Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Penerapan Uswatun Hasanah


A.    Penerapan Uswatun Hasanah

1.     Bentuk-bentuk


Uswatun hasanah yang dimiliki Rasulullah SAW terlihat dari kesehariannya yang diimplementasikan dalam beberapa hal: perbuatan, perkataan maupun sikap.
1.     Perbuatan
Perbuatan Rasulullah SAW  sangat terpelihara, ia selamat dari dosa-dosa kecil apalagi dosa besar (ma’shum). Beliau bertindak dengan tegas antara yang haq dan yang bathil, yang benar tetap benar yang salah tidak dapat didamai-damaikan terutama sekali yang menyangkut dengan aqidah dan ibadah. Sebagai bukti yang autentik tentang  perbuatan Rasulullah SAW tersebut, Allah SWT berfirman:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ , لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ , وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُد,  وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ  , وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ  ,(الكافرون: ٦-١)
Artinya: Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, 2.  Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. 4. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, 5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6. Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku. (Q.S. Al-Kafirun: 1 – 6).

            Turunnya ayat ini karena sebahagian orang kafir mengajak Rasulullah SAW untuk bekerja sama (toleransi) dalam hal ibadah. Mereka menginginkan toleransi antara agama nenek moyangnya dengan agama baru yang dibawa Rasulullah SAW, agar terciptanya perdamaian di Timur Tengah pada saat itu. Maka Rasulullah SAW harus ikut bersama mereka untuk menyembah patung dan di waktu yang lain merekapun bersedia bersama Rasulullah SAW untuk menyembah Allah SWT. Ternyata mereka (orang-orang kafir) frustasi karena program yang diajukan kepada Rasulullah SAW ditolak mentah-mentah oleh beliau.
            Semenjak kecil Rasulullah SAW sudah bersama-sama mereka namun Rasulullah SAW tidak pernah terlibat dalam usaha penyembahan patung. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Nawawi Rambe dan Zuber Usman, yaitu:
Muhammad SAW semakin dewasa juga dia tambah giat membantu pamannya, seperti menyediakan air bagi orang yang datang beribadah di Ka’bah. Meskipun begitu, dia belum pernah melakukan ibadah menurut cara mereka, karena mereka di saat itu menyembah berhala, yaitu patung-patung yang banyak digantungkan di Ka’bah”.[1]

Dalam kehidupan sosial masyarakat pada masa itu, perbuatan Rasulullah SAW benar-benar membawa rahmat kepada seluruh alam. Ketika Rasulullah SAW berusia 35 tahun, pada waktu itu orang Quraisy sedang membangun Ka’bah dan hendak meletakkan kembali Hajarul Aswad pada tempatnya semula. Pada saat itu suku Quraisy berselisih pendapat mengenai siapa yang berhak meletakkan Hajarul Aswad tersebut. Masing-masing suku merasa lebih berhak meletakkannya dan hampir saja terjadi perkelahian di antara mereka, karena pekerjaan ini adalah suatu pekerjaan yang mulia. Perselisihan suku ini dapat diselesaikan oleh Rasulullah SAW dengan cara yang sangat bijaksana.
Kemudian diputuskan bahwa siapa yang lebih dahulu masuk dari pintu Shafa dialah yang akan memutuskan perkara ini. Ternyata Rasulullah SAW yang masuk pertama kali, maka beliau memutuskan untuk meletakkannya di atas surbannya dan masing-masing suku memilih seorang wakil yang memegang ujung surban dan mengangkatnya bersama-sama hingga sampai di tempatnya, lalu Rasulullah SAW mengambil Hajarul Aswad dan menaruhnya di tempatnya dan bereslah persoalannya.[2]

