bersikap dan berperilaku
terhadap Allah Swt. Tata aturan itu bersifat universal, berlaku untuk semua
orang pada setiap masa dan tempat. Keempat, Muamalah, mengandung
arti mengatur hubungan antar manusia, baik mengenal kekeluargaan, perkawinan,
perdagangan/ekonomi, pembagian warisan, maupun tali hubungan sosial
kemasyarakatan yang lain. Di dalam Islam, seluruh tindakan dan upaya yang
dilakukan dalam rangka mengisi kehidupan ini akan dapat bernilai ibadah, jika
dilakukan karena Allah semata.[4]
Pendidikan agama meliputi dua dimensi hidup, yaitu
penanaman rasa taqwa kepada Allah dan pengembangan rasa kemanusiaan kepada
sesama. Penanaman rasa taqwa kepada Allah sebagai dimensi hidup dimulai dengan
pelaksanaan kewajiban-kewajiban formal agama yang berupa ibadah-ibadah,
sedangkan pelaksanaannya harus disertai penghayatan yang sedalam-dalamnya akan
kebermaknaan ibadah-ibadah tersebut, sehingga ibadah-ibadah itu tidak
dikerjakan semata-mata sebagai ritual belaka, melainkan dengan keinsyafan
mendalam akan fungsi edukatifnya bagi manusia.
Menghayati keagungan dan kebesaran Allah lewat perhatian
kepada alam semesta beserta segala isinya, dan kepada lingkungan sekitar. Sebab
menurut Alquran hanya mereka yang memahami alam sekitar
dan menghayati hikmah dan kebesaran yang terkandung di dalamnya sebagai ciptaan
Ilahi yang dapat dengan benar-benar merasakan kehadiran Allah sehingga
bertaqwa kepadaNya. Melalui hasil perhatian, pengamatan dan penelitian
seseorang terhadap gejala alam dan sosial kemanusiaan tidak hanya menghasilkan
ilmu pengetahuan yang bersifat kognitif saja, juga tidak hanya bersifat
aplikatif dan penggunaan praktif semata (teknologi), tetapi dapat membawa
manusia kepada keinsyafan ketuhanan yang mendalam. Menurut Tholkhah Hasan pendidikan agama
mencakup dua pengertian yaitu :
Pertama, Pendidikan
dan pembelajaran tentang ajaran yang mencakup konsep keyakinan (aqidah),
peribadatan (ritual) dan moral agama (akhlak), dalam pengertian ini pendidikan
agama lebih banyak bermuatan pengetahuan tentang agama. Kedua,
Pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama serta pemberian pengalaman beragama
yang disebut juga pengalaman dan penghayatan agama, dalam pengertian ini
pendidikan agama lebih menitikberatkan pada internalisasi (penanaman)
nilai-nilai agama dan penerapan ajaran agama dalam sikap perilaku.[5]
Kegiatan menanamkan nilai-nilai itulah yang
sesungguhnya akan menjadi inti pendidikan keagamaan. Menurut di antara
nilai-nilai itu yang sangat mendasar adalah :
Pertama, Iman,
sikap bathin yang penuh kepercayaan kepada Allah. Kedua, Islam,
sikap pasrah kepadaNya dengan meyakini bahwa apapun yang datang dari Allah
tentunya membawa hikmah kebaikan dan kita tidak mungkin mengetahui seluruh
wujudnya. Ketiga, Ihsan, sikap yang sedalam-dalamnya bahwa Allah
senantiasa hadir atau berada bersama kita berada. Keempat, Taqwa,
sikap yang sadar penuh bahwa Allah selalu mengawasi kita, kemudian jita berbuat
hanya sesuatu yang diridlai Allah dengan menjauhi dan menjaga diri dari sesuatu
yang tidak diridlai Allah. Kelima, Ikhlas, sikap murni dalam
tingkah laku dan perbuatan, semata-mata demi memperoleh ridla Allah dan bebas
dari pamrih lahir dan bathin tersembunyi maupun terbuka. Keenam, Syukur,
sikap penuh rasa terima kasih dan penghargaan atas nikmat dan karunia yang
tidak terbilang banyaknya yang dianugerahkan Allah kepada kita. Ketujuh,
Sabar, sikap tabah dalam menghadapi segala kepahitan hidup, besar atau
kecil, lahir atau bathin, karena keyakinan yang tidak tergoyahkan bahwa kita
semua berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNya.[6]
Dalam menanamkan kepercayaan seperti yang
telah disebutkan di atas maka orang tua sebagai pendidik di dalam rumah tangga
memiliki tanggungjawab yang berat agar membimbing dan mengarahkan anak melalui
berbagai upaya dan pendekatan agar sejak dini anak sudah memiliki keyakinan
yang jelas terhadap agamanya. Penanaman keyakinan terhadap akidah agama Islam
terhadap anak tidak hanya menjadi pengetahuan semata, akan tetapi nilai-nilai
akidah tersebut dapat diimplementasikan oleh anak dalam kehidupan sehari-hari.
0 Comments
Post a Comment