BAB
II
HUDUD
DAN PERMASALAHANNYA
A. Pengertian
dan Landasan Hudud
Kata hudud adalah bentuk jamak dari kata hadd. “Pada dasarnya hadd
berarti pemisah antara dua hal atau yang membedakan antara sesuatu dengan yang
lain.”[10] Secara bahasa hadd berarti
cegahan, penekanan, atau larangan. Oleh karena itu, hudud merupakan suatu
peraturan yang membatasi undang-undang Allah berkenaan dengan hal-hal halal dan
haram.[11]
Hukum Allah dibagi dalam dua kategori. Pertama undang-undang yang
menjelaskan kepada manusia berhubungan dengan makanan, minuman, perkawinan,
penceraian dan lain-lain yang diperbolehkan dan yang dilarang. kedua,
hukuman-hukuman yang ditetapka atau yang diputuskan agar dikenakan kepada
seseorang yang melakukan hal yang dilarang. Dalam hukum islam, kata “hudud”
dibatasi untuk hukuman karena tindak pidana yang disebutkan oleh Al-Quran
ataupun sunnah nabi SAW. Sedangkan hukuman lain ditetapkan dengan pertimbangan
hakim atau disebut dengan ta’zir.[12]
Hukuman-hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku-pelaku kemaksiatan disebut
hudud, Karena hukuman tersebut dimaksudkan untuk mencegah agar orang yang dikenai hukuman itu tidak
mengulangi perbuatan yang menyebabkan dia dihukum. Sebagaimana firman Allah
yang berfirman:
3 y7รน=ร?
รrรรฃn «!$# xsรน $ydqรง/tรธ)s?
( ุงูุจูุฑุฉ : 187)
Artinya: “Itulah larangan Allah, maka janganlah
kamu mendekatinya”. (Q.S.Al-Bakarah ayat 187 ).
Menurut Hassan Shadily secara bahasa hukum diartikan hukum “menetapkan
sesuatu atas sesuatu atau tidak menetapkannya (isbathu syai’in ‘ala syai’in
aw nafyun ‘anhu)”, sedangkan menurut istilah hukum diartikan efek yang
timbul dari perbuatan yang diperintahkan Allah SWT.[13] Akan tetapi pengertian
hukum menurut ushul fiqh adalah khitab atau perintah Allah yang menuntut
mukallaf untuk mengerjakan atau memilih antara mengerjakan atau tidak
mengerjakan, atau menjadi sesuatu menjadi sebab, syarat, atau penghalang bagi
adanya yang lain.[14]
Namun demikian, pada prinsipnya hukum merupakan kenyataan dan pernyataan
yang beraneka ragam untuk menjamin adanya penyesuaian, kebebasan dan kehendak
seseorang dengan orang lain.[15] Berdasarkan asumsi ini
pada dasarnya hukum mengatur hubungan antara manusia di dalam masyarakat
berdasarkan prinsipnya yang beraneka ragam pula. Oleh karena itu, setiap di
dalam masyarakat wajib taat dan mematuhinya. Tetapi apabila kata hukum berubah
menjadi kata hukuman, maka akan mengandung pengertian sanksi yang diberikan
kepada seseorang yang telah melaksanakan pelanggaran hukum baik hukum perdata
maupun hukum pidana.[16]
Dalam tatanan pendidikan Islam Allah menyuruh kepada umat Islam untuk
senantiasa menegakkan Syari'at Islam di dalam kehidupannya sehari-hari, karena
dengan tegaknya syari’at Islam inilah umat Islam dapat merasakan kebahagiaan
hidup di dunia dan di akhirat kelak. Namun apabila syari’at Allah ini tidak
lagi tegak di muka bumi ini, maka kebahagiaan dan kesejahteraan hidup tidak
akan dapat dirasakan oleh umat Islam. Dengan demikian umat Islam harus senantiasa selalu berusaha dengan
sekuat tenaga untuk menegakkan hukum Allah di atas permukaan bumi yang fana
ini. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi:
`รค3tFรธ9ur รถNรค3YรiB ×p¨Bรฉ& tbqรฃรฃรดt n<ร) รรถsรธ:$# tbrรฃรฃBรน'tur ร
$rรฃ÷รจpRรนQ$$ร/ tbรถqyg÷Ztur ร`tรฃ รs3YรJรธ9$# 4 y7ร´¯»s9'rรฉ&ur รฃNรจd cqรsร=รธรฟรJรธ9$# (ุขู ุนู
ุฑุงู: ูกู ูค)
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah
dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali-‘Imran)
Ayat di atas, dapat dipahami bahwa Allah SWT., menyuruh kepada manusia
untuk senantiasa menegakkan ‘amar makruf dan mencegah segala bentuk-bentuk
kemungkaran di atas permukaan bumi ini. Perbuatan makruf adalah segala
perbuatan yang mendekatkan manusia kepada Allah, sedangkan perbuatan mungkar
ialah segala perbuatan yang menjauhkan manusia dari pada-Nya.
