BAB IV
NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM SURAT LUKMAN AYAT
12-19
Diantara
sekian banyak kisah dalam al-Qur’an adalah kisah seorang tokoh bijak yang
sedang memberikan nasihat kepada anaknya. Dialah luqman yang diabadikan menjadi
salah satu nama surah. Secara umum kisah tersebut merupakan peringatan kepada
kita akan satu kenyataan bahwa pendidikan anak merupakan tanggungjawab orang
tua.78
Nasihat
Luqman menjadi pengajaran dan petunjuk kepada semua manusia. Permulaan pendidikan
berkaitan dengan syirik, diikuti dengan perintah berbuat baik kepada kedua ibu
bapa, waspada dengan pandangan Allah SWT. terhadap semua perkara sama baik
kecil atau besar, mendirikan shalat, amar makruf dan nahyi mungkar, rendah diri
dan menjauhi perkara-perkara dosa, adab berjalan dan menjaga suara.
Secara keseluruhan nasihat
Luqman merangkum kesempurnaan beragama, kepercayaan kepada hari akhirat dan
keutamaan akhlak mulia. Penjelasan ayat di dalam surah Luqman menunjukan Allah
SWT. juga menyeru supaya setiap orang tua mencontoh Luqman yang memiliki
kesempurnaan peribadi dan pendidikan Islam.
Adapun nilai-nilai yang
terkandung dalam surah Luqman daapt dikategaorisasikan sebagai berikut : pertama,
aspek akidah yang menyangkut masalah keimanan kepada Allah. Ketika disebut iman
kepada Allah maka hal itu sudah tercakup iman kepada malikat, kitab-kitab-Nya,
para nabi, hari kiamat, qadha dan qadar. Aspek ini termaktub dalam ayat 12, 13,
16. Kedua, aspek syari’ah yakni satu system norma Ilahi yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia
dengan alam. Kaidah syari’ah ini terbagi dua: pertama, ibadah seperti shalat,
thaharah, zakat, puasa, haji. Kedua, mu’amalah yakni tata aturan Ilahi yang
mengatur hubungan manusdia dengan manusia dan hubungan manusdia dengan harta
benda. Aspek Syariah ini termaktub dalam ayat 14, 15, dan 17. Ketiga,
aspek akhlak secra etimologis akhlak adalah perbuatan yang mempunyai sangkut
paut dengan pencipta. Akhlak ini mencakup akhlak manusia terhadap khaliknya,
manusia terhadap makhluk. Aspek ini termaktub dalam ayat 14, 15, 18, dan 19.
Baik ibadah, mu’amalah, dan akhlak pada hakikatnya bertitik tolak dari akidah.
Ketiganya berhubungan secara korelatif dan tidak bisa dipisah-pisahkan.
A. Nilai Pendidikan Ibadah
Ibadah merupakan salah satu
bentuk amalan yang wajib dilaksanakan kepada
Allah oleh seorang hamba. Amalan ini dibebankan karena seorang hamba
telah mengakui bah diri merupakan makhluk Allah yang senantiasa melaksanakan
pengabdiannya kepada sang Khalik. Karena hal itulah, maka Allah berhak menerima
pengabdian hamba-Nya dalam bentuk amal ibadah.
Oleh karena itu, pendidikan
ibadah mesti diterima oleh seseorang hamba, karena pendidikan merupakan salah
syarat untuk melaksanakan ibadah. Di sisi lain, pendidikan ibadah kepada hamba
baik berupa ibadah shalat sebagai sarana untuk mencegah dari kejahatan.
Demikian juga diwajibkan melaksanakan ibadah untuk memberikan ketengangan
kepada diri seorang hamba, karena dengan melaksanakan amal ibadah akan tercapai
ketengangan dalam menjalani kehidupan ini.
Sebenarnya kewajiban
melaksanakan ibadah ini sudah ada sejak masa sebelum Islam berkembang, dan hal
ini pernah diterangkan secara tegas, karena pada masa itu manusia masih labil
dalam menganut ajaran syari’atnya masing-masing, sehingga perintah untuk
melaksanakan ibadah masih sangat lemah untuk dilaksanakan.[1]
Dalam memberikan pendidikan
ibadah kepada seorang anak manusia tidak pernah terjadi perbedaan, karena
pendidikan ini selalu berpedoman secara langsung kepada al-Qur’an dan
as-Sunnah. Apalagi para ulama fiqih berpedoman pada ayat dan hadits yang sama,
sehingga tidak terjadi perbedaan pandangan dalam menentukan bagaimana cara
melaksanakan amal ibadah kepada Allah.
