Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengertian dan Landasan Hudud


BAB II
HUDUD DAN PERMASALAHANNYA

A. Pengertian dan Landasan Hudud
Kata hudud adalah bentuk jamak dari kata hadd. “Pada dasarnya hadd berarti pemisah antara dua hal atau yang membedakan antara sesuatu dengan yang lain.”[10] Secara bahasa hadd berarti cegahan, penekanan, atau larangan. Oleh karena itu, hudud merupakan suatu peraturan yang membatasi undang-undang Allah berkenaan dengan hal-hal halal dan haram.[11]
Hukum Allah dibagi dalam dua kategori. Pertama undang-undang yang menjelaskan kepada manusia berhubungan dengan makanan, minuman, perkawinan, penceraian dan lain-lain yang diperbolehkan dan yang dilarang. kedua, hukuman-hukuman yang ditetapka atau yang diputuskan agar dikenakan kepada seseorang yang melakukan hal yang dilarang. Dalam hukum islam, kata “hudud” dibatasi untuk hukuman karena tindak pidana yang disebutkan oleh Al-Quran ataupun sunnah nabi SAW. Sedangkan hukuman lain ditetapkan dengan pertimbangan hakim atau disebut dengan ta’zir.[12]
Hukuman-hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku-pelaku kemaksiatan disebut hudud, Karena hukuman tersebut dimaksudkan untuk mencegah agar  orang yang dikenai hukuman itu tidak mengulangi perbuatan yang menyebabkan dia dihukum. Sebagaimana firman Allah yang berfirman:
3 y7ù=Ï? ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydqç/tø)s? ( البقرة : 187)
Artinya: “Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya”. (Q.S.Al-Bakarah ayat 187 ).
Menurut Hassan Shadily secara bahasa hukum diartikan hukum “menetapkan sesuatu atas sesuatu atau tidak menetapkannya (isbathu syai’in ‘ala syai’in aw nafyun ‘anhu)”, sedangkan menurut istilah hukum diartikan efek yang timbul dari perbuatan yang diperintahkan Allah SWT.[13] Akan tetapi pengertian hukum menurut ushul fiqh adalah khitab atau perintah Allah yang menuntut mukallaf untuk mengerjakan atau memilih antara mengerjakan atau tidak mengerjakan, atau menjadi sesuatu menjadi sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya yang lain.[14]
Namun demikian, pada prinsipnya hukum merupakan kenyataan dan pernyataan yang beraneka ragam untuk menjamin adanya penyesuaian, kebebasan dan kehendak seseorang dengan orang lain.[15] Berdasarkan asumsi ini pada dasarnya hukum mengatur hubungan antara manusia di dalam masyarakat berdasarkan prinsipnya yang beraneka ragam pula. Oleh karena itu, setiap di dalam masyarakat wajib taat dan mematuhinya. Tetapi apabila kata hukum berubah menjadi kata hukuman, maka akan mengandung pengertian sanksi yang diberikan kepada seseorang yang telah melaksanakan pelanggaran hukum baik hukum perdata maupun hukum pidana.[16]
Dalam tatanan pendidikan Islam Allah menyuruh kepada umat Islam untuk senantiasa menegakkan Syari'at Islam di dalam kehidupannya sehari-hari, karena dengan tegaknya syari’at Islam inilah umat Islam dapat merasakan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Namun apabila syari’at Allah ini tidak lagi tegak di muka bumi ini, maka kebahagiaan dan kesejahteraan hidup tidak akan dapat dirasakan oleh umat Islam. Dengan demikian umat Islam harus senantiasa selalu berusaha dengan sekuat tenaga untuk menegakkan hukum Allah di atas permukaan bumi yang fana ini. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$#  (آل عمران: ١٠٤)
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali-‘Imran)
Ayat di atas, dapat dipahami bahwa Allah SWT., menyuruh kepada manusia untuk senantiasa menegakkan ‘amar makruf dan mencegah segala bentuk-bentuk kemungkaran di atas permukaan bumi ini. Perbuatan makruf adalah segala perbuatan yang mendekatkan manusia kepada Allah, sedangkan perbuatan mungkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan manusia dari pada-Nya.
Tegaknya hukum Allah juga merupakan suatu dambaan seluruh umat Islam yang beriman dan taat kepada agamanya. Keimanan seorang hamba dapat dibuktikan dengan ketaatan dan kepatuhannya dalam mengamalkan hukum Islam. Salah satu aspek hukum Islam yang harus dilaksanakan adalah hukuman hudud. Hukuman hudud ini  digunakan dalam mengeksekusi seorang terhukum yang melanggar suatu peraturan hukum Islam.[17]
Menurut para fuqaha mengatakan bahwa pelanggaran syari'at Islam seperti perzinaan diwajibkan melaksanakan hukum syari'at agar pelakunya dapat menebus dosa-dosa yang telah dilakukannya. Akan tetapi untuk melaksanakan hukum syari'at Islam, tentunya memerlukan berbagai pertimbangan terhadap kondisi terhukum, karena itu, hukuman hudud dilaksanakan bukan untuk menyiksa seseorang, tetapi sebagai pedoman bagi yang lainnya untuk tidak lagi mengulangi prilaku kejahatan yang telah diharamkan dalam Islam.[18] Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW., berikut:
عن أبي هريرة رضى الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلّم قال: حد يعمل به في الأرض خير لأهل الأرض من أن يمطروا أربعين صباحا (حسن صيحيح إبن ماجه )
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda, Satu hukuman had yang diamalkan di bumi adalah lebih baik bagi penduduknya dari pada mereka dihujani selama empat puluh hari (Hasan ; Shahih Ibnu Majah).”[19]
Dalam pelaksanaan hukuman hudud orang yang paling berwenang adalah Imam, kepala negara, atau wakilnya (aparat pemerintah yang mendapat tugas darinya). Sebab, di masa Nabi SAW Beliaulah yang melaksanakannya, demikian pula para Khalifahnya. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
عن أنس بن مالك قال قدم أناس من عكل أو عرينة فاجتووا المدينة فأمرهم النبي صلى الله عليه وسلم بلقاح وأن يشربوا  من أبوالها وألبانها فنطلقوا فلما صحّوا قتلوا راععي النبى صلى الله عليه وسلم واستاقوا النعماء فجاء الخبر في أول النهار فبعث في أثارهم فلما أرتفع النهار جيء بهم فأمر فقطع أيديهم وأرجلهم وسمرت أعينهم وألقوا في الحرة يستسقون قال أبو قلابة فهولاء سرقوا وقتلوا وكفروا بعد إيمانهم وحاربوا الله  ورسوله (رواه لبخاري)
Artinta: “Dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata: Ada beberapa orang dari UKL atau dari Urainah yang jatuh sakit karena tidak cocok berada di Madinah. Maka Nabi SAW memerintahkan agar mereka berada di tempat penggembalaan unta yang sedang diperah air susunya dan memerintahkan agar mereka meminum air kencing dan air susunya. Mereka pun pergi, setelah sehat mereka justru membunuh penggembala Nabi Muhammad SAW dan mencuri unta-untanya. Berita ini sampai (kepada beliau) pada pagi hari, maka beliau mengirim utusan untuk mengejar mereka. Pada tengah hari mereka didatangkan, lalu beliau memerintahkan agar tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang, mata mereka dicongkel dengan besi panas, lalu mereka dibiarkan tergeletak di hamparan batu hitam di atas bukit dan dibiarkan mencari minum sendiri tanpa diberi minum. Abu Qilabah berkata: Mereka mencuri dan membunuh setelah beriman, memerangi Allah dan Rasul-Nya.”[20]  (H.R. Bukhari).