            Seperti itulah tindakan teladan yang diperlihatkan oleh Rasulullah SAW yang dapat membawa rahmat kepada ummat manusia. Dengan perbuatan yang demikian, maka tercipta kembali rasa persatuan dan kesatuan ummat. Andaikata Rasulullah SAW tidak ada pada saat itu kemungkinan perang saudara yang sangat hebat akan terjadi. Pekerjaan-pekerjaan seperti demikian yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sangat pantas dan tepat untuk diamalkan dan dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat.
2.     Perkataan
Antara perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW selalu seiring dalam kehidupannya. Rasulullah SAW  tidak pernah mengeluarkan perintah kepada orang lain sesuatu yang untuk dirinya tidak pernah dilaksanakan. Beliau terpelihara dari kata-kata yang lagha (sia-sia), sesuatu yang diucapkan oleh Rasulullah SAW merupakan wahyu dari-Nya.
            Setiap perkataan yang telah diucapkan oleh Rasulullah SAW selalu dibarengi dengan pelaksanaan yang nyata, sehingga nama Rasulullah SAW termasyhur, sampai keseluruh Jazirah Arab. Kelakuannya sangat terpuji, sepadan betul antara rupa dan prilaku dengan namanya, wajahnya tampan, budi pekertinya baik, ia selalu dijadikan masyarakat sebagai tempat untuk memecahkan segala permasalahan yang terjadi.
Kendatipun masih tergolong muda, tidak jarang dia menjadi tempat orang bertanya untuk mencari penyelesaian berbagai masalah. Diapun selalu ikhlas memberi bantuan kepada orang yang membutuhkannya, baik tenaga maupun pikiran. Segala nasehatnya diterima dan dibenarkan orang, semua ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW seorang yang bijaksana.[3]

            Semua pertanyaan masyarakat dijawab dengan sangat tulus dan ikhlas sehingga mereka merasa sangat puas dan mereka sangat membutuhkan Rasulullah SAW. Sifat lain yang sangat terkenal pada Rasulullah SAW adalah kejujuran dan kesetiaannya terhadap janji yang telah diucapkan. Setiap janji yang telah beliau ucapkan, tetap akan ditepati dan dilaksanakannya tanpa mengulur-ulur atau memberi alasan yang tidak jelas.
Salah satu sifat lainnya yang menonjol adalah kejujuran dan kesetiannya kepada janji. Dalam hal ini tidak ada orang arab lain yang mampu mengimbanginya. Kesetiaan kepada badan amal Hilful Fudul hingga kini masih tetap tidak mengendor. Hal itu telah diketahui dan dirasakan benar oleh orang banyak.[4]

            Jadi, setiap janji yang sudah diikrarkan wajib dilaksanakan karena janji adalah hutang. Rasulullah SAW sangat berhati-hati dalam mengucapkan janji. Janji yang dilaksanakan itu adalah suatu pekerjaan yang baik, sebaliknya janji yang tidak dilaksanakan merupakan suatu kemungkaran. Makanya Rasulullah SAW mengatakan daripada berjanji yang tidak dapat dilaksanakan lebih baik diam saja, sabdanya:
عَنْ أَبِى صَالح عَنْ هُرَيْرَةَ عَنِ الَّنِبى صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَ يُوْ مِنُ بِالله وَاْليَوْمِ اْلأَخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًأَوْليَصْمُتْ. (رواه احمدوالبخارى ومسلم وغيرهم)[5]
Artinya:   Dari Abi Shalih dari Abi Hurairah dari Nabi SAW bersabda: Barang siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhirat hendaknya berkata yang baik atau diam saja. (H.R. Ahmad, Bukhari, Muslim).

            Pembicaraan yang baik mendapat pahala dan pembicaraan yang kotor akan mendapatkan dosa. Oleh karena itu, Rasulullah SAW menganjurkan kepada ummatnya agar jangan banyak berbicara kalau tidak ada mamfaatnya.


