A.
Pengaruh
Kesehatan Jiwa Terhadap Pendidikan
Manusia merupakan makhluk
ciptaan Allah yang dibekali dengan berbagai potensi fitrah yang tidak dimiliki
makhluk lainnya. Potensi istimewa ini dimaksudkan agar manusia dapat mengemban
dua tugas utama, yaitu sebagai khalifatullah di muka bumi dan juga abdi Allah
untuk beribadah kepada-Nya.Manusia dengan berbagai potensi tersebut membutuhkan
suatu proses pendidikan, sehingga apa yang akan diembannya dapat terwujud.[1]
Pendidikan Islam bertujuan untuk mewujudkan manusia yang berkepribadian muslim
baik secara lahir maupun batin, mampu mengabdikan segala amal perbuatannya
untuk mencari keridhaan Allah SWT. Dengan demikian, hakikat cita-cita
pendidikan Islam adalah melahirkan manusia-manusia yang beriman dan berilmu
pengetahuan, satu sama lain saling menunjang.[2]
Pendidikan memiliki
hubungan yang sangat erat dengan psikologi. Pendidikan merupakan suatu proses
panjang untuk mengaktualkan seluruh potensi diri manusia sehingga potensi
kemanusiaannya menjadi aktual. Dalam proses mengaktualisasi diri tersebut
diperlukan pengetahuan tentang keberadaan potensi, situasi dan kondisi
lingkungan yang tepat untuk mengaktualisasikannya. Pengetahuan tentang diri
manusia dengan segenap permasalahannya akan dibicarakan dalam psikologi umum.
Dalam hal pendidikan Islam yang dibutuhkan psikologi Islami, karena manusia
memiliki potensi luhur, yaitu fitrah dan ruh yang tidak terjamah dalam
psikologi umum (Barat).
Berdasarkan uraian diatas,
maka sudah selayaknya dalam pendidikan Islam memiliki landasan psikologis yang
berwawasan kepada Islam, dalam hal ini
dengan berpandu kepada al-Qur’an dan hadits sebagai sumbernya, sehingga
akhir dari tujuan pendidikan Islam dapat terwujud dan menciptakan insan
kamil bahagia di dunia dan akhirat. Sebenarnya, banyak sekali istilah untuk
menyebutkan psikologi yang berwawasan kepada Islam. Diantara para psikolog ada
yang menyebut dengan istilah psikologi Islam, psikologi al-Qur’an, psikologi
Qur’ani, psikologi sufi dan nafsiologi. Namun pada dasarnya semua istilah
tersebut memiliki makna yang sama.
Dalam al-Quran, ada
beberapa kata kunci yang berbicara mengenai psikologi yaitu al-nafs,
al-qalb, al-aql, al-ruh, dan fitrah. Dari analisa terhadap kosa kata
tersebut, secara metode tafsir maudhu’i atau tematik akan diformulasikan
sejumlah konsep-konsep psikologi dari al-Quran, selanjutnya digunakan sebagai
dasar untuk menyusun paradigma teori psikologi Islami.[3]
Kesehatan jiwa dalam Islam
merupakan sebuah aliran baru dalam dunia psikologi yang mendasarkan seluruh
bangunan teori-teori dan konsep-konsepnya kepada Islam. Islam sebagai subjek
dan objek kajian dalam ilmu pengetahuan, harus dibedakan kepada tiga bentuk:
Islam sebagai ajaran, Islam sebagai pemahaman dan pemikiran serta Islam sebagai
praktek atau pengamalan. Islam sebagai ajaran bersifat universal dan berlaku
pada semua tempat dan waktu, bersifat absolut dan memiliki kebenaran
normatif, yaitu benar berdasarkan pemeluk agama tersebut, sehingga bebas ruang
dan waktu. Islam sebagai pemahaman dan praktek, selalu berhubungan dengan ruang
dan waktu, sehingga bersifat partikular, lokal dan temporal. Dan itu semua
adalah fondasi awal untuk melakukan gagasan aktulisasi psikologi Islami.
Pendidikan merupakan
proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan adalah
“Usaha secara sengaja dari orang dewasa dengan pengaruhnya untuk meningkatkan
si anak ke kedewasaan, yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab
moral dari segala perbuatannya” Orang dewasa itu adalah orang tua si anak atau
orang yang atas dasar tugas dan kedudukannya mempunyai kewajiban untuk
mendidik, misalnya saja guru sekolah, pendeta atau kiai dalam lingkungan
keagamaan kepala-kepala asrama dan sebagainya.[4] “Pendidikan”
dalam Islam lebih banyak dikenal dengan menggunakan istilah al-tarbiyah, al-ta`lim, al-ta`dib dan
al-riyadah.” Setiap terminologi tersebut mempunyai makna yang berbeda satu
sama lain, karena perbedaan teks dan kontek kalimatnya.[5]
Dari uraian di atas, dapat
dikatakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha maksimal untuk menentukan
kepribadian anak didik berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan
dalam al-Qur`an dan Sunnah. Usaha tersebut senantiasa harus dilakukan melalui
bimbingan, asuhan dan didikan, dan sekaligus pengembangan potensi manusia untuk
meningkatkan kualitas intelektual dan
moral yang berpedoman pada syariat Islam.
