A. Pendidikan Ihsan
Dai kisah nabi ishak juga dapat kita lihat bahwa merupakan
sebaik-baik kisah yang terdapat didalam Al-qur’an yang menjadi pelajaran bagi
kita bersama. Terutama dalam pendidikan ihsan. Yang mana mereka adalah orang
yang berbuat kebaikan ditengah kerusakan moral dan aqidah. Nabi ishak juga
merupakan orang yang saleh dalam kehidupannya.Seperti firman Allah didalam Al-qur’an surat Al-anbiya ayat 72
- 73:
ووهبنا له إسحاق ويعقوب نافلة
و كلا جعلنا صالحين , وجعلناهم أئمة يهدون بأمرناوأوحينا إليهم فعل الخيرات وإقام
الصلاة وإيتاء الزكاة وكانوا لنا عابدين )الأنبياء:
٧٣ -٧٢ (
Artinya: Dan Kami telah
memberikan kepadanya (Ibrahim) Ishaq dan Ya`qub, sebagai suatu anugerah
(daripada Kami). Dan masing-masing Kami jadikan orang-orang yang saleh. Kami
telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan
kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah
mereka selalu menyembah,(Qs. Al-anbiya’ : 72-73)
Beliau adalah Yakub bin Ishak bin
Ibrahim. Namanya adalah Israil ia adalah seorang Nabi yang diutus bagi kaumnya.
Allah SWT menyebutkan tiga bagian dari kisahnya. Berita gembira tentang kelahirannya
disampaikan oleh para malaikat kepada kakeknya Ibrahim dan Sarah neneknya. Allah
SWT juga menyebutkan wasiatnya saat ia meninggal. Dan Allah SWT akan
menyebutkannya setelah itu—tanpa mengisyaratkan namanya—dalam kisah Nabi Yusuf.
Melalui wasiatnya tersebut, kita dapat mengetahui tingkat ketakwaannya. Kita
mengetahui bahwa kematian adalah suatu bencana yang akan menghancurkan manusia
sehingga karenanya manusia menjadi lupa terhadap namanya dan ia hanya ingat
terhadap penderitaan dan kesusahannya, tetapi Nabi Yakub tidak lupa saat ia
menjemput kematian untuk berdoa kepada Allah SWT. Allah
SWT berfirman dalam surat
Al-baqarah ayat 133:
أم كنتم شهداء إذ حضر يعقوب
الموت إذ قال لبنيه ما تعبدون من بعدي قالوا نعبد إلهك و إله أبائك إبراهيم
وإسماعيل وإسحاق إلها واحدا ونحن له مسلمون )البقرة:
١٣٣(
Artinya: Adakah hamu hadir ketika Yakub
kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: 'Apa yang
kamu sembah sepeninggalku?' Mereka menjawab: 'Kami akan menyembah Tuhanmu dan
Tuhan nenek mayangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishah, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa
dan kami hanya tunduk kepada-Nya. (Qs. al-Baqarah: 133)
Peristiwa ini yang terjadi antara Nabi Yakub dan
anak-anaknya di saat menjelang kematian adalah peristiwa yang sangat besar.
Kita di hadapan seseorang yang menghadapi sakaratul maut. Apakah masalah yang
menyibukkan pikirannya di saat sakaratul maut? Apakah pikiran-pikiran yang
selalu mengganggunya saat sakaratul maut? Apakah perkara penting yang harus
disampaikannya sehingga hatinya menjadi tenang sebelum kematiannya? Apakah
warisan yang ingin ditinggalkannya kepada anak-anaknya dan cucu-cucunya? Apakah
sesuatu yang ingin disampaikannya sebelum kematiannya yang dapat menjamin
keselamatan manusia? Anda akan menemukan jawaban dari semua pertanyaan itu saat
beliau bertanya: "Apa yang kalian sembah sepeninggalku?" Pertanyaan itulah yang sangat merisaukan
beliau saat menghadapi sakaratul maut. Yaitu masalah keimanan kepada Allah SWT.
la adalah masalah satu-satunya dan ia merupakan warisan hakiki. Anak-anak
Israil menjawab: "Kami menyembah Tuhanmu dan Tuhan ayah-ayahmu Ibrahim,
Ismail, dan Ishak. Yaitu Tuhan yang Maha Esa dan kami akan berserah diri
pada-Nya."Dari ayat diatas dapatlah kita lihat bahwa, mereka merupakan
pemuda yang beriman kepada tuhannya dan berbuat kebajikan sehingga Allah menambah
kepada mereka petunjuk. Ini berarti mereka adalah orang yang berbuat ihsan yang
merupakan akhlaq yang mulia.
