Pemeliharaan Hak Azasi Manusia
BAB IV
PERSPEKTIF SYEIKH MUHAMMAD
AL-GHAZALI TENTANG KEADILAN SOSIAL
A.
Pemeliharaan Hak Azasi Manusia
Teori
sosial sering berkembang lebih pesat dari prakteknya. Akan tetapi sering pula
teori itu tertinggal jauh di belakang. Keadaan yang mendesak dan kesempatan
pengalaman menimbulkan jawaban-jawaban yang tampaknya dapat dan diperlukan jauh
sebelum kita dapat membenarkan mereka. Ini khususnya terlihat dari
gerakan-gerakan untuk hak-hak azasi manusia. Meskipun kesadaran mengenai
pentingnya hak-hak azasi manusia semakin tumbuh dan berkembang luas, dan
gerakan-gerakan serta sebab-sebab yang menyuarakan hak-hak azasi manusia atau
hak-hak lainnya menjadi beragam-ragam, kurang literatur teoritis di bidang ini
masih dirasakan, kalau dibandingkan dengan literatur lain yang bertemakan
filsafat. Literatur yang kini masih sangat sementara sifatnya dan
membingungkan, dan kadang-kadang
merupakan kesangsian dalam memandang hakikat, realitas, serta apa yang disebut
dasar-dasar hak azasi manusia.[1]
Konsekuensi
yang paling penting dari kesangsian mengenai intelegibilitas dan kesahehan
teori mana pun mengenai hak azasi manusia adalah kecenderungan yang mendorong
untuk melihat teori itu sekadar sebagai topeng ideologis dari hubungan-hubungan
kekuasaan belaka.
Sejumlah
alasan telah diberikan untuk membenarkan penolakan bahwa hak-hak azasi manusia
itu ada atau bahwa kita bisa mengetahuinya. Sebelum membahas mengenai konsepsi
hak- azasi manusia, lebih baik dikemukakan beberapa alasan tersebut.
1.
Kadang kala orang mempunyai
pandangan bahwa hak azasi manusia tidak pernah ada karena tidak ada hal-hal
seperti itu sebagai hak-hak moral secara keseluruhan. Dan ini artinya bahwa
tidak akan pernah memberikan landasan-landasan yang shahih dan obyektif untuk
keputusan moral apa pun.
2.
Kadang-kadang orang berpendapat
bahwa tidak ada hak azasi manusia di dalam sistem moral mana pun, kecuali kalau
hak-hak ini ditafsirkan secara mutlak, tak bersyarat, atau tidak dapat
dipisahkan.
3.
Sumber kesangsian lainnya
tentang masalah hak-hak azasi manusia muncul karena adanya perbedaan-perbedaan
di dalam daftar hak azasi, sebagaimana hal itu terlihat dalam berbagai
deklarasi hak-hak azasi manusia.[2]
Yang
benar tampaknya adalah tuntutan untuk mengakui hak azasi tertentu manusia
dibenarkan bukan saja oleh beberapa konsekuensi yang dihadapi demi kebaikan
atau keburukan dalam menerima atau menolaknya, melainkan juga oleh rujukan yang
tersirat pada nilai-nilai lain yang diterima sebagai sesuatu yang shahih atau
di luar persoalan pada saat itu. Tuntutan hak-hak wanita untuk memperoleh hak
pilih,atau hak untuk memperoleh pekerjaan, atau hak-hak untuk mendapatkan
jaminan jika pekerjaan tidak diperoleh, atau jaminan kesehatan, semuanya
meramalkan perubahan-perubahan dalam struktur kehidupan keluarga serta watak
masyarakat, akan tetapi pembenaran hak-hak itu bukan hanya didasarkan atas
pertimbangan itu saja. Di dalam setiap situasi yang problematic, di mana
tuntutan ini bertentangan dengan lain, yang diramalkan bukan hanya konteks
material sosial historis, tetapi juga kesahihan nilai-nilai tertentu.
