A. Pendidikan
Sosial dalam Alquran dan Hadist
1. Pendidikan
Sosial dalam Alquran
Di dalam alquran disebutkan tentang tata cara sopan santun, saling menghormati
sesama manusia dengan tidak mengejek, mengaggap dirinya yang paling baik,
saling mencurigai, menggunjing dan lainnya dari sifat-sifat yang bertentangan
dengan ajaran agama. Sifat-sifat tersebut telah dilakukan oleh nabi dan para
sahabatnya semasa mereka masih hidup, dan pada gilirannya sekarang ini ulama
atau pendidiklah yang bertugas mengajarkan ajaran-ajaran Allah kepada umatnya.
Alangkah beratnya tugas yang diemban oleh para ulama atau pendidik dalam
menciptakan manusia yang mampu menghadapi dua sisi kehidupan yaitu dunia dan
akhirat.
Adapun pendidikan Sosial dalam
Alquran adalah sebagai berikut:
1)
Pendidikan Takwa
Salah satu
tujuan manusia hidup di dunia adalah untuk bertakwa kepada Allah SWT yaitu
menta’ati segala perintah dan menjauhi segala larangan Nya. Takwa adalah rasa
takut dan khawatir yang diikuti dengan kepatuhan dan ketaatan melaksanakan
perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-larangan-Nya, imtistalul
awaamir wajtinaabun nawa’ah (yaitu melaksanakan perintah sesuatu
dengan contoh dan menghindari segala larangan-larangan).[1]
Takwa
merupakan kelembutan di dalam perasaan, rasa takut yang terus menerus,
kewaspadaan yang tiada henti, dan menghindari hambatan di tengah jalan. Jalan
kehidupan yang senantiasa digoda oleh duri-duri keinginan dan syahwat,
kerakusan, ketakutan, harapan terhadap orang yang tidak memiliki harapan, dan
ketakutan palsu dari orang yang tidak memiliki kuasa memberi manfaat dan bahaya, dan
berpuluh-puluh duri lainnya.3
Takwa kepada Allah, disamping bisa memenuhi
hati seorang mukmin dengan rasa takut kepada Allah dan merasa diawasi
oleh-Nya adalah sumber keutamaan sosial. Selain itu juga
satu-satunya jalan dalam menghindari kerusakan,
kejahatan, dosa-dosa dan duri-duri. Bahkan ia adalah sarana pertama
yang didapati kesadaran dalam diri individu untuk masyarakatnya dan
setiap siapa saja yang ia temui dari makhluk hidup.[2]
Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan Islam
adalah pembentukan pribadi muslim yang isinya adalah pengamalan sepenuhnya
ajaran Allah dan Rasul-Nya. Tetapi pribadi muslim itu tidak akan tercapai atau
terbina kecuali dengan pengajaran dan pendidikan. Jadi, dengan pendidikan
manusia dapat menjadi orang yang bertakwa (muttaqin) atau dengan kata lain
nilai ketaqwaan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan pendidikan.
2)
Pendidikan Ukhuwah atau Persaudaraan
Pada hakikatnya, setiap manusia dalam
kehidupan bermasyarakat berkeinginan untuk hidup dengan damai, aman, tenteram,
penuh kebahagiaan dan sejahtera. Kondisi seperti ini, sebagaimana
dicita-citakan Islam, melukiskan gambaran masyarakat ideal yang diibaratkan
organ tubuh manusia. Banyak anjuran yang termuat dalam Alquran menghendaki agar
manusia bersatu dalam kebersamaan dan permusyawaratan yang berazaskan
kebersamaan, keadilan dan kebenaran, saling tolong-menolong, saling menasihati
dan sebagainya.
