A. Pemberian Hukuman Terhadap Anak dalam Perspektif
Pendidikan Islam
Artinya: “Dan
tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidaklah (pula
sama) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal shaleh dengan orang-orang
yang durhaka. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.” (Q.S. Al-Mukmin, ayat
58).
Ayat di atas,
“Tidaklah sama antara orang buta dengan orang yang melihat, dan orang yang
beramal shaleh dengan orang yang durhaka,” mengandung nilai-nilai
pendidikan bahwa orang yang memiliki ilmu pengetahuan dengan orang yang
tidak memiliki ilmu pengetahuan atau orang yang beribadah dengan penuh
ketaqwaan dengan orang yang meninggalkan segala perintah Allah swt, tentulah
tidak memiliki persamaan, karena kedua hal itu akan berbeda di mata manusia dan
berbeda pula di mata Allah swt. Demikian pula halnya dalam pendidikan, anak
yang rajin dan giat belajar pasti akan beda hasilnya dengan anak yang malas
belajar, setiap pendidik apabila memberikan apresiasi yang positif atau imbalan
yang berupa hadiah kepada anak didik yang teladan dan berprestasi, maka
pendidik juga harus memberikan hukuman atau sanksi terhadap anak yang melakukan
kesalahan dan tidak mau belajar dengan baik.
Ayat di atas
menurut penulis telah menunjukkan nilai-nilai pendidikan yang mengandung adanya
penyesuaian dan keseimbangan dalam pendidikan agar tidak terjadi
kesenjangan-kesenjangan dalam proses belajar mengajar. Jika ganjaran yang
berupa imbalan tidak ada dalam pedidikan, maka anak didik yang mengukir
prestasi dan melakukan hal yang baik tidak akan mendapatkan motivasi untuk
terus meraih dan meningkatkan prestasinya. Begitu pula sebaliknya, jika
ganjaran yang berupa hukuman tidak ada dalam pendidikan, maka anak yang
melakukan kesalahan-kesalahan tidak akan mengetahui bahwa ia salah dan dengan
sendirinya anak akan merasakan bahwa apa yang dilakukannya benar sehingga anak
akan terus terbiasa dengan kesalahan-kesalahan yang difikirkannya benar.
Menurut
An-Nahlawi, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk merelisasikan
penghambaan kepada Allah dalam kehidupan manusia, baik secara individual maupun
secara sosial.[1] Jika
kita melihat dari tujuan pendidikan Islam, sesungguhnya Islam telah memiliki
konsep pendidikan dan proses mendidik anak yang jauh lebih baik dan jauh lebih
sempurna. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang berusaha untuk membina dan
mengembangkan anak manusia yang berkaitan dengan jiwa, intelektualnya,
rasionya, perasaan dan akhlaknya, pendidikan Islam juga selalu menitik beratkan
pendidikan ke arah pribadi anak yang tertuju pada konsep iman, Islam, dan
ihsan.
Dalam proses
pelaksaannya, pendidikan anak menurut Islam juga memerlukan metode pembinaan
yang baik dan efektif, agar apa yang menjadi tujuan pendidikan Islam dapat
tercapai dengan sempurna. Untuk melaksanakan pendidikan, pendidik diharapkan
agar menggunakan metode yang efektif dalam membina anak didiknya, yaitu seperti
melalui metode teladan, metode nasehat, memberikan motivasi atau perhatian,
metode pembiasaan yang baik dan metode memberikan hukuman.
Islam menerima
hukuman sebagai bagian dari sistem pendidikan, ada beberapa ketegori hukuman
dalamIslam, yaitu:
1)
Hukuman non-fisik seperti ancaman,
peringatan atas orang-orang yang berdosa dengan siksaan di hari akhirat, denda,
dan diat.[2]
Islam
membolehkan hukuman, baik itu hukuman yang berbentuk fisik maupun hukuman yang
berbentuk non-fisik. Hukuman dalam pendidikan dipandang sebagai suatu hal yang
penting untuk memelihara keadilan, stabilitas sosial, hak-hak manusia dan
ketentraman dalam masyarakat. Islam membolehkan pemberian hukuman dalam
pendidikan bukan untuk dijadikan bentuk balas dendam terhadap orang-orang yang
berdosa atau orang-orang yang berbuat salah, akan tetapi untuk menghindari
manusia berbuat dhalim terhadap dirinya sendiri, orang lain dan lingkungannya.
Hukuman yang
bersifat non-fisik disebut juga sebagai hukuman maknawi (immatrial),[3]
hukuman non-fisik ini adalah hukuman yang tidak bisa dilihat oleh mata, namun
dapat dirasakan oleh jiwa dan perasaan sebagai efek dari hukuman non-fisik
secara langsung. Sedangkan hukuman non-fisik secara tidak langsung adalah
hukuman yang dirasakan setelah jangka waktu tertentu yang berkaitan dengan
janji-janji Allah di akhirat.