Sejarah
perkembangan pemikiran manusia tentang hakikat nilai-nilai menunjukkan bahwa
kita lebih yakin terhadap kesahihan pertimbangan moral, sekurang-kurangnya
terhadap beberapa pertimbangan moral dari terhadap keyakinan akan kesahihan teori-teori
atau prinsip-prinsip yang diberikan dengan pembenaran yang optimal. Namun
demikian, pada saat-saat tertentu tampaknya ada seperangkat pertimbangan moral
yang penerimaannya tampak penting bagi pengaturan hidup yang lebih beradab yang
lebih berfungsi sebagai pengontrol intuitif terhadap beberapa usulan. Justeru
sering terjadi penolakan teori, seperti teori utilitarianisme, yang
tidak terkendali karena ia mengarah pada kesimpulan yang secara moral tampaknya
tidak bisa diterima. Akan tetapi kontrol-kontrol intuitif ini tidak mutlak atau
kekal, atau sudah pasti tidak terjangkau oleh kemungkinan keraguan rasional.[3]
Dalam
masyarakat sekuler, konsep hak dan kebebasan manusia pada dasarnya tidak
memiliki landasan metafisik, dan dengan jelas dianggap berasal dari pandangan
filsafat, adalah sulit memahami kepentingannya. Satu-satu jalan untuk
menerangkan gagasan hak azasi manusia adalah melihat mereka sebagai bagian
penting dari suatu sistem politik pemerintahan. Seperti sejarah perjuangan
politik dalam periode pasca protestanisme sejarah Eropa, bahwa dengan penolakan
kekuasaan Paus di Roma, Eropa terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan, dan
setelah itu secara otoritas dalam Negara-negara sekuler terkonsentrasikan
secara terus menerus di tangan tokoh-tokoh titular Negara, yaitu Putra Mahkota
yang menjadi raja secara de facto.[4]
Dalam
Islam, yang menghormati prinsip-prinsip di atas mana negera Islam didirikan,
suatu gejala serupa itu tidak mungkin muncul. Dikatakan dengan jelas, tidak ada
penguasa dalam kerangka konseptual suatu Negara Islam – ini disebabkan karena
penguasa sudah mempunyai keinginan sendiri, karena ia menyerah kepada altar
keinginan (iradah) Tuhan yang kemudian tunduk kepada keinginan itu serta
berusaha menjalankan mandatnya, bukan untuk kepentingan kebesaran pribadi,
tetapi untuk memperlihatkan kepatuhan terhadap tuntutan hukum Tuhan.
Sebenarnya,
agama merupakan suatu Undang-Undang Tuhan yang telah diturunkan kepada umat
manusia, sehingga siapa yang menjalankannya, maka akan tenang jiwanya baik di
dunia maupun di akhirat. Adapun fungsi agama meliputi:
- Agama
berfungsi sebagai penjaga jiwa
- Agama
berfungsi sebagai penjaga kehormatan
- Agama
berfungsi sebagai penjaga harta
- Agama
berfungsi sebagai penjaga diri
- Agama
berfungsi sebagai penjaga tanah air
B.
Pemenuhan Kewajiban Manusia
Terhadap Allah
Manusia
merupakan makhluk Allah yang diciptakan dalam bentuk dan rupa yang melebihi
makhluk. Hal ini sesuai dengan pernyataan firman Allah SWT dalam surat at-Tin ayat 4
sebagai berikut:
لقد خلقنا الإنسان فى أحسن تقويم
(التين : ٤)
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
(Q. S. at-Tin: 4)
Pada hakekatnya masyarakat Islam di dunia ini adalah sama
di mata Tuhan, baik yang hitam maupun yang putih, yang cantik maupun yang
jelek. Bagi Allah dialah yang paling mulia dan paling tinggi derajatnya apabila
memang wanita itu benar-benar beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Bagi
seorang muslimah yang senantiasa sadar dan beriman kepada Allah SWT, akan
menganggap apapun peristiwa yang terjadi di dunia ini dan segala peristiwa yang
menimpa pada diri manusia adalah merupakan taqdir dari Yang Maha Kuasa.