Salah satu di antara landasan pokok Islam, di
samping azas persamaan dan keadilan ialah azas persaudaraan yang dalam istilah
Islam biasa disebut ukhuwah. Ukhuwah/persaudaraan itu dapat didukung oleh bermacam-macam
tali dan ikatan. Adakalanya karena pertalian darah dan keturunan (biologis,
karena hubungan perkawinan, ikatan keluarga, budaya adat dan lain-lain). “Ukhuwah
Islamiyah adalah ikatan kejiwaan yang melahirkan perasaan yang mendalam dengan
kelembutan, cinta dan sikap hormat kepada setiap orang yang sama-sama diikat
dengan akidah Islamiah, iman dan takwa”.[3]
Pendidikan sosial yang mengisyaratkan pada
kita bahwa guru atau pendidik perlu menekankan kepada siswa pentingnya setiap
pergaulan atau persahabatan kita perlu adanya rasa saling tolong menolong dan
menghormati sesama berdasarkan ajaran Allah, sebagaimana firman Allah SWT dalam
surat Al-Maidah ayat 2 sebagai berikut:
......وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى
وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ
اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ)
المائدة: ٢(
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.” (QS. Al Maidah: 2)
Ayat ini dalam pandangan peneliti jelas mengajak kita
untuk saling mengingatkan kepada kebaikan, untuk itu apabila ada seseorang
muslim berbuat tidak sesuai syariat Islam adalah menjadi tanggungjawab muslim
lainnya untuk selalu mengingatkan agar ia kembali pada jalan yang benar.
3)
Pendidikan Itsar (mengutamakan oranglain)
Manusia sebagai manusia sosial perlu memiliki perilaku
itsar yaitu perasaan jiwa yang terwujud dalam bentuk mengutamakan orang lain
dari pada diri sendiri dalam kebaikan dan kepentingan pribadi yang bermanfaat.
Itsar adalah perangai yang baik selama bertujuan mencari keridhaan Allah. Sikap
ini merupakan dasar kejiwaan yang menunjukkan kejujuran iman, kejernihan
sanubari, dan kesucian diri. Disamping itu, ia juga merupakan penopang utama
dalam mewujudkan jaminan sosial dan perwujudan jaminan sosial dan perwujudan
kebaikan bagi anak manusia.[4]
Perilaku mengutamakan orang lain secara sukarela dan
kelemahlembutan sosial yang tampak dalam budi pekerti orang-orang anshar tidak
akan kita dapati tandingannya sepanjang sejarah manusia. Al-Ghazali menyebutkan
di dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin dari Ibnu Umar yang berkata, “Aku
menghadiahkan kepala kambing kepada salah seorang sahabat Nabi SAW ia menjawab,
“Si Fulan mungkin lebih membutuhkan dari pada saya”. Mendengar jawaban itu, ia
mengirimkannya kepada orang yang disebutnya tadi. Namun, orang yang dimaksud
juga mengatakan yang sama dan akhirnya kembali ke orang pertama setelah kepala
kambing itu berpindah ke tujuh sasaran.[5]
Dalam hidupnya manusia selalu membutuhkan komunikasi dengan
manusia lain, yang akhirnya terbentuklah kelompok manusia yang disebut
masyarakat. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa melepaskan begitu saja
dari masyarakat dimana ia tinggal. Proses kematangan sosial anak dibentuk dalam
masyarakat, maka ia pun membutuhkan masyarakat. Apabila pembentukan kematangan
sosial masyarakat itu baik, maka akan membawa tingkah laku yang baik pula, sebaliknya
apabila masyarakat itu tidak baik, maka dapat membawa seseorang menjadi tidak
baik.
4)
Pendidikan Keadilan
Keadilan
merupakan sebuah konsekuwensi atas hak dan kewajiban antara mahluk terhadap
khaliq. Hal ini tercermin bagaimana seseorang hidup bermasyarakat diatur
sedemikian rupa untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan hidup yang berkaitan
antara manusia dengan khaliq dan manusia dengan sesama manusia. Nilai-nilai
pendidikan sosial yang dapat diambil dalam pemikiran di atas bagi pendidikan
Islam adalah pentingnya memberikan pembelajaran tentang perilaku adil kepada
siswa dalam melaksanakan kehidupannya, bentuk pendidikan tersebut bisa dilakukan
melalui keteladanan dari pendidikan maupun pembiasaan dalam kehidupan
seharihari.
Nampak bahwa
Alquran menganggap manusia seluruhnya sebagai satu bangsa berhubung dengan bimbingan
universal sebelum bimbingan khusus melalui para Nabi diturunkan, dan dengan
demikian menganggap mereka semua secara bersama-sama bertanggung jawab untuk
menegakkan keadilan sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 213
sebagai berikut:
كَانَ النَّاسُ
أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ
وَأَنزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا
اخْتَلَفُواْ فِيهِ) البقرة:
١٣(
Artinya: “Manusia adalah umat yang satu; maka Allah
mengutus para Nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan
Ia menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di
antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan... (QS. Al-Baqarah:
213).