2)
Hukuman fisik yang bersyarat,
seperti hukuman penjara, pengasingan, qishash, pukulan, hukuman potong
yang aturannya telah ditetapkan oleh syari’at.[4]
Hukuman-hukuman
fisik di atas adalah hukuman-hukuman fisik yang digunakan untuk tingkat
kesalahan yang berbeda-beda. Untuk kasalahan pembunuhan yang disengaja maka
hukuman yang diberikan adalah hukuman qishash sedangkan untuk yang tidak
disengaja maka hukumannya adalah penyerahkan denda (diat), sedangkan
untuk kesalahan mencederai bagian tubuh
orang lain secara sengaja, maka hukumannya adalah mencederai bagian tubuh yang
sama seperti orang yang dicederainya.
Dengan
demikian, hukuman yang diberikan terhadap anak didik juga harus disesuaikan
dengan tingkat kesalahan anak didik itu sendiri, hukuman harus sesuai dan
seimbang dengan kesalahan yang dilakukannya agar anak didik benar-benar sadar
dan menyadari bahwa apa yang telah diperbuatnya adalah suatu kesalahan yang
dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Hukuman-hukuman yang diterapkan
dalam pendidikan Islam diharapkan agar mampu menjadi pembelajaran bagi anak
yang melakukan kesalahan dan menjadi peringatan bagi anak-anak yang lain agar
nantinya berfikir dua kali sebelum melakukan kesalahan.
Harus
penulis akui, bahwa hukuman merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan manusia, begitu juga halnya dalam pendidikan. Hukuman terhadap
anak dalam pendidikan merupakan instrumen sekunder yang diberikan dalam kondisi
serta syarat tertentu.[5]
Ketika seorang pendidik memang mampu menangani kesalahan anak dengan cara
menasehati dan berbicara secara lemah lembut kapadanya, maka hukuman fisik
tidak perlu digunakan. Hukuman fisik hanya dipakai pada saat diperlukan, jika
memang anak-anak tidak melakukan kesalahan yang fatal atau berulang-ulang, maka
hukuman fisik tidak perlu digunakan oleh pendidik.
Ada beberapa
tujuan pemberlakuan pemberian hukuman terhadap anak dalam perspektif pendidikan
Islam, yaitu agar anak yang melakukan pelanggaran atau kesalahan tidak
mengulangi perbuatannya lagi, sehingga mendidik dia untuk belajar bersikap
baik, menghormati orang lain dan tau membedakan mana perbuatan yang baik dan
mana perbuatan yang buruk. Kemudian Islam juga membolehkan pemberian hukuman
terhadap anak didik dengan tujuan untuk menakut-nakuti anak didik yang tidak
melakukan kesalahan agar tidak sekali-kali berani berbuat dosa.[6]
Jika anak-anak melihat temannya yang dihukum atau dimarahi karena telah berbuat
salah, maka hal itu akan menjadi pembelajaran bagi dirinya bahwa apa yang
dilakukan temannya itu adalah suatu perbuatan yang salah dan perlu dihindari
agar ia juga terhindar dari mendapatkan hukuman.
Hukuman
adalah untuk melatih manusia agar menahan diri, memperkuat ketabahan, dan
kesabaran, sehingga anak akan terbiasa
dengan sifat-sifat positif dan itu akan menjadi bagian dari konsep hidupnya
serta bagian dari wataknya.[7]Islam
memandang pemberian hukuman terhadap anak dalam proses pendidikan bukan sebagai
tujuan untuk menyakiti, mendhalimi, mencederai dan membuat anak trauma secara
psikologisnya. Akan tetapi Islam mengharapkan agar hukuman yang diberikan terhadap
anak adalah sebagai peringatan bagi anak dalam rangka menanamkan kedisiplinan,
ketaqwaan dan penanaman akhlak yang mulia terhadap pribadi anak yang akan
menjadi pondasi dalam kehidupannya.
Menurut Ibnu
Khaldun, “Guru atau pendidik hendaknya agar tidak memperlakukan muridnya secara
kasar atau dengan paksaan.”[8] Dalam mendidik dan membina anak didik,
pendidik ataupun orang tua diharapkan agar tidak memaksakan suatu hal yang
dapat memberatkan atau menekan kejiwaan anak, akan tetapi membina dengan cara
yang lemah lembut dan denga cara melihat tingkat kecerdasan (kemampuan) anak
didik serta juga memperhatikan arah bakat minat anak didik yang disenanginya.
Kekerasan dalam pendidikan tidak seharusnya ada dan diterapkan pada setiap
anak, akan tetapi hanya jika diperlukan dan itu juga dilakukan dengan alasan
yang logis tanpa mengurangai nilai-nilai edukatif.
Anak
merupakan manusia biasa yang belum memahami seluk-beluk kehidupan yang
sebenarnya, belum mampu mencerna setiap kejadian dengan akalnya, belum memiliki
kemampuan untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan secara syara’pun
anak belum dibebankan tugas dan hukum sebagaimana manusia dewasa umumnya. Oleh
karena itu, wajar-wajar saja kalau anak melakukan kelalaian dan kelupaan, dalam
ini pendidik dan orang tua seharusnya terus mendidik dan membina anak secara
terus menerus serta berulang-ulang dengan proses dari satu tahap ke tahapan
selanjutnya.
