-->
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pencapaian Tujuan Pendidikan Islam Melalui Pendidikan Keluarga


BAB III
Pencapaian Tujuan Pendidikan Islam Melalui Pendidikan Keluarga



A.    Menyangkut Pendidikan Aqidah
Agama Islam mengandung sistem keyakinan yang mendasari seluruh aktifitas pemeluknya yang disebut aqidah. Aqidah Islam  berisikan  ajaran tentang apa saja yang mesti dipercayai, diyakini dan diimani oleh setiap orang Islam. Karena  Islam bersumber  kepada kepercayaan dan keimanan kepada Tuhan, maka aqidah merupakan sistem kepercayaan yang mengikat manusia kepada Islam.[1]
Sistem  kepercayaan  Islam  atau  aqidah dibangun atas enam  dasar keimanan  yang lazim disebut rukun Iman. Rukun Iman  meliputi  keimanan kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari  akhir dan qadar-Nya. Sebagai rukun Iman tersebut adalah:
يايها الذين امنوا بالله ورسوله والكتاب الذي انزل من قبل ومن يكفر بالله وملائكته وكتبه ورسوله واليوم الأخر فقد ضل ضللا بعيدا (النساء: ١۳٦)
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kitab yang diturunkan  kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya."  (Q. S.  4:136).
 Khususnya surat al-Waqi'ah ini mengandung nilai-nilai aqidah, yaitu dalam persoalan hari kiamat. Keyakinan kepada hari kiamad sangat penting  rangka kesatuan rukun iman lainnya, sebab tanpa mempercayai hari  akhirat sama halnya dengan orang tidak mempercayai agama Islam, walaupun orang itu menyatakan ia percaya kepada Allah, al-Qur'an dan nabi Muhammad.
Penjelasan proses hari kiamat dalam surat  al-waqiah ini  terdapat pada ayat 1-12:  yaitu:
اذا وقعت الواقعة، ليس لوقعتها كاذبة، خافضة رافعة، اذا رجت الارض رجا، وبست الجبال بسا، فكانت هباء منبثا، وكنتم ازواجا ثلاثة، فاصحب الميمنة ما اصحب الميمنة، واصحب المشئمة ما اصحب المشئمة، والسابقون السابقون، اولئك المقربون، فى جنت النعيم (الواقعة: ١–١٢)
Artinya: apabila  terjadi hari kiamat,  terjadinya Kiamat itu  tidak dapat didustakan (disangkal), Kejadian itu merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain), apabila bumi digoncangkan  sedahsyat-dahsyadnya. dan gunung-gunung  dihancur luluhkan sehancur-hancurnya, maka jadilah ia debu yang berterbangan, dan kamu menjadi tiga golongan. yaitu golongan  kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu. dan golongan kiri. Alangkah  sengsaranya  golongan kiri itu. Dan  orang-orang  yang paling dahulu  beriman, merekalah  yang paling dulu (masuk surga). Mereka itulah  orang yang  didekatkan  (kepada Allah). Berada dalam surga kenikmatan.  (Q. S. 57: 1-12)
Dari ayat-ayat di atas  ternyata kiamat itu adalah sebuah kepastian (tidak dapat diragukan). Kiamat itu dimulai dengan adanya gempa-gempa, setelah semua alam hancur terbagilah tiga golongan manusia yaitu: golongan kanan (Ashabul Yamin), golongan kiri (Ashabusysyimal) dan golongan  orang terdahulu  beriman (Assabiqun).
