Pencapaian Tujuan Pendidikan Islam Melalui Pendidikan Keluarga
BAB III
Pencapaian
Tujuan Pendidikan Islam Melalui Pendidikan Keluarga
A.
Menyangkut
Pendidikan Aqidah
Agama Islam mengandung
sistem keyakinan yang mendasari seluruh aktifitas pemeluknya yang disebut
aqidah. Aqidah Islam berisikan ajaran tentang apa saja yang mesti
dipercayai, diyakini dan diimani oleh setiap orang Islam. Karena Islam bersumber kepada kepercayaan dan keimanan kepada Tuhan,
maka aqidah merupakan sistem kepercayaan yang mengikat manusia kepada Islam.[1]
Sistem kepercayaan
Islam atau aqidah dibangun atas enam dasar keimanan yang lazim disebut rukun Iman. Rukun
Iman meliputi keimanan kepada Allah, para malaikat,
kitab-kitab, para rasul, hari akhir dan
qadar-Nya. Sebagai rukun Iman tersebut adalah:
يايها الذين امنوا
بالله ورسوله والكتاب الذي انزل من قبل ومن يكفر بالله وملائكته وكتبه ورسوله
واليوم الأخر فقد ضل ضللا بعيدا (النساء: ١۳٦)
Artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan
rasul-Nya dan kitab yang diturunkan
kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang
siapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya." (Q. S. 4:136).
Khususnya surat al-Waqi'ah ini mengandung nilai-nilai
aqidah, yaitu dalam persoalan hari kiamat. Keyakinan kepada hari kiamad sangat
penting rangka kesatuan rukun iman
lainnya, sebab tanpa mempercayai hari
akhirat sama halnya dengan orang tidak mempercayai agama Islam, walaupun
orang itu menyatakan ia percaya kepada Allah, al-Qur'an dan nabi Muhammad.
Penjelasan proses hari
kiamat dalam surat al-waqiah ini
terdapat pada ayat 1-12: yaitu:
اذا وقعت الواقعة،
ليس لوقعتها كاذبة، خافضة رافعة، اذا رجت الارض رجا، وبست الجبال بسا، فكانت هباء
منبثا، وكنتم ازواجا ثلاثة، فاصحب الميمنة ما اصحب الميمنة، واصحب المشئمة ما اصحب
المشئمة، والسابقون السابقون، اولئك المقربون، فى جنت النعيم (الواقعة: ١–١٢)
Artinya: apabila terjadi hari
kiamat, terjadinya Kiamat itu tidak dapat didustakan (disangkal), Kejadian
itu merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain), apabila
bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyadnya.
dan gunung-gunung dihancur luluhkan
sehancur-hancurnya, maka jadilah ia debu yang berterbangan, dan kamu menjadi
tiga golongan. yaitu golongan kanan.
Alangkah mulianya golongan kanan itu. dan golongan kiri. Alangkah sengsaranya
golongan kiri itu. Dan
orang-orang yang paling
dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga). Mereka
itulah orang yang didekatkan
(kepada Allah). Berada dalam surga kenikmatan. (Q. S. 57: 1-12)
Dari ayat-ayat di
atas ternyata kiamat itu adalah sebuah
kepastian (tidak dapat diragukan). Kiamat itu dimulai dengan adanya
gempa-gempa, setelah semua alam hancur terbagilah tiga golongan manusia yaitu:
golongan kanan (Ashabul Yamin), golongan kiri (Ashabusysyimal)
dan golongan orang terdahulu beriman (Assabiqun).