Kalau kita perhatikan Sifat ihsan dari lughoh (bahasa), Al-Ihsan berasal dari
kata ahsana-yuhsinu-ihsanan yang artinya membaguskan. Ihsaana ilaihi
artinya berbuat baik kepadanya[1].
Sedangkan yang dimaksud dengan ihsan dalam pembahasan ini adalah menyampaikan setiap kebaikan kepada kepada
orang lain semampu kita dan bila
memungkinkan mencegah gangguan terhadap manusia. Dalam Al-qur’an Allah menjelaskan:
وابتغ
فيما أتاك الله اللدار الأخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا وأحسنا كما أحسن الله إليك
ولا تبغ الفساد فى الأرض إن الله لا يحب المفسدين )القصص : ٧٧(
Artinya: Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Qs. Al-Qashash :
77)
Sesungguhnya agama
islam mewajibkan kepada para pengikutnya (berbuat baik) dalam segala hal dan
tidak ridha dari para pengikutnya menyukai keburukan atau melakukannya. Maka
sesuatu yang diajak oleh agama kita adalah yang tertinggi dari perbuatan kita
sehari-hari yang salah yang merancukan gambaran akhlak dalam agama ini.
Sejak langkah
pertama di atas pintu Islam, kita dituntut untuk memperbaiki Islam kita agar
dilipatgandakan pahala kita. Al-Bukhari meriwayatkan:
إذا
أحسن أحدكم إسلامه فكل حسنة يعملها تكتب له بعشر أمثالها إلى سبعمائة ضعف وكل سيئة
يعملها تكتب له بمسلها
Artinya: Apabila
seseorang dari kalian memperbaiki Islamnya, maka setiap kebaikan yang
dilakukannya ditulis untuknya sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat,
dan setiap keburukan yang dilakukannya ditulis baginya seumpamanya."[2]
Bahkan sesungguhnya
tumpukan (dosa) di masa jahiliyah yang membebani pundak orang yang baru
mendapat petunjuk, ia tidak bisa bebas darinya kecuali dengan taubat yang benar
dan memperbaiki amal perbuatan. Karena itulah Nabi saw bersabda:
منأحسن
فى الإسلام لم يؤاخذ بما عمل فى الجاهلية ومن أساء فى الإسلام بالأول والأخر
Artinya: Barangsiapa yang baik di dalam Islam,
niscaya ia tidak terkana sangsi karena
perbuatannya di masa jahiliyah, dan barangsiapa yang berbuat jahat di dalam Islam niscaya ia terkena
sangsi karena dosa yang pertama (di masa lalu) dan yang terakhir.( HR.
Bukhari )[3]
Di dalam Al-Qur`an,
Allah memaparkan dengan rinci tentang sifat, moralitas tertinggi, dan pola
pikir khas orang-orang beriman. Lebih jauh, di dalam Kitab-Nya, Allah menyanjung
kualitas-kualitas moral semacam itu, seperti keadilan, kasih sayang, rendah
hati, sederhana, keteguhan hati, penyerahan diri secara total kepada-Nya, serta
menghindari ucapan tak berguna.
Titik pandang
sebuah masyarakat yang jauh dari moralitas Al-Qur`an (masyarakat jahiliyah)
terhadap tingkah laku yang secara sosial bisa diterima bisa saja berubah,
sesuai dengan tahapan waktu, suasana, budaya, peristiwa-peristiwa, dan
manusianya sendiri. Akan tetapi, perilaku dari mereka yang kokoh berpegang pada
ketetapan hukum Al-Qur`an tetap tak tergoyahkan oleh adanya perubahan kondisi,
waktu, dan tempat. Seseorang yang beriman senantiasa tunduk-patuh kepada
perintah dan peringatan Al-Qur`an. Karena itulah, ia mencerminkan akhlaq
terpuji.