Shalat dan puasa merupakan
ibadah mahdhah, artinya ibadah murni yang dibaktikan untuk mendapatkan keridaan
Allah semata. Karena itu, kalu kita benar-benar mengharapkan ibadah shalat dan
puasa kita diterima oleh Allah, maka kita harus menjalankan ibadah ini sesuai
dengan pedoman dan tuntunan yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam
al-Qur’an dan Hadist, tanpa menambah dan mengurangi sama sekali.[2]
Allah berfirman dalam surah Al-Isra’ ayat 78:
أَقِمِ
الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ
قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوداً) الإسراء: ٧٨(
Artinya: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari
tergelincir sampai gelap malam dan dirikanlah pula shalat subuh. Sesungguhnya
shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).(Qs. Al-Isra: 78 )
Al-Qur’an terus
menceritakan tentang nasihat Luqman al-Hakim kepada anaknya. Beliau
menasihatkan anaknya agar memantapkan akidah yang telah berada dalam jiwa
melalui amalan tawajjuh kepada Allah SWT. Dengan ibadat shalat. Ibadat shalat
merupakan amalan paling mulia yang dilakukan semata-mata untuk mengabdikan diri
kepada Allah SWT. Firman Allah SWT:
يَا بُنَيَّ
أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ
عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ) لقمان: ١٧(
Artinya: Wahai anakku, dirikanlah shalat dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan
yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu, sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).(Qs. Lukman:17)
Shalat adalah salah satu
rukun Islam yang wajib ditegakkan setiap hari lima waktu selama masih hidup,
dengan sempurna yaitu memenuhi syarat dan rukunnya.
B. Nilai Pendidikan Aqidah
Agama Islam mengandung sistem keyakinan yang
mendasari seluruh aktifitas pemeluknya yang disebut aqidah. Aqidah Islam berisikan
ajaran tentang apa saja yang mesti dipercayai, diyakini dan diimani oleh
setiap orang Islam. Karena Islam
bersumber kepada kepercayaan dan
keimanan kepada Tuhan, maka aqidah merupakan sistem kepercayaan yang mengikat
manusia kepada Islam.[3]
Allah SWT. Menyebutkan
kisah Luqman dengan sebutan baik, bahwa Dia telah menganugerahinya hikmah; dan
Luqman menasihati anaknya yang merupakan buah hatinya, maka wajarlah bila ia
memberikan pengetahuannya. Karena itulah hal pertama yang dia pesankan adalah
jangan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun sebagaimana firman Allah SWT
:
وَإِذْ قَالَ
لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ
الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ) لقمان: ١٣(
Artinya: Dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (Qs. Lukman:13)
Menurut Sayyid Qutb dalam
tafsir Fi Zilalil Qur’an disebutkan bahwa Ini adalah satu nasihat yang jujur
karena tiada lain tujuan seorang bapak melainkan supaya anaknya mendapat
kebaikan dan tidak ada sikap yang wajar bagi seorang bapak terhadap anaknya
melainkan memberi nasihat. Di sini Luqmanul-Hakim melarang anaknya dan
mempersekutukan Allah dengan alasan bahawa perbuatan syirik adalah suatu yang
amat besar[4].
Beliau menekankan hakikat
ini dua kali. Yang pertama dengan mengemukakan larangan dan menjelaskan
alasannya dan yang kedua dengan menggunakan kata-kata penguat yaitu “inna”
dan “lam” pada “lazulmun”. lnilah hakikat yang dikemukakan Nabi
Muhammad SAW. kepada kaumnya lalu mereka mempertikaikannya dan mengatakan
penceritaan ini sebagai ada udang dibalik batu. Mereka takut cerita ini
bertujuan untuk mencabut kekuasaan mereka dan menunjukkan kelebihan atas
mereka. Apakah yang ada pada nasihat Luqmanul-Hakim yang dikemukakan kepada
anaknya? Tidakkah nasihat seorang bapak kepada anaknya itu bersih dari segala
keraguan dan jauh dari segala prasangka yang buruk? Sebenarnya itulah hakikat
yang amat tua yang disebut oleh setiap orang yang dikaruniakan Allah
pengetahuan hikmat yang bertujuan semata-mata untuk kebaikan bukannya tujuan
yang lain darinya. lnilah penerangan psikologi yang dimaksudkan disini[5].
Persoalan akidah
diungkapkan melalui larangan Luqman al-Hakim kepada anaknya agar jangan
menyekutukan Allah SWT. Syirik ialah sebuah pernyataan atau ungkapan yang
meletakkan kedudukan Allah SWT setaraf dengan makhluk sama ada pada zat, sifat,
mengingkari kewujudan Allah SWT. atau menyifatkan Allah SWT. dengan sesuatu
sifat kekurangan.