Hadits di atas, dapat dipahami bahwa orang-orang Badui itu telah melakukan perbuatan yang sangat keji, yang menunjukkan keburukan hati dan kejahatan perangai mereka. Mereka murtad dari Islam, maka balasannya adalah hukuman mati, dan mereka membunuh penggembala yang sedang mengemban tugas dan mencongkel matanya tanpa suatu alasan. Mereka mencuri unta milik orang-orang muslim, mereka memerangi Allah dan Rasul-Rasul-Nya dengan cara merampas, melakukan kejahatan di muka bumi dan mengingkari nikmat Allah, yaitu kesehatan sebelum sakit, gemuk setelah kurus. Dengan begitu mereka layak mendapat hukuman yang selaras dengan tindakan mereka, agar dapat menjadi peringatan bagi siapa pun yang hatinya tidak dimasuki iman dari kalangan orang-orang awam.
Sesungguhnya Allah Maha Pemberi taufik, Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Mereka telah mencungkil kedua mata penggembala dan menelantarkannya di bawah terik mata hari sehingga meninggal dalam keadaan kehausan. Maka Rasulullah SAW melakukan hal yang sama dengan tindakan mereka sebagai qishash, bahkan seorang pembunuh dijatuhi hukuman mati dengan cara yang dia lakukan. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nahl yang berbunyi:
÷bÎ)ur óOçGö6s%%tæ (#qç7Ï%$yèsù È@÷VÏJÎ/ $tB OçFö6Ï%qãã ¾ÏmÎ/ ( ûÈõs9ur ÷Län÷Žy9|¹ uqßgs9 ׎öyz šúïÎŽÉ9»¢Á=Ïj9
( النحل : 126)
Artinya: “Dan jika kalian memberi balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang dilimpahkan kepada kalian (QS. An-Nahl: 126)
Ayat di atas, dapat dipahami bahwa Allah SWT telah menetapkan hukum-hukum qishas bagi orang-orang yang melakukan pembunuhan dengan tanpa alasan ketentuan syari’at.
Hukum hudud (pidana, sanksi, dan pelanggaran) dalam peraturan Islam sebagai “pencegah” dan “penebus”. “Sebagai pencegah, karena ia berfungsi mencegah manusia dari tindakan kriminal; dan sebagai penebus, karena ia berfungsi menebus dosa seorang muslim dari azab Allah di hari kiamat. Keberadaan uqubat dalam Islam, yang berfungsi sebagai pencegah.”[21]
Al-Qur'an sebagai sumber hukum pertama dalam Islam, tentunya sangat perlu dijadikan rujukan dasar dalam penetapan sebuah hukum terutama yang berkaitan dengan persoalan hukuman cambuk. Pelaksanaan hukuman cambuk dalam pendidikan Islam merupakan salah satu bentuk hukuman yang diberikan kepada orang yang melanggar hukum Islam. Salah satu dalil Al-Quran yang menjelaskan tentang adanya hukuman cambuk adalah ayat Al-Qur’an surat An-Nur ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut:
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( Ÿwur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏŠ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ( ôpkôuŠø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# (النور: ٢)
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.(an-Nur: 2)