Kita dapat melihat
didalam Islam sejumlah contoh perilaku yang layak mendapat penghargaan sesuai
penilaian Allah. Akan tetapi, kami tidak menguraikan semua kualitas perilaku
terpuji dari orang-orang beriman yang secara panjang lebar telah terteradalam
Al-Qur`an. Kami hanya memfokuskan perhatian pada moralitas terpuji yang masih
terselubung dengan segala keagungan-keagungannya yang terpendam. Ada beberapa anjura dalam
islam yang harus diperhatikan oleh segenap manusia. Diantaranya adalah:
1.
Membersihkan
jiwa.
Allah menyeru
orang-orang beriman supaya membersihkan (menyucikan) diri mereka, yang sesuai
dengan fitrah jiwa mereka dan sunnah alam. Kesucian dianggap sebagai satu
bentuk lain dari ibadah orang beriman dan, dengan begitu, merupakan satu sumber
kelapangan dan kesenangan yang besar bagi mereka sendiri. Di dalam banyak ayat,
Allah memerintahkan orang beriman agar memperhatikan kesucian jiwa dan raga.
Nabi kita saw. juga menekankan pentingnya memelihara kesucian. Pengertian
qur`ani tentang kesucian berbeda makna dengan yang dipahami oleh masyarakat
awam. Menurut Al-Qur`an, suci adalah keadaan yang dialami dalam jiwa seseorang.
Demikianlah, kesucian berarti seseorang telah sama sekali membersihkan dirinya
dan nilai-nilai moral masyarakatnya, bentuk pola pikirnya, dan gaya hidup yang
bertentangan dengan Al-Qur`an. Dalam hal ini, Al-Qur`an menganugerahkan
ketenangan jiwa kepada orang-orang beriman.
Tahap awal dari
keadaan suci ini berwujud dalam pemikiran. Tak diragukan lagi, ini merupakan
satu kualitas terpenting. Kesucian jiwa yang dialami manusia tersebut akan
terpancar dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian, moral terpuji orang
tersebut akan nyata bagi siapa saja. Manusia yang berjiwa suci akan menjauhkan
pikirannya dari segala bentuk kebatilan. Mereka tidak pernah berniat menyakiti,
cemburu, kejam, dan mementingkan diri sendiri, yang semuanya merupakan perasaan
tercela yang diserap dan ditampilkan oleh orang-orang yang jauh dari konsep
moral Al-Qur`an. Orang-orang beriman memiliki jiwa kesatria, karena mereka merindukan
moral terpuji. Inilah sebabnya, terlepas dari penampilan ragawi, orang-orang
beriman pun menaruh perhatian besar pada penyucian jiwa mereka-dengan cara
menjauhi semua keburukan yang muncul dari kelalaian-dan mengajak orang lain
untuk mengikuti hal yang serupa.
2.
Menjaga
Kesucian Ragawi
Di dunia ini,
orang-orang beriman berupaya membina suatu lingkungan yang mirip dengan surga.
Di dunia ini, mereka ingin menikmati segala sesuatu yang akan Allah anugerahkan
kepada mereka di surga. Sebagaimana kita pahami dari Al-Qur`an, kesucian ragawi
merupakan salah satu dari kualitas-kualitas yang dimiliki manusia surga.seperti
firman Allah didalam Al-qur.an surat
Thuur ayat 24 yang berbunyi:
ويطوف
عليهم غلمان لهم كأنهم لؤلؤ مكنون )الطور : ٢٤(
Artinya: Dan
berkeliling disekitar mereka anak anak muda untuk (melayani) mereka,
seakan-akan mereka itu mutiara yang tersimpan. (Qs. ath-Thuur: 24)
Di ayat lain, Allah
menekankan perhatian pada kesucian raga adalah yang merujuk pada Nabi Yahya a.s.firman
Allah dalam Al-qur’an surat
Maryam ayat 12-13:
يايحيى
خذ الكتاب بقوة وأتيناه الحكم صبيا , وحنانامن لدنا وزكاة وكان تقيا) مريم:١٢- ١٣ (
Artinya: Hai
Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan
kepadanya hikmah selagi ia masih kanak- kanak,
dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dari dosa).