Berdasarkan bimbingan universal, maka dapat dibicarakan tentang
dasar-dasar natural-moral tingkah laku manusia di dalam Alquran. Ayat-ayat
tersebut menunjuk kepada watak moral yang universal dan obyektif yang membuat
semua manusia diperlakukan secara sama dan sama-sama bertanggung jawab kepada
Allah. Dengan kata lain, perintah-perintah moral tertentu jelaslah didasarkan
pada watak umum manusia dan dianggap sebagai terlepas dari keyakinankeyakinan spiritual
tertentu, meskipun semua bimbingan praktis pada akhirnya berasal dari sumber
yang sama, yaitu, dari Allah. Karena itu, penting untuk menekankan dalam konteks
Alquran, bahwa gagasan keadilan teistis menjadi relevan dengan mapannya tatanan
sosial, karena secara logis membangkitkan keadilan obyektif universal
yangmendarah daging dalam jiwa manusia.
2. Pendidikan
Sosial dalam Hadist
Untuk mewujudkan itu, Islam memiliki karakter yang
universal dalam mendidik manusia. Ruang lingkup pendidikan dalam Islam meliputi
setiap aspek kehidupan manusia, termasuk pendidikan sosial. Melalui kepribadian
yang baik merupakan dasar moral dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Pribadi
yang demikian itu dapat disebut sebagai pribadi yang memilik kesalehan sosial.
Demikian lengkapnya berbagai ilmu yang terdapat
dalam Islam, tidak terkecuali masalah sains dan
matematika. Tentang term ini menjelaskan bahwa Matematika Islam ialah
matematika yang menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagi postulat. Dalam Matematika
Islam, kita tidak lagi perlu membuktikan suatu data yang datang dari Allah dan
Rasul-Nya, sekalipun nanti dalam perjalananya, Matematika Islam seolah
membuktikan kebenaran sunnah-sunnah Nabi. Data
bilangan dari Alquran dan Nabi, diolah dan dibuat model matematikanya.
Adapun Pendidikan Sosial dalam Hadist nabi adalah sebagai
berikut:
1)
Berbuat Baik
Kepada Tetangga
Tetangga merupakan orang-orang yang sangat dekat dan
menjadi orang pertama mengetahui jika kita ditimpa musibah. Olehnya, hubungan
bertetangga tidak bisa dianggap remeh karena mereka adalah saudara. Hidup
bertetangga harus saling kunjung mengunjungi karena itu merupakan perbuatan terpuji, dari pertemuanlah
yang melahirkan kasih sayang yang sebenarnya. Hubungan baik antara tetangga
merupakan perbuatan yang terhormat dan Nabi saw., menjadikan penghormatan
kepada tetangga sebagai bagian keimanan kepada Allah dan Rasul, sebagaimana
hadis berikut:
عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ
الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرَاً أَو لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ
وَاليَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، ومَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ واليَومِ
الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ) (رواه البخاري ومسلم(
Artinya: Telah menceritakan kepada
kami Abdul Aziz bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'd
dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dia berkata;
Rasulullah saw, bersabda: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir
hendaknya ia berkata baik atau diam, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan
hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya, dan barang siapa beriman kepada
Allah dan hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya.[6]
Hadis tersebut menjadi contoh yang digalakkan saat
Rasulullah hidup, sehingga penghormatan sesama manusia dapat dicontoh dari
keseharian Rasulullah saw. Fitrahnya manusia adalah ingin dihormati, walau
kadang hanya dirinya yang ingin dihormati tapi sangat susah untuk menghormati
orang lain. Kini banyak masyarakat yang tidak saling menghormati. Perilaku
tersebut sangat nampak pada masyarakat yang tinggal di perkotaan terkhusus
rumah susun. Sibuk dengan urusan masing-masing dan tidak saling mengenal dengan
satu sama lain, menyebabkan saling menghormati tidak nampak pada tempat-tempat
tersebut.
2) Berbuat Baik Kepada Manusia
Islam adalah agama sempurna yang mengatur
seluruh aspek kehidupan manusia, baik secara individu, berkelompok,
berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Di antara ajaran Islam adalah
berbuat baik kepada manusia. Adapun
cabang iman yang paling rendah adalah menghilangkan sesuatu yang mengganggu
kaum muslimin, di antaranya dengan menyingkirkan duri atau batu dari jalan
mereka. Hadits
di atas menunjukkan bahwa dalam Islam, sekecil apapun perbuatan baik akan
mendapat balasan dan memiliki kedudukan sebagai salah satu pendukung akan
kesempurnaan keimanan seseorang.