Tegaknya hukum Allah
juga merupakan suatu dambaan seluruh umat Islam yang beriman dan taat
kepada agamanya. Keimanan seorang hamba dapat dibuktikan dengan ketaatan dan kepatuhannya dalam mengamalkan hukum
Islam. Salah satu aspek hukum Islam yang harus dilaksanakan adalah hukuman
hudud. Hukuman hudud ini digunakan dalam mengeksekusi seorang
terhukum yang melanggar suatu peraturan hukum Islam.[17]
Menurut para fuqaha mengatakan bahwa pelanggaran syari'at Islam seperti
perzinaan diwajibkan melaksanakan hukum syari'at agar pelakunya dapat menebus
dosa-dosa yang telah dilakukannya. Akan tetapi untuk melaksanakan hukum
syari'at Islam, tentunya memerlukan berbagai pertimbangan terhadap kondisi
terhukum, karena itu, hukuman hudud dilaksanakan bukan untuk menyiksa seseorang,
tetapi sebagai pedoman bagi yang lainnya untuk tidak lagi mengulangi prilaku
kejahatan yang telah diharamkan dalam Islam.[18] Hal ini sesuai dengan
Hadits Rasulullah SAW., berikut:
ุนู
ุฃุจู ูุฑูุฑุฉ ุฑุถู ุงููู ุนูู ุฃู ุฑุณูู ุงููู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณّูู
ูุงู: ุญุฏ ูุนู
ู ุจู ูู
ุงูุฃุฑุถ ุฎูุฑ ูุฃูู ุงูุฃุฑุถ ู
ู ุฃู ูู
ุทุฑูุง ุฃุฑุจุนูู ุตุจุงุญุง (ุญุณู ุตูุญูุญ ุฅุจู ู
ุงุฌู )
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Satu hukuman had yang diamalkan di bumi adalah lebih baik bagi
penduduknya dari pada mereka dihujani selama empat puluh hari”
(Hasan ; Shahih Ibnu Majah).”[19]
Dalam pelaksanaan hukuman hudud orang yang paling berwenang adalah Imam,
kepala negara, atau wakilnya (aparat pemerintah yang mendapat tugas darinya). Sebab,
di masa Nabi SAW Beliaulah yang melaksanakannya, demikian pula para
Khalifahnya. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
ุนู ุฃูุณ ุจู ู
ุงูู ูุงู ูุฏู
ุฃูุงุณ ู
ู ุนูู ุฃู ุนุฑููุฉ
ูุงุฌุชููุง ุงูู
ุฏููุฉ ูุฃู
ุฑูู
ุงููุจู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
ุจููุงุญ ูุฃู ูุดุฑุจูุง ู
ู ุฃุจูุงููุง ูุฃูุจุงููุง ููุทูููุง ููู
ุง ุตุญّูุง ูุชููุง
ุฑุงุนุนู ุงููุจู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
ูุงุณุชุงููุง ุงููุนู
ุงุก ูุฌุงุก ุงูุฎุจุฑ ูู ุฃูู ุงูููุงุฑ ูุจุนุซ
ูู ุฃุซุงุฑูู
ููู
ุง ุฃุฑุชูุน ุงูููุงุฑ ุฌูุก ุจูู
ูุฃู
ุฑ ููุทุน ุฃูุฏููู
ูุฃุฑุฌููู
ูุณู
ุฑุช ุฃุนูููู
ูุฃูููุง ูู ุงูุญุฑุฉ ูุณุชุณููู ูุงู ุฃุจู ููุงุจุฉ ููููุงุก ุณุฑููุง ููุชููุง ูููุฑูุง ุจุนุฏ ุฅูู
ุงููู
ูุญุงุฑุจูุง ุงููู ูุฑุณููู (ุฑูุงู ูุจุฎุงุฑู)
Artinta: “Dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia
berkata: Ada beberapa orang dari UKL atau dari Urainah yang jatuh sakit karena
tidak cocok berada di Madinah. Maka Nabi SAW memerintahkan agar mereka berada
di tempat penggembalaan unta yang sedang diperah air susunya dan memerintahkan
agar mereka meminum air kencing dan air susunya. Mereka pun pergi, setelah
sehat mereka justru membunuh penggembala Nabi Muhammad SAW dan mencuri
unta-untanya. Berita ini sampai (kepada beliau) pada pagi hari, maka beliau
mengirim utusan untuk mengejar mereka. Pada tengah hari mereka didatangkan, lalu
beliau memerintahkan agar tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang, mata
mereka dicongkel dengan besi panas, lalu mereka dibiarkan tergeletak di
hamparan batu hitam di atas bukit dan dibiarkan mencari minum sendiri tanpa
diberi minum. Abu Qilabah berkata: Mereka mencuri dan membunuh setelah beriman,
memerangi Allah dan Rasul-Nya.”[20] (H.R. Bukhari).
Hadits di atas, dapat
dipahami bahwa orang-orang Badui itu telah melakukan perbuatan yang sangat
keji, yang menunjukkan keburukan hati dan kejahatan perangai mereka. Mereka
murtad dari Islam, maka balasannya adalah hukuman mati, dan mereka membunuh
penggembala yang sedang mengemban tugas dan mencongkel matanya tanpa suatu
alasan. Mereka mencuri unta milik orang-orang muslim, mereka memerangi Allah
dan Rasul-Rasul-Nya dengan cara merampas, melakukan kejahatan di muka bumi dan
mengingkari nikmat Allah, yaitu kesehatan sebelum sakit, gemuk setelah kurus.
Dengan begitu mereka layak mendapat hukuman yang selaras dengan tindakan
mereka, agar dapat menjadi peringatan bagi siapa pun yang hatinya tidak
dimasuki iman dari kalangan orang-orang awam.
Sesungguhnya Allah Maha
Pemberi taufik, Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Mereka telah mencungkil
kedua mata penggembala dan menelantarkannya di bawah terik mata hari sehingga
meninggal dalam keadaan kehausan. Maka Rasulullah SAW melakukan hal yang sama
dengan tindakan mereka sebagai qishash, bahkan seorang pembunuh dijatuhi
hukuman mati dengan cara yang dia lakukan. Sebagaimana firman Allah dalam surat
An-Nahl yang berbunyi:
÷bร)ur รณOรงGรถ6s%%tรฆ (#qรง7ร%$yรจsรน ร@÷VรJร/ $tB OรงFรถ6ร%qรฃรฃ ¾รmร/ ( รปรรตs9ur ÷Lรคn÷y9|¹ uqรgs9 ×รถyz รบรฏรร9»¢ร=รj9
( ุงููุญู : 126)
Artinya: “Dan jika kalian memberi balasan, maka
balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang dilimpahkan kepada kalian
(QS. An-Nahl: 126)
Ayat di atas, dapat
dipahami bahwa Allah SWT telah menetapkan hukum-hukum qishas bagi orang-orang
yang melakukan pembunuhan dengan tanpa alasan ketentuan syari’at.
Hukum hudud (pidana, sanksi, dan
pelanggaran) dalam peraturan Islam sebagai “pencegah” dan “penebus”. “Sebagai
pencegah, karena ia berfungsi mencegah manusia dari tindakan kriminal; dan
sebagai penebus, karena ia berfungsi menebus dosa seorang muslim dari azab
Allah di hari kiamat. Keberadaan uqubat dalam Islam, yang berfungsi
sebagai pencegah.”[21]
Al-Qur'an sebagai sumber hukum pertama
dalam Islam, tentunya sangat perlu dijadikan rujukan dasar dalam penetapan sebuah hukum terutama yang
berkaitan dengan persoalan hukuman cambuk.