3.     Sikap
Sikap seseorang adalah penjelmaan dari pada jiwa (akhlak). Baik buruknya akhlak seseorang dapat diperhatikan melalui sikap, perilaku, dan pergaulannya sehari-hari. Karena sikap ini hasil dari hati nurani seseorang maka ia tidak dapat dibuat-buat atau direkayasa. Seseorang yang dengan sengaja merekayasa sikap (bukan yang sebenarnya) maka tingkah lakunya nanti pasti akan kaku. Rasulullah SAW sejak kecil hingga dewasa, selalu bersikap baik dan kesantunannya tidak pernah kaku, karena yang ditampilkan adalah cerminan Rasulullah SAW yang sebenarnya. Kejujurannya sudah terpatri semenjak kecil, sehingga kejujurannya tidak pernah kaku sepanjang masa, contoh kejujuran Rasulullah SAW sebagai berikut:Pernah terjadi, Rasulullah SAW menjual beberapa ekor unta kepada seorang pedagang. Selang beberapa saat dia teringat bahwa salah seekor unta itu pincang kakinya, segera dia memacu kuda memburu pedagang itu, menjelaskan persoalannya, menarik kembali unta yang pincang itu seraya menyerahkan uang harganya.[6]
Demikian sekelumit dari sikap dan prilaku Rasulullah SAW, yang perbuatan demikian itu tidak pernah terjadi dikalangan pedagang arab sebelumnya. Kalau dihitung memang keuntungannya berkurang sedikit, tetapi kejujurannya itu dapat mendatangkan keuntungan yang lebih besar. Inilah diantara sebab sehingga nama Rasulullah SAW semakin terkenal sebagai seorang yang terpecaya dalam segala hal. Rotasi perdagangannya menjadi luas, karena berita kejujurannya itu dengan cepat tersiar dari mulut kemulut. Dengan demikian, dia mendapat gelar kehormatan Al-Amin yang artinya orang terpercaya. Sejarah telah mencatat tentang hubungan perdagangan antara Rasulullah SAW dengan Khadijah, mereka berbincang-bincang urusan dagang dan hingga terjadinya kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. Perasaan itu bergetar begitu halus dan syahdu, Khadijah terpesona oleh sikap Rasulullah SAW yang begitu sopan, tampan dan jujur. Sudah banyak kaum laki-laki meminta dirinya untuk dijadikan istri, tetapi semua ditolaknya dan ia tetap memusatkan perhatiannya kepada urusan dagang.
Rasulullah SAW berangkat ke Syiria membawa barang dagangan Khadijah. Dia ditemani oleh Maisarah (bekas budak dan ahli dalam bidang perdagangan) kepercayaan Khadijah, dengan pesan khusus untuk membantu  Rasulullah SAW sambil mencatat semua kejadian selama dalam perjalanan di Syiria. Mereka memperoleh hasil perdagangan yang sangat memuaskan, melebihi target perkiraan Khadijah. Maisarah pun melaporkan hasil pengamatannya bernada positif, memuji keistimewaan Rasulullah SAW seperti: barang cepat laku, Rasulullah SAW mendapat sambutan hangat dari pendeta Syiria, sehingga hati Khadijah takkan tertahan lagi untuk memiliki Rasulullah SAW.
Semua ini membuat Khadijah makin tertarik kepada Rasulullah SAW. Hatinya yang tertutup selama ini terhadap sekian banyak lamaran pria kini mulai makar dan terbuka lebar. Sejak pertemuannya yang pertama, pribadi, sikap dan tutur kata Rasulullah SAW dengan laporan Maisarah pegawai kepercayaannya itu, rupanya ibarat gemerincingnya anak kunci pembuka pintu hatinya.[7]

Seperti itulah sikap yang terpencar dari pribadi Rasulullah SAW, beliau jujur dan kasih sayang terhadap sesamannya, tetapi dia akan bersikap sangat keras apabila berhadapan dengan orang-orang kafir. Firman Allah SWT:
 مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً (الفتح:٢۹)

Artinya: Muhammad SAW itu adalah utusan Allah SWT dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah SWT dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya. Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah SWT hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah SWT menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (Qs. Al-Fathu: 29).

            Jadi, berdasarkan ayat ini jelaslah bahwa sikap Rasulullah SAW adalah membenarkan yang benar dan bertindak keras terhadap kebathilan. Tidak boleh dicampuradukkan antara yang haq dengan yang bathil. Beliau selalu memegang kepada semboyan bagimu agamamu dan bagiku agamaku, kalau menyangkut bidang aqidah dan syari’at. Tetapi sebaliknya yang menyangkut dengan urusan mu’amalah yang sifatnya keduiawian. Firman Allah SWT:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (القصص: ۷۷)

Artinya:   Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadamu (kebahagian) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah SWT telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi, sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Qs. Al-Qashash: 77).