Berdasarkan ayat di atas, dapat dipahami bahwa hukum dikhususkan bagi yang melakukan perbuatan zina dengan dicambuk sebanyak seratus kali cambukan bagi yang belum menikah, dan dera sampai mati dengan ditanam persimpangan jalan bagi yang telah menikah.[22]
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa hudud dalam Pandangan Islam adalah suatu hukuman yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasulnya terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan Allah. Hukuman hudud tersebut bersumber dari Al-Quran dan Hadits Rasulullah dan sudah sering dipraktekkan oleh para sahabat Nabi SAW.




B. Jenis-jenis Hudud
            Hukum kepidanaan dimaksud jarimah, jarimah hudud adalah “Tindak kejahatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih yang menjadikan pelakunya dikenakan sanksi had.”[23]
Secara umum Syari'at Islam di bidang hukum memuat norma hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat/bernegara dan norma hukum yang mengatur moral atau kepentingan individu yang harus ditaati oleh setiap orang. Ketaatan terhadap norma hukum yang mengatur moral sangat tergantung pada kualitas iman, taqwa dan hati nurani seseorang, juga disertai adanya sanksi duniawi dan ukhrawi terhadap orang yang melanggarnya.
Dalam sistem hukum Islam terdapat dua jenis sanksi; yaitu sanksi yang bersifat definitif dari Allah dan Rasul-Nya dan sanksi yang ditetapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kedua jenis sanksi tersebut mendorong masyarakat untuk patuh pada ketentuan hukum.
Hukuman atau hukum pidana dalam Islam disebut “al-Uqubaat” dari kata “al-Uqubah” meliputi hal-hal yang merugikan atau tindak kriminal. Al-Uqubaat sama dikenakan pada muslim dan non muslim di negara muslim. Demikian pula muslim tetap akan dihukum apabila melakukan tindak pidana sekalipun hal itu dilakukan jauh dari negara Islam, karena hal ini adalah tindak kriminal yang dilakukan bertentangan dengan hukum Allah. Hukuman tersebut diberikan setelah ia kembali ke tempatnya yang muslim. Dengan demikian, seorang hakim harus berpegang pada hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran dan juga tidak bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW. Apabila hal ini tidak dijalankan maka dia akan menjadi hakim yang dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya.[24]
Salah satu bentuk hukuman dalam hukum Islam yang harus ditegakkan oleh hakim adalah hukum hudud. Penerapan hukuman hudud ini menjadi harapan dapat menjadi sebuah hukuman yang dapat memberikan efek jera bagi si pelaku tindak pidana.
Tindak pidana yang dapat dihukum dengan syari’ah yaitu tindakan yang mempengaruhi masyarakat. Al-Quran telah merincikannya, seperti pembunuhan, perampokan, pencurian, dan perzinaan. Dalam Al-Quran Allah telah menjelaskan ketentuan umum bagi pelaku kejahatan. Sebagai mana firman Allah dalam surat Al-Syuraa ayat 40, yang berbunyi:
$uZ¯=yès9(#ätÂty_ur 7py¥ÍhŠy ×py¥ÍhŠy $ygè=÷WÏiB ( ô`yJsù $xÿtã yxn=ô¹r&ur ¼çnãô_r'sù n?tã «!$# 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä tûüÏJÎ=»©à9$#   (الشورى: 40 )
Artinya: Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim. (Q.S. Al-Syuraa: 40)
Adapun jenis-jenis hukuman hudud yang terdapat dalam syari’at Islam adalah:
a.      Hukuman bagi pezina dirajam sampai mati bagi yang sudah menikah, dan dicambuk 80 kali bagi yang belum menikah
b.     Hukuman karena pencurian dan perampokan dengan potong tangan.
c.      Hukuman bagi yang menuduh orang lain melakukan perzinaan dengan tanpa bukti yang jelas.
d.     Hukuman mati bagi orang yang murtad.
e.      Hukuman yang dituntut karena melakukan pembunuhan, penganiayaan sampai mati, atau yang mengakibatkan cacat tubuh.
f.      Hukuman bagi orang yang minum khamar
g.     Jarimah ta’zir[25]

C. Syarat dan Cara Pelaksanaannya
1. Syarat Penerapan Hudud:
  1. Pelaku kejahatan adalah seorang mukallaf yaitu baligh dan berakal.
  2. Pelaku kejahatan tidak dipaksa.
  3. Pelaku kejahatan mengetahui pelarangannya.
  4. Kejahatannya terbukti ia yang melakukannya tanpa ada subhat.