Pelaksanaan hukuman
cambuk dalam pendidikan Islam merupakan salah satu bentuk hukuman yang
diberikan kepada orang yang melanggar hukum Islam. Salah satu dalil Al-Quran
yang menjelaskan tentang adanya hukuman cambuk adalah ayat Al-Qur’an surat An-Nur ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut:
รจpuรR#¨9$# รT#¨9$#ur (#rร $ร#รด_$$sรน ¨@รค. 7รnยบur $yJรฅk÷]รiB sps($รB ;ot$รน#y_ ( wur /รค.รตรจ{รน's? $yJรkร5 ×psรนรน&u รรป รรปรฏร «!$# bร) ÷LรครชZรค. tbqรฃZรB÷sรจ? «!$$ร/ รQรถquรธ9$#ur รร
zFy$# ( รดpkรด¶uรธ9ur $yJรฅku5#xtรฃ ×pxรฟร¬!$sร z`รiB tรปรผรZรB÷sรJรธ9$# (ุงูููุฑ: ูข)
Artinya: Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus
kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat,
dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari
orang-orang yang beriman.(an-Nur: 2)
Berdasarkan
ayat di atas, dapat dipahami bahwa hukum dikhususkan bagi yang melakukan
perbuatan zina dengan dicambuk sebanyak seratus kali cambukan bagi yang belum
menikah, dan dera sampai mati dengan ditanam persimpangan jalan bagi yang telah
menikah.[22]
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat
dipahami bahwa hudud dalam Pandangan Islam adalah suatu hukuman yang telah
ditentukan oleh Allah dan Rasulnya terhadap orang-orang yang melakukan
perbuatan yang melanggar ketentuan Allah. Hukuman hudud tersebut bersumber dari
Al-Quran dan Hadits Rasulullah dan sudah sering dipraktekkan oleh para sahabat
Nabi SAW.
B.
Jenis-jenis Hudud
Hukum kepidanaan dimaksud jarimah,
jarimah hudud adalah “Tindak kejahatan yang dilakukan oleh seseorang
atau lebih yang menjadikan pelakunya dikenakan sanksi had.”[23]
Secara umum Syari'at Islam di bidang
hukum memuat norma hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat/bernegara dan
norma hukum yang mengatur moral atau kepentingan individu yang harus ditaati
oleh setiap orang. Ketaatan terhadap norma hukum yang mengatur moral sangat
tergantung pada kualitas iman, taqwa dan hati nurani seseorang, juga disertai
adanya sanksi duniawi dan ukhrawi terhadap orang yang melanggarnya.
Dalam sistem hukum Islam terdapat dua
jenis sanksi; yaitu sanksi yang bersifat definitif dari Allah dan Rasul-Nya dan
sanksi yang ditetapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Kedua jenis sanksi tersebut mendorong masyarakat untuk patuh pada
ketentuan hukum.
Hukuman atau hukum
pidana dalam Islam disebut “al-Uqubaat” dari kata “al-Uqubah” meliputi hal-hal
yang merugikan atau tindak kriminal. Al-Uqubaat sama dikenakan pada muslim dan
non muslim di negara muslim. Demikian pula muslim tetap akan dihukum apabila
melakukan tindak pidana sekalipun hal itu dilakukan jauh dari negara Islam,
karena hal ini adalah tindak kriminal yang dilakukan bertentangan dengan hukum
Allah. Hukuman tersebut diberikan setelah ia kembali ke tempatnya yang muslim.
Dengan demikian, seorang hakim harus berpegang pada hukum yang telah ditetapkan
oleh Allah dalam Al-Quran dan juga tidak bertentangan dengan sunnah Rasulullah
SAW. Apabila hal ini tidak dijalankan maka dia akan menjadi hakim yang dilaknat
oleh Allah dan Rasul-Nya.[24]
Salah satu bentuk
hukuman dalam hukum Islam yang harus ditegakkan oleh hakim adalah hukum hudud. Penerapan
hukuman hudud ini
menjadi harapan dapat menjadi sebuah hukuman yang dapat memberikan efek jera
bagi si pelaku tindak pidana.
Tindak pidana yang dapat
dihukum dengan syari’ah yaitu tindakan yang mempengaruhi masyarakat. Al-Quran
telah merincikannya, seperti pembunuhan, perampokan, pencurian, dan perzinaan.
Dalam Al-Quran Allah telah menjelaskan ketentuan umum bagi pelaku kejahatan.
Sebagai mana firman Allah dalam surat
Al-Syuraa ayat 40, yang berbunyi:
$uZ¯=yรจs9(#รคtรty_ur
7py¥รhy
×py¥รhy
$ygรจ=÷WรiB
( รด`yJsรน
$xรฟtรฃ
yxn=รด¹r&ur
¼รงnรฃรด_r'sรน
n?tรฃ
«!$#
4 ¼รงm¯Rร)
w
=รtรค
tรปรผรJร=»©ร 9$# (ุงูุดูุฑู: 40 )
Artinya: Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan
yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas
(tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim.
(Q.S. Al-Syuraa: 40)
Adapun jenis-jenis
hukuman hudud yang terdapat dalam syari’at Islam adalah:
a. Hukuman bagi
pezina dirajam sampai mati bagi yang sudah menikah, dan dicambuk 80 kali bagi
yang belum menikah
b. Hukuman karena
pencurian dan perampokan dengan potong tangan.
c. Hukuman bagi
yang menuduh orang lain melakukan perzinaan dengan tanpa bukti yang jelas.
d. Hukuman mati
bagi orang yang murtad.
e. Hukuman yang
dituntut karena melakukan pembunuhan, penganiayaan sampai mati, atau yang
mengakibatkan cacat tubuh.
f. Hukuman bagi
orang yang minum khamar
g. Jarimah ta’zir[25]
C. Syarat dan
Cara Pelaksanaannya
1.
Syarat Penerapan Hudud:
- Pelaku kejahatan adalah seorang mukallaf yaitu baligh dan berakal.
- Pelaku kejahatan tidak dipaksa.