Toto Asmoro dalam bukunya Menuju Muslim Kaffah menjelaskan bahwa:
Duri
dalam konotasi secara sekilas menunjukkan pada sebuah benda yang hina. Akan
tetapi, jika dipahami lebih luas, yang dimaksud dengan duri di sini adalah
segala sesuatu yang dapat membahayakan pejalan kaki, baik besar maupun kecil.
Hal ini semacam ini mendapat perhatian serius dari Nabi saw. sehingga
dikategorikan sebagai salah satu cabang daripada iman, karena sikap semacam ini
mengandung nilai kepedulian sosial, sedang dalam Islam ibadah itu tidak hanya
terbatas kepada ibadah ritual saja, bahkan setiap ibadah ritual, pasti di
dalamnya mengandung nilai-nilai sosial.[7]
Dalam hal ini Rasulullah SAW. bersabda sebagai berikut:
عن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَمْرِ بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ إِنَّ مَثَلَ الْمُؤْمِنِ
لَكَمَثَلِ النَّحْلَةِ أَكَلَتْ طَيِّبًا وَوَضَعَتْ طَيِّبًا وَوَقَعَتْ فَلَمْ
تُكْسَرْ وَلَمْ تَفْسُدْ ْ)روه أحم(
Artinya: Dari Abdullah bin Amru bi Ash bahwa ia
mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Demi
Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya Sesungguhnya perumpamaan seorang mukmin
itu seperti lebah. Dia memakan yang baik dan mengeluarkan yang baik, hinggap
namun tidak mematahkan dan tidak merusak.” (HR Ahmad)[8]
Hadits di atas menerangkan tentang betapa
pentingnya kepedulian sosial terhadap sesama. Hingga Islam memberi apresiasi
yang sangat baik terhadap orang yang mempunyai rasa empati dan kepedulian
sosial tinggi. Wujud apresiasi itu adalah ganjaran kebaikan dari Allah baik di
dunia atau akhirat. Karena pada dasarnya semua muslim adalah saudara, sehingga
kita diwajibkan untuk saling tolong menolong dalam kebaikan.
Islam memerintahkan ummatnya untuk
saling menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan. Hal itu merupakan wukud dari
kepedulian sosial. Namun perlu diketahui bahwa kepedulian sosial itu tidak
hanya dilakukan dengan harta saja, namun bisa dilakukan dengan apapun yang kita
punya. Seperti dalam salah satu hadits pokok di atas Nabi menyebutkan bahwa
segala sendi dalam badan kita adalah sedekah. Hal itu juga dapat dimaknai
bentuk keadilan dari Islam, yaitu tidak membedakan antara orang kaya dan miskin
dalam berlomba kepada kebaikan.
Begitu pentingnya kepedulian sosial dalam
Islam, hingga Islam juga mempunyai konsep tersendiri tentang kepedulian sosial.
Konsep tersebut menurut Islam adalah sebagai bentuk ketaqwaan dengan saling
mengasihi terhadap sesama dengan berdasarkan aqidah Islam. Walaupun begitu,
Islam tetap menganjurkan menolong siapa saja tanpa membedakan suku, agama, ras,
kelompok dan lain-lain, kerena spirit Islam adalah kemanusiaan universal. Pada
intinya, sikap empati sosial atas penderitaan orang lain merupakan bagian dari
bentuk solidaritas yang akan memupuk toleransi antar sesama.
3) Menjaga Hak Orang Lain
Islam menegakkan dasar-dasar pendidikan yang utama diatas
dasar-dasar kejiwaan yang berkaitan dengan akidah dan terikat dengan ketakwaan.
Pendidikan sosial pada diri anak akan menjadi sempurna dengan makna yang tinggi
dan tujuan paling sempurna. Dengan demikian, masyarakat tumbuh dengan jiwa yang
suka tolong menolong yang positif, ikatan persaudaraan yang kuat, etika yang
luhur, saling mencintai, dan kritik yang membangun.