Golongan kanan adalah orang-orang yang menerima buku-buku catatan amal mereka dengan tangan kanan yang menunjukkan mereka adalah ahli surga. Golongan kiri adalah orang-orang  yang menerima buku  catatan  amal mereka  dengan tangan kiri yang menunjukkan  bahwa  mereka  adalah ahli  neraka dan akan mendapat siksa  dan hukuman  yang sangat menyedihkan.[2]  Sedangkan  orang yang paling dahulu beriman adalah orang yang menerima ganjaran yang lebih dahulu juga dari Allah, mereka adalah ahli surga yang dilimpahkan nikmat-nikmat yang tidak pernah dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga serta terpikirkan oleh siapapun juga.[3]
Iman dapat diartikan dengan “keyakinan yang mantap akan adanya keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, syari’at serta keputusan-Nya, Maha Pencipta segalanya Dialah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya, tiada Tuhan selain Dia”.[4] Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa:
عن أبى عمرو وقيل أبى عمرة سفيان بن عبدالله رضي الله عنه قال قالت يارسول الله  قل لى فى الام قولا أسأل عنه أحدا غيرك، قال: قل أمنت بالله، ثم استقم (رواه مسلم)[5]
Artinya: Abu Amar atau Abu Amrah Aufan bin Abdullah Rasulullah saw berkata: wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku satu perkataan dalam Islam yang tidak akan pernah aku tanyakan kepada selain engkau”. beliau bersabda, “katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian beristiqamah”. (H. R. Muslim)
            Keyakinan yang teguh dan mantap terhadap Allah, kemudian dijabarkan kepada rukun-rukun iman yang lain, yaitu beriman kepada Malaikat, Kitab-Kitab (samawi), para Rasul alaihimussalam, iman kepada adanya hari kiamat serta qadha dan qadar Allah, yang kemudian membentuk aqidah Islamiah yang kuat dan mantap didalam setiap muslim.
            Akan tetapi konsep iman yang dibicarakan dalam bacaan pada umumnya mengacu pada masalah berbakti kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut Mahmud Syaltut, yang dimaksud dengan keimanan “mengamalkan apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi saw dan para sahabatnya; disebut “taqwa” karena mereka teguh mengikuti sunnah Nabi saw; disebut muslimin, karena mereka berpegang di atas al-haq (kebenaran), tidak berselisih dalam agama, mereka terkumpul pada para imam al-haq, dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan para ulama”.[6]
Karena itu mengikuti sunnah Rasulullah Saw, maka mereka disebut dengan ahlul hadits, ahlul autsar, ahlul ‘ittiba’, thaifah al-mansurah (kelompok yang dimenangkan), dan firqah an-najah (golongan yang selamat).[7] Oleh karena itu, mempelajari tauhid merupakan suatu kewajiban bagi kaum muslimin yang hendak beriman kepada secara teguh kepada Allah SWT.