Sabda
Rasulullah saw, “Suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh
tahun dan Pukullah jika tidak mau shalat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan
tempat tidur mereka.” Mengandung makna bahwa Rasulullah saw menyarankan
kepada setiap orang tua dan pendidik agar mendidik anak secara bertahap-tahap,
mendidik anak tidak bisa dengan cara yang “instan” dan pemaksaan, anak dididik
dengan cara yang continue yaitu terus menerus dan berturut-turut dari
tahun ke tahun sesuai dengan tingkat usia dan kemampuannya.
Jika kita
mencoba menganalisis apa yang tersirat dalam Ḥadits Rasulullah di atas, jika
seorang orang tua atau pendidik mengajarkan anaknya shalat pada usia tujuh
tahun dan pukullah jika anak tidak mau melaksanakan shalat pada usia sepuluh
tahun, maka jenjang waktu dari tujuh ke sepulah tahun adalah tiga tahun, jika
kita lakukan perkalian terhadap keseriusan orang tua atau pendidik dalam
menerapkan kebiasaan shalat terhadap anak, maka 5 kali sehari dikalikan 365
hari dan dikalikan lagi dengan 3 kali, (5x365x3=5475). Dengan demikian, orang tua
maupun pendidik memiliki kewajiban untuk memerintahkan anak melaksanakan shalat
5475 kali, sebelum menjatuhkan hukuman kepada mereka.
Prinsip-prinsip
dan metode pendidikan Islam adalah prinsip yang agung dengan menggunakan cara
mendidik yang bijaksana, mulia, lemah lembut, dan penuh kasih sayang dalam
mengayomi anak dari satu periode ke peoride yang lebih baik. Sebagimana
perintah shalat sebagai pondasi awal penanaman pendidikan keimanan dalam diri
anak, semestinya melewati beberapa tahapan-tahapan dalam mengajarkan dan membiasakannya
pada diri anak, yaitu:
Tahap
pertama: Saat
perjalanan anak menuju umur tujuh tahun, yaitu peoride penyaksian, dimana anak
akan menyaksikan kedua orang tuanya melaksanakan shalat sehingga ia akan
bergegas ikut-ikutan melakukannya. Jika kedua orang tua melatihnya untuk ikut
melaksanakan shalat, maka yang demikian itu sangatlah baik.
Tahap kedua:
Periode pemberian perintah, dimulai dari usia tujuh
hingga sepuluh tahun. Pada fase ini kedua orang tua memberikan perintah kepada
anak mereka serta menuntun mereka agar melaksanakan shalat.
Tahap
ketiga: Periode pemberian ganjaran berupa
imbalan (hadiah) dan hukuman (sangsi), dimulai dari usia sepuluh tahun dan
sesudahnya. Pada fase ini seorang anak perlu dipukul sebagai sanksi baginya
jika ia tidak mau mengerjakan shalat.[9]
Menurut
penulis, hal di atas telah membuktikan bahwa pendidikan Islam tidak pernah
menganjurkan pemberian hukuman terhadap anak di bawah sepuluh tahun, dan
pendidikan Islam juga tidak pernah membolehkan menghukum anak sebelum anak itu dididik,
dibimbing, diarahkan dan diberi contoh teladan yang baik kepadanya, sehingga
anak-anak paham bahwa tujuan kita adalah mendidiknya menanamkan kepribadian
yang baik dalam dirinya agar ia mau secara sadar melaksanakan segala perintah Allah
dan menjauhi segala larangan Allah swt.
Dari
tahapan-tahapan yang telah penulis paparkan di atas, juga dapat kita lihat
bahwa pemberian hukuman terhadap anak dalam pendidikan Islam adalah bukan tujuan
bermaksud untuk mendhalimi ataupun mencederai anak, akan tetapi pendidikan Islam
merupakan pendidikan yang sangat perhatian terhadap proses keberhasilam
mendidik anak sehingga pendidikan itu tidak hanya bernilai sekedar kognitif
saja, akan tetapi juga yang bernilai afektif, sehingga nilai iman, Islam dan
ihsan benar-benar tertanam dalam diri pribadi anak dengan sempurna.
[1]Abd ar-Rahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di
Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: GIP, 1995), h. 117.
[2]Ibrahim Amini, Agar Tak
Salah..., h. 353.
[3]Syaikh Abdul Hamid Jasim
Al-Bilali, Seni Mendidik Anak, terj. Hamim Thohari, (Jakarta Timur:
Al-I’tishom Cahaya Umat), h. 100.
[4]Ibrahim Amini, Agar Tak
Salah..., h. 353.
[5]Ibrahim Amini, Agar Tak
Salah..., h. 351.
[6]Ibrahim Amini, Agar Tak
Salah..., h. 355.
[7]Ibrahim Amini, Agar Tak
Salah..., h. 356.
[8]Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj.
Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus), h. 764.
[9]Muhammad Suwaid, Mendidik Anak
Bersama Nabi, terj. Salafuddin Abu Sayyid, (Surakarta: Pustaka Arafah,
2009), h. 530.
0 Comments
Post a Comment