Sesunguhnya pemeliharaan hak-hak masyarakat itu berkaitan
erat semua kaitannya dengan dasar-dasar kejiwaan yang mulia. Bahkan dengan
ibarat yang lebih jelas, sesungguhnya dasar-dasar kejiwaan itu suatu makna
(tidak nampak), sedangkan pemeliharaan hak-hak masyarakat itu yang nampak. Jika
anda menghendaki, maka bisa katakanlah bahwa yang pertama menjadi nyawanya dan
yang kedua menjadi jasadnya. Maka tidak mungkin yang pertama merasa cukup tanpa
yang kedua di dalam semua keadaan. Jika tidak demikian maka akan terjadi
kekacauan, perpecahan dan keguncangan.[9]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عن جابر رضي الله عنه في سياق حجة النبي صلى الله عليه وسلم
قال : حَتَّى إِذَا زَاغَتِ الشَّمْسُ أَمَرَ بِالْقَصْوَاءِ فَرُحِلَتْ لَهُ،
فَأَتَى بَطْنَ الْوَادِي فَخَطَبَ النَّاسَ وَقَالَ: إِنَّ دِمَاءَكُمْ
وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي
شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا. (رواه المسلم (
Artinya: Dari Jabi radhiallahu’anhu di tengah haji
bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: “… sehingga saat matahari
tergelincir, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar unta Al-Qashwa’
dipersiapkan. Ia pun dipasangi pelana. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendatangi tengah lembah dan berkhutbah: ‘Sesungguhnya darah dan harta kalian,
haram bagi sesama kalian. Sebagaimana haramnya hari ini, haramnya bulan ini di
negeri kalian ini…‘“ (HR. Muslim).[10]
Diantara perkara yang paling agung yang ditekankan oleh
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam khutbah beliau ketika Haji Wada, setelah
beliau menekankan kembali masalah tauhid dan keikhlasan, adalah perkara
penjagaan terhadap hak-hak sesama Muslim dan peringatan keras terhadap
pelanggaran hak-hak sesama Muslim. Baik hak-hak yang terkait dengan darah,
harta dan kehormatan seorang Muslim.
B. Pendidikan
Estetika dan Sosial Menurut Para Ahli
1. Pendidikan
Estetika
Beberapa hal yang menyangkut tentang gambaran dunia yang
disajikan Alquran dan pengaruhnya terhadap estetika, khususnya karya sastra,
musik dan seni rupa salah satunya menjelaskan bahwa dalam Alquran dinyatakan
alam semesta, juga pribadi manusia, di mana ayat-ayat-Nya terbentang,
diumpamakan sebagai kitab agung atau sebuah karya sestra yang ditulis oleh Sang
Pencipta dengan kalam-Nya di atas lembaran terpelihara. Berdasarkan pandangan
tersebut, para sufi memberikan pendapatnya mengenai fungsi seni yaitu, seni
adalah pembawa nikamat mencapai keadaan jiwa yang damai dan menyatu dengan
keabadian yang abadi. Seni juga sebagai pembebasan jiwa dari alam benda melalui
sesuatu yang berasal dari alam benda itu sendiri. Fungsi seni yang lain yaitu
sebagai penyucian diri dari pemberhalaan terhadap bentuk-bentuk itu sendiri.
Fungsi keempat yaitu untuk menyampaikan hikmah, yaitu kearifan yang menbantu
kita bersifat adil dan benar terhadap Tuhan. Seni juga berfungsi sebagai sarana
efektif untuk menyebarkan gagasan pengetahuan, informasi yang berguna bagi kehidupan
seperti pengetahuan dan informasi yang berkenaan dengan sejarah,
geografi,hokum, undang-undang, adab, pemerintahan, politik, ekonomi, dan
gagasan keagamaan. Fungsi yang terakhir yaitu, karya seni juga merupakan cara
untuk menyampaikan puji-pujian kepada yang Maha Esa.
Berikut pendapat Pakar Muslim tentang pendidikan
estetika: [11]
1)
Estetika Menurut Pandangan Sayyid Hussein Nasser
Estetika dalam Islam mempunyai banyak
pengertian. Salah satu pendapat mengenai estetika Islam yang terkenal datang
dari Ibnu Arabi Hossein Nasser atau yang lebih dikenal Sayyid Hussein Nasser. “Hussein Nasser mengistilahkan kemampuan
berbahasa atas serapan pengalaman mistik itu sebagai scientia sacra (tradisi
seni suci) yang memandang realitas tertinggi itu sebagai kemutlakan, ketakterbatasan
dan kesempurnaan atau kebakaan”[12].