            Dalam ayat ini dijelaskan bahwa, pada dasarnya tujuan kehidupan kita adalah untuk akhirat, namun janganlah kita meninggalkan bahagian kehidupan dan kesenangan dunia, dari perkara makan dan minum serta pakaian. Karena Tuhanmu mempunyai hak terhadapmu, dan keluargamu juga mempunyai hak terhadapmu.
2.     Penerapan

Keteladanan dalam pendidikan merupakan bagian dari sejumlah metode yang paling ampuh dan efektif dalam mempersiapkan dan membentuk anak secara moral, spiritual, dan sosial. Sebab, seorang pendidik merupakan contoh ideal dalam pandangan anak, yang tingkah laku dan sopan santunnya  akan ditiru, disadari atau tidak, bahkan semua keteladanan itu akan melekat pada diri dan perasaannya, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, hal yang bersifat material, inderawi, maupun spiritual. Meskipun anak berpotensi besar untuk meraih sifat-sifat baik dan menerima dasar-dasar pendidikan yang mulia, ia akan jauh dari kenyataan positif dan terpuji jika dengan kedua matanya ia melihat langsung pendidikan yang tidak bermoral. Memang yang mudah bagi pendidik  adalah mengajarkan berbagai teori pendidikan kepada anak, sedang yang sulit bagi anak adalah mempraktekkan teori tersebut jika orang yang mengajar dan mendidiknya tidak pernah melakukannya atau perbuatannya tidak sesuai dengan ucapannya.[8]
3.     Penilaian

Keberhasilan sebuah proses belajar mengajar (the teaching-learning process) atau untuk menentukan taraf keberhasilan sebuah program pengajaran dan kenaikan kelas. Sementara itu, istilah evaluasi biasanya digunakan untuk menilai hasil pembelajaran para siswa pada akhir jenjang pendidikan tertentu, seperti Evaluasi Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) yang kini disebut Ujian Akhir Nasional (UAN). Selain evaluasi terdapat istilah lain yaitu measurement. Measurement berasal dari kata to measure yang berarti mengukur. Measurement berarti perbandingan data kuantitatif dengan data kualitatif lainnya yang sesuai dengan tujuan mendapatkan nilai (angka). Pengukuran dalam pendidikan berarti usaha untuk memahami kondisikodisi objektif tentang sesuatu yang akan dinilai. Ukuran atau patokan yang menjadi pembanding perlu ditetapkan secara konkrit guna menetapkan nilai atau hasil perbandingan. Hasil penilaian tidak bersifat mutlak tergantung dari kriteria yang menjadi ukuran atau pembandingnya.[9]
Muhammad Ali Qutht mengajukan tiga istilah dalam menerjemahkan kata evaluasi yaitu pengukuran, penilaian dan evaluasi. Pengukuran (measurement) adalah membandingkan sesuatu dengan alat ukur. Pengukuran ini bersifat kuantitatif. Penilaian adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan alat ukur baik dan buruk secara kualitatif. Sedangkan evaluasi adalah mencakup pengukuran dan penilaian secara kuantitatif.[10]



[1] Nawawi Rambe dan H. Zuber, Muhammad Rasul  Penutup, (Jakarta: Wijaya, 1989), hal. 37.

[2] Zaid Husein Al-Hamid, Kisah 25 Nabi dan Rasul SAW, (Jakarta: Pustaka Amani, 1983), hal. 133.
[3] Zuber, Muhammad..., hal. 40.

[4] Ibid., hal. 40.

[5] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz: IV, (Bairut-Libanon: Darul Ma’rifah,1978, hal. 70.

[6] Zuber, Muhammad..., hal. 40.
[7] Ibid, hal. 43.
[8] Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam: Kaidah-Kaidah Dasar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), 1-2.

[9] Muhammad Ali Qutht, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam, (Bandung, Diponegoro, 1993), hal. 114.

[10] Ibid, hal. 115.