Golongan kanan adalah
orang-orang yang menerima buku-buku catatan amal mereka dengan tangan kanan
yang menunjukkan mereka adalah ahli surga. Golongan kiri adalah
orang-orang yang menerima buku catatan
amal mereka dengan tangan kiri
yang menunjukkan bahwa mereka
adalah ahli neraka dan akan
mendapat siksa dan hukuman yang sangat menyedihkan.[2] Sedangkan
orang yang paling dahulu beriman adalah orang yang menerima ganjaran
yang lebih dahulu juga dari Allah, mereka adalah ahli surga yang dilimpahkan
nikmat-nikmat yang tidak pernah dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga
serta terpikirkan oleh siapapun juga.[3]
Iman dapat diartikan dengan “keyakinan yang mantap akan adanya
keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, syari’at serta keputusan-Nya, Maha Pencipta
segalanya Dialah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya,
tiada Tuhan selain Dia”.[4] Dalam sebuah hadits
diterangkan bahwa:
عن
أبى عمرو وقيل أبى عمرة سفيان بن عبدالله رضي الله عنه قال قالت يارسول الله قل لى فى الام قولا أسأل عنه أحدا غيرك، قال:
قل أمنت بالله، ثم استقم (رواه مسلم)[5]
Artinya: Abu Amar atau Abu Amrah Aufan bin Abdullah
Rasulullah saw berkata: wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku satu perkataan
dalam Islam yang tidak akan pernah aku tanyakan kepada selain engkau”. beliau
bersabda, “katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian beristiqamah”. (H. R.
Muslim)
Keyakinan yang teguh
dan mantap terhadap Allah, kemudian dijabarkan kepada rukun-rukun iman yang
lain, yaitu beriman kepada Malaikat, Kitab-Kitab (samawi), para Rasul
alaihimussalam, iman kepada adanya hari kiamat serta qadha dan qadar Allah,
yang kemudian membentuk aqidah Islamiah yang kuat dan mantap didalam setiap
muslim.
Akan tetapi konsep iman
yang dibicarakan dalam bacaan pada umumnya mengacu pada masalah berbakti kepada
Allah dan Rasul-Nya. Menurut Mahmud Syaltut, yang dimaksud dengan keimanan
“mengamalkan apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi saw dan para sahabatnya; disebut
“taqwa” karena mereka teguh mengikuti sunnah Nabi saw; disebut muslimin, karena
mereka berpegang di atas al-haq (kebenaran), tidak berselisih dalam agama,
mereka terkumpul pada para imam al-haq, dan mengikuti apa yang telah menjadi
kesepakatan para ulama”.[6]
Karena itu mengikuti sunnah Rasulullah Saw, maka mereka disebut dengan
ahlul hadits, ahlul autsar, ahlul ‘ittiba’, thaifah al-mansurah (kelompok yang
dimenangkan), dan firqah an-najah (golongan yang selamat).[7] Oleh karena itu,
mempelajari tauhid merupakan suatu kewajiban bagi kaum muslimin yang hendak
beriman kepada secara teguh kepada Allah SWT.
B.
Menyangkut
Pendidikan Akhlak
Akhlak[8] merupakan komponen dasar
Islam termuat juga dalam surat
al-Waqi'ah yang berisi ajaran tentang prilaku atau sopan santun. Atau dengan
kata lain akhlak dapat disebutkan sebagai aspek Ajaran Islam yang mengatur
prilaku manusia. Dalam pembahasan akhlak diatur mana prilaku baik dan prilaku buruk. Akhlak merupakan sistem etika
Islam. Sebagai sistem, akhlak memiliki
spektrum yang luas, mulai sikap terhadap
dirinya, orang lain, dan makhluk
lainnya, serta terhadap Tuhannya.
Dalam Islam Ajaran akhlak
merupakan sentral kehidupan manusia, karena itu akhlak memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: pertama, perbuatan
akhlak adalah perbutan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang,
sehingga telah menjadi kepribadian seseorang. Kedua, akhlak adalah
perbuatan yang dilakukan dengan mudah
tanpa ada pikiran kotor. Ketiga,
akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya,
tanpa ada paksaan atau tekanan dari
luar. Keempat, akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima akhlak
adalah perbuatan yang dilakukan karena
ikhlas semata-mata.[9]
Pendidikan akhlak merupakan suatu proses untuk membimbing seorang untuk
menjadi orang yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Oleh karena itu,
manusia membutuhkan pendidikan akahlak secara optimal agar mampu mencapai
kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi, kegiatan mempelajari
pendidikan akhlak tersebut mempunyai syarat tersendiri dalam usaha mencapai
tujuan hidup. Namun demikian, syarat tidak terfokus pada satu bidang saja,
tetapi termasuk dalam semua proses mengkaji nilai pendidikan akhlak.