- Pelaku kejahatan mengetahui pelarangannya.
- Kejahatannya terbukti ia yang melakukannya tanpa ada subhat.
2. Cara Pelaksanaannya
1.
Perzinaan
“Perzinaan adalah Hubungan kelamin
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak
terikat dalam hubungan perkawinan.
Perbuatan zina merupakan kejahatan yang paling besar di mana pelakunya
harus dirajam berat. Rajam hukuman yang diberikan berbeda-beda sesuai dengan
orang yang melakukannya, yaitu jejaka atau gadis, atau orang yang sudah pernah
berkeluarga yang disebut muhsan.”[26]
Syarat seseorang disebut muhsan adalah merdeka, bukan budak, dewasa, berakal,
sudah pernah menikah dengan pernikahan yang sah, dan sudah pernah bersetubuh
dengan suami atau istrinya. Jika orang yang memenuhi lima syarat ini kemudian
berbuat zina, maka ia harus dihukum rajam, dilempari batu sampai mati. Adapun
jejaka atau gadis yang belum memenuhi syarat di atas jika ia melakukan zina, maka
ia cukup dihukum cambuk 100 kali. Sebagaimana firman Allah SWT:
รจpuรR#¨9$#
รT#¨9$#ur (#rร $ร#รด_$$sรน ¨@รค. 7รnยบur $yJรฅk÷]รiB sps($รB
;ot$รน#y_ ( wur /รค.รตรจ{รน's?
$yJรkร5 ×psรนรน&u
รรป
รรปรฏร «!$# bร) ÷LรครชZรค. tbqรฃZรB÷sรจ? «!$$ร/ รQรถquรธ9$#ur
รร
zFy$# ( รดpkรด¶uรธ9ur $yJรฅku5#xtรฃ
×pxรฟร¬!$sร z`รiB tรปรผรZรB÷sรJรธ9$#
(
ุงูููุฑ : 2)
Artinya:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah dari tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari kiamat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman ( QS.An-Nur: 2).
Orang yang berzina dihukum dengan cara, dibuatkan galian tanah dengan kedalaman hingga dadanya, kemudian
ia di masukan ke dalam dan dirajam dengan batu hingga meninggal dunia dan
disaksikan imam atau walinya dan sekelompok dari kaum muslimin minimal empat
orang.”[27]
Perzinaan yang bisa dikenakan hukuman rajam atau cambuk adalah jika
perbuatan tersebut terbukti disaksikan empat orang saksi laki-laki yang bisa
dipercaya, dan mereka benar-benar melihat perbuatan tersebut dengan mata kepala.
Zina yang dimaksudkan di sini adalah
seorang laki-laki dan seorang wanita yang melakukan persetubuhan tanpa
dilandasi pernikahan.
2. Pencurian dan
Perampok
Pencurian
adalah “Orang yang mengambil benda barang milik orang lain secara diam-diam
untuk dimiliki. Pencurian yang dimaksud di sini tergolong kejahatan yang paling
berat, pelakunya diancam dengan hukuman potong tangan sebagai hukuman di dunia,
dan terancam adzab sebagai hukuman di akhirat.”[28]
Perampok adalah “Mengambil barang orang lain dengan cara anarkis. Misalnya
merampok, mengancam atau menakut-nakuti orang.”[29] Sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
รค-ร$¡¡9$#ur รจps%ร$¡¡9$#ur (#รพqรฃรจsรรธ%$$sรน
$yJรgtร÷r& Lรค!#ty_ $yJร/
$t7|¡x. Wx»s3tR z`รiB «!$# 3 ยช!$#ur รฎรtรฃ รOร
3ym ( ุงูู
ุงุฆุฏุฉ : 38 )
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri potong tangan keduanya ( sebagai ) bagi apa yang kerjakan, dan sebagai
siksaan dari Allah (QS. Al-Maidah:
38).
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang-orang yang melanggar dan angkuh
terhadap ketentuan-ketentuan Rasul SAW dan yang membuat kerusakan di muka bumi
ini yaitu yang melakukan pencurian, perampokan dengan menakut-nakuti masyarakat
maka mereka dibunuh tanpa ampun jika mereka membunuh, tanpa mengambil harta, atau
disalib jika mereka merampok dan membunuh, untuk menjadi pelajaran bagi yang
lainnya. Dipotong tangan kanan bagi yang merampas harta tanpa membunuh, dan
dipotong kaki kiri mereka dengan bertimbal balik, karena ia telah menimbulkan
rasa takut dalam masyarakat.”[30]
Jika yang dipotong adalah tangan kanan, maka dimulai dari persendian
telapak tangan, kemudian dicelupkan dalam minyak yang mendidih untuk menutup
mulut urat agar darah berhenti mengalir. Di sunahkan potongan tangan digantung
beberapa saat ke leher pencuri tersebut
untuk dijadikan ibrah.
Maksud dari hukum ini, agar umat Islam terpelihara dari tangan para
penjahat ,karena dengan hukuman tersebut diharapkan agar pelakunya jera untuk
mengulanginya kembali. Dan orang yang belum melakukan perbuatan ini, takut
untuk melakukannya karena khawatir akan kehilangan anggota tubuhnya. Hukuman
ini harus dijalankan kalau barang yang dicurinya adalah barang-barang yang
bernilai ekonomi, dan bisa dikonsumsi serta mencapai nisab, yaitu ¼ dinar emas
atau tiga dirham perak. Hadis yang diriwayatkan:
ุนู ุนุงุฆุดุฉ ุฑุถู ุงููู ุนููุง ูุงูุช ูุงู ุฑุณูู ุงููู ุตูู
ุงููู ุนููู ูุณูู
ููุทุน ุงูุณุงุฑู ูู ุฑุจุน ุฏููุงุฑ ูุตุงุนุฏุง (ุฑูุงู ุงูุจุฎุงุฑู ู ู
ุณูู
)
Artinya: “Diriwayatkan dari Sayyidatina Aisyah ra.
Katanya: Rasulullah saw memotong tangan seseorang yang mencuri harta yang
senilai satu seperempat dinar keatas. (H.R. Bukhari dan Muslim)”[31]
Kesimpulan yang
dapat diambil dari ayat dan hadis di atas adalah Sanksi hukum bagi laki-laki
dan perempuan yang mencuri adalah potong tangan sebagai pembalasan bagi yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
- Seorang pencuri tidak akan mencuri, jika ia berada dalam keimanan yaitu iman yang sempurna.