2. Cara Pelaksanaannya
1.     Perzinaan
“Perzinaan adalah  Hubungan kelamin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan.  Perbuatan zina merupakan kejahatan yang paling besar di mana pelakunya harus dirajam berat. Rajam hukuman yang diberikan berbeda-beda sesuai dengan orang yang melakukannya, yaitu jejaka atau gadis, atau orang yang sudah pernah berkeluarga yang disebut muhsan.”[26]
Syarat seseorang disebut muhsan adalah merdeka, bukan budak, dewasa, berakal, sudah pernah menikah dengan pernikahan yang sah, dan sudah pernah bersetubuh dengan suami atau istrinya. Jika orang yang memenuhi lima syarat ini kemudian berbuat zina, maka ia harus dihukum rajam, dilempari batu sampai mati. Adapun jejaka atau gadis yang belum memenuhi syarat di atas jika ia melakukan zina, maka ia cukup dihukum cambuk 100 kali. Sebagaimana firman Allah SWT:
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( Ÿwur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏŠ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ( ôpkôuŠø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$#
( النور : 2)
 Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah dari tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari kiamat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman ( QS.An-Nur: 2).

Orang yang berzina dihukum dengan cara, dibuatkan galian  tanah dengan kedalaman hingga dadanya, kemudian ia di masukan ke dalam dan dirajam dengan batu hingga meninggal dunia dan disaksikan imam atau walinya dan sekelompok dari kaum muslimin minimal empat orang.”[27]
Perzinaan yang bisa dikenakan hukuman rajam atau cambuk adalah jika perbuatan tersebut terbukti disaksikan empat orang saksi laki-laki yang bisa dipercaya, dan mereka benar-benar melihat perbuatan tersebut dengan mata kepala.
                           Zina yang dimaksudkan di sini adalah seorang laki-laki dan seorang wanita yang melakukan persetubuhan tanpa dilandasi pernikahan.
2. Pencurian dan Perampok
            Pencurian adalah “Orang yang mengambil benda barang milik orang lain secara diam-diam untuk dimiliki. Pencurian yang dimaksud di sini tergolong kejahatan yang paling berat, pelakunya diancam dengan hukuman potong tangan sebagai hukuman di dunia, dan terancam adzab sebagai hukuman di akhirat.”[28]
Perampok adalah “Mengambil barang orang lain dengan cara anarkis. Misalnya merampok, mengancam atau menakut-nakuti orang.”[29]  Sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym  ( المائدة : 38 )
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potong tangan keduanya ( sebagai ) bagi apa yang kerjakan, dan sebagai siksaan dari  Allah (QS. Al-Maidah: 38). 
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang-orang yang melanggar dan angkuh terhadap ketentuan-ketentuan Rasul SAW dan yang membuat kerusakan di muka bumi ini yaitu yang melakukan pencurian, perampokan dengan menakut-nakuti masyarakat maka mereka dibunuh tanpa ampun jika mereka membunuh, tanpa mengambil harta, atau disalib jika mereka merampok dan membunuh, untuk menjadi pelajaran bagi yang lainnya. Dipotong tangan kanan bagi yang merampas harta tanpa membunuh, dan dipotong kaki kiri mereka dengan bertimbal balik, karena ia telah menimbulkan rasa takut dalam masyarakat.”[30]
Jika yang dipotong adalah tangan kanan, maka dimulai dari persendian telapak tangan, kemudian dicelupkan dalam minyak yang mendidih untuk menutup mulut urat agar darah berhenti mengalir. Di sunahkan potongan tangan digantung beberapa saat  ke leher pencuri tersebut untuk dijadikan ibrah.                                                         
Maksud dari hukum ini, agar umat Islam terpelihara dari tangan para penjahat ,karena dengan hukuman tersebut diharapkan agar pelakunya jera untuk mengulanginya kembali. Dan orang yang belum melakukan perbuatan ini, takut untuk melakukannya karena khawatir akan kehilangan anggota tubuhnya. Hukuman ini harus dijalankan kalau barang yang dicurinya adalah barang-barang yang bernilai ekonomi, dan bisa dikonsumsi serta mencapai nisab, yaitu ¼ dinar emas atau tiga dirham perak. Hadis yang diriwayatkan:
عن عائشة رضي الله عنها قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقطع السارق في ربع دينار فصاعدا (رواه البخاري و مسلم)
Artinya: “Diriwayatkan dari Sayyidatina Aisyah ra. Katanya: Rasulullah saw memotong tangan seseorang yang mencuri harta yang senilai satu seperempat dinar keatas. (H.R. Bukhari dan Muslim)”[31]      
                  Kesimpulan yang dapat diambil dari ayat dan hadis di atas adalah Sanksi hukum bagi laki-laki dan perempuan yang mencuri adalah potong tangan sebagai pembalasan bagi yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