Manusia merupakan makhluk
pilihan Allah yang mengembangkan tugas ganda, yaitu sebagai khalifah Allah dan
Abdullah (Abdi Allah). Untuk mengaktualisasikan kedua tugas tersebut, manusia
dibekali dengan sejumlah potensi didalam dirinya. Hasan Langgulung mengatakan,
potensi-potensi tersebut berupa ruh, nafs, akal, qalb, dan
fitrah. Sejalan dengan itu, Zakiyah Darajat mengatakan, bahwa potensi
dasar tersebut berupa jasmani, rohani, dan fitrah namun ada juga yang
menyebutnya dengan jismiah, nafsiah dan ruhaniah.
1) Aspek jismiah
Aspek jismiah adalah
keseluruhan organ fisik-biologis, serta sistem sel, syaraf dan kelenjar diri
manusia. Organ fisik manusia adalah organ yang paling sempurna diantara semua
makhluk. Alam fisik-material manusia tersusun dari unsur tanah, air, api dan udara.
Keempat unsur tersebut adalah materi dasar yang mati. Kehidupannya tergantung
kepada susunan dan mendapat energi kehidupan yang disebut dengan nyawa atau
daya kehidupan yang merupakan vitalitas fisik manusia. Kemampuannya sangat
tergantung kepada sistem konstruksi susunan fisik-biologis, seperti: susunan
sel, kelenjar, alat pencernaan, susunan saraf sentral, urat, darah, tulang,
jantung, hati dan lain sebagainya. Jadi, aspek jismiah memiliki dua sifat
dasar. Pertama berupa bentuk konkrit berupa tubuh kasar yang tampak dan kedua
bentuk abstrak berupa nyawa halus yang menjadi sarana kehidupan tubuh. Aspek
abstrak jismiah inilah yang akan mampu berinteraksi dengan aspek nafsiah
dan ruhaniah manusia.[6]
2) Aspek Nafsiah
Aspek nafsiah adalah
keseluruhan kualitas insaniah yang khas dimiliki dari manusia berupa pikiran,
perasaan dan kemauan serta kebebasan. Dalam aspek nafsiah ini terdapat tiga
dimensi psikis, yaitu dimensi nafsu, ‘aql, dan qalb. Dimensi
nafsu merupakan dimensi yang memiliki sifat-sifat kebinatangan dalam sistem
psikis manusia, namun dapat diarahkan kepada kemanusiaan setelah mendapatkan
pengaruh dari dimensi lainnya, seperti ‘aql dan qalb, ruh dan fitrah.
Nafsu adalah daya-daya psikis yang memiliki dua kekuatan ganda, yaitu: daya
yang bertujuan untuk menghindarkan diri dari segala yang membahayakan dan
mencelakakan (daya al-ghadabiyah) Serta daya yang berpotensi untuk
mengejar segala yang menyenangkan (daya al-syahwaniyyah).[7]
Dimensi akal adalah
dimensi psikis manusia yang berada diantara dua dimensi lainnya yang saling
berbeda dan berlawanan, yaitu dimensi nafsu dan qalb. Nafsu memiliki
sifat kebinatangan dan qalb memiliki sifat dasar kemanusiaan dan berdaya
cita-rasa. Akal menjadi perantara diantara keduanya. Dimensi ini memiliki
peranan penting berupa fungsi pikiran yang merupakan kualitas insaniah pada
diri manusia.
Dimensi qalb
memiliki fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta seperti berpikir, memahami,
mengetahui, memperhatikan, mengingat dan melupakan. Fungsi emosi yang
menimbulkan daya rasa seperti tenang, sayang dan fungsi konasi yang menimbulkan
daya karsa seperti berusaha.
3) Aspek ruhaniah
Aspek ruhiyah
adalah keseluruhan potensi luhur (high potention) diri manusia. Potensi
luhur itu memancar dari dimensi ruh dan fitrah. Kedua dimensi ini
merupakan potensi diri manusia yang bersumber dari Allah. Aspek ruhaniyah
bersifat spiritual dan transedental. Spiritual, karena ia merupakan
potensi luhur batin manusia yang merupakan sifat dasar dalam diri manusia yang
berasal dari ruh ciptaan Allah. Bersifat transidental, karena mengatur hubungan
manusia dengan yang Maha transenden yaitu Allah. Fungsi ini muncul dari
dimensi fitrah.[8]
Dari penjabaran diatas,
dapat disebutkan bahwa aspek jismiah bersifat empiris, konkrit, indrawi,
mekanistik dan determenistik. Aspek ruhaniah bersifat spiritual,
transeden, suci, bebas, tidak terikat pada hukum dan prinsip alam dan cenderung
kepada kebaikan. Aspek nafsiah berada diantara keduanya dan berusaha
mewadahi kepentingan yang berbeda. Pada hakikatnya, proses pendidikan merupakan
proses aktualisasi potensi diri manusia. Sistem proses menumbuhkembangkan
potensi diri itu telah ditawarkan secara sempurna dalam sistem ajaran Islam, ini
yang pada akhirnya menyebabkan manusia dapat menjalankan tugas yang telah
dibebankan Allah.
[2]
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, Peranannya dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: IAIN, 1978), hal. 4.
[4] H.
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, Cet. I, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 3.
0 Comments
Post a Comment