- Rasulullah SAW. Memotong tangan seseorang yang mencuri harta senilai satu perempat ke atas.
- Rasulullah SAW. Pernah memotong tangan seorang yang mencuri sebuah perisai yang bernilai sebanyak tiga dirham.
Pencuri yang dimaksud di sini adalah mengambil harta orang lain secara
diam-diam dan tersembunyi bermaksud untuk dimiliki.
3. Menuduh orang
berzina (Alqadzfu)
Alqadzfu adalah “Tuduhan
terhadap seseorang bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan zina. Perbuatan ini
sangat diharamkan dalam rangka memelihara kehormatan dan martabat manusia, yang
bisa mengganggu dengan tuduhan perbuatan nista tersebut. Terutama jika
ditujukan kepada orang yang baik dan punya kedudukan mulia di tengah-tengah
masyarakatnya.”[32]
Sebagaimana firman Allah yang berbunyi :
tรปรฏร%©!$#ur tbqรฃBรถt รM»oY|รรณsรJรธ9$# §NรจO
รณOs9
(#qรจ?รน't รpyรจt/รถr'ร/
uรค!#ypkร รณOรจdrรร=รด_$$sรน tรปรผรZ»uKrO Zot$รน#y_
wur
(#qรจ=t7รธ)s? รถNรงlm; ¸oy»pky #Yt/r& 4 y7ร´¯»s9'rรฉ&ur รฃNรจd
tbqร )ร
¡»xรฟรธ9$# ( ุงูููุฑ : 4 )
Artinya: “Orang-orang yang menuduh wanita-wanita
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang
fasik. (QS. An-Nur: 4)
Dalam memahami ayat di atas, sebagian mufassirin memahami
bahwa turunya ayat 4 surat an-Nur tersebut mempunyai kaitan dengan kasus ifik,
yaitu munculnya tuduhan perzinaan terhadap Siti Aisyah istri Rasullah Saw.
Namun menurut al-Qurthubi dan ath-Thabari bawah sebab turunnya ayat 4 Surat
an-Nur tersebut sehubungan dengan tuduhan terhadap seorang perempuan berbuat
zina secara umum, dan bukan khusus karena kasus Aisyah Ra. Ayat tersebut
merupakan ketetapan hukum dari Allah terhadap pelaku jarimah qadzaf.[33]
Di dalam rancangan Undang- undang tentang pidana Had
Qadzaf Mesir, pasal 9 ditentukan terhadap penuduh zina dijatuhi hukuman cambuk
sebanyak 80 kali. Namun bagi pelaku jarimah qadzaf yang belum mencapai usia
dewasa (18 tahun), jumlah hukuman cambuk bervariasi. Bagi pelaku yang telah
berumur tujuh tahun, maka hakim menyerahkan untuk dibina oleh orang tuanya atau
salah seorang dari mereka, atau kepada walinya. Sedangkan Bagi pelaku yang telah berumur
10 tahun, tapi belum mencapai usia 15 tahun, maka dicambuk dengan tongkat
paling banyak 20 kali. Bagi pelaku yang telah mencapai umur 15 tahun tapi belum
mencapai 18 tahun, dihukum dengan hukuman cambuk paling sedikit 10 kali dan
paling banyak 40 kali.[34]
Orang-orang baik laki-laki maupun wanita menuduh wanita-wanita yang baik
berbuat zina, kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi pria yang
menyaksikan kebenaran tuduhannya di depan pengadilan, maka cambuklah mereka
melalui penguasa kamu sebanyak 80 kali cambuk. Jika penuduhnya orang-orang
merdeka, sedang kalau hamba sahaya cukup 40 kali cambuk.”[35]
Alqadzfu (menuduh orang
berzina) adalah wanita atau laki-laki yang menuduh wanita yang baik-baik
berbuat zina dan tidak saksi yang memang benar-benar melihat perbuatan
tersebut.
4. Murtad (Riddah)
Murtad adalah “Kembalinya seorang muslim yang berakal dan baligh untuk
memilih keyakinan agama lain atas dasar pilihannya bukan paksaan. Dari
pengertian tersebut anak-anak yang menyatakan memilih agama berbeda dengan
agama orang tuanya tidak termasuk murtad, begitu juga orang gila. Orang yang
karena terpaksa harus meninggalkan keyakinan karena diancam dan membahayakan
diri dan keluarganya dengan ancaman berat sehingga ia harus menyelamatkan diri
memeluk agama lain, juga tidak termasuk murtad”[36].
Karena, walaupun dia hidup dan
berada pada sistem yang berlaku di lingkungan pemeluk agama lain dan secara
formal menjadi anggota yang sah dari masyarakatnya. Namun demikian, besar
kemungkinan keyakinannya itu tetap tidak berubah. Jika pada suatu saat dia akan
kembali kepada ketentuan dalam ajaran islam. Sebagaimana firman Allah yang
berbunyi:
`tB
txรฟ2
«!$$ร/
.`รB ร÷รจt/
รฟ¾รmรZ»yJร)
wร) รด`tB onรรฒ2รฉ& ¼รงmรง6รน=s%ur
BรปรรตyJรดรรฃB ร`»yJM}$$ร/
`ร
3»s9ur `¨B yyu°
รรธรฟรค3รธ9$$ร/
#Yรด|¹ รณOรgรธn=yรจsรน
ร=รxรฎ
รรiB «!$# รณOรgs9ur
รซU#xtรฃ รOรร tรฃ (ุงููุญู :106)
Artinya: “Barang siapa yang kafir kepada Allah
sesudah ia beriman, kecuali orang yang dipaksa kafir pada hatinya tetap tenang
dalam beriman (dia tidak berdosa) akan tetapi orang yang melapangkan dadanya
untuk kekafiran maka kemurkaan Allah menimpahnya dan baginya azab yang pedih
(QS. An-Nahl: 106).