  1. Seorang pencuri tidak akan mencuri, jika ia berada dalam keimanan yaitu iman yang sempurna.
  2. Rasulullah SAW. Memotong tangan seseorang yang mencuri harta senilai satu perempat ke atas.
  3. Rasulullah SAW. Pernah memotong tangan seorang yang mencuri sebuah perisai yang bernilai sebanyak tiga dirham.  
Pencuri yang dimaksud di sini adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam dan tersembunyi bermaksud untuk dimiliki.
3. Menuduh orang berzina (Alqadzfu)
Alqadzfu adalah “Tuduhan terhadap seseorang bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan zina. Perbuatan ini sangat diharamkan dalam rangka memelihara kehormatan dan martabat manusia, yang bisa mengganggu dengan tuduhan perbuatan nista tersebut. Terutama jika ditujukan kepada orang yang baik dan punya kedudukan mulia di tengah-tengah masyarakatnya.”[32] Sebagaimana firman Allah yang berbunyi :
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$#  ( النور : 4 )
Artinya: “Orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang fasik. (QS. An-Nur: 4)
Dalam memahami ayat di atas, sebagian mufassirin memahami bahwa turunya ayat 4 surat an-Nur tersebut mempunyai kaitan dengan kasus ifik, yaitu munculnya tuduhan perzinaan terhadap Siti Aisyah istri Rasullah Saw. Namun menurut al-Qurthubi dan ath-Thabari bawah sebab turunnya ayat 4 Surat an-Nur tersebut sehubungan dengan tuduhan terhadap seorang perempuan berbuat zina secara umum, dan bukan khusus karena kasus Aisyah Ra. Ayat tersebut merupakan ketetapan hukum dari Allah terhadap pelaku jarimah qadzaf.[33]
Di dalam rancangan Undang- undang tentang pidana Had Qadzaf Mesir, pasal 9 ditentukan terhadap penuduh zina dijatuhi hukuman cambuk sebanyak 80 kali. Namun bagi pelaku jarimah qadzaf yang belum mencapai usia dewasa (18 tahun), jumlah hukuman cambuk bervariasi. Bagi pelaku yang telah berumur tujuh tahun, maka hakim menyerahkan untuk dibina oleh orang tuanya atau salah seorang dari mereka, atau kepada walinya. Sedangkan Bagi pelaku yang telah berumur 10 tahun, tapi belum mencapai usia 15 tahun, maka dicambuk dengan tongkat paling banyak 20 kali. Bagi pelaku yang telah mencapai umur 15 tahun tapi belum mencapai 18 tahun, dihukum dengan hukuman cambuk paling sedikit 10 kali dan paling banyak 40 kali.[34]
Orang-orang baik laki-laki maupun wanita menuduh wanita-wanita yang baik berbuat zina, kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi pria yang menyaksikan kebenaran tuduhannya di depan pengadilan, maka cambuklah mereka melalui penguasa kamu sebanyak 80 kali cambuk. Jika penuduhnya orang-orang merdeka, sedang kalau hamba sahaya cukup 40 kali cambuk.”[35]
Alqadzfu (menuduh orang berzina) adalah wanita atau laki-laki yang menuduh wanita yang baik-baik berbuat zina dan tidak saksi yang memang benar-benar melihat perbuatan tersebut.
4. Murtad (Riddah)
Murtad adalah “Kembalinya seorang muslim yang berakal dan baligh untuk memilih keyakinan agama lain atas dasar pilihannya bukan paksaan. Dari pengertian tersebut anak-anak yang menyatakan memilih agama berbeda dengan agama orang tuanya tidak termasuk murtad, begitu juga orang gila. Orang yang karena terpaksa harus meninggalkan keyakinan karena diancam dan membahayakan diri dan keluarganya dengan ancaman berat sehingga ia harus menyelamatkan diri memeluk agama lain, juga tidak termasuk murtad”[36].
            Karena, walaupun dia hidup dan berada pada sistem yang berlaku di lingkungan pemeluk agama lain dan secara formal menjadi anggota yang sah dari masyarakatnya. Namun demikian, besar kemungkinan keyakinannya itu tetap tidak berubah. Jika pada suatu saat dia akan kembali kepada ketentuan dalam ajaran islam. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi:     
`tB txÿŸ2 «!$$Î/ .`ÏB Ï÷èt/ ÿ¾ÏmÏZ»yJƒÎ) žwÎ) ô`tB on̍ò2é& ¼çmç6ù=s%ur BûÈõyJôÜãB Ç`»yJƒM}$$Î/ `Å3»s9ur `¨B yyuŽŸ° ̍øÿä3ø9$$Î/ #Yô|¹ óOÎgøŠn=yèsù Ò=ŸÒxî šÆÏiB «!$# óOßgs9ur ëU#xtã ÒOŠÏàtã  (النحل :106)
Artinya: “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman, kecuali orang yang dipaksa kafir pada hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa) akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran maka kemurkaan Allah menimpahnya dan baginya azab yang pedih (QS. An-Nahl: 106).
            Jika orang murtad telah dibunuh, maka ia tidak dimandikan, tidak disalatkan, tidak dimakamkan di pemakaman kaum muslimin, dan hartanya tidak boleh diwarisi namun menjadi fay’i kaum muslimin kemudian digunakan untuk kemaslahatan-kemaslahatan umum.”[37] Sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
Ÿwur Èe@|Áè? #n?tã 7tnr& Nåk÷]ÏiB |N$¨B #Yt/r& Ÿwur öNà)s? 4n?tã ÿ¾ÍnÎŽö9s% ( öNåk¨XÎ) (#rãxÿx. «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur (#qè?$tBur öNèdur šcqà)Å¡»sù   ( التوبه : 84 )