Kewajiban yang harus dilakukan manusia dalam kehidupan
ini adalah berusaha meniti jalan kebaikan dan juga berusaha sekuat tenaga untuk
melakukan amal-amal shaleh, apakah yang menyangkut masalah keagamaan maupun
masalah yang menyangkut dengan keduaniaan, sambil bertawakkal kepada Allah juga
pasrah kepada urusan-Nya dan dia yakin senantiasa membutuhkan pertolongan,
bimbingan dan selalu mengharap ridah-Nya.[5]
Untuk semua itu, masyarakat Islam telah mempunyai seorang
figur sosok tokoh yang benar-benar beriman dan bertawakkal. Hal tersebut dapat
ditemui melalui kisah bilal saat disiksa kafir agar bilal bersedia meninggalkan
keyakinannya. Namun dengan keyakinan yang mantap tersebut, Bilal dengan
tegaskan menolak paksaan tersebut walaun harus ditebus dengan penyiksaan yang
tak terhingga pedihnya.
Ini merupakan kesadaran sanubari yang ditanamkan Islam ke
dalam jiwa kaum muslimin. Sungguh ini merupakan gambaran ketaqwaan walau dalam
keadaan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, saat ramai atau sunyi, karena
keyakinannya bahwa Allah SWT itu senantiasa bersama dia, bisa mendengar dan
melihatnya.[6]
Iman yang mendalam, bersih dan jelas ini menambah
kepribadian wanita semakin kuat, sadar dan matang. Dia hakekat kehidupan ini
sebagai tempat ujian dan menentukan pilihan, lalu hasilnya akan muncul pada
suatu hari yang tidak pernah diragukan kedatangannya. Sebagaimana firman Allah
dalam surat al-Mukminun ayat 115 sebagai berikut:
أفحسبتم انّما خلقنكم عبثا وّ أ نّكم إلينا لا
ترجعون (المؤمنون: ١١٥)
Artinya: “Maka apakah kamu mengira, bahwa
sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja) dan bahwa kamu tidak
akan kembali kepada Kami?” (Q. S. Al-Mukminun: 115)
Keterangan ayat di atas,
menggambarkan bahwa Allah SWT memperingatkan manusia agar
senantiasa mengingat akan hari pembalasan, karena pada hari pembalasan seluruh
perbuatan yang dilakukan manusia di dunia akan dimintai pertanggungjawabannya.
Oleh karena itu, umat Islam yang senantiasa sadar akan
selalu menjalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan apa yang menjadi
larangan-larangan Allah dan mencurahkan segala jiwa raganya hanya kepada Allah,
artinya setiap melakukan ibadah baik itu melakukan shalat, maupun melakukan
perbuatan-perbuatan lain hanya semata-mata karena Allah bukan karena yang
lainnya. Maka sudah barang tentu dia harus melaksanakan kewajiban-kewajiban
Islam dan rukun-rukunnya dengan cara-cara yang baik, serta tidak memilih
ibadah-ibadah yang ringan, tidak meremehkan dan juga tidak berlebih-lebihan,
namun demikian dibolehkan melakukan ibadah menurut kemampuan masing-masing
individu.[7]
Di sisi lain, umat Islam juga diharuskan melaksanakan kewajibannya
kepada Rasulnya. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat an-Nur ayat 52 sebagai berikut:
ومن يطع الله ورسوله،
ويخش الله ويتقه فأولئك هم الفائزون (النور: ٥٢)
Artinya: Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan
rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah
orang-orang yang mendapat kemenangan. (Q. S. an-Nur: 52)
Dalam ayat di atas dikemukakan bahwa seorang hamba yang beriman
kepada-Nya juga diwajibkan untuk beriman kepada Rasul-Nya. Salah satu cara
beriman kepada rasul adalah dengan melaksanakan segala apa yang dianjurkannya
dan meninggalkan apa saja yang dilarangnya. Di sisi lain, melaksanakan
kewajiban yang telah dibebankan rasul merupakan salah satu upaya untuk mencapai
kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
C.
Mengayomi Anak Yatim dan Faqir
Miskin
Dalam
firman Allah surat
al-Ma’un ayat 2 dijelaskan sebagai berikut:
ارءيت الذى يكذب بالدين، فذالك الذى
يدع اليتيم، ولا يخض على طعام المسكين (الماعون: ١–٣)
Artinya:
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak
yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (al-Ma’un: 1-3)
Berdasarkan
gambaran ayat tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa ada dua hal yang
dapat dikatagorikan sebagai mendustakan agama, yaitu menghardik anak yatim dan
tidak memberi makan orang-orang yang miskin. Apabila hal tersebut terjadi, maka
dapat dipahami bahwa sikap sosial kaum muslimin sudah mulai luntur, sehingga
kepedulian terhadap anjuran agama khususnya menyantuni anak yatim dan
memberikan faqir miskin telah terabaikan, sehingga bukan tidak kelanggengan
Islam patut diragukan di masa yang akan datang.