B.    Menyangkut Pendidikan Akhlak
Akhlak[8] merupakan komponen dasar Islam termuat juga dalam surat al-Waqi'ah yang berisi ajaran tentang prilaku atau sopan santun. Atau dengan kata lain akhlak dapat disebutkan sebagai aspek Ajaran Islam yang mengatur prilaku manusia. Dalam pembahasan akhlak diatur mana prilaku baik dan  prilaku buruk. Akhlak merupakan sistem etika Islam. Sebagai sistem, akhlak  memiliki spektrum yang luas, mulai sikap terhadap  dirinya, orang  lain, dan makhluk lainnya, serta terhadap Tuhannya.
Dalam Islam Ajaran akhlak merupakan sentral kehidupan manusia, karena itu akhlak memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pertama, perbuatan  akhlak adalah perbutan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadian seseorang. Kedua, akhlak adalah perbuatan  yang dilakukan dengan mudah tanpa ada pikiran  kotor. Ketiga, akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan  atau tekanan dari luar. Keempat, akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima akhlak adalah perbuatan yang dilakukan   karena ikhlas semata-mata.[9] 
Pendidikan akhlak merupakan suatu proses untuk membimbing seorang untuk menjadi orang yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Oleh karena itu, manusia membutuhkan pendidikan akahlak secara optimal agar mampu mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi, kegiatan mempelajari pendidikan akhlak tersebut mempunyai syarat tersendiri dalam usaha mencapai tujuan hidup. Namun demikian, syarat tidak terfokus pada satu bidang saja, tetapi termasuk dalam semua proses mengkaji nilai pendidikan akhlak.
Hal tersebut dikarenakan akhlak adalah suatu kondisi yang dengan sengaja diciptakan. Pendidikan menciptakan guna memahami seorang manusia. Guru yang mengajar dan anak didik yang belajar. Perpaduan dari kedua unsur manusiawi ini lahirlah interaksi edukatif dengan memanfaatkan Al-Qur'an sebagai mediumnya. Di sana semua komponen belajar diperankan secara optimal guna mencapai tujuan pengetahuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sebagai hamba tentunya manusia sudah menyadari apa yang sebaiknya dilakukan untuk mencapai akhalqul karimah yang dapat mengantarkan kepada tujuan hidup. Di sini tentu saja ada orang yang berusaha menciptakan suasana pendidikan yang menggairahkan dan menyenangkan bagi pelajar yang biasanya lebih banyak mendatangkan kegiatan pendidikan yang kurang harmonis.
Oleh karena itu, kegiatan pendidikan akhlak bagi seorang manusia menghendaki hadirnya keceriaan.. Cukup banyak aktifitas yang dilakukan seseorang di luar belajar. Belajar tanpa pembimbing cenderung menyendiri dan tidak terlalu banyak mendapatkan pemahaman terhadap suatu ilmu yang dikaji, apalagi aktifitas itu berkenaan dengan kegiatan membaca sebuah buku.
Sedangkan mempelajari pendidikan akhlak merupakan kegiatan yang mutlak memerlukan keterlibatan individu. Bila hal tersebut tidak ada, maka kegiatan tersebut tidak berjalan, karena tidak pedoman yang dijadikan pegangan. Hal ini perlu sekali disadari agar tidak terjadi kesalahtafsiran terhadap kegiatan menerapkan akhlaqul karimah.
Belajar pendidikan akhlak pada hakikatnya merupakan suatu proses, yaitu mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitarnya, sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong seorang hamba melakukan pengamalannya. Oleh karena itu, Nana Sudjana menerangkan bahwa “pada tahap berikutnya akhlak adalah proses memberikan arahan kepada anak didik dalam melakukan proses pengamalan akhlak yang baik”.[10]
Karena itulah, pendidikan Islam mewajibkan guru untuk senantiasa mengingatkan bahwa kita tidaklah sekedar membutuhkan ilmu, tetapi kita senantiasa membutuhkan akhlak yang baik. Juru didik harus senantiasa ingat bahwa pembentukan akhlak yang baik dikalangan siswa dapat dilakukan dengan latihan-latihan berbuat baik, takwa, berkata benar, menepati janji, ikhlas, dan jujur dalam bekerja, tahu kewajiban, membantu yang lemah, berdikari, selalu bekerja danwaktu. Mengutamakan keadilan dalam pekerjaan lebih besar manfaatnya daripada mengisi otak mereka dengan ilmu-ilmu teoritis, yang mungkin tidak dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila dalam ilmu kesehatan ditegaskan pemeliharaan kesehatan lebih baik daripada perawatan, begitu pula pemeliharaan akhlak yang baik lebih utama daripada usaha memperbaikinya bila sudah rusak.
Pendidikan akhlak dengan cara tidak langsung dapat dilakukan dengan cara sugesti seperti mendiktekan sajak-sajak yang mengandung hikmat kepada anak-anak, memberikan nasihat-nasihat dan berita-berita berharga, mencegah mereka dari membaca sajak yang kosong, termasuk menggugah soal-soal cinta dan pelakon-pelakonnya. Ini tidaklah mengherankan karena ahli-ahli pendidikan Islam yakin akan engaruh kata-kata terhikmat, nasihat-nasihat, kisah-kisah nyta adl pendidikan akhlak, karena kata-kata mutiara itu dapat dianggap sebagai sugesti luar. Dalam ilmu jiwa kita buktikan bahwa sajak-sajak itu sangat berpengaruh dalam pendidikan anak-anak. Mereka akan membenarkan apa yang didengarnya dan mempercayai apa yang mereka baca dalam buku-buku pelajarannya. Sajak-sajak kata- kata berhikmat, dan wasiat-wasiat tentang budi pekerti sangat berpengaruh terhadap mereka. Seorang guru juga dapat menyugestikan kepada anak-anak beberapa contoh dari akhlak mulia, seperti berkata benar, jujur dalam pekerjaan, adil dalam menimbang, suka berteus terang, berani dan ikhlas.[11]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat difahami bahwa memberikan pelajaran akahlak kepada seseorang dapat dilakukan dengan cara memberikan sugesti seperti mencerita kejadian-kejadian nyata yang telah terjadi pada masa lalu. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan akhlak mulia di kalangan anak-anak.