Keindahan yang dihubungkan dengan semua hipotesis tentang riil merupakan
refleksi kemutlakan dalam keteraturan dan tatanan ketakterhinggan dalam
pengertian batin dan misteri, yang menuntut kesempurnaan. Dengan kata lain,
keindahan menurut Sayyid Hussein Nasser adalah suatu bentuk keteratuaran yang
tak terbatas untuk mencapai kesempurnaan Ilahi.
2)
Filosofi Estetika Al Ghazali
Abu Hamid Muhammad Alghazali Altusi adalah “seorang tokoh ulama' yang luas ilmu pengetahuannya dan merupakan seorang
pemikir besar dalam sejarah falsafah Islam dan dunia. Kitab Ihya Ulumuddin
merupakan karyanya yang terkenal yang memberi sumbangan besar kepada masyarakat
dan pemikiran manusia dalam semua masalah”[13].
Keindahan merupakan landasan dari seni.
Berdasarkan pernyataan itu, Al Ghazali membagi keindahan menjadi beberapa
tingkat yaitu, “keindahan
inerawi dan natsani (sensual) yang disebut juga keindahan lahir,
keindahan imajinatif dan emotif, keindahan aqliyah atau rasional, keindahan
ruhaniah atau irfani, dan yang terakhir yaitu keindahan ilahiyah atau transcendental”[14]. Dua
keindahan terakhir dari Al Ghazali tersebut itulah yang biasanya dieksplorasi
oleh para sufi dalam setiap karyanya. Secara teori, imajinasi puitis sebenarnya
merupakan sarana prinsip para penyair mistikus untuk membawa pembaca ke suatu
pengertian tentang wahyu kenabian. Sedangkan keindahan ruhania dan irfani (mistikal)
dapat dilihat dalam pribadi nabi. Nabi merupakan pribadi yang indah bukan
semata-mata disebabkan kesempurnaan jasmani dan pengetahuannya tentang agama
dan duia, melainkan karena akhlaknya yang mulia dan tingkat makrifatnya yang
tinggi.
3)
Pendapat Nurcholis Majid Mengenai Estetika Islam
Bahasan tentang estetika Islam tidak hanya
datang dari wilayah Timur Tengah yang terkenal dengan sufi-sufi maupun
pemikirnya. Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya dan merupakan negara
mayoritas berpenduduk muslim juga memiliki pemerhadi terhadap estetika Islam.
Salah satu pemerhati tersebut adalah Dr. Nurcholis Majid.
Nurcholis Majid atau yang biasa disapa Cak Nur “merupakan cendekiawan muslim dan merupakan ikon
pergerakan muslim di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme yang menjelaskan
tentang interaksi antarkelompok dengan mengedepankan rasa hormat dan saling
toleransi tanpa konflik atau asimilasi”[15]. Paham
pluralisme Cak Nur setidaknya melarang segala tindakan diskriminasi terhadap
non-muslim. Cak Nur berpandangan bahwa manusia hidup dalam keberagaman termasuk
keberagaman beragama. Dalam Alquran sendiri
telah dijelaskan bahwa umat muslim harus bisa menjaga toleransi beragama debgan
umat agama lain. Cak Nur meyakini Islam adalah agama pada tiap masa dan tempat
sebagai definisi universal Islam itu sendiri.
Cak nur membedakan antara keberagaman simbolik
dan keberagaman subtansial. Cak nur menentang keras terhadap simbolisme yang
berlebihan dalam keberagaman walaupun dia juga tidak menegasikan pentingnya
simbolisme. Tanpa simbol orang tidak mungkin bisa mencapai yang Ilahi. Ini
menjelaskan bahwa suatu keberagaman juga bisa dinilai sebagai nilai estetik
terutama keberagaman simbol.
4)
Estetika Islam dari Sudut Pandang Sayyid Qutub
Sayyid Qutub Ibrahim Hussein Syazili, “lahir pada 9 Oktober 1906, di Mosyah, dalam
wilayah Asyut. Beliau merupakan pemikir, pujangga, penulis, sasterawan, juga
ulama ulung di Mesir pada kurun ke-20. Sebagai penulis, Sayyid dikatakan paling
banyak dicetak bukunya”[16].
Karyanya masih terus diterbitkan hingga kini malah diterjemahkan dalam berbagai
bahasa. Terutama tafsirnya “Fi Zilalil Quran” (Di Bawah Lindungan Alquran) yang dianggap ‘karya agung’ oleh kebanyakan
ulama. Sebagaimana petikan mukadimah tafsir tersebut yang berbunyi: Kehidupan
di bawah lindungan Alquran itu nikmat. Nikmat yang tidak akan dinikmati selain orang yang
merasakannya.