Artinya: Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenasah) yang mati di antara mereka dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di kuburannya. Sesungguhnya mereka mati dalam keadaan fasik (QS. At-Taubah: 84)
5. Pembunuhan.
            Pembunuhan adalah “Suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang atau beberapa orang meninggal dunia.
Pembunuhan meliputi:
1.     Pembunuhan sengaja (amd) adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk membunuh orang lain dengan menggunakan alat yang layak untuk membunuh.
2.     Pembunuhan Tidak Disengaja (khata) adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak ada unsur kesengajaan yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
3.     Pembunuhan Semi Sengaja (syibhu Al-amdi) adalah perbuatan yang disengaja dilakukan oleh seseorang kepada orang lain dengan tujuan mendidk. Misalnya, seorang guru memukul penggaris di kaki seorang muridnya, tiba-tiba muridnya yang dipukul itu meninggal dunia, maka perbuatan guru tersebut disebut sebagai pembunuhan semi sengaja”[38].
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 178, yang berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/ 4 ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmŠÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yŠr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 y7Ï9ºsŒ ×#ÏÿøƒrB `ÏiB öNä3În/§ ×pyJômuur 3 Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt/ y7Ï9ºsŒ ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOŠÏ9r&
( البقرة : 178 )
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang mereka dengan orang mereka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan (hendaklah yang diberi maaf) membayar (diat)  kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih (QS. Al-Baqarah: 178).”

Ayat di atas, dapat dipahami bahwa Allah SWT., telah mewajibkan qishas bagi orang-orang yang melakukan pembunuhan. dengan demikian qishas merupakan salah satu bentuk dari pada hukuman hudud.
6. Minum-minuman keras (khamar)
            Khamar adalah” Minuman yang memabukkan. Minuman yang terbuat dari biji-bijian atau buah-buahan yang melalui proses begitu rupa sehingga mencapai kadar minuman yang memabukkan.”[39]. Al-Quran telah mengharamkan minuman khamar, karena minum khamar dapat merusak moral dan kesehatan manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 219 Yang berbunyi:
 y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ̍ôJyø9$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎Î7Ÿ2 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çŽt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3 štRqè=t«ó¡our #sŒ$tB tbqà)ÏÿZムÈ@è% uqøÿyèø9$# 3 šÏ9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# ãNä3s9 ÏM»tƒFy$# öNà6¯=yès9 tbr㍩3xÿtFs?  (البقرة: 219)
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada  keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir (Q.S. Al-Baqarah: 219)

Ayat di atas dapat dipahami bahwa orang yang minum khamar akan mendapatkan dosa yang sangat besar dari Allah SWT. Dalam ayat ini, Allah juga menjelaskan bahwa dalam minuman khamar juga ada manfaat bagi orang meminumnya, akan tetapi manfaat tersebut tidak seberapa bila dibandingkan dengan mudharat dan dosa yang di dapatkan bagi orang minum minuman khamar tersebut.
Dalam ayat yang lain surat Surat al-Maidah ayat 90-91 Allah juga melarang minum khamar bagi orang Islam, Ayat tersebut berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ $yJ¯RÎ) ߃̍ムß`»sÜø¤±9$# br& yìÏ%qムãNä3uZ÷t/ nourºyyèø9$# uä!$ŸÒøót7ø9$#ur Îû ̍÷Ksƒø:$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur öNä.£ÝÁtƒur `tã ̍ø.ÏŒ «!$# Ç`tãur Ío4qn=¢Á9$# ( ö@ygsù LäêRr& tbqåktJZB
( المائدة : 90-91 )
Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Q.S. al-Maidah: 90-91).