C.    Menyangkut Pendidikan Iqamush ash-Shalah (Ibadah)
ثلة من الاولين، وقليل من الاخرين، علر سرر موضوعة، مبكئين عليها متقابلين، يطوف عليهم ولدان مخلدون، بأكواب وأباريق وكأس من معين، لايصد عون عنها ولاينزفون، وفاكهة مما يتخيرون، ولحم طير مما يشتهون، وحور عين، كامثال اللولؤ المكنون، جزاء بما كانوا يعملون، لايسمعون فيها لغوا ولا تأثيما، الا قيلا سلما سلما. (الواقعة، ٥٧ : ١۳–٢٦)
Artinya: Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu (13), dan segolongan  kecil dari orang-orang yang kemudian (!4).Mereka berada  diatas dipan  yang bertahtakan  emas dan permata (15), seraya betelekan  di atasnya berhadap-hadapan (16). Mereka dikelilingi  oleh anak-anak  muda  yang tetap muda (17), dengan membawa cerek  dan sloki  berikikan minuman  yang diambil dari mata  air  yang mengalir (18). Mereka tidak pening  karenanya dan tidak pula mabuk  (19), dan buah-buahan  dari apa yang mereka pilih (20), dan danging burung  dari apa  yang mereka  inginkan (21). Dan didalam surga itu  ada bidadari  yang bermata jeli (22), laksana mutiara  yang tersimpan baik  (23). Sebagai balasan bagi  apa  yang telah  mereka kerjakan (24). Mereka tidak mendengar  di dalamnya  perkataan  yang sia-sia dan tidak  pula  perkataan  yang menimbulkan dosa (25), akan tetapi  mereka mendengar ucapan salam  (26).
Kesimpulan dari ayat-ayat diatas bahwa penghuni surga adalah segolongan besar dari umat-umat yang terdahulu beriman dan segolongan kecil dari umat kemudian. Mereka adalah orang-orang  yang menunaikan kewajibannya memetuhi perintah Allah dan menjauhkan diri dari larangan-larangan-Nya. Mereka bangun tengah malam melakukan salat, memuja, berzikir, merenungkan kebesaran Allah, dan memohon ampunan-Nya, serta berpuasa pada siang  hari. 
Ganjaran mereka  adalah surga yang berikan tampat tidur  yang bertahtakan  emas permata, minuman dan makanan, juga buah-buahan  dan daging-daging burung yang lezat-lezat rasanya, bidadari-bidadari yang  cantik jelita yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik. Di dalam surga itu  mereka dilayani oleh anak-anak muda  yang tetap muda serta menyenangkan bila dipandang. Di dalam surga itu tidak akan terdengar kata-kata sia-sia. Yang memukaukan, yang tidak layak diucapkan oleh orang baik-baik yang mempunyai akhlak tinggi dan perasaan yang halus, terlebih-lebih kata-kata yang akan menimbulkan  dosa.
Ibadah merupakan salah satu bentuk amalan yang wajib dilaksanakan kepada  Allah oleh seorang hamba. Amalan ini dibebankan karena seorang hamba telah mengakui bah diri merupakan makhluk Allah yang senantiasa melaksanakan pengabdiannya kepada sang Khalik. Karena hal itulah, maka Allah berhak menerima pengabdian hamba-Nya dalam bentuk amal ibadah.