Dan ia adalah seorang yang bertakwa, (Qs.Maryam: 12-13)
3.
Berbicara
dengan suara lembut.
Tinggi-rendahnya
(intonasi) suara adalah bagian penting dari ungkapan perasaan positif
seseorang. Bagaimana seorang menggunakan intonasi mencerminkan kualitas orang
bersangkutan. Bahkan, suara merdu sekalipun dapat menyakiti jika
diartikulasikan dengan tidak sepatutnya. Allah menasihati hamba-hamba-Nya
melalui ucapan Luqman didalam Al-qur’an surat
Lukman ayat 19:
واقصد
فى مشيك واغضض من صوتك إن أنكر الأصوات لصوت الحمير )لقمان : ١٩(
Artinya:Dan
sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya, seburuk-buruk suara
ialah suara keledai.
(Qs.
Luqman: 19)
Seseorang yang
bicara dalam suara keras atau menghardik orang lain tidak akan memberi kesan
menyenangkan pada pihak lain. Di samping itu, pada kebanyakan kasus, hal
seperti ini terasa tak tertahankan, seperti mendengarkan raungan keledai.
Dengan kata lain, cara orang bicara adalah hal yang penting. Suara orang yang
sedang dirundung berang mungkin terdengar tak mengenakkan, meskipun suara
lelaki atau perempuan itu, dalam suasana normal, mungkin terasa sedap
ditelinga. Sebaliknya juga begitu, seseorang dengan lantunan suara tak sedap
bisa saja terdengar lebih merdu kalau mengikuti nilai-nilai terpuji dari
Al-Qur`an. Suara merdu, di pihak lain, mungkin saja terkesan menyerang dan tak
tertahankan, jika orang itu angkuh dan berkesan menyakitkan. Karena suara orang
tersebut, yang merupakan pantulan sifat negatif diri, baik lelaki atau
perempuan, cenderung berkeluh kesah dan menghasut.
Sebagaimana halnya
suara, mereka yang berakhlaq mulia selalu memiliki sifat rendah hati, santun,
bersahaja, damai, dan konstruktif. Dengan sudut pandang positif dalam
kehidupan, mereka selalu ceria, bersemangat, cerah, dan gembira. Sifat sempurna
ini, yang timbul dari kehidupan dengan akhlaq perilaku seperti dijelaskan dalam
Al-Qur`an, termanifestasikan dalam lantun suara seseorang. Sebaliknya,” orang
yang buruk pertengkarannya adalah orang yang bertengkar atau berdebat dengan
suara yang tidak sopan dengan mengeras-ngeraskan suara,tidak menjaga kesopanan,
sehingga bersahut-sahutan yang menyebabkan perang mulut hanya untuk memperoleh
suatu maksud.[4]
4.
Berbudi
Baik
Al-Qur`an
menginformasikan kepada kita bahwa manusia beriman pada kenyataannya adalah
orang-orang yang sangat bermurah hati. Akan tetapi, konsep Al-Qur`an tentang
akhlaq mulia agak berbeda dari yang secara umum ditemukan dalam masyarakat. Manusia
mewarisi sifat santun dari keluarga mereka atau menyerapnya dari lingkungan
masyarakat sekitar. Akan tetepi, pengertian ini berbeda dari satu strata ke
strata lain. Wujud keluhuran budi yang berlandaskan nilai-nilai qur`ani, walau
bagaimanapun, melebihi dan di atas nilai dari pemahaman mana pun, karena ia
tidak akan pernah berubah, baik oleh keadaan maupun manusia. Mereka yang
menyerap unsur akhlaq mulia, sebagaimana pandangan Al-Qur`an, memandang setiap
manusia sebagai hamba-hamba Allah, dan karena itu memperlakukan mereka dengan
segala kebaikan, walaupun tabiat mereka mungkin saja tidak sempurna.