Syirik yang dimaksudkan
dalam surah Luqman ini merujuk kepada syirik uluhiyyah kerana alasan nasihat
Luqman al-Hakim menegaskan perbuatan syirik seperti melakukan kezaliman kepada
Allah SWT. Firman Allah ayat 13 :
.......إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ) لقمان: ١٣(
Artinya: …Sesungguhnya mempersekutukan Allah itu
adalah benar-benar kezaliman yang besar.(Qs. Lukman: 13 )
Pengertian dzalim ialah
meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya manakala adil pula meletakkan sesuatu
pada tempatnya. Seseorang yang menyamakan antara pencipta dengan makhluk atau
menyamakan Allah SWT. Dengan berhala dikatakan sebagai orang yang meletakkan
sesuatu bukan pada tempatnya. Oleh karena itu, orang yang syirik dikatakan
telah melakukan satu kezaliman dan dosa yang besar kepada Allah.
Al-Khudari menjelaskan
sebagaiman yang dikutip oleh sa’ad Abdul Wahid bahwa perbuatan syirik inilah
yang pertama kali diberantas oleh Rasulullah SAW. Maka ketika beliau berhasil
merebut kembali kota Makkah, yang pertama kali diperintahkan adalah merobohkan
dan menghancurkan semua berhala dan segala macam patungyang menjadi sesembahan
kaum musyrikin, yang ditempatkan disekitar Ka’bah. Ketika itu Rasulullah SAW
bersabda :”Datanglah kebenaran dan hancurlah kebathilan”, sebab sebenarnya
syirik itulah kebatilan yang mengotori aqidah.[6]
Persoalan akidah tentang
kepercayaan kepada hari akhirat dijelaskan dengan lebih mendalam oleh Luqman
al-Hakim dalam ayat 16. Nasihat ini disampaikan melalui kaedah yang sangat
bijak. Beliau telah mengaitkan persoalan tersebut dengan kehalusan dan
kesyumulan ilmu Allah SWT. serta kekuasaanNya. Firman Allah SWT., :
يَا بُنَيَّ
إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ
فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ
خَبِيرٌ) لقمان: ١٦(
Artinya: Wahai anakku! Sesungguhnya jika sesuatu itu
hanya seberat biji sawi sekalipun ia tersembunyi dalam batu atau berada di
langit atau di bumi niscaya Allah akan membalasnya. Sesungguhnya Allah Maha
Halus dan Maha Mengetahui.( Qs. Lukman:16)
Menurut Sa’ad Abdul Wahid
, khardal adalah nama suatu tumbuh-tumbuhan yang buahnya atau bijinya sangat
kecil dan hitam, tumbuh-tumbuhan tersebut biasanya hidup di lading-ladang dan
di pinggir jalan dan dapat dijadikan sebagai harum-haruman dan dapat juga dijadikan
sebagai bumbu masak.[7]
Inilah nasihat yang sangat
besar manfaatnya, dikisahkan oleh Allah SWT. Dari apa yang diwasiatkan oleh
Luqman, agar manusia mencontohnya dan mengikuti jejaknya, sebagaimana yang
terkandung dalam ayat diatas, yakni sesungguhnya perbuatan aniaya atau dosa
sekecil apapun, misalnya sebesar biji sawi. Nasihat Luqman al-Hakim dalam ayat
di atas dapat membangkitkan daya imaginasi anaknya tentang tempat tersembunyi
sesuatu rahasia yang amat dalam dan luas. Di samping itu nasihat beliau juga
dapat menyedari hati anak bahawa ilmu Allah SWT. tetap menjejaki segala
kebaikan dan keburukan walau sebesar biji sawi. Seterusnya akan tertanam
hakikat persoalan hari akhirat ke dalam hati anaknya di sebalik nasihat beliau.
Hal ini bersesuaian dengan ajaran al-Quran yang mahu menanam konsep kepercayaan
kepada hari akhirat ke dalam hati setiap manusia dengan kaedah penerangan yang
menarik. Setiap perbuatan manusia semasa hidup di dunia akan kembali kepada
individu yang melakukan perbuatan tersebut.