Oleh karena itu, pendidikan ibadah mesti diterima oleh seseorang hamba, karena pendidikan merupakan salah syarat untuk melaksanakan ibadah. Di sisi lain, pendidikan ibadah kepada hamba baik berupa ibadah shalat sebagai sarana untuk mencegah dari kejahatan. Demikian juga diwajibkan melaksanakan ibadah untuk memberikan ketengangan kepada diri seorang hamba, karena dengan melaksanakan amal ibadah akan tercapai ketengangan dalam menjalani kehidupan ini.
Sebenarnya kewajiban melaksanakan ibadah ini sudah ada sejak masa sebelum Islam berkembang, dan hal ini pernah diterangkan secara tegas, karena pada masa itu manusia masih labil dalam menganut ajaran syari’atnya masing-masing, sehingga perintah untuk melaksanakan ibadah masih sangat lemah untuk dilaksanakan.[12]
Dalam memberikan pendidikan ibadah kepada seorang anak manusia tidak pernah terjadi perbedaan, karena pendidikan ini selalu berpedoman secara langsung kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Apalagi para ulama fiqih berpedoman pada ayat dan hadits yang sama, sehingga tidak terjadi perbedaan pandangan dalam menentukan bagaimana cara melaksanakan amal ibadah kepada Allah.
Sebenarnya yang dimaksud dengan ibadah adalah melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar menurut keadaan dan tempat, seperti melaksanakan shalat, puasa, zakat dan haji. Namun demikian dalam Islam ibadah tersebut dibagi dalam dua bentuk yaitu ibadah wajib dan ibadah sunat. Ibadah wajib adalah ibadah yang difardhukan kepada setiap hamba yang telah aqil baligh, sedangkan ibadah sunat adalah ibadah yang ditentukan menurut tingkat kemampuan seseorang dalam melaksanakannya.
Banyak ibadah yang diwajibkan sekedar menurut kemampuan dan hal ini dikarenakan keadaan kekuatan kemampuan menurut suatu kaum.
Syarat wajibnya melaksanakan ibadah atas setiap hamba, apabila hamba masih kecil, atau besar tetapi tidak waras, dan. Sebaliknya, wajib atas hamba melaksanakan ibadah kepada Allah, apabila hamba tersebut sudah memasuki masa aqil baligh, yaitu masa dibebankan seluruh hukum Islam kepadanya.
Akan tetapi, apabila dilihat realitas sekarang, maka masih banyak orang yang belum melaksanakan ibadahnya menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’. Hal tersebut dikarenakan perkembangan masa dan keadaan, yang pada masa lalu tingkat keimanan masih sangat kuat, sedangkan pada masa sekarang tingkat keimanan sudah sangat menipis.
Jika pada masa lalu berlomab-lomba untuk melaksanakan ibadah kepada Allah, tetapi sekarang melaksanakan ibadah hanya pada saat tertentu saja, misalnya ketika terjadi musibah dan sebagainya. [13]
Lain halnya dengan Abul A’la al-Maududi. Menurut beliau kewajiban melaksanakan ibadah dalam Islam merupakan kewajiban yang sangat tegas dibicarakan khususnya dalam menghambakan diri kepada Allah. Kewajiban ini dibebankan kepada seorang hamba yang telah memasuki masa aqil baligh. Kewajiban hamba adalah mengabdikan diri kepada Allah sebagai tanda bersyukur atas nikmat yang telah diberikan. Karena itu harus dipatuhi sepenuhnya dalam statusnya sebagai hamba.[14]