Orang-orang semacam ini menjauhi penyimpangan dan tingkah laku yang tidak
patut, teguh dalam pendirian, bahwa berketetapan dalam kebaikan mendatangkan kasih
sayang Allah, sebagaimana ditandaskan dalam sebuah hadits:
عن
أبي يعلى شداد بن أوس رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : "
إن الله كتب الإحسان على كل شيء , فإذا قتلتم فأحسنوا القتلة , وإذا ذبحتم فأحسنوا
الذبحة وليحد أحدكم شفرته وليرح ذبيحته ) رواه مسلم(
Artinya: Dari
Abu Ya'la, Syaddad bin Aus radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam beliau telah bersabda : Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku
baik pada segala hal, maka jika kamu membunuh hendaklah membunuh dengan cara
yang baik dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik dan
hendaklah menajamkan pisau dan menyenangkan hewan yang disembelihnya.(HR.
Muslim).[5]
Moralitas agung ini
diperkuat dalam ayat Al-qur’an surat
Al-baqarah ayat 83 yang berbunyi:
...
وبالوالدين إحسانا وذي القربى واليتامى والمساكين وقولوا للناس حسنا... )البقرة: ٨٣(
Artinya:…
berbuat baiklah pada ibu bapak, kaum kerabat, dan anak-anak yatim, dan fakir miskin, serta ucapkanlah
kata kata yang baik kepada manusia….(Qs.
al-Baqarah : 83)
Orang-orang beriman
juga harus sangat berhati-hati terhadap cara mereka memperlakukan orang tua
mereka sendiri. Di dalam Al-Qur`an, Allah memerintahkan supaya mereka
diperlakukan dengan segala kebaikan, Satu contoh dalam surah Yusuf menegaskan
pentingnya menghormati orang tua. Nabi Yusuf a.s. pernah dipisahkan dari
keluarganya, untuk waktu lama, karena saudara-saudaranya menjebloskan beliau ke
dalam sebuah sumur. Tak lama kemudian, beliau ditemukan oleh satu rombongan
pedagang yang membawanya ke Mesir dan menjualnya sebagai budak. Kemudian,
karena dakwaan palsu, dia dijebloskan ke penjara selama bertahun-tahun, dan
dibebaskan, hanya berkat pertolongan Allah, untuk diangkat menjadi bendahara
kerajaan Mesir.
5.
Ramah
Tamah terhadap sesama
Bagi umat beriman, yang
mengikuti moralitas Al-Qur`an, memuliakan tamu mereka merupakan wujud kepatuhan
pada salah satu perintah Allah serta satu kesempatan untuk mengaplikasikan
moralitas yang tinggi. Sebab itulah, hamba-hamba beriman menyambut tamu-tamu
mereka dengan penuh takzim. Al-Qur`an secara khusus menekankan perhatian agar
manusia beriman menunjukkan akhlaq mulia kepada tamu. Sebelum yang
lain-lainnya, manusia beriman menyuguhkan hormat, cinta, damai dan santun
kepada setiap tamu. Sambutan biasanya didasarkan pada mempersiapkan tempat dan
kebutuhan-kebutuhan lainnya, yang tanpa ungkapan hormat, cinta, dan damai,
tidak bakal menyenangkan sang tamu. Di dalam ayat berikut, Allah mempertegas
betapa Dia menyenagi kemolekan jiwa di atas apa pun selain itu, seperti firman Allah
dalam Al-qur’an surat
An-nisa ayat 86:
وإذا
حييتم بتحية فحيوابأحسن منها أوردوهاإن الله كان على كل شيء حسيبا)النساء: ٨٦(
Artinya:Apabila
kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah
dengan yang serupa. Sesungguhnya,
Allah memperhitungkan segala sesuatu. (Qs.
an-Nisa’: 86)
Perilaku lain yang
disukai berkenaan dengan hal ini adalah menawarkan bantuan tanpa menunda-nunda.
Di atas segalanya, perilaku seperti ini mengedepankan rasa senang tuan rumah
bila tamu merasa bahagia berada di sana .
