Pengaruh Ganjaran dan Hukuman Dalam mendidik
A.
Pengaruh
Ganjaran dan Hukuman Dalam mendidik
Punishment dan reward (pemberian
hukuman dan ganjaran) dalam ilmu paedagogi dipandang sebagai bagian dari proses
pendidikan. Pemberian hukuman bertujuan untuk memberiikan efek jera dan
mencegah berlanjutnya perilaku negatif dan ganjaran berguna untuk penguatan
atas perilaku positif. Punishment dan reward juga dikenal dalam
ajaran agama. Dalam Islam diajarkan tentang tentang adanya sorga dan neraka.
Siapa saja yang melakukan amal buruk (negatif) atau mengingkari ajaran
Allah Swt. adalah dosa (diberi punishment), dan siapa saja yang
melakukan amal baik (positif) dan mematuhi perintah serta meninggalkan laranganNya,
maka akan diberi pahala atau reward. Hamba Allah yang memiliki
banyak dosa akan dilemparkan kelak kedalam Jahanam (neraka) sebagai punishment,
dan yang melakukan banyak kebajikan, memiliki banyak pahala maka bagi mereka
adalah Sorga (reward) sebagai tempat yang layak, amiiin. Namun Allah
Swt. memiliki ampunan yang besar bagi mereka yang bertobat, meninggalkan
kebisaaan negatif atau dosa.17
Dalam pendidikan terhadap anak di rumah, orangtua juga
memberiikan punishment dan reward pada prilaku anak. Bentuk dari reward
adalah seperti menghargai, memuji, mencium, bertepuk tangan dan sampai pada
memberi hadiah. Sementara bentuk dari punishment adalah seperti tidak
acuh, membentak, menghardik, mencaci, sampai pada memukul, atau hukuman fisik
yang lain. Reward (dalam bentuk pujian dan penghargaan) lebih dominan
diberikan pada anak sejak usia dini sampai mereka masuk Sekolah Dasar. Pujian
demi pujian atas aktivitas dan pengalaman hidup yang dilakukan anak telah
mendorong mereka untuk tumbuh dan berkembang. Apalagi dalam rentangan usia ini-
usia balita- dengan proses pertumbuhan otak yang cepat yang juga disebut dengan
masa emas (golden period) maka pemberian reward dalam bentuk
pujian dan penghargaan akan membantu anak untuk tumbuh dan berkembang secara
sempurna.
Dalam usia ini hampir semua orang tua
mengekspresikan tutur bahasa yang lembut sambil menyirami anak dengan
perhatian, penghargaan dan pujian, “ayo anak manis, jangan suka ganggu
mama kalau sedang kerja. Kalau kamu bisa jalan, nanti mama kasih kue enak”.
Atau sang ayah juga bertutur lembut dan ramah, “Eko, kalau kamu bisa pasang
sepatu, nanti papa bawa ke kebun binatang…!”. Pemberian reward lebih
dominan daripada pemberian punishment bukan?. Malah anak yang tiba-tiba
memukul wajah sang ayah, karena akalnya yang masih kecil, bisa
jadi memperoleh maaf segera dari sang ayah.
Pemberian pujian dan penghargaan (reward) cedrung
berkurang saat usia anak beranjak semakin besar. Malah orangtua dalam
masyarakat root grass level (masyarakat lapisan bawah yang jumlahnya
sangat banyak) juga jarang membiasakan mengatakan kata-kata “maaf dan
terimakasih” sebagai model dalam pendidikan akhlak di rumah, akibatnya
anak-anak juga tidak terbiasa dan mampu untuk mengucapkan ke dua kata tersebut
dalam konteks yang tepat dalam pergaulan mereka. Pada akhirnya anak anak tumbuh
menjadi generasi yang kikir untuk menuturkan kata-kata “I am sorry"
dan "Thank you very much” dalam bahasa mereka.18
Seperti yang telah dikatakan bahwa
pemberian ungkapan penghargaan pada anak sangat umum sejak usia dini sampai
mereka menginjak usia Sekolah Dasar. Namun, begitu saat anak mulai memasuki
usia bersosialisasi di SD, SMP, dan SLTA maka pemberian kata-kata penghargaan (oh
itu bagus, terimakasih, kamu memang hebat, dan lain-lain) langsung dari
mulut orangtua secara tulus makin lama makin jarang mereka peroleh. Kalau anak
melakukan suatu tindakan yang terpuji/ positif, itu dipandang sebagai suatu hal
yang wajar dan tidak perlu lagi diberi pujian segala. Ada orang awam yang berkata bahwa anak-anak
yang sudah besar tidak perlu pujian lagi karena mereka bisa menjadi besar
kepala- demam pujian (prize oriented) kelak. Tetapi bila sang anak
melakukan kesalahan maka mereka secara spontan- buru buru- memperoleh kutukan,
cacian, sampai kepada corporal punishment (hukuman fisik) seperti
menjewer, memukul, menampar, membenturkan kepala dan sampai kepada bentuk yang
lain, nauzubillah minzalik .