D.    Menyangkut Bidang Pendidikan Muamalah
Pelaksanaan amal ibadah juga sesuai dengan kemampuan seorang hamba, karena seseorang tidak mungkin dibebankan sesuatu diluar kemampuannya. Namun demikian penekanannya adalah kebaikan.
Pada dasarnya, syari’ah merumuskan tentang permasalahan yang menyangkut dengan aqidah, ibadah dan akhlak seorang hamba kepada Tuhannya,. demikian juga mencoba meramu konteks aqidah, ibadah dan akhlak ini dalam bentuk nilai-nilai aplikatif.
            Konsep iman yang dibicarakan dalam bacaan pada umumnya mengacu pada masalah berbakti kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut Mahmud Syaltut, yang dimaksud dengan keimanan “mengamalkan apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi saw dan para sahabatnya; disebut “taqwa” karena mereka teguh mengikuti sunnah Nabi saw; disebut muslimin, karena mereka berpegang di atas al-haq (kebenaran), tidak berselisih dalam agama, mereka terkumpul pada para imam al-haq, dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan para ulama”.
Pada fitrahnya memang setiap individu itu telah diberikan hidayah kebaikan (berupa ketauhidan dan keimanan) oleh Allah SWT. Akan tetapi iman dan tauhid itu dapat saja berubah ke arah kelunturan apabila tidak disiram dan dipupuk dengan bimbingan ke jalan menuju ke arah keimanan dan Islam.[15] Karena itu, masing-masing individu memiliki perbedaan kemampuan, kecerdasan, karakter, latar belakang sosial ekonomi dan perbedaan tingkat usia. Oleh karena itu untuk mendukung hal tersebut diperlukan kearifan sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nahlu ayat 25 sebagai berikut:
ادع  إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين (النحل: ١٢٥)
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Q. S. an-Nahlu: 125)[16]
Dalam pelaksanaan muamalah seorang anak manusia tidak pernah terjadi perbedaan, karena pendidikan ini selalu berpedoman secara langsung kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Apalagi para ulama fiqih berpedoman pada ayat dan hadits yang sama, sehingga tidak terjadi perbedaan pandangan dalam menentukan bagaimana cara melaksanakan amal ibadah kepada Allah.
Demikian pula dengan mempelajari penerapan akhlak merupakan kegiatan yang mutlak memerlukan keterlibatan individu. Bila hal tersebut tidak ada, maka kegiatan tersebut tidak berjalan, karena tidak ada pedoman yang dijadikan pegangan. Hal ini perlu sekali disadari agar tidak terjadi salah faham terhadap kegiatan penerapan akhlaqul karimah.
Namun hal tersebut sangat berbeda dengan pandangan salah satu ide Mustafa Kamal yang mencuat kepermukaan, pria dan wanita mempunyai hak hal perkawinan dan perceraian, dan poligami dilarang, ini diundangkan 17 Pebruari 1926 dan berlaku efektif 4 Oktober 1926. huruf Arab diganti huruf Latin (3 November 1928) sedang bahasa Arab dan Persia dihapus dari kurikulum. Usulan agar shalat dilakukan dalam bahasa Turki ditolak dan hanya adzan dilakukan dalam bahasa itu (januari 1932). Pendidikan agama ditiadakan di seluruh sekolah (1933) dan pada tahun itu juga, Fakultas Teologi Universitas Istambul ditutup dan diganti dengan Institut penelitian Islam. Hari Jum’at dihapus sebagai hari libur (1935). Pembaharuan sosial dengan tujuan menjadikan Turki sebagai bagian dari kebudayaan Barat dilakukan tahun 1925. Pakaian keagamaan hanya dibolehkan bagi mereka yang menjalankan tugas keagamaan, dan seluruh pegawai negeri diwajibkan memakai topi dan pakaian model barat. Pemakaian topi itu, kemudian diwajibkan atas seluruh pria, dan pemakaian fez (topi khas Turki) dianggap tindakan kriminal.[17]
Keterangan di atas membuktikan bahwa konsep sekuler Mustafa Kemal telah merambah ke seluru aspek kehidupan umat Islam. Hal tersebut ditandainya dengan adanya penyamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam masalah perkawinan. Padahal Islam sendiri membedakan antara hak laki-laki dan perempuan dalam masalah perkawinan. Bahkan dalam Al-Qur'an ditegaskan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Melihat fenomena tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsep sekuler Kemal dalam bidang syari’ah bertolak belakang dengan konsep Islam yang telah ditetapkan dalam syara’.
Kegagalan dal bidang syari’ah terlihat dari usaha mengamandemen kembali undang-undang setelah Kamal wafat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mehmed Akif yang dalam syairnya dikemukakan bahwa gerakan kembali kepada agama pun muncul dan kamalisme pudar. Kesadaran keagamaan masyarakat Turki menolak lahirnya faham yang bertentangan dengan ajaran Islam muncul setelah meninggal dunia Kamal wafat pada tahun 1938. Hal ini disebabkan tidak terdapat pemimpin yang setangguh dia dalam melestarikan prinsip-prinsip Kamalisme sepeninggal Kemal.[18]