Berdasarkan penjelasan ayat-ayat al-Quran di atas, penulis dapat memahami bahwa tidak dijumpai penentuan pelanggaran jarimah khamar yang diancam dengan hukuman hudud. Namun berdaskan pemahaman terhadap ayat- ayat al-Quran tersebut para ulama dari keempat mazhab sepakat dalam menentukan bahwa terhadap pelaku pelanggaran jarimah diancam dengan hukuman cambuk.
Ketetapan hukuman cambuk yang disepakati oleh ulama tersebut berdasarkan dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah. Cerita ini dapat dilihat dari Imam Syafii memberitahukannya dari Ibnu Syhihab dari Qubaishah bin Dzuaib yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda “Jika seseorang minum khamar maka jilidlah ia, kemudian jika ia minum lagi maka jilidlah ia, kemudian jika ia minum lagi  maka bunuhlah ia. Lalu dibawalah seorang laki- laki yang telah minum khamar, maka ketiak itu Rasulullah langsung  menjilid laki-laki tersebut. Kemudian dibawa kedua kalinya, maka Beliaupun menjilidnya, akan tetapi beliau tidak menjatuhkan hukuman bunuh kepada peminum khamar tersebut. Dalam hal ini menurut Imam Syafi’i hadist tersebut membatalkan hukuman bunuh bagi si pelanggar jarimah minum khamar dan tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama.[40]
Praktek Rasullah dalam mengadili perkara jarimah khamar, di mana beliau menjatuhkan hukuman cambuk dengan jumlah tidak lebih dari 40 kali cambuk. Begitu juga Khalifah Abu bakar menetapkan hukuman cambuk bagi pelaku jarimah minum khamar sebanyak 40 kali. Namun pada masa khalifah Umar bin Khattab, pelaku jarimah minum khamar dijatuhi hukuman cambuk 80 kali, hal ini terjadi karena pada masa ‘Umar jumlah minum khamar dalam masyarakat meningkat. Sehingga Umar menambahkan dari 40 kali menjadi 80 kali cambukan terhadap pelaku minum khamar. Demikian pula pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib mempraktekkan 80 kali cambuk karena mengqiyaskan kepada ancaman jarimah qadzaf. Praktek Umar dan Ali mendapat dukungan dari Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Sementara Imam Syafi’i sependapat dengan praktek Rasulullah, yang tidak pernah menjatuhi hukuman cambuk terhadap pelanggar jarimah khamar lebih dari 40 kali dan juga praktek khalifah Abu Bakar. Akan tetapi Imam Syafi’i juga menyetujui hukuman cambuk sampai 80 kali, apabila hukuman tersebut dilakukan sebagai hukuman ta’zir. [41]
Orang yang hendak dijatuhi hukuman had didudukkan di atas tanah, lalu punggungnya dipukul dengan cambuk yang sedang, tidak keras dan ringan sebanyak delapan puluh kali. Wanita juga demikian, hanya badannya ditutupi dengan kain tipis yang menutupi auratnya dan tidak melindunginya dari cambuk.”[42]
7.     Jarimah Ta’zir
Ta’zir secara harfiah berarti membinasakan pelaku kriminal karena melakukan tindak pidana yang memalukan. Dalam ta’zir, hukuman itu tidak diterapkan dengan ketentuan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Hadits Rasulullah. Akan tetapi diserahkan kepada hakim yang akan memberikan hukuman kepada pelaku tindak pidana yang melanggar hukum Islam. Hakim juga diperkenankan untuk mempertimbangkan hukuman yang akan dikenakan kepada pelaku tindak pidana.  Salah satu bentuk  hukuman yang ada dalam hukuman ta’zir adalah hukuman cambuk. Namun hukuman cambuk yang ada dalam jarimah ta’zir berbeda dengan hukuman cambuk yang ada  dalam jarimah hudud.[43]
Hukuman cambuk yang terdapat dalam hudud adalah seperti perzinaan (untuk ghairu muhsan), qadzaf (menuduh orang yang berbuat zina). Hukuman cambuk dalam jarimah hudud ini sudah ditentukan batas maksimalnya baik dalam al-Quran maupun Hadis. Hakim tidak diberi kewenangan untuk memutuskan di luar dari al-Quran atau Hadis serta tidak mempunyai batas batas minimal. Sedangkan hukuman cambuk dalam jarimah ta’zir penentuan hukumannya adalah merupakan kewenangan hakim dan tidak ditentukan dalam Al-Quran dan Hadits Rasulullah SAW.[44]