Namun
demikian, keserasian hubungan antara pribadi dan masyarakat yang dikehendaki
oleh Islam itu didasarkan kepada kewajiban yang pasti atas golongan mampu agar
menyantuni ayak yatim dan faqir miskin. Sebab kefakiran merupakan salah satu
penunjang utama untuk menjadi kufur.
Kemiskinan merupakan suatu istilah yang selalu
akrab dengan kehidupan manusia. Baik mereka yang benar-benar berada dalam
kondisi tersebut yaitu orang-orang yang hidup dalam keadaan miskin ataupu mereka
yang terlibat dalam setiap pembicaraan masalah kemiskinan dan aksi melawan
kemiskinan.
Sebagai fakta sosial, kemiskinan dapat dikatakan
sebagai pokok bahasan yang terus bergulir dalam kehidupan. Meskipun demikian,
masalah tersebut terus saja menjadi pembicaraan dalam masyarakat dan up to
date. Terlebih lagi sejak dunia menaruh perhatian serius terhadap masalah
kemiskinan. Persoalan kemiskinan tiba-tiba kembali mencuat ke permukaan, baik
di media-media massa
ataupun dalam forum seminar. Kemiskinan selalu saja menjadi sumber berita dan
objek pembahasan yang menarik. Di samping itu juga muncul berbagai bentuk
aktifitas sebagai reaksi dari sikap melawan kemiskinan.
Memang kemiskinan dalam perspektif sosiologis
ekonomi merupakan lambang penderitaan umat sebagai suatu yang hina, sehingga di
mana dan kapanpun kehadirannya selalu tidak dikehendaki. Kehadirannya di
tengah-tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara berarti runtuhnya tatanan
dan harga diri bangsa, bahkan berarti terancamnya ketenangan dan stabilitas
nasional. Maka muncullah kemiskinan menjadi masalah besar dan berat yang
benar-benar membutuhkan perhatian serius, tidak saja oleh suatu Negara tetapi
kemiskinan telah benar-benar menjadi masalah dunia internasional.
Hal ini menunjukkan bahwa fenomena kemiskinan
muncul dengan tidak mengenal batasan dan ruang waktu. Bangsa yang maju
sekalipun seperti Amerika Serikat dan Eropa tidak dapat bebas dari masalah
kemiskinan. Karena memang pada kenyataannya makmur dan miskinnya suatu bangsa
tidaklah semata-mata diukur dengan pendapatan perkapitanya.[8]
Berkaitan dengan hal ini, para ahli sosiologi telah menyusun beberapa indikator
tertentu antara lain: kekurangan makanan, perkiraan usia rata-rata ketika
dilahirkan dan seberapa luas ketidaktahuannya.[9]
Dari pandangan yang dikemukakan oleh para ahli
sosiologi di atas dapat difahami bahwa luasnya kemiskinan ditentukan oleh
beberapa petunjuk yaitu kekurangan makanan. Kekurangan makanan yang dimaksudkan
di sini ialah ketidakmampuan seseorang di dalam memenuhi kebutuhan pangannya.
Selain itu, perkiraan usia rata-rata ketika dilahirkan, mengandung dua
pengertian yaitu si ibu yang melahirkan dalam usia yang sangat muda dan anak
yang dilahirkan pada masa sebelum waktunya, dan tingkat pengetahuan yang sangat
minim.