Hal tersebut dikarenakan akhlak adalah suatu kondisi yang dengan sengaja
diciptakan. Pendidikan menciptakan guna memahami seorang manusia. Guru yang
mengajar dan anak didik yang belajar. Perpaduan dari kedua unsur manusiawi ini
lahirlah interaksi edukatif dengan memanfaatkan Al-Qur'an sebagai mediumnya. Di
sana semua
komponen belajar diperankan secara optimal guna mencapai tujuan pengetahuan
yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sebagai hamba tentunya manusia sudah menyadari apa yang sebaiknya
dilakukan untuk mencapai akhalqul karimah yang dapat mengantarkan kepada tujuan
hidup. Di sini tentu saja ada orang yang berusaha menciptakan suasana
pendidikan yang menggairahkan dan menyenangkan bagi pelajar yang biasanya lebih
banyak mendatangkan kegiatan pendidikan yang kurang harmonis.
Oleh karena itu, kegiatan pendidikan akhlak bagi seorang manusia
menghendaki hadirnya keceriaan.. Cukup banyak aktifitas yang dilakukan
seseorang di luar belajar. Belajar tanpa pembimbing cenderung menyendiri dan
tidak terlalu banyak mendapatkan pemahaman terhadap suatu ilmu yang dikaji,
apalagi aktifitas itu berkenaan dengan kegiatan membaca sebuah buku.
Sedangkan mempelajari pendidikan akhlak merupakan kegiatan yang mutlak
memerlukan keterlibatan individu. Bila hal tersebut tidak ada, maka kegiatan
tersebut tidak berjalan, karena tidak pedoman yang dijadikan pegangan. Hal ini
perlu sekali disadari agar tidak terjadi kesalahtafsiran terhadap kegiatan
menerapkan akhlaqul karimah.
Belajar pendidikan akhlak pada hakikatnya merupakan suatu proses, yaitu
mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitarnya, sehingga dapat
menumbuhkan dan mendorong seorang hamba melakukan pengamalannya. Oleh karena
itu, Nana Sudjana menerangkan bahwa “pada tahap berikutnya akhlak adalah proses
memberikan arahan kepada anak didik dalam melakukan proses pengamalan akhlak
yang baik”.[10]
Karena itulah, pendidikan Islam mewajibkan guru untuk senantiasa
mengingatkan bahwa kita tidaklah sekedar membutuhkan ilmu, tetapi kita
senantiasa membutuhkan akhlak yang baik. Juru didik harus senantiasa ingat
bahwa pembentukan akhlak yang baik dikalangan siswa dapat dilakukan dengan
latihan-latihan berbuat baik, takwa, berkata benar, menepati janji, ikhlas, dan
jujur dalam bekerja, tahu kewajiban, membantu yang lemah, berdikari, selalu
bekerja danwaktu. Mengutamakan keadilan dalam pekerjaan lebih besar manfaatnya
daripada mengisi otak mereka dengan ilmu-ilmu teoritis, yang mungkin tidak
dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila dalam ilmu kesehatan ditegaskan
pemeliharaan kesehatan lebih baik daripada perawatan, begitu pula pemeliharaan
akhlak yang baik lebih utama daripada usaha memperbaikinya bila sudah rusak.
Pendidikan akhlak dengan cara tidak langsung dapat dilakukan dengan cara
sugesti seperti mendiktekan sajak-sajak yang mengandung hikmat kepada
anak-anak, memberikan nasihat-nasihat dan berita-berita berharga, mencegah
mereka dari membaca sajak yang kosong, termasuk menggugah soal-soal cinta dan
pelakon-pelakonnya. Ini tidaklah mengherankan karena ahli-ahli pendidikan Islam
yakin akan engaruh kata-kata terhikmat, nasihat-nasihat, kisah-kisah nyta adl
pendidikan akhlak, karena kata-kata mutiara itu dapat dianggap sebagai sugesti
luar. Dalam ilmu jiwa kita buktikan bahwa sajak-sajak itu sangat berpengaruh
dalam pendidikan anak-anak. Mereka akan membenarkan apa yang didengarnya dan
mempercayai apa yang mereka baca dalam buku-buku pelajarannya. Sajak-sajak
kata- kata berhikmat, dan wasiat-wasiat tentang budi pekerti sangat berpengaruh
terhadap mereka. Seorang guru juga dapat menyugestikan kepada anak-anak
beberapa contoh dari akhlak mulia, seperti berkata benar, jujur dalam
pekerjaan, adil dalam menimbang, suka berteus terang, berani dan ikhlas.[11]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat difahami bahwa memberikan
pelajaran akahlak kepada seseorang dapat dilakukan dengan cara memberikan
sugesti seperti mencerita kejadian-kejadian nyata yang telah terjadi pada masa
lalu. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan akhlak mulia
di kalangan anak-anak.