Jika orang murtad telah dibunuh, maka
ia tidak dimandikan, tidak disalatkan, tidak dimakamkan di pemakaman kaum
muslimin, dan hartanya tidak boleh diwarisi namun menjadi fay’i kaum muslimin
kemudian digunakan untuk kemaslahatan-kemaslahatan umum.”[37] Sebagaimana firman Allah
yang berbunyi:
wur รe@|รรจ? #n?tรฃ
7tnr&
Nรฅk÷]รiB |N$¨B
#Yt/r& wur รถNร )s?
4n?tรฃ
รฟ¾รnรรถ9s% ( รถNรฅk¨Xร) (#rรฃxรฟx. «!$$ร/
¾ร&ร!qรuur (#qรจ?$tBur รถNรจdur
cqร )ร
¡»sรน ( ุงูุชูุจู : 84 )
Artinya: Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan
(jenasah) yang mati di antara mereka dan janganlah engkau berdiri (mendoakan)
di kuburannya. Sesungguhnya mereka mati dalam keadaan fasik (QS. At-Taubah: 84)
5. Pembunuhan.
Pembunuhan adalah “Suatu aktivitas
yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang
atau beberapa orang meninggal dunia.
Pembunuhan
meliputi:
1.
Pembunuhan sengaja (amd) adalah
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk membunuh orang lain
dengan menggunakan alat yang layak untuk membunuh.
2.
Pembunuhan Tidak Disengaja (khata)
adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak ada unsur
kesengajaan yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
3.
Pembunuhan Semi Sengaja (syibhu
Al-amdi) adalah perbuatan yang disengaja dilakukan oleh seseorang kepada orang
lain dengan tujuan mendidk. Misalnya, seorang guru memukul penggaris di kaki
seorang muridnya, tiba-tiba muridnya yang dipukul itu meninggal dunia, maka
perbuatan guru tersebut disebut sebagai pembunuhan semi sengaja”[38].
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 178, yang
berbunyi:
$pkr'¯»t tรปรฏร%©!$# (#qรฃZtB#uรค |=รGรค.
รฃNรค3รธn=tรฆ รร$|รร)รธ9$# รรป n=÷Fs)รธ9$# ( รงtรธ:$#
รhรงtรธ:$$ร/ รรถ6yรจรธ9$#ur รรถ7yรจรธ9$$ร/
4รs\RW{$#ur 4รs\RW{$$ร/
4 รด`yJsรน
uร
"รฃรฃ
¼รฃ&s!
รด`รB รmร
zr& รรครณรx«
7รญ$t6รo?$$sรน
ร
$rรฃ÷รจyJรธ9$$ร/
รญรค!#yr&ur รmรธs9ร) 9`»|¡รดmร*ร/
3 y7ร9ยบs ×#รรฟรธrB
`รiB รถNรค3รn/§
×pyJรดmuur 3 ร`yJsรน
3ytGรดรฃ$# y÷รจt/
y7ร9ยบs ¼รฃ&s#sรน รซ>#xtรฃ
รOร9r&
(
ุงูุจูุฑุฉ : 178 )
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang mereka dengan orang mereka, hamba
dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang
baik, dan (hendaklah yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang
baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa
yang sangat pedih (QS. Al-Baqarah: 178).”
Ayat di atas, dapat dipahami bahwa Allah SWT., telah mewajibkan qishas
bagi orang-orang yang melakukan pembunuhan. dengan demikian qishas merupakan
salah satu bentuk dari pada hukuman hudud.
6. Minum-minuman keras (khamar)
Khamar adalah” Minuman yang
memabukkan. Minuman yang terbuat dari biji-bijian atau buah-buahan yang melalui
proses begitu rupa sehingga mencapai kadar minuman yang memabukkan.”[39]. Al-Quran telah mengharamkan minuman khamar,
karena minum khamar dapat merusak moral dan kesehatan manusia. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat 219 Yang berbunyi:
y7tRqรจ=t«รณ¡o รรtรฃ รรดJyรธ9$# รร
£÷yJรธ9$#ur ( รถ@รจ% !$yJรgรรน รNรธOร) ×ร72 รรฌรรฟ»oYtBur ร¨$¨Z=ร9 !$yJรgรJรธOร)ur รงt9รฒ2r& `รB $yJรgรรจรธรฟ¯R 3 tRqรจ=t«รณ¡our #s$tB tbqร )รรฟZรฃ ร@รจ% uqรธรฟyรจรธ9$# 3 ร9ยบxx. รรปรiรผt7รฃ ยช!$# รฃNรค3s9 รM»tFy$# รถNร 6¯=yรจs9 tbrรฃ©3xรฟtFs? (ุงูุจูุฑุฉ: 219)
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".
dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang
lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir (Q.S. Al-Baqarah: 219)
Ayat di
atas dapat dipahami bahwa orang yang minum khamar akan mendapatkan dosa yang
sangat besar dari Allah SWT. Dalam ayat ini, Allah juga menjelaskan bahwa dalam
minuman khamar juga ada manfaat bagi orang meminumnya, akan tetapi manfaat
tersebut tidak seberapa bila dibandingkan dengan mudharat dan dosa yang di
dapatkan bagi orang minum minuman khamar tersebut.
Dalam
ayat yang lain surat Surat al-Maidah ayat 90-91 Allah juga melarang minum khamar bagi orang
Islam, Ayat tersebut berbunyi:
$pkr'¯»t tรปรฏร%©!$# (#รพqรฃYtB#uรค $yJ¯Rร) รฃรดJsรธ:$# รงร
£รธyJรธ9$#ur ร>$|รRF{$#ur รฃN»s9รธF{$#ur ร§รด_ร รด`รiB ร@yJtรฃ ร`»sรรธ¤±9$# รงnqรง7ร^tGรด_$$sรน รถNรค3ยช=yรจs9 tbqรsร=รธรฟรจ? รรรร $yJ¯Rร) รรรฃ ร`»sรรธ¤±9$# br& yรฌร%qรฃ รฃNรค3uZ÷t/ nourยบyyรจรธ9$# uรค!$รรธรณt7รธ9$#ur รรป ร÷Ksรธ:$# รร
£÷yJรธ9$#ur รถNรค.£รรtur `tรฃ รรธ.ร «!$# ร`tรฃur รo4qn=¢ร9$# ( รถ@ygsรน LรครชRr& tbqรฅktJZB
(
ุงูู
ุงุฆุฏุฉ : 90-91 )
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah adalah termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar
dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka
berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Q.S. al-Maidah: 90-91).