Sebagai muslim yang total mempersembahkan
hidupnya hanya untuk Islam, Sayyid Qutub memiliki keyakinan yang kuat tentang
kebenaran tauhid. Keyakinannya itu tetap bertahan meskipun ia mendekam dalam
penjara atas fitnah kudeta yang tidak pernah ia lakukan. Meskipun akhir
hidupnya dinikmati di penjara, Sayyid Qutub tidak berhenti menulis karya
terutama karya sastra. tulisan sastranya yang indah mengisyaratkan keadaan
ruhani dan pikirannya. Baginya keindahan itu berasal dari sifat ruhani manusia
dalam memahami arti hidup dan Islam terutama.
2.
Pendidikan Sosial
1) Pendidikan Sosial
Al Ghazali
Al-Ghazali merupakan “tokoh filosof Islam yang terkenal
bukan hanya dalam kalangan umat Islam tetapi juga terkenal dikalangan orang non
Islam. Kehebatan al-Ghazali telah memberi kesan mendalam di jiwa umat Islam
dari segi pemikiran, budi pekerti, dan pendidikan. Keilmuannya sangat meluas
dalam berbagai bidang ilmu terutama dalam bidang falsafah, akidah, fiqh, ilmu
kalam, tasawuf, pendidikan, politik dan sebagainya”[17].
Serta dengan berbagai karya tulis ilmiah yang dikarangnya.
Al-ghazali mengatakan jika anak menerima ajaran dan
kebiasaan hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya jika anak itu
dibiasakan melakukan perbuatan buruk dan dibiasakan kepada hal-hal yang jahat,
maka anak itu akan berakhlak jelek. Pentingnya pendidikan ini di dasarkan pada
pengalaman hidup Al-Ghazali sendiri, yaitu sebagai orang yang tumbuh menjai
ulama besar yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan, yang disebabkan karena
pendidikan.[18]
Kemampuan berperilaku sosial perlu dididik sejak anak
masih kecil. Terhambatnya perkembangan sosial anak sejak kecil akan menimbulkan
kesulitan bagi anak dalam mengembangkan dirinya di kemudian hari. Tidak semua
anak mampu menunjukkan perilaku sosial seperti yang diharapkan. Upaya untuk
membantu pengembangan sosial anak, selayaknya ada kerjasama antara orang tua
dan guru. Karena melalui merekalah perkembangan sosial anak berkembang dengan
baik. Dalam perkembangan sosial anak, teman sebaya memberikan pengaruh yang
kuat sekali bagi pembentukan perilaku-perilaku sosial anak. Oleh karena itu,
peran aktif orang tua dan guru dalam memperhatikan kebutuhan dan perkembangan
anak sangat dibutuhkan agar mereka memiliki perilaku sosial yang diharapkan.[19]
Dalam pergaulannya anak-anak harus dididik berbahasa yang
santun, bersikap rendah hati (tawadhu’), menghormati orang yang lebih tua,
mencegah dari mengambil hak orang lain, dan menanamkan dalam diri mereka bahwa
kemuliaan seseorang itu ada di dalam sikap memberi kepada orang lain. Anak juga
harus dididik agar tidak terlalu banyak bicara, mendengarkan orang lain yang
sedang berbicara, dan tidak mudah bersumpah meskipun dia benar. Adab-adab ini
penting untuk diamalkan khususnya ketika mereka berhadapan dengan orangtua,
guru ataupun orang lain yang lebih tua.