Luqman al-Hakim mendidik
anak-anaknya dengan kepercayaan kepada pembalasan Tuhan. Beliau menegaskan
setiap perbuatan akan dibalas Allah SWT. sekalipun lebih kecil daripada biji
sawi. Justru Luqman al-Hakim berpesan kepada anak-anak supaya sering menziarahi
jenazah karena dapat mengingatkan tentang pembalasan Tuhan. Beliau berkata :
Sekiranya kamu berada di dua persimpangan iaitu sama ada menziarahi kematian
atau memenuhi jemputan kenduri kahwin. Maka hendaklah kamu menziarahi jenazah
karena mengingatkan kamu kepada kematian, sebaliknya menghadiri majlis kenduri
kahwin bisa melupakan kamu dari mengingat Tuhan.
Pada ayat ini Allah
memberikan penjelasan tentang akhlak, dengan mengungkapkan riwayat pendidikan
Luqman terhadap anaknya. Luqman menjelaskan kepada anaknya bahwa amal saleh
sekecil apapun, yang tidak terlihat dan tidak terdengar oleh siapapun Allah
tetap melihatnya dan akan memberikan balasannya, sebab Allah maha mengetahui
dan maha adil. Karena itu jika mengerjakan sesuatu kebajikan janganlah
mengharapkan penghargaan dari manusia, melainkan hendaklah berniat hanya
mengharapkan keridhaan dari Allah semata. Allah yang maha kuasalah yang menilai
dan memperhitungkan amal setiap orang, dan hanya Dialah yang memberi
penghargaan dan pahala amal saleh yang dikerjakan oleh siapa pun asalkan
dikerjakan dengan ikhlas. Nasihat Luqman tersebut memiliki makna yang sangat
mendalam untuk memperkuat taqwa, iman dan tawakal kepada Allah. Perlu disadari
bahwa tidak semua pekerjaan mendapat penghargaan dari manusia, bahkan kadang-kadang
tidak diakuinya. Maka dengan hanya mengharapkan keridaan dari Allah, seseorang
akan mendapatkan ketenangan, dan hatinya akan terobati dengan mengharapkan
pahala dari Allah di akhirat nanti.[8]
C. Nilai Pendidikan Akhlak
Dalam Islam Ajaran akhlak
merupakan sentral kehidupan manusia, karena itu akhlak memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: pertama, perbuatan
akhlak adalah perbutan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang,
sehingga telah menjadi kepribadian seseorang. Kedua, akhlak
adalah perbuatan yang dilakukan dengan
mudah tanpa ada pikiran kotor. Ketiga,
akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya,
tanpa ada paksaan atau tekanan dari
luar. Keempat, akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima akhlak
adalah perbuatan yang dilakukan karena
ikhlas semata-mata.[9]
Dalam al-Qur’an surat Luqman ayat 14-15 Allah SWT.
Menjelaskan tentang akhlak sebagai berikut:
وَوَصَّيْنَا
الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ
فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ, وَإِن جَاهَدَاكَ عَلى أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ
عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفاً وَاتَّبِعْ
سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا
كُنتُمْ تَعْمَلُونَ) لقمان: ١٤-١٥(
Artinya: Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku, dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu
yang tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya,
dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitahukan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.(Q.S. Luqman: 14-15).
Dalam Tafsir Fi Zilalil
Qur’an dijelaskan bahwa perintah kepada anak-anak supaya berbuat baik kepada
ibu bapak berulang-ulang kali disebut di dalam al-Qur’anul-Karim dan di dalam
perintah-perintah Rasulullah SAW., tetapi perintah kepada ibu bapa supaya
berbuat baik kepada anak-anak hanya disebut sedikit saja dan kebanyakannya
mengenai peristiwa mengubur anak hidup-hidup, yaitu satu peristiwa tertentu
yang berlaku di dalam suasana-suasana tertentu. Ini disebabkan kerana fitrah
saja sudah cukup untuk mendorong ibu bapak mengambil berat terhadap keselamatan
anak-anaknya. Fitrah memang didorong ke arah melindungi generasi baru untuk
menjamin kesinambungan hidup sebagaimana yang dikehendaki Allah. Ibu bapak akan
mengorbankan tubuh badan mereka, otak mereka, umur mereka dan segala sesuatu
yang mahal yang dimiliki mereka demi kepentingan anak-anak mereka. Mereka
membuat pengorbanan-pengorbanan itu tanpa marah atau mengadu, malah tanpa
kesadaran mereka, malah mereka berkorban dengan cermat dan senang hati
seolah-olah merekalah yang menerima. Pendeknya fitrah sudah cukup untuk
mendorong ibu bapak menjaga anak-anaknya tanpa perintah, tetapi kepada si anak
pula ia perlu diperintah berulang-ulang kali supaya memberi perhatian kepada
generasi ibu bapak yang berkorban setelah mencurahkan usia dan jiwa mereka
kepada generasi baru yang menghadapi masa depan kehidupannya. Si anak tidak
dapat menggantikan separuh pengorbanan yang telah dilakukan orang tuanya
walaupun dia memberi seluruh umurnya untuk mereka. Gambaran menarik di dalam
ayat “dia telah dikandung ibunya yang mengalami kelemahan demi kelemahan dan
menyapihnya dalam dua tahun” adalah menggambarkan bayangan dan pengorbanan
mereka yang luhur itu. Si ibu sudah tentu menanggung pengorbanan yang lebih
besar dan dia melakukan pengorbanan itu dengan perasaan kasih mesra yang lebih
hebat, lebih mendalam, lebih lembut dan halus.[10]
Ayat ini menjelaskan tentang
kewajiban anak-anak yang beragama Islam menunaikan kewajiban kepada ibu bapa
yang kafir seperti menghormati, bergaul mesra, menjalinkan silatulrahim dan
menafkahkan rezeki kepada mereka. Firman Allah SWT.