Berdasarkan penjelasan ayat-ayat al-Quran di atas, penulis dapat memahami bahwa tidak
dijumpai penentuan pelanggaran jarimah khamar yang diancam dengan hukuman hudud. Namun berdaskan
pemahaman terhadap ayat- ayat al-Quran tersebut para ulama dari keempat mazhab
sepakat dalam menentukan bahwa terhadap pelaku pelanggaran jarimah diancam
dengan hukuman cambuk.
Ketetapan
hukuman cambuk yang disepakati oleh ulama tersebut berdasarkan dari suatu
peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah. Cerita ini dapat dilihat dari Imam
Syafi’i
memberitahukannya dari Ibnu Syhihab dari Qubaishah bin Dzuaib yang mengatakan bahwa Rasulullah
bersabda “Jika seseorang
minum khamar maka jilidlah ia, kemudian jika ia minum lagi maka jilidlah ia, kemudian jika ia
minum lagi maka bunuhlah ia. Lalu dibawalah seorang laki-
laki yang telah minum khamar, maka ketiak itu Rasulullah langsung menjilid laki-laki tersebut. Kemudian dibawa
kedua kalinya, maka Beliaupun menjilidnya, akan tetapi beliau tidak menjatuhkan
hukuman bunuh kepada peminum khamar tersebut. Dalam hal ini menurut Imam Syafi’i
hadist tersebut membatalkan hukuman bunuh bagi si pelanggar jarimah minum
khamar dan tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama.[40]
Praktek Rasullah dalam mengadili perkara jarimah khamar, di mana beliau menjatuhkan hukuman
cambuk dengan jumlah tidak lebih dari 40 kali cambuk. Begitu juga Khalifah Abu bakar
menetapkan hukuman cambuk bagi pelaku jarimah minum khamar sebanyak 40 kali. Namun
pada masa khalifah Umar bin Khattab, pelaku jarimah minum khamar dijatuhi
hukuman cambuk 80 kali, hal ini terjadi karena pada masa ‘Umar jumlah minum
khamar dalam masyarakat meningkat. Sehingga Umar menambahkan dari 40 kali menjadi 80 kali cambukan terhadap
pelaku minum khamar. Demikian pula pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib mempraktekkan 80 kali
cambuk karena mengqiyaskan
kepada ancaman jarimah qadzaf. Praktek Umar dan Ali mendapat dukungan dari Imam
Abu Hanifah dan Imam Malik. Sementara Imam Syafi’i sependapat dengan praktek
Rasulullah, yang tidak pernah menjatuhi hukuman cambuk terhadap pelanggar
jarimah khamar lebih dari 40 kali dan juga praktek khalifah Abu Bakar. Akan tetapi Imam Syafi’i juga menyetujui hukuman
cambuk sampai 80 kali, apabila
hukuman tersebut dilakukan sebagai hukuman ta’zir. [41]
Orang yang hendak dijatuhi hukuman had didudukkan di atas tanah, lalu
punggungnya dipukul dengan cambuk yang sedang, tidak keras dan ringan sebanyak
delapan puluh kali. Wanita juga demikian, hanya badannya ditutupi dengan kain
tipis yang menutupi auratnya dan tidak melindunginya dari cambuk.”[42]
7.
Jarimah Ta’zir
Ta’zir
secara harfiah berarti membinasakan pelaku kriminal karena melakukan tindak
pidana yang memalukan. Dalam ta’zir, hukuman itu tidak diterapkan dengan
ketentuan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Hadits Rasulullah.
Akan tetapi diserahkan kepada hakim yang akan memberikan hukuman kepada pelaku
tindak pidana yang melanggar hukum Islam. Hakim juga diperkenankan untuk
mempertimbangkan hukuman yang akan dikenakan kepada pelaku tindak pidana. Salah satu bentuk hukuman yang ada dalam hukuman ta’zir adalah
hukuman cambuk. Namun hukuman cambuk yang ada dalam jarimah ta’zir berbeda
dengan hukuman cambuk yang ada dalam jarimah
hudud.[43]
Hukuman
cambuk yang terdapat dalam hudud adalah seperti perzinaan (untuk ghairu
muhsan), qadzaf (menuduh orang
yang berbuat zina). Hukuman cambuk dalam jarimah hudud ini sudah ditentukan batas maksimalnya
baik dalam al-Quran maupun Hadis. Hakim tidak diberi kewenangan untuk
memutuskan di luar dari al-Quran atau Hadis serta tidak mempunyai batas batas
minimal. Sedangkan hukuman cambuk dalam jarimah ta’zir penentuan hukumannya adalah merupakan
kewenangan hakim dan tidak
ditentukan dalam Al-Quran dan Hadits Rasulullah SAW.[44]
D. Hikmah
disyariatkanya Hudud
Setiap pemeluk agama Islam wajib
mentaati, mengamalkan dan menjalankan Syari'at Islam secara kaffah dalam
kehidupan sehari-hari dengan tertib dan sempurna, baik melaui diri pribadi,
keluarga, masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demi terwujudnya
pelaksanaan Syari'at Islam dalam masyarakat, maka banyak hal yang mendasar yang
harus dibenahi dan ditata ulang terlebih dahulu dan untuk itu diperlukan suatu
aturan atau Undang-Undang yang menjadi pembatas terhadap berhasilnya
pelaksanaan Syari'at Islam tersebut.
