A.
Pengembangan Prilaku dan Moral dalam
Pendidikan Gender
Menurut Purwadarminto moral juga diartikan “sebagai
ajaran baik dan buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya”[1].
Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan
suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan
dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang
salah. Dengan demikian moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.
Menurut Idris “moral dapat diukur secara
subyektif dan obyektif. Kata hati atau hati nurani memberikan ukuran yang
subyektif, adapun norma memberikan ukuran yang obyektif. Apabila hati nurani
ingin membisikan sesuatu yang benar, maka norma akan membantu mencari kebaikan
moral”[2].
Kemoralan merupakan sesuatu yang berkaitan dengan peraturan-peraturan
masyarakat yang diwujudkan di luar kawalan individu. “manusia bergantung kepada
tatasusila, adat, kebiasaan masyarakat dan agama untuk membantu menilai
tingkahlaku seseorang[3].
Moral berkaitan dengan moralitas. Moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu
yang berhubungan dengan etiket atau sopan santun. Moralitas adalah pedoman yang
dimiliki individu atau kelompok mengenai apa yang benar dan salah berdasarkan
standar moral. Moralitas dapat berasal dari sumber tradisi atau adat, agama
atau sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa sumber. Standar moral ialah
standar yang berkaitan dengan persoalan yang dianggap mempunyai konsekuensi serius,
didasarkan pada penalaran yang baik bukan otoritas kekuasaan, melebihi
kepentingan sendiri, tidak memihak dan pelanggarannya diasosiasikan dengan
perasaan bersalah, malu, menyesal, dan lain-lain.Moralitas memiliki tiga
komponen:
1. Komponen afektif/emosional terdiri dari berbagai jenis
perasaan (seperti pe rasaan bersalah, malu, perhatian terhadap perasaan orang
lain, dan sebagainya) yang meliputi tindakan benar dan salah yang memotivasi
pemikiran dan tindakan moral. Komponen afektif moralitas (moral affect)
merupakan berbagai jenis perasaan yang menyertai pelaksanaan prinsip etika.
Islam mengajarkan pentingnya rasa malu untuk melakukan perbuatan yang tidak baik sebagai sesuatu yang penting.
2. Komponen kognitif merupakan pusat dimana seseorang
melakukan konseptualtualisasi benar dan salah, dan membuat keputusan tentang
bagaimana seseorang berperilaku. Komponen kognitif moralitas (moral reasoning)
merupakan pikiran yang ditunjuk seseorang ketika memutuskan berbagai tindakan
yang benar dan salah. Islam mengajarkan bahwa Allah mengilhamkan ke dalam jiwa
manusia dua jalan yaitu jalan kefasikan dan ketakwaan. Manusia memiliki akal
untuk memilih jalan mana yang ia akan tempuh.
3. Komponen perilaku mencerminkan bagaimana seseorang
sesungguhnya berperilaku ketika mengalami godaan untuk berbohong, curang, atau
melanggar aturan moral lainnya. Komponen perilaku moralitas (moral behavior)
merupakan tindakan yang konsisten terhadap moral seseorang dalam situasi di
mana mereka harus melanggarnya.[4].
Perkembangan moral adalah perubahan penalaran,
perasaan, dan perilaku tentang standar mengenai benar dan salah. Perkembangan
moral memiliki dimensi intrapersonal, yang mengatur aktifitas seseorang ketika
dia terlibat dalam interaksi sosial dan dimensi interpersonal yang mengatur interaksi
sosial dan penyelesaian konflik.[5]
Perkembangan moral berkaitan dengan aturan-atuaran dan ketentuan tentang apa
yang seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain.
Untuk mempelajari aturan-aturan tersebut.
Pada usia Taman Kanak-kanak, anak telah
memiliki pola moral yang harus dilihat dan dipelajari dalam rangka pengembangan
moralitasnya. Orientasi moral diidentifikasikan dengan moral position atau
ketetapan hati, yaitu sesuatu yang dimiliki seseorang terhadap suatu nilai moral
yang didasari oleh aspek motivasi kognitif dan aspek motivasi afektif. Menurut
John Dewey tahapan perkembangan moral seseorang akan melewati 3 fase, yaitu
premoral, conventional dan autonomous. Anak Taman Kanak-kanak secara teori
berada pada fase pertama dan kedua. Oleh sebab itu, guru diharapkan
memperhatikan kedua karakteristik tahapan perkembangan moral tersebut.
Sedangkan menurut Piaget, seorang manusia dalam perkembangan moralnya melalui
tahapan heteronomous dan autonomous. Seorang guru Taman Kanak-kanak harus
memperhatikan tahapan hetero-nomous karena pada tahapan ini anak masih sangat
labil, mudah terbawa arus, dan mudah terpengaruh. Mereka sangat membutuhkan
bimbingan, proses latihan, serta pembiasaan yang terus-menerus. Moralitas anak
Taman Kanak-kanak dan perkembangannya dalam tatanan kehidupan dunia mereka
dapat dilihat dari sikap dan cara berhubungan dengan orang lain (sosialisasi),
cara berpakaian dan berpenampilan, serta sikap dan kebiasaan makan. Demikian
pula, sikap dan perilaku anak dapat memperlancar hubungannya dengan orang lain.
Perkembangan moral dan etika pada diri anak Taman Kanak-kanak dapat diarahkan
pada pengenalan kehidupan pribadi anak dalam kaitannya dengan orang lain.
Misalnya, mengenalkan dan menghargai perbedaan di lingkungan tempat anak hidup,
mengenalkan peran gender dengan orang lain, serta mengembangkan kesadaran anak
akan hak dan tanggung jawabnya, serta mengembangkan keterampilan afektif anak
itu sendiri, yaitu keterampilan utama untuk merespon orang lain dan pengalaman-pengalaman
barunya, serta memunculkan perbedaan-perbedaan dalam kehidupan teman
disekitarnya. Ruang lingkup tahapan/pola perkembangan moral anak di antaranya
adalah tahapan kejiwaan manusia dalam menginternalisasikan nilai moral kepada
dirinya sendiri, mempersonalisasikan dan mengembangkannya dalam pembentukan
pribadi yang mempunyai prinsip, serta dalam mematuhi, melaksanakan/menentukan
pilihan, menyikapi/menilai, atau melakukan tindakan nilai moral.
[1] W.J.S. Poerwadarminto, Kamus
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1976), hal. 239.
0 Comments
Post a Comment