.....وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا
مَعْرُوفاً).. لقمان: ١٥(
Artinya: .....dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, ...(Q.S. Luqman: 15).
Pergaulilah di dalam ayat
di atas ialah berbuat baik dan mengekalkan silatul rahim.[11]
Luqman al-Hakim juga melaksanakan perintah Allah SWT dalam pendidikan anak-anaknya
berdasarkan kepada ayat ini seperti yang dijelaskan oleh Imam al-Qushairi.
Menurut beliau anak dan isteri Luqman al-Hakim adalah kafir. Oleh itu, Luqman
al-Hakim tidak pernah berputus asa malah senantiasa mendidik dan menasihati
kedua-duanya sehingga kembali kepada Islam. Setelah anak dan isteri beliau
kembali kepada Islam, Luqman al-Hakim tetap mengawasi mereka agar kekal di
dalam Islam.
Setiap orang Islam yang beriman diperintah
supaya bergaul secara baik dengan ibu bapak yang bukan Islam seperti
bertentangan prinsip dan bersikap terbuka di dalam pergaulan tetapi tidak
mentaati atau melakukan perkara-perkara syirik kepada Allah SWT. Kesalahan
syirik merupakan dosa yang paling besar dan tidak diampunkan Allah SWT.
Hak-hak kedua ibu bapak
mesti ditunaikan sekalipun berlainan agama. Asma' Abu Bakar as-Siddiq r.a
berkata : Ibuku datang ke rumah, sedangkan ia seorang musyrik. Lalu aku menemui
Rasulullah SAW. untuk bertanyakan tentang hal ibu aku. Aku berkata : Ya,
Rasulullah ibuku yang kafir datang mengharapkan bakti kewajibanku sebagai
puterinya. Apakah aku boleh menerima dan berhubung baik dengan beliau?
Rasulullah SAW. bersabda : Ya, peliharalah hubungan baiknya.
Tanggungjawab anak
terhadap ibu bapak yang kafir tidak boleh diabaikan. Anak-anak wajib memberi
perbelanjaan berbentuk harta kepada orang tua jika mereka miskin, lemah lembut
di dalam percakapan dan berdoa agar mereka menerima Islam. Anak-anak perlu
memikir dan mengenangkan jasa dan pengorbanan mereka sebagai orang tua. Allah
SWT. juga tidak menghalang manusia berbuat baik kepada orang kafir yang
menghormati dan mencintai kehidupan yang harmonis.
D. Nilai Pendidikan Muamalah
Pelaksanaan amal
ibadah juga sesuai dengan kemampuan seorang hamba, karena seseorang tidak
mungkin dibebankan sesuatu diluar kemampuannya. Namun demikian penekanannya
adalah kebaikan. Pada dasarnya, syari’ah merumuskan tentang permasalahan
yang menyangkut dengan aqidah, ibadah dan akhlak seorang hamba kepada
Tuhannya,. demikian juga mencoba meramu konteks aqidah, ibadah dan akhlak ini
dalam bentuk nilai-nilai aplikatif.
Konsep iman yang dibicarakan dalam
bacaan pada umumnya mengacu pada masalah berbakti kepada Allah dan Rasul-Nya.