Praktek pemberian reward yang kurang saat anak
melakukan tindakan positif dan gampangnya memberiikan punishment bila
anak melakukan tindakan negatif terasa seolah-olah sebagai fenomena sosial,
terutama bagi kalangan masyarakat berpendidikan rendah dan mereka yang tinggal
dalam rumah yang sangat padat. “wah kau dasar anak goblok…, senyum mu kok
seperti nyengirnya kuda…!” ungkapan- ungkapan tadi sangat umum didengar
ditengah masyarakat.19
Pembiasaan tidak
banyak memberiikan pujian, penghargaan dan minta maaf dalam pendidikan keluarga
dari generasi tua, telah ditiru (menjadi model) oleh generasi berikutnya. Pada
akhirnya pembiasaan yang negatif ini seolah-olah telah menjadi fenomena
demoralisasi karena tidak mampu mengungkapkan maaf dan terimakasih dalam
konteks yang tepat. Sekarang cukup banyak terdengar keluhan di kalangan
pendidikan yang mengatakan bahwa anak-anak sekarang sebagian cendrung
berkarakter beringas, kurang sopan santun , kurang pandai bertegur sapa dengan
orang tua dan guru kalau berpapasan di jalan. Pada-hal orang dari dunia Barat
sudah terlanjur beranggapan positif bahwa kita adalah sebagai bangsa yang ramah,
karena gampang senyum, walau dalam kenyataan bahwa kita adalah orang yang sulit
dalam mengungkapkan “maafkan saya atau terima kasih banyak.”
Ketika anak tumbuh menjadi lebih besar, di rumah kurang memperoleh pujian,
perhatian, serta reward yang cukup dari proses pendidikan.Padahal
di saat itulah mereka membutuhkan hal hal ini untuk menghangatkan emosi mereka,
maka muncullah kompensasi prilaku yang aneh-aneh seperti bertingkah agresif
untuk mencari perhatian, haus pujian, suka mengganggu/ mengusik anggota
keluarga, teman sebaya dan orang lain.
Guru-guru yang mengajar mulai dari bangku SD, SMP,
sampai SLTA, dan malah juga para dosen di Perguruan Tinggi adalah juga orangtua
bagi anak-anak mereka di rumah. Sebagian dari mereka mungkin juga terkondisi
melalui pendidikan sosial sebelumnya untuk tidak royal dalam memberii
perhatian, penghargaan atau reward terhadap anak-anak didik mereka-
tentu tidak semuanya yang begitu. Namun cukup banyak ditemui guru yang
berprilaku keras, sampai memperlihatkan wajah bengis (atas nama mempertahankan
suatu disiplin) pada anak kecil-kecil yang usianya masih berkisar 7 – 13 tahun.20 “Wah kau dasar bloon, mukamu dasar
muka tembok, apa matamu buta…,” dan masih ada lusinan koleksi kata-kata
emosional lainnya yang sering terucap dari mulut guru saat mereka lagi
dalam keadaan bad mood di lingkungan sekolah atau saat PBM di
kelas. Namun guru-guru yang selalu mampu mengontrol emosi, dan memberi maaf –
mungkin adanya kesadaran- karena digaji Negara (juga oleh tunjangan
sertifikasi) dan telah komit memilih profesi guru untuk banyak memberi maaf
atas perilaku anak didik, maka sebutan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa
sangat tepat buat mereka.