Oleh karena demikian, maka masyarakat akan
mengalami dilema gangguan ketentraman yang membawa dampak secara langsung pada
pergeseran nilai etika. Etika apabila dilihat dari pengertian bebas mengandung
makna bahwa usaha untuk mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang
akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar
petunjuk Allah SWT menuju kehadhirat-Nya.[10]
Akibat pengaruh kemiskinan tersebut, maka
sekelompok masyarakat tertentu akan mengabaikan ketentuan etika yang telah
digariskan di atas. Bahkan yang lebih parah lagi, akibat kemiskinan tersebut
akan hilangnya rasa baik sangka terhadap Allah SWT merupakan kewajiban bagi
setiap manusia. Baik sangka ialah tidak merasa curiga terhadap Allah dengan apa
yang diberikan kepada manusia.[11]
Di sisi lain akibat kemiskinan juga akan terjadi
berbagai dekadensi moral yang mengakibatkan hancurnya tatanan masyarakat seperti
terjadinya perampokan, pembunuhan dan sebagainya. Padahal perbuatan telah
melanggar dari tujuan akhlak itu untuk mengendalikan tindakan lahir manusia,
karena tindakan lahir itu tidak dapat terjadi apabila tidak didahului oleh
gerak gerik bathinnya.[12]
Berdasarkan keterangan fakta di atas, maka
diperlukan satu usaha yang efektif untuk menghindari terjadinya perbuatan yang
dilarang agama. Salah satunya dengan jalan menyediakan lapangan kerja bagi para
pengangguran, sehingga mereka akan terbebas dari kemiskinan yang menghimpitnya.
Di sisi lain, salah satu faktor
yang dapat mengembangkan fakir miskin adalah dengan mendistribusikan zakat kepada
mereka. Hal tersebut dikarenakan manusia membutuhkan hidup berkecukupan agar
mampu mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Penditribusian zakat dilakukan
agar masyarakat cepat mengembangkan usahanya, ada pula masyarakat yang sedang
dalam mengembangkan perekonomiannya, dan ada pula masyarakat yang sama sekali
lamban mengembangkan usaha sehingga melahirkan kekurangan kebutuhan hidup.
Suatu
prinsip penyaluran zakat mengatakan suatu hasil yang kita harapkan dari
penyaluran zakat itu dan bukan sekedar suatu proses dari penerimaan itu
sendiri. Sedangkan tujuan pengelolaan zakat itu sendiri adalah:
a. Untuk
membentuk kepribadian muslim yang sejati.
b. Membiasakan
untuk saling memberi dan meninggalkan meninggalkan sifat kikir.
c. Membersihkan
harta yang kotor, akibat tidak menunaikan hak-hak orang lain dalam zakat.
d. Mengembangkan
diri supaya menjadi manusia yang sempurna imannya, dimana iman akan menjadi
kunci pembuka kebaikan dan kunci penutup kejahatan.
e. Merasakan
diri untuk membedakan antara hidup susah dengan hidup senang.[13]
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa membayar zakat merupakan suatu
keharusan, terutama yang berkenaan dengan penyalurannya. Sebab mengelola zakat
merupakan salah satu cara untuk menyalurkan zakat secara tepat sasaran. Namun
demikian, diperlukan langkah-langkah khusus dalam penyaluran zakat. Adapun
langkah-langkah penyaluran zakat adalah:
f.
Pengelola memberikan pengertian
tentang makna zakat beserta sanksi yang ditetapkan syara’.
g.
Pengelola menjelaskan tentang
faedah zakat yang sesuai dengan tuntunan syari’at.
h.
Pengelola memberikan
contoh-contoh keterangan tentang pentingnya zakat bagi kehidupan kaum faqir
miskin.
Oleh
karena itu, dalam pengelolaan zakat, mengetahui sumber zakat sangat diperlukan,
karena sumber zakat merupakan pola yang harus dijalankan. Dengan demikian,
sumber itu merupakan materi yang harus disalurkan kepada orang yang berhak
menerimanya. Demikian pula halnya, jika pengelola zakat tidak memahami tentang
sumber zakat, maka dalam usaha pengumpulannya pun akan sangat sulit.
Berdasarkan
uraian yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa dalam
pengelola zakat diperlukan untuk memahami mekanisme pengelolaan zakat, sehingga
dalam pelaksanaannya tidak bertentangan konsep yang telah ditetapkan oleh
syara’.
Menurut Syeikh
al-Ghazali penditribusian zakat tersebut dilakukan dari pembentukan badan yang
mengurus zakat yang dikelola oleh pemerintah. Badan ini menjalankan proses
pengelolaan zakat sesuai dengan konsep manajemen hukum Islam, karena zakat merupakan
salah bentuk dari usaha mengentaskan kemiskinan.