Sebagaimana disebutkan ayat tadi, menawarkan sesuatu "dengan segera"
mengungkap kemauan tulus tuan/nyonya rumah untuk melayani tamunya. Tingkah laku mulia lainnya yang dapat
dipetik dari ayat-ayat tadi adalah walaupun Nabi Ibrahim a.s. belum pernah
kedatangan tamu sebelumnya, dia berupaya keras untuk melayani mereka sebaik
mungkin dan bersegera menyuguhkan daging bakar "anak sapi gemuk",
sejenis daging yang terkenal sangat sedap rasanya, sehat dan bergizi. Dus, bisa
kita tambahkan bahwa selain dari mencukupi layanan-layanan yang telah
disebutkan, tuan/nyonya rumah harus pula mempersiapkan dan menawarkan makanan
kualitas prima, enak, dan segar. Saiful bahri menjelaskan bahwa pendidikan
ketelanan dari keluarga merupakan pendidikan yang memiliki nilai strategis
dalam menunjang pendidikan yang selanjutnya dalam membina akhlak yang mulia.[6]
B. Pendidikan Psikologi
Setiap
para Nabi dan Rasul merupakan utusan Allah yang memiliki prinsip yang sama
dalam da’wah an satu ikatan yang dapat mengikat mereka adalah akidah islamiyah
sehingga terciptanya kedamaian umat lahis dan batin atau secara fisik dan
psikologi. Begit juga nabi ishak yang yang mana dengan menegakkan dakwah dapat
menjadikan umat baik secara moral dan mental yang sering kita sebut dengan
psikologi, kesehatan dari segi psikologi merupakan hal yang sangat penting yang
juga menjadi perhatian nabi ishak dalam da’wah.
Adapun nilai pendidikan psikologi
yang terkandung dari kisah nabi ishak adalah sangat banyak sekali dalam
kehidupan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa, Psikologi merupakan
”Bahagian dari ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan membahas tentang tingkah
laku yang terbuka dan yang tertutup pada manusia, baik selaku individu maupun
kelompok dalam hubungannya dengan lingkungan. Lingkungan dalam hal ini meliputi
semua orang, barang, keadaan, dan kejadian yang ada di sekitar manusia.[7]
Segala aktivitas
yang dilakukan oleh manusia, sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian dan
metal spritualnya. Orang yang yang bergaul dengan teman yang baik, biasanya
akan dapat mempengaruhi kepribadiannya menjadi baik, begitu juga sebaliknya,
orang yang berteman dengan orang yang jahat akan dapat mempengaruhi tingkah
lakunya kearah keburukan.
1.
Pengaruh
Heriditas dan Lingkungan.
Rasulullah telah mengisyaratkan di dalam beberapa
Hadithnya tentang adanya pengaruh heriditas dan lingkungan pada pembentukan
perbedaan karakter antar individu.
Pertama, pengaruh heriditas
terhadap perbedaan individu. Beberapa penelitian ilmiyah mutakhir dalam ilmu genetika
membuktikan bahwa gen pada setiap spermatozoa dan ovum yang telah bercampur dan
telah menjadi embrio sebenarnya memiliki beberapa sifat genetis. Setiap
spermatozoa dan ovum merupakan sel yang sudah terbelah menjadi 23 kromosom.
Proses ini terjadi ketika spermatozoa dan ovum mengalami pembuahan yang
sempurna. Terjadinya proses pembuahan ketika spermatozoa dan ovum bercampur
telah disebutkan di dalam Al- Qur’ân surat Al-insan ayat 2 sebagai berikut:
إناخلقنا
الإنسان من نطفة أمشاج نبتليه فجعلناه سميعا بصيرا) الإنسان:٢ (
Artinya:
Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur
yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu kami
jadikan ia mendengar dan melihat.
(Qs. Al-Insân: 2).
Sperma yang bercampur merupakan satu butir sel yang mengandung 46 kromosom.