Menurut Mahmud Syaltut, yang dimaksud dengan keimanan “mengamalkan apa-apa yang
telah diamalkan oleh Nabi saw dan para sahabatnya; disebut “taqwa” karena
mereka teguh mengikuti sunnah Nabi saw; disebut muslimin, karena mereka berpegang
di atas al-haq (kebenaran), tidak berselisih dalam agama, mereka terkumpul pada
para imam al-haq, dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan para ulama”. Pada
fitrahnya memang setiap individu itu telah diberikan hidayah kebaikan (berupa
ketauhidan dan keimanan) oleh Allah SWT. Akan tetapi iman dan tauhid itu dapat
saja berubah ke arah kelunturan apabila tidak disiram dan dipupuk dengan
bimbingan ke jalan menuju ke arah keimanan dan Islam.[12]
Setelah berhasil membentuk
pribadi yang baik dengan shalat maka hendaknya berupaya melakukan amar ma’ruf
nahyi munkar, mengajak manusia berbuat kebajikan, misalnya, menegakkan
keadilan, gotong royong mendirikan tempat ibadah, tempat pendidikan dan
sebagainya, sesudah itu berusaha memberantas kemunkaran, misalnya: perjudian,
perzinaan, pencurian, penjarahan, dan sebagainya. Upaya untuk perjuangan
tersebut tidaklah mudah, sebab akan menghadapi berbagai macam tantangan, bahkan
perlawanan dari orang-orang yang tidak senang kepada perjuangan Islam. Untuk
itulah diperlukan kesabaran yang luar biasa.
Pendidikan Luqman al-Hakim
seterusnya menitik beratkan tanggung jawab seorang muslim kepada diri sendiri
dan masyarakat yaitu amr ma’ruf dan nahyi mungkar seperti yang dinyatakan dalam
ayat 17, surah Luqman.
...
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ ).. لقمان: ١٧(
Artinya: ...Dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) daripada
perbuatan yang mungkar”.(Qs. Lukman:17)
Amar makruf dan nahyi
mungkar merupakan perintah Allah yang wajib dilaksanakan, yang mampu menentukan
kualitas terbaik seseorang muslim seperti firman Allah SWT. ayat 110, surah Ali
Imran,:
كُنتُمْ خَيْرَ
أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ
خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ) آل عمران: ١١٠(
Artinya: Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf
dan mencegah daripada mungkar dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman tentulah itu lebih baik bagi mereka. Antara mereka ada yang beriman dan
kebanyakan mereka orang-orang yang fasik.(Qs, ali-Imran:110)
Imam al-Syairazi
mengartikan pengertian amar makruf dan nahyi mungkar dengan maksud menyuruh
kepada kebaikan dan mencegah perkara maksiat dan perbuatan yang buruk serta memperbaiki
kehidupan masyarakat.[13]
Menurut Imam Syeikh Ismail Haqqi al-Barusawi, amar makruf ialah mengajak
manusia melakukan kebaikan, iaitu perkara yang boleh mendekatkan manusia dengan
Allah SWT., manakala nahyi mungkar pula ialah mencegah manusia dari melakukan
perkara-perkara keji, yang bisa melupakan manusia dari mengingat Allah SWT.
Setelah Luqman al-Hakim mendidik anaknya dengan perintah solat untuk kesempurnaan
pribadi maka seterusnya beliau menyuruh anaknya melaksanakan amar makruf dan
nahyi mungkar untuk menyempurnakan orang lain. Orang yang sentiasa mengajak
orang lain kepada kebaikan seolah-olah dirinya sendiri yang melakukan kebaikan.
Nahyi mungkar pula perlu dilakukanbukan hanya dengan tangan, lidah atau hati.
Luqman al-Hakim
menyediakan keperibadian seorang pemimpin kepada anaknya untuk berhadapan
dengan masyarakat. Hal ini terungkap di dalam kisah pendidikan beliau. Luqman
ditanya anaknya : Siapakah sejahat-jahat manusia? Beliau berkata : Orang yang
tidak memperdulikan manusia sekeliling mengatakan bahawa ia seorang yang jahat.
Orang yang tidak memperdulikan nasihat, kritikan dan pandangan orang lain
terhadap dirinya malah tetap kekal dengan perkara mungkar, maka orang tersebut
merupakan orang yang sangat jahat pada pandangan Luqman al-Hakim. Selain
daripada itu, Amar ma’ruf dan nahyi mungkar juga mempunyai maksud mengawali
setiap aktivitas umat Islam dalam setiap aspek kehidupan, yaitu memastikan umat
Islam melakukan kebaikan dan mencegah kemungkaran berdasarkan garis paduan yang
telah ditetapkan agama. Luqman al-Hakim telah mendidik anaknya untuk
melaksanakan tanggungjawab terhadap masyarakat dengan sempurna setelah
melaksanakan tanggungjawab terhadap Allah yaitu shalat.[14]
Luqman al-Hakim memberi
pendidikan tentang sabar kepada anaknya setelah beliau selesai melaksanakan
perintah pendidikan shalat dan melaksanakan amar makruf dan nahyi mungkar.