2) Pendidikan Sosial
Zakiah Daradjat,
Menurut Zakiah Daradjat, Ajaran-ajaran yang
berkenaan dengan iman tidak banyak dibicarakan dalam Alquran, tidak sebanyak ajaran yang berkenaan dengan
amal perbuatan. Ini menunjukkan bahwa amal itulah yang paling banyak
dilaksanakan, sebab semua amal perbuatan manusia dalam hubungannya dengan
Allah, dengan dirinya sendiri, dengan manusia sesamanya (masyarakat), dengan
alam dan lingkungannya, dengan makhluk lainnya, termasuk dalam ruang lingkup
amal saleh. Lebih lanjut Daradjat mengatakan bahwa pendidikan karena termasuk
ke dalam usaha atau tindakan untuk membentuk manusia, termasuk ke dalam ruang
lingkup mu’amalah. Pendidikan sangat penting karena ia ikut menentukkan corak
dan bentuk amal dan kehidupan manusia, baik pribadi maupun masyarakat.[20]
Didalam Alquran terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip berkenaan dengan
kegiatan atau usaha pendidikan. Sebagai contoh dapat dibaca kisah lukman
mengajari anaknya dalam surat Lukman ayat 12 s/d 19. Cerita itu menggariskan
prinsip materi pendidikan yang terdiri dari masalah iman, akhlak ibadat, sosial
dan ilmu pengetahuan. Ayat lain menceritakan tujuan hidup dan tentang nilai
sesuatu kegiatan dan amal saleh. Itu berarti bahwa kegiatan pendidikan harus
mendukung tujuan hidup tersebut. Oleh karena itu pendidikan Islam harus
menggunakan Alquran sebagai sumber utama dalam merumuskan berbagai teori tentang
pendidikan Islam.
Islam sangat menganjurkan
untuk memiliki sifat kepedulian dengan orang lain atau dalam istilah lain
dikatakan dengan kesalehan sosial. Akhir-akhir ini kita temukan dimasyarakat,
sekolah atau bahkan kampus munculnya fenomena kekerasan serta permusuhan yang
sifatnya turun temurun seperti tawuran pelajar, mahasiswa, permusuhan antar
kampung (desa) dsb. Di masyarakat kita sepertinya sudah tidak ditemukan naluri
manusia yang hakiki, justru yang muncul belakangan ini adalah budaya kekerasan
dan permusuhan. Minimnya jiwa yang siap berkorban, lebih sering mendahulukan
kepentingan pribadi dari pada orang banyak, egoisme serta emosional. Ini sangat
mengerikan bagi tumbuh kembangnya peradaban. Masyarakat kita harus segera
berubah menjadi lebih baik. Masyarakat harus di didik untuk memiliki
nilai-nilai kebaikan dan kesalehan antar sesama manusia dan lingkungan. Berbuat
baik kepada manusia secara umum ialah dengan berkata lembut kepada mereka,
mempergauli mereka dengan pergaulan yang baik setelah sebelumnya menyuruh
mereka kepada kebaikan, melarang mereka dari kemungkaran, memberi petunjuk
kepada orang yang tersesat di antara mereka, mengajari orang bodoh di antara
mereka, mengakui hak-hak mereka, tidak menggangu mereka dengan mengerjakan
tindakan yang membahayakan mereka, memaafkan segala kesalahan dan lain
sebagainya.[21]
3)
Pendidikan Sosial Abdullah Nashih Ulwan
Pakar pendidikan Islam, Abdullah Nashih Ulwan pernah
merumuskan bahwa pendidikan sosial dalam Islam, adalah pendidikan anak sejak
kecil agar terbiasa menjalankan adab sosial yang baik dengan dasar-dasar psikis
yang mulia serta bersumber pada aqidah Islamiyah yang abadi dengan diiringi
perasaan keimanan yang mendalam agar di dalam masyarakat nanti ia terbiasa
dengan pergaulan dan adab yang baik, keseimbangan akal yang matang serta tindakan
yang bijaksana.[22]
Dunia pendidikan di Indonesia sangat urgen
untuk sesegera mungkin membumikan nilai-nilai pendidikan sosial sebagaimana
yang terkandung dalam Alquran surat Ali
Imran ayat 159. Begitu penting peran kasih sayang dalam pengembangan ruh dan
keseimbangan jiwa anak-anak.Teguh tidaknya pendirian dan kebaikan perilaku
seseorang bergantung banyak sejauh mana kasih sayang yang diterimanya selama
masa pendidikan. Kondisi keluarga yang penuh dengan kasih sayang menyebabkan
kelembutan sikap anak-anak. Anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang
penuh kasih sayang dan perhatian akan memiliki kepribadian yang mulia, suka
mencintai orang lain dan berperilaku baik dalam masyarakat. Kehangatan cinta
dan kasih saying yang diterima anak-anak akan menjadikan kehidupan mereka
bermakna, membangkitkan semangat, melejitkan potensi dan bakat yang terpendam,
serta mendorong untuk bekerja/berusaha secara kreatif.
1983), hal. 275.
1422), hal. 11.
Grafindo
Persada, 1999), hal. 21.
Proses dan
Tantangan, (Jakarta: CV. Rajawali, 1987) hal. 68.
0 Comments
Post a Comment