Satu butir sel tersebut, separuhnya berasal dari sang ayah dan separuhnya lagi
berasal dari sang ibu. Satu butir sel telor ini mengadung gen yang membawa
sifat-sifat sang ayah dan ibu. Terkadang sifat-sifat genetika tidak langsung
diwarisi oleh anak. Bisa saja sifat-sifat tersebut diwariskan oleh cucu.[9]
Oleh karena itu Rasulullah sangat
menekankan agar memilih pasangan hidup yang sepadan dan memiliki sifat-sifat
kesalehan yang menunjukkan nilai-nilai penting atmosfir keluarga yang
mempengaruhi pertumbuhan anak. Dengan terciptanya keluarga yang sakinah,
anak-anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Mereka akan mendapatkan
pendidikan yang baik, belajar dengan nilai-nilai Islam, tradisi yang baik, dan
akhlaq yang mulia dari kedua orang tuanya.
Kedua, di samping dari pada
itu rekan dan sahabat juga memiliki pengaruh yang sangat besar pada kehidupan
anak-anak dan pemuda. Rekan yang buruk akhlaqnya tidak jarang akan melakukan
hal-hal yang negatif pada teman
sepergaulannya. Begitu juga sebaliknya menjauhi rekan yang berakhlak buruk
merupakan hal yang sangat penting.
Rasulullah telah memberikan isyarat tentang adanya pengaruh rekan terhadap
pembentukan peri laku seseorang. Rasulullah mewasiatkan agar seseorang memilih
teman yang shalih dan menghindari rekan yang buruk. Diriwayatkan dari Abu Musa
ra. Bahwa Rasulullah bersabda:
مثل
الجليس الصالح والسوء كحامل المسك ونافخ الكير فحامل المسك إما أن يحذيك وإما أن
تبتاع منه وإما أن تجد منه ريحا طيبة ونافخ الكير إما أن تحرق ثيابك وإما أن تجد
ريحا خبيثة.
Artinya:
Sesungguhnya perumpamaan rekan yang shalih dan rekan yang buruk itu ibarat penjual
minyak wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi bisa jadi akan memberimu
minyak, atau kamu akan membeli minyak darinya, atau kamu akan mendapati aroma
wangi darinya. Sementara pandai besi, maka bisa jadi ia akan membakar busanamu
(ketika sedang meniup api) atau kamu akan menjumpai aroma tidak sedap darinya.(HR.
Muslim )[10]
Sebagaimana kita ketahui bahwa
manusia banyak mengadopsi tradisi, etika, nilai, dan pemikiran dari lingkungan
sosial tempat dia tinggal. Kalau sesorang sudah terbiasa dengan tradisi
tertentu yang telah menjadi kebiasaan baginya, maka tradisi tersebut akan sulit
dirubah kecuali dengan upaya yang sangat berat dan butuh waktu yang cukup lama.
Oleh karena itu, memperhatikan pendidikan akhlaq mulia bagi anak sangatlah
penting. Dengan demikian mereka tidak akan mengadopsi tradisi maupun
etika yang buruk. Sebab apabila seorang anak telah terbiasa dengan tradisi dan
etika yang buruk, maka akan sulit untuk diperbaiki.
2.
Makanan yang diKonsumsinya
Dalam Islam, makanan merupakan tolok ukur dari segala
cerminan penilaian awal yang bisa mempengaruhi berbagai bentuk prilaku
seseorang. Makanan bagi Umat Islam tidak sekedar sarana pemenuhan kebutuhan
secara lahiriyah semata, tetapi juga bagian
dari kebutuhan spiritual yang mutlak dilindungi. Thobîb Al-Asyhâr dengan
mengutip pendapat dari Ibrahim Hoesein mengatakan bahwa:
”Halal
dan haram bukanlah persoalan sederhana yang dapat diabaikan, melainkan masalah yang amat penting dan
mendapat perhatian dari ajaran Islam
secara umum. Karena masalah ini tidak hanya menyangkut hubungan antar sesama manusia, tetapi juga ada hubungannya
dengan Allah. Seorang muslim tidak
dibenarkan mengkonsumsi sesuatu makanan sebelum
ia tahu benar akan kehalalannya akan akibat berakibat buruk, baik di dunia maupun di akhirat.”[11]
Islam datang ketika
Umat manusia memandang makanan dan
minuman dari dua sudut pandang yang ekstrem. Pertama, sebahagian
manusia menempatkannya hanya sebagai kebutuhan hidup yang diperlukan untuk
kepentingan nafsu hayawâniyah (kebinatangan) dengan mengkonsumsinya
secara berlebihan. Kedua, justru ditempatkan sebaliknya, yaitu
ditinggalkan sama sekali dengan melakukan puasa sehari-semalam penuh dengan
maksud-maksud tertentu.