C.
Menyangkut
Pendidikan Iqamush ash-Shalah (Ibadah)
ثلة من الاولين،
وقليل من الاخرين، علر سرر موضوعة، مبكئين عليها متقابلين، يطوف عليهم ولدان
مخلدون، بأكواب وأباريق وكأس من معين، لايصد عون عنها ولاينزفون، وفاكهة مما
يتخيرون، ولحم طير مما يشتهون، وحور عين، كامثال اللولؤ المكنون، جزاء بما كانوا
يعملون، لايسمعون فيها لغوا ولا تأثيما، الا قيلا سلما سلما. (الواقعة، ٥٧ :
١۳–٢٦)
Artinya: Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu (13), dan
segolongan kecil dari orang-orang yang
kemudian (!4).Mereka berada diatas dipan yang bertahtakan emas dan permata (15), seraya betelekan di atasnya berhadap-hadapan (16). Mereka
dikelilingi oleh anak-anak muda
yang tetap muda (17), dengan membawa cerek dan sloki
berikikan minuman yang diambil
dari mata air yang mengalir (18). Mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk (19), dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih (20), dan danging
burung dari apa yang mereka
inginkan (21). Dan didalam surga itu
ada bidadari yang bermata jeli
(22), laksana mutiara yang tersimpan
baik (23). Sebagai balasan bagi apa
yang telah mereka kerjakan (24).
Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan
yang sia-sia dan tidak pula perkataan
yang menimbulkan dosa (25), akan tetapi
mereka mendengar ucapan salam
(26).
Kesimpulan dari ayat-ayat
diatas bahwa penghuni surga adalah segolongan besar dari umat-umat yang
terdahulu beriman dan segolongan kecil dari umat kemudian. Mereka adalah
orang-orang yang menunaikan kewajibannya
memetuhi perintah Allah dan menjauhkan diri dari larangan-larangan-Nya. Mereka
bangun tengah malam melakukan salat, memuja, berzikir, merenungkan kebesaran
Allah, dan memohon ampunan-Nya, serta berpuasa pada siang hari.
Ganjaran mereka adalah surga yang berikan tampat tidur yang bertahtakan emas permata, minuman dan makanan, juga
buah-buahan dan daging-daging burung
yang lezat-lezat rasanya, bidadari-bidadari yang cantik jelita yang bermata jeli laksana
mutiara yang tersimpan baik. Di dalam surga itu
mereka dilayani oleh anak-anak muda
yang tetap muda serta menyenangkan bila dipandang. Di dalam surga itu
tidak akan terdengar kata-kata sia-sia. Yang memukaukan, yang tidak layak
diucapkan oleh orang baik-baik yang mempunyai akhlak tinggi dan perasaan yang
halus, terlebih-lebih kata-kata yang akan menimbulkan dosa.
Ibadah merupakan salah satu bentuk amalan yang wajib
dilaksanakan kepada Allah oleh seorang
hamba. Amalan ini dibebankan karena seorang hamba telah mengakui bah diri
merupakan makhluk Allah yang senantiasa melaksanakan pengabdiannya kepada sang
Khalik. Karena hal itulah, maka Allah berhak menerima pengabdian hamba-Nya
dalam bentuk amal ibadah.
Oleh karena itu, pendidikan ibadah mesti diterima oleh
seseorang hamba, karena pendidikan merupakan salah syarat untuk melaksanakan
ibadah. Di sisi lain, pendidikan ibadah kepada hamba baik berupa ibadah shalat
sebagai sarana untuk mencegah dari kejahatan. Demikian juga diwajibkan
melaksanakan ibadah untuk memberikan ketengangan kepada diri seorang hamba,
karena dengan melaksanakan amal ibadah akan tercapai ketengangan dalam
menjalani kehidupan ini.