Perilaku siswa di sekolah adalah perilaku bawaan dari
rumah dimana mereka dibesarkan dalam lingkungan yang jarang memberiikan pujian
dan perhatian, kecuali punishment/cacian, cemooh dan ancaman telah
tumbuh menjadi anak didik yang agresif, sulit berkosentrasi, haus perhatian,
dan suka menganggu ketenangan teman. Dalam pandangan ilmu paedagogi lama bahwa
anak didik yang demikian (melakukan kegaduhan/gangguan) perlu untuk diberi punishment-
walau prilaku mereka terpola akibat dari kelebihan mis-punishment
(mal-praktek punishment) di rumah, maka guru-guru di sekolah juga
cendrung memberiikan punishment untuk memberiikan efek penjeraan
seperti; mengharik, mencaci, menjewer, push-up, meloncat sambil jongkok,
berdiri kaki itik/ sebelah kaki di depan kelas (agar supaya anak jadi jera atau
supaya kelak tumbuh menjadi bangsa pemalu/ mental budak?) menampar,
menendang, dan sampai memberikan hukuman fisik yang lain.21
Pemberian punishment pada anak didik tampak makin
intense/meningkat saat mereka berada pada usia pra-pubertas/puber awal sampai
pada pubertas pertengahan, yaitu saat mereka duduk di kelas 5 dan 6 Sekolah
Dasar sampai di penghujung kelas 12 di SMP. Ini adalah periode dimana
anak memperlihatkan prilaku sangat agresif,yaitu banyak gerak dan banyak
berteriak-teriak. Untuk meredam agressif mereka maka lagi-lagi sebagian
guru-guru memilih cara-cara kasar dalam bertutur sampai pada melakukan
kekerasan atau hukuman fisik.
Kemajuan teknologi dan informasi, juga memaksa kemajuan
dalam pelayanan pendidikan. Pendidikan yang diharapkan oleh public
adalah pendidikan yang kaya dengan sentuhan kemanusiaan. Maka gencarlah harapan
untuk member anak dengan pendidikan bernuansa sentuhan emosi, sentuhan kalbu,
sentuhan humanistic yang tulus. Anak perlu didik dan dilindungi
dan mereka harus diberi perlindungan hukum- alhamdullillah. Tuntutan
untuk mewujudkan hal yang demikian tentu juga mengharapkan agar orang tua di
rumah dan guru di sekolah mengubah sikap dan kepribadian untuk melaksanakan
pelayanan mendidik mereka- melalui pelatihan, pembiasaan dan iktikad baik- agar
mampu bersikap lembut, ramah, simpatik dan empatik , dan selalu menjadi model
yang selalu sabar dan santun dalam mendidik anak.22
Adalah merupakan seruan yang positif agar orangtua dan
guru mampu memberikan pendidikan dengan sentuhan kemanusiann- sentuhan kasih
sayang yang tulus. Untuk perbaikan moral dan karakter anak, oleh sebab itu
diharapkan agar tugas pendidikan yang paling utama musti ada pada orangtua.
Namun guru juga perlu melakukan peubahan total dalam gaya mendidik. Mendidik dengan cara kekerasan
dan penuh menekan atas nama mendisiplinkan anak adalah gaya mendidik guru-guru yang bergaya
otoriter. Pendidik dengan model persuasive, mengayomi, dan pemodelan positif
pasti selalu ada dan dapat dipelajari serta diadopsi.
Kebisaaan yang dilakukan oleh instruktur pada pelatihan
sosial bagi orang-orang dewasa dan remaja dan sampai kepada guru-guru TK,
guru-guru pada PAUD (pendidikan anak usia dini), sampai kepada kebisaaan
memberikan applause ( tepuk tangan) oleh presenter atau guru yang
berpribadi hangat atas tindakan positif seorang aktor/ murid dalam suatu
kegiatan patut untuk diteladani. Sekolah harus tahu (dan harus
mengadopsi) bahwa kini banyak perusahaan meningkatkan pelayanan dengan
menonjolkan unsur -unsur simpatik seperti semboyan mereka; melayani dengan
penuh ramah tamah, melayani anda dengan tegur sapa dan senyum. Anak-anak
sekarang banyak yang merasakan bahwa sekolah atas nama mengejar kualitas dan
disiplin penuh dengan tekanann ibarat penjara modern, dan mereka bertutur “wah
bĂȘte belajar di sana ”.
Namun sekolah sekolah, walau gedungnya sederhana tapi memberi pelayanan prima,
tenaga pendidik mengajar dengan mengutamakan pemberian pujian, penghargaan, dan
ungkapan maaf yang tinggi, bisa menjadi tempat favorit dan sangat
menyenangkan bagi anak-anak didik. Mendidik anak oleh guru dan orangtua dengan
membudayakan applause dan mencegah untuk melakukan kekerasan fisik dan
psikis adalah sangat tepat dan urgent (mendesak) untuk diterapkan demi
memperoleh generasi yang rajin, cerdas, sholeh dan santun dalam hidup.23
20 Abdurrahman Mas’udi, Menggagas Format
Pendidikan Nondikotomik, ( Yogyakarta:Gema Media, 2000 ),hal. 76.
21 Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendidik Anak
Perempuan Dimasa Kanak - Kanak, cet. I (Jakarta: Amzah, 2004) hal. 2
Post a Comment for "Pengaruh Ganjaran dan Hukuman Dalam mendidik"