D. Hikmah disyariatkanya Hudud
  Setiap pemeluk agama Islam wajib mentaati, mengamalkan dan menjalankan Syari'at Islam secara kaffah dalam kehidupan sehari-hari dengan tertib dan sempurna, baik melaui diri pribadi, keluarga, masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demi terwujudnya pelaksanaan Syari'at Islam dalam masyarakat, maka banyak hal yang mendasar yang harus dibenahi dan ditata ulang terlebih dahulu dan untuk itu diperlukan suatu aturan atau Undang-Undang yang menjadi pembatas terhadap berhasilnya pelaksanaan Syari'at Islam tersebut. 
Hudud merupakan bahgian dari pada syari’at Islam, maka hukuman hudud ini tentunya mempunyai hikmah yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam. Hukuman hudud ini semata-mata ditujukan untuk menegakkan kemaslahatan dalam kehidupan masyarakat. Hukuman hudud ini juga bukan untuk menyakiti atau merusak anggota tubuh para terpidana, akan tetapi untuk memberi peringatan kepada setiap pribadi muslim agar tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum Islam.[45]
Pelaksanan hukuman hudud bukan hanya sebagai hukuman yang diberikan di dunia, akan tetapi juga merupakan bagian dari pernyataan taubat, yang diharapkan dapat mengampuni dosa-dosa orang yang melakukan perbuatan maksiat di akhirat kelak. Disamping itu hukuman cambuk juga bertujuan agar para pelaku kemaksiatan dapat merenungi dan menyadari kesalahannya.[46]
Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk beribadah dan taat kepada-Nya, melaksanakan apa yang Dia perintah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, Dia telah menetapkan beberapa hukum demi untuk maslahat hambah-hambah-Nya, sebagaimana Dia menjanjikan surga bagi orang yang beriltizam terhadap syari'atnya dan neraka bagi mereka yang menyelisihinya. Apabila seorang hamba terlalu terburu-buru dan melakukan sebuah dosa, Allah buka baginya pintu taubat dan istighfar.
Akan tetapi jika seseorang bersikeras untuk melakukan maksiat kepada Allah dan menolak kecuali ingin menembus penghalang-Nya, melampaui batasan-Nya, seperti menjarah harta serta kehormatan orang lain, maka dia harus ditarik tali pelananya dengan menegakkan hukuman Allah Ta'ala; demi untuk merealisasikan keamanan serta ketenangan terhadap umat ini, dan seluruh hukuman merupakan Rahmat dari Allah dan kenikmatan bagi seluruhnya.
Kehidupan manusia akan berdiri tegak dengan memelihara lima hal yang darurat. Pelaksanaan hudud akan melindungi serta menjaga hal tersebut, dengan qishas jiwa manusia menjadi terjaga, dengan pendirian had terhadap pencuri harta akan terjaga, dengan pelaksanaan had  zina serta qodzaf kehormatan akan terjaga, dengan pelaksanaan had bagi pemabuk, akal akan terjaga, dengan pelaksanaan had, penjarahan keamanan serta harta dan jiwa akan terjaga, dan dengan pelaksanaan seluruh had seluruh agama akan terjaga olehnya.[47]
Hudud merupakan pembenteng bagi maksiat dan sebagai pembatas bagi dia yang menerimanya, karena yang demikian itu akan mensucikannya dari kotornya kejahatan serta dari dosa-dosanya, dan juga sebagai peringatan bagi selainnya untuk tidak terjerumus ke dalam perbuatan tersebut.[48]
Sesungguhnya Allah SWT., telah menjanjikan akan ada azad dan siksaan dihari kiamat yang diberikan kepada kepada orang-orang yang berbuat kemaksiatan dan aniaya. Ketika seseorang melakukan kemaksiatan dan kejahatan seperti membunuh, merampok, berzina, berkhalwat dan lain sebagainya. Tentunya perbuatan-perbuatan seperti itu akan merusak kehidupan sosial kemasyarakatan khususnya umat Islam itu sendiri. Maka dengan adanya hukuman hudud yang diberikan bagi orang yang melakukan kejahatan tersebut akan mengurangi perbuatan-perbuatan maksiat dan kejahatan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.[49]
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya hudud maka kehidupan manusia akan terjamin dari tangan penjahat. Jaminan yang dimaksud adalah dengan “adanya jaminan kehidupan” sebagai akibat pelaksanaan qishash adalah melestarikan kehidupan masyarakat, bukan kehidupan sang terpidana. Sebab, bagi dia adalah kematian. Sedangkan bagi masyarakat yang menyaksikan penerapan hukuman tersebut bagi orang-orang yang berakal tentulah menjadi tidak berani membunuh, sebab konsekuensi membunuh adalah dibunuh. Demikian pula halnya dengan hukuman-hukuman lainnya, sebagai bentuk pencegahan terjadinya kriminalitas yang merajalela.




[10] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, ( Bandung: Alma’rif, 1987), hal. 30.

[11] Ibid., hal. 30.

[12] Rusydi Sulaiman, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 289.
[13] Hassan Shadily, Ensiklopedi Islam, Jil. VI, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1983), hal. 129.
[14]Ikhsan Yasin, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000, hal. 5.

[15]Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hal. 167.

[16]R. Soesilo, KUHP dan Penjelasannya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 36.

[17] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah..., hal. 35.

[18] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. K. H. Ali Yafie, Bandung: al-Ma’arif, t.t., hal. 112.
[19] Abdul Ghani Azmi Haji Idris, Himpunan Hadits-Hadits Shahih, (Kuala Lumpur: Arrisalah, 2005), hal. 207. 
[20] Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam, Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2002), hal. 875.
[21] Ahmad Wardi, Hukum Pidana islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 170.
[22]Abu Qasem, al-Bajuri, Jil. II, (Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Toha Putra, t.t.), hal. 293.
[23] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 60.
[24] Rusydi Sulaiman, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah..., hal. 288.

[25] Ibid., hal. 295.
[26] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimias, 1984), hal. 123.
[27] Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,... hal.278.

[28] Faizal Ismail, Undang-Undang  Jinayah Islam, (Jakarta: Pustaka Islam, 1996), hal. 192.

[29] Khudori Soleh, Fikih Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, 2002 ), hal. 31.

[30]  Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,... hal.208. 
[31]  Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam, Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim,... hal. 13.
[32] Dede Rosyada, Hukum Islam Dan Pranata Sosial, (Jakarta: Raja Grafika, 1995), hal. 67.
[33] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,... hal. 288.

               [34] Al Yasa’ Abu Bakar, Sekilas Syariat Islam Di Aceh..., 15.
[35]  Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,... hal. 289.

[36] Yusran Hadi, Sanksi Kriminal Dalam Islam, (Banda Aceh: Acehong), hal. 13.
[37]  Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,... hal. 17. 
[38] Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim, (Jakarta: Darul Fikr, 1984), hal. 55.
               [39]   Yusran Hadi, Sanksi..., hal. 16.
               [40] H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 25. 

               [41] Ibid., hal. 26.

               [42] Ahmadi Mushthfa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra, 1993), hal. 208.
               [43]Imam Al-Mawardi, Hukum-hukum penyelenggaraan Negara dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Darul Falah, 2006), hal 390.

               [44] Ibid., hal. 31.
[45] Wahbah Zuhaili.  Al-Figh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1989). hal.. 349.
               [46] Ibid., hal. 350.

[47] Syekh Ali Ahmad al-Jarjawi, Indahnya Syari’at Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hal. 567.

[48] Ibid., hal. 568.
[49] Ibid., hal. 570.