Sebenarnya kewajiban melaksanakan ibadah ini sudah
ada sejak masa sebelum Islam berkembang, dan hal ini pernah diterangkan secara
tegas, karena pada masa itu manusia masih labil dalam menganut ajaran syari’atnya
masing-masing, sehingga perintah untuk melaksanakan ibadah masih sangat lemah
untuk dilaksanakan.[12]
Dalam memberikan pendidikan ibadah kepada seorang
anak manusia tidak pernah terjadi perbedaan, karena pendidikan ini selalu
berpedoman secara langsung kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Apalagi para ulama
fiqih berpedoman pada ayat dan hadits yang sama, sehingga tidak terjadi
perbedaan pandangan dalam menentukan bagaimana cara melaksanakan amal ibadah
kepada Allah.
Sebenarnya yang dimaksud dengan ibadah adalah
melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar menurut keadaan dan tempat, seperti
melaksanakan shalat, puasa, zakat dan haji. Namun demikian dalam Islam ibadah tersebut dibagi
dalam dua bentuk yaitu ibadah wajib dan ibadah sunat. Ibadah wajib adalah
ibadah yang difardhukan kepada setiap hamba yang telah aqil baligh, sedangkan
ibadah sunat adalah ibadah yang ditentukan menurut tingkat kemampuan seseorang
dalam melaksanakannya.
Banyak ibadah yang diwajibkan sekedar menurut
kemampuan dan hal ini dikarenakan keadaan kekuatan kemampuan menurut suatu
kaum.
Syarat wajibnya melaksanakan ibadah atas setiap hamba,
apabila hamba masih kecil, atau besar tetapi tidak waras, dan. Sebaliknya,
wajib atas hamba melaksanakan ibadah kepada Allah, apabila hamba tersebut sudah
memasuki masa aqil baligh, yaitu masa dibebankan seluruh hukum Islam kepadanya.
Akan tetapi, apabila dilihat realitas sekarang, maka
masih banyak orang yang belum melaksanakan ibadahnya menurut ketentuan yang
telah ditetapkan oleh syara’. Hal tersebut dikarenakan perkembangan masa dan
keadaan, yang pada masa lalu tingkat keimanan masih sangat kuat, sedangkan pada
masa sekarang tingkat keimanan sudah sangat menipis.
Jika pada masa lalu berlomab-lomba untuk
melaksanakan ibadah kepada Allah, tetapi sekarang melaksanakan ibadah hanya
pada saat tertentu saja, misalnya ketika terjadi musibah dan sebagainya. [13]
Lain halnya dengan Abul A’la al-Maududi. Menurut
beliau kewajiban melaksanakan ibadah dalam Islam merupakan kewajiban yang
sangat tegas dibicarakan khususnya dalam menghambakan diri kepada Allah.
Kewajiban ini dibebankan kepada seorang hamba yang telah memasuki masa aqil
baligh. Kewajiban hamba adalah mengabdikan diri kepada Allah sebagai tanda
bersyukur atas nikmat yang telah diberikan. Karena itu harus dipatuhi sepenuhnya
dalam statusnya sebagai hamba.[14]
D.
Menyangkut
Bidang Pendidikan Muamalah
Pelaksanaan amal ibadah juga sesuai dengan kemampuan
seorang hamba, karena seseorang tidak mungkin dibebankan sesuatu diluar
kemampuannya. Namun demikian penekanannya adalah kebaikan.
Pada dasarnya, syari’ah merumuskan tentang permasalahan
yang menyangkut dengan aqidah, ibadah dan akhlak seorang hamba kepada
Tuhannya,. demikian juga mencoba meramu konteks aqidah, ibadah dan akhlak ini
dalam bentuk nilai-nilai aplikatif.