Sabar di atas segala kesusahan, kepayahan dan perkara-perkara yang berkaitan
degan ketuhanan. Perlaksanaan amar makruf dan nahyi mungkar pada kebiasaannya
akan berhadapan dengan pelbagai kesusahan dan sangat menyakitkan hati. Oleh itu
seseorang itu sangat dituntut supaya bersabar Firman Allah SWT. ayat 17, surah
Luqman :
...وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ
ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ) لقمان: ١٧(
Artinya: .... dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah).(Qs. Lukman:17)
As-Sabru menurut Sa’ad
Abdul Wahid adalah kemampuan menahan diri dari segala macam larangan Allah SWT
dan kemamapuan menghadapi segala macam cobaan, baik cobaan jasmani maupun
rohani. Sabar itu pengaruhnya sangat besar sehingga melahirkan kekuatan jiwa
yang luar biasa.[15]
Maksud sabar di dalam ayat
di atas ialah bersabar ke atas segala kesusahan karena hidup di dunia penuh
dengan kepedihan dan kepayahan. Manakala kerehatan itu hanya ada di dalam
syurga saja. Sifat sabar yang dianjurkan oleh Luqman al-Hakim termasuk sabar ketika
diuji Allah SWT. dengan ketakutan terhadap musuh, kelaparan karena ketiadaan
makanan, kehilangan harta benda dan nyawa seperti kemusnahan ladang pertanian
dan kematian ahli keluarga. Hanya orang yang sabar sahaja akan mendapat rahmat
daripada tuhannya. Sabar hanya dapat diperoleh dari pendidikan ilmu dan
makrifat. Hasil sifat sabar akan dapat membentuk tatasusila yang tinggi dan
akhlak yang teguh. Sabar merupakan sifat orang beriman. Justru orang yang sabar
ialah mereka yang bersabar ketika kesusahan dan bersyukur di atas
perkara-perkara kenikmatan. Sesungguhnya sabar dalam bala sangat sukar kepada
setiap orang. Ayat seterusnya menegaskan tentang perintah mendirikan solat,
perlaksanaan amar makruf dan nahyi mungkar dan kepentingan konsep sabar
termasuk dalam kategori akhlak yang mulia.
Luqman al-Hakim memulakan
pendidikan dengan wasiat mendirikan shalat dan diakhiri dengan perintah supaya
sabar karena tiang pertolongan daripada keredaan Allah SWT. ialah sabar, Wahbah
al-Zuhaili pula berpendapat nasihat Luqman al-Hakim dimulai dengan shalat
karena shalat merupakan tiang agama dan diakhiri dengan konsep sabar kerana
sabar adalah asas yang tetap untuk melaksanakan segala ketaatan dan tiang
keredaan Allah SWT.
Luqman al-Hakim memberi
alasan dan peringatan kepada anaknya agar berhati-hati dengan sifat sombong
karena sikap tersebut akan mengundang kemurkaan Allah SWT., firman Allah SWT.
ayat 18, surat Luqman :
إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ) لقمان: ١٨(
Artinya: ...Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.(Qs.
Lukman:18 )
Menurut Sayyid Qutb dalam
Tafsir Fi Zilalil Qur’an beliau menjelaskan bahwa berda’wah kepada Allah tidak
mengharuskan seseorang bersifat takbur terhadap manusia atau bersikap angkuh
atas nama memimpin manusia ke arah kebaikan dan lebih-lebih lagi sikap angkuh
tanpa berda’wah kepada kebaikan. Ini adalah lebih buruk dan lebih keji lagi
Kata-kata “as-Sa’r” bererti sejenis penyakit unta yang membuat lehernya
menjadi teleng. Uslub al-Quran telah memilih kata-kata ini untuk meliarkan
manusia dari teleng angkuh yang serupa dengan teleng penyakit unta, yaitu
tingkah laku sombong dan tidak menghiraukan manusia, gaya memalingkan muka
menunjukkan kesombongan. Berjalan di bumi dengan lagak yang sombong ialah
berjalan dengan gaya takabur dan tidak mempedulikan manusia, yaitu satu lagak
yang dibenci Allah dan juga oleh manusia. Gerak-gerik dan lagak yang seperti
ini adalah membayangkan seseorang itu ditimpa penyakit takabur “Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”[16]
Perkataan Mukhtal disifatkan kepada orang yang berjalan dengan gaya sombong dan
takabur termasuklah gaya berjalan yang melenggang-lenggok karena kegembiraan
mendapat nikmat yang banyak. Sedangkan fakhur berarti orang yang selalu
memuji-muji diri sendiri dan menghina orang lain yang tidak sama seperti dirinya.[17]
Dalam al-Qur’an kata
“mukhtal” (sombong) dan “fakhur” (membanggakan diri) selalu disebutkan
dalam satu susunan, misalnya pada surat an-Nisa: 36 disebutkan:
وَاعْبُدُواْ
اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ
الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُوراً) النساء: ٣٦(
Artinya: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh
, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,(Qs. An-Nisa:36 )
Allah tidak mencintai
orang yang sombong karena orang yang sombong merasa mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan orang lain, merasa lebih pandai, merasa lebih kaya, merasa
lebih kuat dan sebagainya. Sehingga memandang orang lain lebih rendah, maka
apabila melakukan kesalahan amat sulit diluruskan, dan tidak mau menerima
nasihat.