Di
sisi lain, sebagian program perjuangan Islam yang mulia yaitu memperbaiki sifat
egosime yang dibawa manusia sejak lahir. Di samping itu Islam akan menjadikan
pandangan mereka ke arah yang lebih luas (subjektif) dan progressif dalam Islam
segala aktifitasnya, serta memberikan pengertian kepada mereka tentang
kehidupan ini yang pada hakikatnya bukanlah untuk diri sendiri, sebab bukan dia
saja yang berhak hidup.
Penghargaan
seseorang terhadap hak-hak azasi orang lain timbulnya setelah ia mengenal hak
azasi diri sendiri. Dengan begitu, maka akan terpeliharalah dirinya dari
sifat-sifat loba dan tamak, kecerobohan dan penipuan yang menjijikkan. Dalam
hal ini Al-Qur'an selalu menghasung kepada seseorang supaya berperasaan tidak
egistis yaitu dengan berseru kepada setiap orang supaya berbuat baik kepada
anak yatim piatu, sebab tidak ada yang tahu kalau kelak meninggalkan anak cucu
yang memerlukan belas kasihan. Al-Qur'an yang mulia menerangkan sebagai berikut:
وليخش الذين لوتركوا من خلفهم ذرّية
ضعافا خافوا عليهم فليتقوا الله وليقولوا قولا سديدا (النساء: ٩)
Artinya:
Dan hendaklah orang-orang khawatir kalau-kalau mereka akan meninggalkan anak cucu yang lemah-lemah yang
mengkhawatirkan kepada mereka sendiri, karena itu hendaklah bertaqwa
kepada Allah dan berkata yang benar (Q. S. an-Nisa’: 9)
D.
Analisa Penulis
Sebagai upaya gemilang
yang telah dilakukan oleh Syeikh al-Ghazali dalam mengeksplorasikan pemikiran
pembaharuan ke panggung yang sebenarnya, menurutnya manusia sebagai makhluk
obyektif selalu berfikir ke arah pembaharuan, dan mengkaji perhatiannya
terhadap perkembangan pemikiran Islam yang dapat difahami oleh segenap lapisan
masyarakat.
Implikasi dari
keyakinan yang berlebihan terhadap kemampuan daya fikir telah dinyatakan perang
terhadap orang-orang yang enggan berfikir terhadap pembaharuan.
Akibat dari adanya perkembangan
sosial modern tersebut, keadaan Islam dewasa ini menjadi terhalang berbagai hal
yang tidak menggembirakan, salah satunya adalah terjadinya perbedaan pendapat
di kalangan umat Islam itu sendiri. Perbedaan pendapat terjadi dikarenakan
ketidaksamaan pandangan dalam menterjemahkan konsep pembaharuan Islam.
Seharusnya, hal tersebut tidak perlu terjadi, karena Islam merupakan agama yang
sangat toleran terhadap perbedaan pendapat.
Secara umum keadilan mempunyai pengertian
suatu sistem pemerataan dalam sebuah kelompok sebagai usaha mencapai
kesejahteraan yang telah ditentukan. Dihubungkan dengan material, keadilan
sosial dapat diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan untuk mensetarakan
kesejahteraan dalam perwujudan kegiatan kelas-kelas sosial untuk mencapai
tujuan yang telah digariskan.[14]
Syeikh al-Ghazali merupakan
salah seorang tokoh pembaharuan Islam yang membangun khazanah pemikiran Islam.
Oleh karena itu, Dia mengembangkan konsep keadilan sosial secara optimal agar
mampu mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi, usaha
tersebut mempunyai mengalami hambatan dalam mencapai tujuan kesejahteraan.
Namun demikian, konsep keadilan Syeikh al-Ghazali tetap membawa pengaruh yang luar biasa dalam perubahan pemikiran
umat Islam.