Hudud merupakan bahgian dari pada syari’at Islam, maka hukuman hudud ini
tentunya mempunyai hikmah yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam. Hukuman
hudud ini semata-mata ditujukan untuk menegakkan kemaslahatan dalam kehidupan
masyarakat. Hukuman hudud ini juga bukan untuk menyakiti atau merusak anggota
tubuh para terpidana, akan tetapi untuk memberi peringatan kepada setiap
pribadi muslim agar tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum Islam.[45]
Pelaksanan hukuman hudud bukan hanya sebagai hukuman yang diberikan di
dunia, akan tetapi juga merupakan bagian dari pernyataan taubat, yang
diharapkan dapat mengampuni dosa-dosa orang yang melakukan perbuatan maksiat di
akhirat kelak. Disamping itu hukuman cambuk juga bertujuan agar para pelaku
kemaksiatan dapat merenungi dan menyadari kesalahannya.[46]
Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk beribadah dan
taat kepada-Nya, melaksanakan apa yang Dia perintah dan menjauhi apa yang
dilarang-Nya, Dia telah menetapkan beberapa hukum demi untuk maslahat
hambah-hambah-Nya, sebagaimana Dia menjanjikan surga bagi orang yang beriltizam
terhadap syari'atnya dan neraka bagi mereka yang menyelisihinya. Apabila
seorang hamba terlalu terburu-buru dan melakukan sebuah dosa, Allah buka
baginya pintu taubat dan istighfar.
Akan tetapi jika seseorang bersikeras untuk melakukan maksiat kepada
Allah dan menolak kecuali ingin menembus penghalang-Nya, melampaui batasan-Nya,
seperti menjarah harta serta kehormatan orang lain, maka dia harus ditarik tali
pelananya dengan menegakkan hukuman Allah Ta'ala; demi untuk merealisasikan
keamanan serta ketenangan terhadap umat ini, dan seluruh hukuman merupakan
Rahmat dari Allah dan kenikmatan bagi seluruhnya.
Kehidupan manusia akan berdiri tegak dengan memelihara lima hal yang
darurat. Pelaksanaan hudud akan melindungi serta menjaga hal tersebut, dengan
qishas jiwa manusia menjadi terjaga, dengan pendirian had terhadap pencuri
harta akan terjaga, dengan pelaksanaan had
zina serta qodzaf kehormatan
akan terjaga, dengan pelaksanaan had bagi pemabuk, akal akan terjaga, dengan
pelaksanaan had, penjarahan keamanan serta harta dan jiwa akan terjaga, dan
dengan pelaksanaan seluruh had seluruh agama akan terjaga olehnya.[47]
Hudud merupakan pembenteng bagi maksiat dan sebagai pembatas bagi dia
yang menerimanya, karena yang demikian itu akan mensucikannya dari kotornya
kejahatan serta dari dosa-dosanya, dan juga sebagai peringatan bagi selainnya
untuk tidak terjerumus ke dalam perbuatan tersebut.[48]
Sesungguhnya Allah SWT.,
telah menjanjikan akan ada azad dan siksaan dihari kiamat yang diberikan kepada
kepada orang-orang yang berbuat kemaksiatan dan aniaya. Ketika seseorang
melakukan kemaksiatan dan kejahatan seperti membunuh, merampok, berzina,
berkhalwat dan lain sebagainya. Tentunya perbuatan-perbuatan seperti itu akan
merusak kehidupan sosial kemasyarakatan khususnya umat Islam itu sendiri. Maka
dengan adanya hukuman hudud yang diberikan bagi orang yang melakukan kejahatan
tersebut akan mengurangi perbuatan-perbuatan maksiat dan kejahatan dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari.[49]
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya hudud maka kehidupan
manusia akan terjamin dari tangan penjahat. Jaminan yang dimaksud adalah dengan
“adanya jaminan kehidupan” sebagai akibat pelaksanaan
qishash adalah melestarikan kehidupan masyarakat, bukan kehidupan sang
terpidana. Sebab, bagi dia adalah kematian. Sedangkan bagi masyarakat yang
menyaksikan penerapan hukuman tersebut bagi orang-orang yang berakal tentulah
menjadi tidak berani membunuh, sebab konsekuensi membunuh adalah dibunuh. Demikian
pula halnya dengan hukuman-hukuman lainnya, sebagai bentuk pencegahan terjadinya
kriminalitas yang merajalela.
[10] Sayyid Sabiq, Fiqh
Sunnah, ( Bandung: Alma’rif, 1987), hal. 30.
[11] Ibid., hal. 30.
[12] Rusydi Sulaiman, Penjelasan
Lengkap Hukum-hukum Allah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal.
289.
[14]Ikhsan Yasin, Ushul
Fiqh, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000, hal. 5.
[15]Sudarsono, Kamus Hukum,
Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hal. 167.
[16]R. Soesilo, KUHP dan
Penjelasannya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 36.
[17] Sayyid Sabiq, Fiqh
Sunnah..., hal. 35.
[18] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,
Terj. K. H. Ali Yafie, Bandung: al-Ma’arif, t.t., hal. 112.
[19] Abdul Ghani Azmi Haji
Idris, Himpunan Hadits-Hadits Shahih,
(Kuala Lumpur: Arrisalah, 2005), hal. 207.
[20] Abdullah bin Abdurrahman
Ali Bassam, Syarah Hadits Pilihan Bukhari
Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2002), hal. 875.
[21] Ahmad Wardi, Hukum Pidana islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), hal. 170.
[22]Abu Qasem, al-Bajuri,
Jil. II, (Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Toha Putra, t.t.), hal. 293.
[23] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007), hal. 60.
[24] Rusydi Sulaiman, Penjelasan
Lengkap Hukum-hukum Allah..., hal. 288.
[26] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka
Panjimias, 1984), hal. 123.
[27] Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah,... hal.278.
[28] Faizal Ismail, Undang-Undang Jinayah Islam, (Jakarta: Pustaka Islam,
1996), hal. 192.
[29] Khudori Soleh, Fikih
Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, 2002 ), hal. 31.
[32] Dede Rosyada, Hukum Islam Dan Pranata Sosial,
(Jakarta: Raja Grafika, 1995), hal. 67.
[33] Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah,... hal. 288.
[35] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,...
hal. 289.
[36] Yusran Hadi, Sanksi Kriminal Dalam Islam, (Banda
Aceh: Acehong), hal. 13.
[38] Abu Bakar Jabir
Al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim,
(Jakarta: Darul Fikr, 1984), hal. 55.
[42] Ahmadi Mushthfa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra, 1993), hal. 208.
[43]Imam Al-Mawardi, Hukum-hukum
penyelenggaraan Negara dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Darul Falah, 2006), hal
390.
[47] Syekh Ali Ahmad al-Jarjawi, Indahnya Syari’at
Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hal. 567.
[48] Ibid., hal. 568.
0 Comments
Post a Comment