Konsep iman yang
dibicarakan dalam bacaan pada umumnya mengacu pada masalah berbakti kepada
Allah dan Rasul-Nya. Menurut Mahmud Syaltut, yang dimaksud dengan keimanan
“mengamalkan apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi saw dan para sahabatnya;
disebut “taqwa” karena mereka teguh mengikuti sunnah Nabi saw; disebut
muslimin, karena mereka berpegang di atas al-haq (kebenaran), tidak berselisih
dalam agama, mereka terkumpul pada para imam al-haq, dan mengikuti apa yang
telah menjadi kesepakatan para ulama”.
Pada fitrahnya memang setiap individu itu telah diberikan hidayah
kebaikan (berupa ketauhidan dan keimanan) oleh Allah SWT. Akan tetapi iman dan
tauhid itu dapat saja berubah ke arah kelunturan apabila tidak disiram dan
dipupuk dengan bimbingan ke jalan menuju ke arah keimanan dan Islam.[15] Karena itu, masing-masing
individu memiliki perbedaan kemampuan, kecerdasan, karakter, latar belakang
sosial ekonomi dan perbedaan tingkat usia. Oleh karena itu untuk mendukung hal
tersebut diperlukan kearifan sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nahlu ayat 25 sebagai berikut:
ادع إلى سبيل ربك بالحكمة
والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم
بالمهتدين (النحل: ١٢٥)
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk. Q. S. an-Nahlu: 125)[16]
Dalam pelaksanaan muamalah seorang anak manusia
tidak pernah terjadi perbedaan, karena pendidikan ini selalu berpedoman secara
langsung kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Apalagi para ulama fiqih berpedoman
pada ayat dan hadits yang sama, sehingga tidak terjadi perbedaan pandangan
dalam menentukan bagaimana cara melaksanakan amal ibadah kepada Allah.
Demikian pula dengan mempelajari
penerapan akhlak merupakan kegiatan yang mutlak memerlukan keterlibatan
individu. Bila hal tersebut tidak ada, maka kegiatan tersebut tidak berjalan,
karena tidak ada pedoman yang dijadikan pegangan. Hal ini perlu sekali disadari agar tidak terjadi salah faham
terhadap kegiatan penerapan akhlaqul karimah.
Namun hal tersebut sangat berbeda dengan pandangan salah satu ide
Mustafa Kamal yang mencuat kepermukaan, pria dan wanita mempunyai hak hal
perkawinan dan perceraian, dan poligami dilarang, ini diundangkan 17 Pebruari
1926 dan berlaku efektif 4 Oktober 1926. huruf Arab diganti huruf Latin (3 November 1928 ) sedang
bahasa Arab dan Persia
dihapus dari kurikulum. Usulan agar shalat dilakukan dalam bahasa Turki ditolak
dan hanya adzan dilakukan dalam bahasa itu (januari 1932). Pendidikan agama
ditiadakan di seluruh sekolah (1933) dan pada tahun itu juga, Fakultas Teologi
Universitas Istambul ditutup dan diganti dengan Institut penelitian Islam. Hari
Jum’at dihapus sebagai hari libur (1935). Pembaharuan sosial dengan tujuan
menjadikan Turki sebagai bagian dari kebudayaan Barat dilakukan tahun 1925.
Pakaian keagamaan hanya dibolehkan bagi mereka yang menjalankan tugas
keagamaan, dan seluruh pegawai negeri diwajibkan memakai topi dan pakaian model
barat. Pemakaian topi itu, kemudian diwajibkan atas seluruh pria, dan pemakaian
fez (topi khas Turki) dianggap tindakan kriminal.[17]
Keterangan di atas membuktikan bahwa konsep sekuler Mustafa Kemal telah
merambah ke seluru aspek kehidupan umat Islam. Hal tersebut ditandainya dengan
adanya penyamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam masalah perkawinan.
Padahal Islam sendiri membedakan antara hak laki-laki dan perempuan dalam
masalah perkawinan. Bahkan dalam Al-Qur'an ditegaskan bahwa laki-laki adalah
pemimpin bagi kaum perempuan. Melihat fenomena tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa konsep sekuler Kemal dalam bidang syari’ah bertolak belakang dengan
konsep Islam yang telah ditetapkan dalam syara’.