Hal tersebut dikarenakan konsep keadilan adalah
sesuai kondisi saat itu. Syeikh al-Ghazali menawarkan pemikirannya tersebut untuk merubah pola fikir para
pembaharu Islam. Oleh karena itu, ia memberikan konsep yang sesuai dengan
perkembangan zaman. Perpaduan dari kedua keadian sosial antara keadilan sosial
menurut Marxis dan keadilan sosial yang melahirkan sebuah pola yang mengakui
tentang kewajiban mengakui hak azasi orang lain.[15]
Sebagai seorang yang berpikir sosialis
tentunya Syeikh al-Ghazali sudah menyadari apa yang sebaiknya dilakukan untuk mencapai
kondisi kesejahteraan yang dapat mengantarkan masyarakat umat ke tujuan. Di
sini tentu saja tugasnya memang berat untuk berusaha menciptakan kesejahteraan
yang menggairahkan dan menyenangkan bagi rakyat yang biasanya lebih banyak
dipengaruhi oleh pemikiran barat. Kondisi ini tentu menjadi kendala yang serius
bagi tercapainya tujuan keadilan menurut Syeikh al-Ghazali.
Namun demikian sosialisme merupakan usaha
yang mutlak dan memerlukan keterlibatan pihak rakyat. Bila tidak ada rakyat,
maka program mengembangkan sosialisme tidak berjalan, karena tidak ada tempat
untuk diaplikasikan. Hal ini sangat penting dilakukan agar tidak terjadi
kesalahtafsiran terhadap pengembangan sosialisme.
Sama halnya dengan Marxis, keadilan Syeikh al-Ghazali juga pada
hakikatnya merupakan suatu proses untuk mensejahterakan seluruh rakyat yang ada di Mesir, sehingga dapat menumbuhkan
dan mendorong perkembangan ekonomi secara merata. Bahkan Sayyid Quthb
menerangkan bahwa “pada tahap berikutnya sosialisme adalah proses memberikan
kesejahteraan kepada rakyat dalam mencapai taraf kesejahteraan yang abadi”.[16]
Melihat kenyataan tersebut, peranan Syeikh al-Ghazali dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Mesir sangat besar. Apalagi dalam
menyaratakan pendapatan rakyat dan negara secara cepat, dan merata.
Dengan kegigihannya, maka pemikiran Syeikh al-Ghazali tersebut, dapat mendukung semua program yang ditawarkan sekaligus dengan
mudah dapat disebarkan ke dalam dunia Islam, sehingga semua tawarannya dapat
dijalankan dengan dan sempurna tanpa adanya bantahan dari pihak manapun.
[1]Ali Imron, Hak-Hak Azasi Manusia, Jakarta :
Surabaya : Bina
Ilmu, 1998, hal. 56
[3]Zainal Abidin, Filsafat Manusia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000, hal.
188
[4]Syeikh Muhammad al-Ghazali, Bukan Dari Ajaran Islam, Terj.
Abdul Hayyi al-Katanie, Surabaya :
Pustaka Setia, 1996, hal. 16
[5]Ali Akhbar, Merawat
Cinta Kasih, Cet. X, Jakarta :
Pustaka Antara, 1984, hal. 55
[6]Syeikh Muhammad
al-Ghazali, Berdialog dengan Al-qur’an, Terj. Abdul Hayyir al-Katanie, Cet. 1,Bandung :
Mizan, 1990, hal. 255
[7]Mahmud Syaltout,
Syeikh, Al-Islamul
Wa Syari`ah, Cet. III,
Kairo: Darul Qalam, t.t., hal. 179
[8]Harsono, Kemiskinan; Paradigma Berat di Dunia Timur, Surabaya : Akademika II,
November 1993, hal. 43
[9]Sabil Subhi ath-Thawil, Kemiskinan dan Keterbelakangan di
Negara-Negara Muslim, Bandung :
Mizan, 1985, hal. 40
[10]Hamzah Ya’cob, Etika Suami, Bandung : Dipenogoro, 1996, hal. 14
[11]Kahar Masyhur, Membina Nilai-Nilai Moral dan Akhlak, Jakarta : Rineka Cipta,
1994, hal. 27
[12]Anwar Masy’ari, Akhlak Al-Qur'an, Surabaya : Bina Ilmu, 1990, hal. 23
[14]Barbara Word, Lima
Pokok Pikiran Yang Mengubah Dunia, Terj. Mukhtar Lubis, Jakarta : Pustaka Jaya, 1983, hal. 102.
[16]Bryan S. Turner, Marxisme dan Revolusi Sosial dalam Islam,
Bandung :
Nuansa, 2000, hal. 110