Luqman telah melarang
anaknya bersikap sombong dan angkuh melalui nasihat yang sangat sopan, ayat 18,
surat Luqman :
وَلَا
تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللَّهَ
لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ ) لقمان: ١٨(
Artinya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari
manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan
angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri. (Qs. Lukman: 18)
Ibnu Kasir mengatakan
bahwa janganlah kamu memalingkan mukamu saat berbicara dengan orang lain, atau
saat mereka berbicara kepadamu, kamu lakukan itu dengan maksud menganggap remeh
dan bersikap sombong kepada mereka. Akan tetapi bersikap lembutlah kamu dan
cerahkanlah wajahmu dalam menghadapi mereka.[18]
Sayyid al-Qutb pula melihat larangan ini dari dua sudut yang berbeza pertama
sebagai adab dalam berdakwah. Allah SWT. mengharamkan seseorang yang bersifat
sombong dan angkuh semasa memimpin manusia kepada kebaikan. Kedua, lebih buruk
lagi jika sikap ini diamalkan oleh orang-orang yang tidak pernah berdakwah
kepada kebaikan.[19]
Walau bagaimanapun, ayat ini mempunyai sejarah asbab al-nuzul yaitu tentang
teguran Allah SWT. terhadap layanan Rasulullah SAW. kepada orang buta . Menurut
kitab Durr al-Manthur, persamaan hak antara orang fakir dan orang kaya di dalam
menuntut ilmu pengetahuan mesti diberi penekanan penting.
Dalam surat Luqman ayat 19
dijelaskan bahwa:
وَاقْصِدْ فِي
مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ) لقمان: ١٩(
Artinya: Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.(Qs.
Lukman:19)
Menurut Sayyid Qutb,
maksud sederhana di sini ialah gaya berjalan yang hemat, tidak melampai batas,
tidak membuang tenaga menunjuk-nunjukkan lagak dan lenggang-lenggoknya yang
sombong, juga gaya berjalan yang mempunyai matlamat karena perjalanan yang
mempunyai tujuan dan matlamat itu tidak teragak-agak dan tidak
berlenggang-lenggok malah terus menuju kepada tempat tujuannya dengan mudah dan
lancar.[20]
Merendahkan suara ketika berbicara menjadikan adab sopan dan kepercayaan kepada
diri sendiri dan keyakinan kepada kebenaran dan kekuatan apa yang diucapkannya.
Orang-orang yang biadab saja yang berbicara dengan suara yang keras dan bahasa
yang kasar atau orang-orang yang ragu-ragu terhadap nilai perkataannya atau
terhadap nilai dirinya sendiri lalu dia berusaha melindungi keraguannya itu di
balik kata-katanya yang tajam, kasar dan keras.
[1] Hasbi
ash-Shiddiqy, al-Islam II, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm.
316.
[3]Direktorat
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depertemen Agama RI, Buku Teks
Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000), hal. 126.
[5] Ibid., hal. 66.
[6] Sa’ad
Abdul Wahid, Tafsir al-Hidayah (ayat-ayat aqidah) jld I, (Yogyakarta:
Suara Muhamadiyyah, 2003), hal. 108
[9]Zainal
Abidin Ahmad, Pendidikan Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal.
82.
[11] Al-Imam
Jalaluddin al-Mahalli, Tafisr Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algesindo,
2004), hal. 1747.
[13]
Tantawi, Muhammad Sayyid. Al-Tafsir al-Wasit Li al-Quran al-Karim. (Mesir : Dar al-Maarif. 1985), hal. 39.
[15] Sa’ad Abdul Wahid, Tafsir
Al-Hidayah, ....., hal, 116.
0 Comments
Post a Comment