BAB IV
PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir dalam pembahasan skripsi ini yang di dalamnya penulis akan menguraikan beberapa kesimpulan dari bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini pnulis juga mengajukan beberapa saran yang berhubungan dengan pembahasan masalah ini. Adapun kesimpulan dan sarannya adalah sebagai berikut:

A.    Kesimpulan
1.     Bagaimana hubungan pendidikan keluarga cukup berpengaruh dalam pencapaian tujuan pendidikan Islam?
2.     Landasan apa yang ditempuh dalam pendidikan keluarga sehingga tercapai tujuan pendidikan Islam?

B.    Saran-Saran







DAFTAR KEPUSTAKAAN


AKTA, MA. Ilmu Jiwa Perkembangan, Banda Aceh: LPP IAIN Ar-Raniry, 1969

H. M Arifin Ed, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama Di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, Jakarta : Bulan Bintang,1997

Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz. II, Cairo: Darul Mathba’ah asy-Sya’biah, t.t.

Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Jakarta: Pustaka Amani, t.t

Soeganda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1976

Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1989

Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa  Agama , Jakarta : Bulan Bintang, 1997

Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1992




[1]Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depertemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta:  Bulan Bintang, 2000), hal. 126.   
[2]Bustami A. Gani, dkk, Al-Qur'an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1995),  hal. 657.

[3]Ibid., hal. 658.
[4]Muhammad Abduh, Risalatut Tauhid, (Beirut: Wasyirkah al-Halabi al-Babi, 1953), hal. 122

[5]Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz. II, (Beirut Libanon: Dar al-Fikri, t.t.), hal. 85
[6]Mahmud Syaltut, Aqidah wa Syari’ah, (Mesir: Dar al-Kutub, t.t.), hal. 65

[7]Ibid., hal. 66

[8] Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologi (istilah).  Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim masdar (bentuk infinitif0 dari kata akkhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan timbangan (wazan) tsulasi majid af'ala, yuf'ilu  if'alan  yang berarti sajiyah (perangai), ath-thabi'ah (kelakuan, tabi'at, watak dasar), al-'adat (kebiasaan, kelaziman),  al-maru' ah (peradaban yang baik), dan al-din (agama). Lihat Abudin  Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo, 1996),  hal.  1.

[9]Zainal Abidin Ahmad, Pendidikan Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 82.
[10]Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Cet. II, (Bandung: Sinar Baru, 1991), hal. 29
[11]Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Prinsip-Prinsip Dasar…¸hal. 117-118
[12] Hasbi ash-Shiddiqy, al-Islam II, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 316.

[13]Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam, Terj. Abdul Hayyie al-Katanie, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal. 121.

[14] Abu A’la al-Maududi, Kawin dan Cerai Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 27.

[15]HAMKA, Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1956, hal. 176

[16]Departemen Agama RI, Op. cit., hal. 421
[17]Ibid., hal. 25

[18]Muhammad Rashid Feroza, Op. cit, hal. 147

Post a Comment for "Pencapaian Tujuan Pendidikan Islam Melalui Pendidikan Keluarga"