Al-Qur’ân sebagai
pedoman Umat Islam mengajarkan kepada manusia
pada umumnya dengan menempatkan makan dan minum pada tataran kebutuhan
yang proporsional, yaitu dengan tetap dilakukan setiap hari untuk
mempertahankan hidup, namun harus tetap memenuhi kriteria halal menurut
syari’at. Sebagaimana firman Allah dalam surat
Al- Baqarah ayat 168 adalah sebagai berikut:
ياأيهاالناس
كلوا مما فى الأرض حلالا طيبا ولا تتبعوا خطوات الشيطان إنه لكم عدومبين )البقرة:١٦٨(
Artinya: Hai kalian umat manusia, makanlah dari
apa yang ada di bumi ini secara halal dan baik. Dan janganlah kalian ikuti
langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi
kalian. (Qs. Al- Baqarah: 168).
Kalau
kita pikirkan secara mendalam, ayat tersebut dengan jelas memberikan tekanan
pada pentingnya manusia mengkonsumsi makanan yang halal dan ṭayyib
(bergizi). Kemudian ditutup̣ dengan peringatan agar manusia tidak mengikuti
langkah setan yang sudah dipastikan akan menjerumuskan pada lembah kesesatan.
Makanan halal yang
disebut dalam ayat tersebut menyiratkan sebuah makna akan pentingnya semangat
untuk memperoleh dan mengkonsumsi makanan. Halal berarti sesuatu yang
dibolehkan oleh Allah berdasarkan suatu prinsip yang sesuai dengan Sunnah-Nya.
Makanan yang kita makan harus jelas asal-usul dan jenisnya. Bahkan Hadith dari
Rasulullah saw. Secara jelas mewajibkan umat Islam untuk selalu mencari
kehidupan yang halal, agar hidupnya selalu dalam lindungan Allah.
Dalam mencari
makanan yang halal, kita harus meninjau makanan tersebut dari dua sisi. Yang pertama,
yaitu halal dari segi zatnya, dan yang kedua, yaitu halal dari segi cara
mendapatkannya. Kehalalan makanan yang ditinjau dari segi zatnya (barang),
maka, Abu Bakr Jabir Al-Jazairi menjelaskan bahwa, makanan adalah apa saja yang
bisa di makan berupa: biji-bijian, atau kurma, atau daging.[12]
Pada dasarnya semua makanan itu halal karena keumuman firman Allah dalam Surat Al- Baqarah: 29
sebagai berikut:
هو
الذي خلق لكم ما فى الأرض جميعا ثم استوى إلى السماء فسواهن سبع سماوات وهو بكل
شيء عليم ) البقرة:٢٩(
Artinya:Dia-lah
Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian...(Qs. Al- Baqarah: 29).
Jadi
tidak ada makanan yang diharamkan kecuali yang telah diharamkan Al-qur’an,
As-Sunnah, dan Qias yang benar. Namun jika Allah mengharamkan salah satu
makanan, karena makanan tersebut merusak badan dan akal.
Itulah
diantara pelajaran yang terkandung dalam sejarah nabi ishak baik secara
pendidikan ketauhidan, pendidikan ketakwaan, pendidikan keimanan dan pendidikan
psikologi menjadi pelajaran bagi kita bersama dalam menempuh perjalanan didunia
ini untuk mencapai kesempurnaan dalam menjalani hidup.
[7]Muhibuddin
Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Cet. VIII (edisi
revisi), (Jakarta :
Remaja Rosda Karya, 2003), hal. 10.
[8]M.
Usman Najati, Psikologi Dalam Tinjauan Hadits Nabi, terj. Wawan Djunaedi
Soffandi, Cet. I, (Jakarta :
Mustaqim, 2003), hal.336.
0 Comments
Post a Comment