Kegagalan dal bidang syari’ah terlihat dari usaha mengamandemen kembali
undang-undang setelah Kamal wafat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mehmed Akif
yang dalam syairnya dikemukakan bahwa gerakan
kembali kepada agama pun muncul dan kamalisme pudar. Kesadaran keagamaan
masyarakat Turki menolak lahirnya faham yang bertentangan dengan ajaran
Islam muncul setelah meninggal dunia Kamal wafat pada tahun 1938. Hal ini
disebabkan tidak terdapat pemimpin yang setangguh dia dalam melestarikan
prinsip-prinsip Kamalisme sepeninggal Kemal.[18]
BAB IV
PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dalam pembahasan skripsi ini yang di
dalamnya penulis akan menguraikan beberapa kesimpulan dari bab-bab sebelumnya.
Dalam bab ini pnulis juga mengajukan beberapa saran yang berhubungan dengan
pembahasan masalah ini. Adapun kesimpulan dan sarannya adalah sebagai berikut:
A.
Kesimpulan
1.
Bagaimana hubungan pendidikan keluarga cukup berpengaruh
dalam pencapaian tujuan pendidikan Islam?
2.
Landasan apa yang ditempuh dalam pendidikan keluarga
sehingga tercapai tujuan pendidikan Islam?
B.
Saran-Saran
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
AKTA, MA. Ilmu
Jiwa Perkembangan, Banda Aceh: LPP IAIN Ar-Raniry, 1969
H. M Arifin Ed, Hubungan Timbal
Balik Pendidikan Agama Di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, Jakarta : Bulan Bintang,1997
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz. II, Cairo : Darul Mathba’ah asy-Sya’biah, t.t.
Muhammad Ali, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Jakarta: Pustaka Amani, t.t
Soeganda Poerbakawatja, Ensiklopedi
Pendidikan, Jakarta :
Gunung Agung, 1976
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
1989
Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama , Jakarta : Bulan Bintang, 1997
Zuhairini, Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta
: Bumi Aksara, 1992
[1]Direktorat
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depertemen Agama RI, Buku Teks
Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta :
Bulan Bintang, 2000), hal. 126.
[2]Bustami
A. Gani, dkk, Al-Qur'an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: Universitas Islam
Indonesia, 1995), hal. 657.
[3]Ibid., hal. 658.
[4]Muhammad Abduh, Risalatut Tauhid, (Beirut:
Wasyirkah al-Halabi al-Babi, 1953), hal. 122
[5]Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz. II, (Beirut
Libanon: Dar al-Fikri, t.t.), hal. 85
[6]Mahmud Syaltut, Aqidah wa Syari’ah, (Mesir: Dar
al-Kutub, t.t.), hal. 65
[8] Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu
pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologi
(istilah). Dari sudut kebahasaan, akhlak
berasal dari bahasa Arab, yaitu isim masdar (bentuk infinitif0 dari kata
akkhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan timbangan (wazan) tsulasi
majid af'ala, yuf'ilu if'alan yang berarti sajiyah (perangai), ath-thabi'ah
(kelakuan, tabi'at, watak dasar), al-'adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru' ah (peradaban yang baik), dan
al-din (agama). Lihat Abudin
Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo, 1996), hal.
1.
[9]Zainal
Abidin Ahmad, Pendidikan Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal.
82.
[10]Nana
Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Cet. II, (Bandung: Sinar
Baru, 1991), hal. 29
[11]Muhammad
Athiyah al-Abrasyi, Prinsip-Prinsip Dasar…¸hal. 117-118
[12]
Hasbi ash-Shiddiqy, al-Islam II, Semarang :
Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 316.
[13]Muhammad
Athiyah al-Abrasyi, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam, Terj. Abdul Hayyie
al-Katanie, (Jakarta :
Bumi Aksara, 2004), hal. 121.
[14] Abu
A’la al-Maududi, Kawin dan Cerai Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), hal. 27.
[15]HAMKA, Pelajaran Agama
Islam, Jakarta :
Pustaka Panjimas, 1956, hal. 176
[16]Departemen Agama RI, Op.
cit., hal. 421
[18]Muhammad Rashid
Feroza, Op. cit, hal. 147
Post a Comment for "Pencapaian Tujuan Pendidikan Islam Melalui Pendidikan Keluarga"