BAB II
LANDASAN
TEORITIS DAN KONSEPTUAL
A.
Pengertian
Ibadah
Ibadah secara
bahasa berarti taat, tunduk, turut, mengikut dan doa dan disebut juga dengan
meyembah Allah SWT. Soenarjo mendefinikan ibadah adalah kepatuhan dan ketundukan
yang ditimbulkan oleh perasaaan tentang kebesaran Allah SWT, sebagai tuhan yang
disembah karena keyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak
terhadapnya.[1] Ibadah adalah pola dan
tataracara hubungan manusia dengan Allah SWT semata, yang dalam bahasa agama
dikenal dengan sebutan ibadah mahdah atau ibadah murni. Ibadah bentuk ini
mengambil bentuk vertikal (tegak lurus dari bawah ke atas).
Menurut
Amin Abdullah ibadah mahdah dapat didefinisikan, mahdah merupakan aspek
normativitas (wahyu), yang lebih menekankan aspek legalitas formalitas
ekternal.[2]
Dalam ibadah mahdah berlaku autentitas artinya tidak boleh ditambah atau
dikurangi, karena ketentuaannya telah diatur oleh Allah sediri dan dijelaskan
secara rinci oleh Rasul-Nya. Misalnya seperti ketentuan sholat dhuhur yaitu
diwajibkan setiap orang mukmin mengerjakan empat rakaat, tidak boleh diubah
menjadi tiga rakaat atau dua rakaat, kecuali ada ketentuan lain misalnya qasar,
maka shalat dhuhur yang tadinya empat biasa menjadi dua rakaat. Shalat subuh
dua rakaat tidak boleh diubah menjadi tidak rakaat atau empat rakaat, karena
sifatnya tertutup dalam ibadah mahdah berlaku umum yakni semua perbuatan ibadah
dilarang melakukan kecuali perbuatan yang dengan tegas diperintahkan oleh Allah
dan rasul-Nya.
Kalau
dihubungkan dengan lima kaidah (al-ahkam al-khamsah) kaidah asal ibadah adalah
haram atau larangan, artinya sesgala sesuatu atau yang berada dalam ruang
lingkup ibadah khususnya ibadah kepada Allah SWT sebagaimana dicontohkan
Rasulnya. Dengan demikian tidak mungkin ada pembaharuan (tajdid, modernisasi)
dalam ibadah yakni proses pembaharuan dan perombakan mengenai susunan, cara dan
tatacara ibadah, yang mungkin ada halnya penggunaaan alat-alat modern dalam
pelaksanaannya.[3] Campur tangan akal pikiran
manusia sama sekali tidak dibenarkan, lain halnya dengan mu'amalah, kaidah
asalnya adalah ibahah atau mubah, jaiz, pembolehan, sepanjang yang dilakukan
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
Jadi
prinsip ibadah mahdah sudah ditegaska dan tercakup secara terinci dengan pedoman
yang jelas dan tegas dalam Al-Qur'an serta aplikasi praktisnya disebutkan dalam
sunnah Rasullullah.[4]
B. Macam-macam Ibadah
Secara garis
besar ibadah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu:
a.
Ibadah Mahdah
Ibadah mahdah disebut juga ibadah yang
ketentuannya pasti sudah ditentukan oleh Allah atau ibadah khassah yaitu ibadah
murni, ibadah khusus, yakni ibadah yang ketentuan dan pelaksanaannya telah
ditetapkan oleh nas dan merupakan sari ibadah kepada Allah.[5] Dan
tidak bisa diubah lagi oleh manusia, kita hanya menjalankan bagaimana yang
telah ditentukan-Nya, seperti mengerjakan shalat, shalat itu sudah diwajibkan
kepada manusia dalam satu hari satu malam lima waktu, subuh, dhuhur, ashar,
magrib,dan insya sedangkan yang lain boleh dikerjakan akan tetapi itu tidak
diwajibkan. Dan selanjutnya membayar zakat, zakat itu sudah ada ketentuan dalam
agama siapa-siapa saja yang harus membayarnya yakni orang memiliki kelebihan
harta benda. Dan berpuasa pada bulan ramadhan itu juga sudah ada ketentuannya
yakni berpuasa pada bulan yang sudah ditentukan bahkan ada yang dilarang
berpuasa seperti pada kedua hari raya. Dan yang terakhir menunaikan haji, yakni
diwajib bagi orang tersebut yang ada memiliki kemampuan baik secara fisik
ataupun materialnya.
b.
Ibadah ghairu mahdah
Ibadah ghairu mahdah yaitu ibadah yang
berhubungan manusia yang lain misalnya sosial, politik, budaya, pendidikan
lingkungan hidup, kemiskinan,dan sebagainya. Dari uraian tentang kedua ibadah
dia atas M. Amin Abdullah memberi dua penertian yaitu: pertama merujuk pada
aspek normatifitas, wahyu, yang dihukumi oleh kaum fuqaha' sebagai fardu ain,
sedangkan penngertian yang kedua merujuk pada aspek historisitas yang tersudut
pada katagori fardhu kifayah.[6]
Selanjutnya jika ditinjau dari segi
pelaksanaannya ibadah dapat dibagikan menjadi tiga bentuk yaitu:
1.
Ibadah jasmaniah dan rohaniah
yaitu panduan ibadah jasmani dan rohaniah seperti shalat dan puasa.
2.
Ibadah rohaniah dan maliah yaitu
panduan ibadah rohani dan harta seperti membayar zakat.
3.
Ibadah jasmaniah, rohaniah dan
maliah sekaligus, seperti menunaikan atau melaksanakan ibadah haji
Jika ditinjau dari segi kepentingannya
ibadah ada dua yaitu: kepentingan pribadi
atau perorangan, seperti shalat dan puasa, dan kepentingan ijtima'i atau
masyarakat seperti zakat dan melaksanakan ibadah haji.
Ibadah ditinjau dari bentuk dan sifatnya
ada lima macam yaitu:
1. Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan (ucapan lidah) seperti berzikir,
berdo'a tahmid, membaca Al-Qur'an.
2. Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti
menolong orang lain, jihad, mengurus jenazah.
3. Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujud perbuatannya
seperti shalat, zakat, dan haji.
4. Ibadah yang tatacara pelaksanaannya
berbentuk menahan diri seperti puasa, i'tikaf dam ihram.
5. Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang telah
melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan seseorang yang berhutang
kepadanya.[7]
C.
Tujuan
Pendidikan Ibadah dalam Islam
Tujuan umum pendidikan dan pengajaran
dalam Islam ialah menjadikan manusia sebagai abdi atau hamba Allah, mengingat
Islam adalah risalah samawi yang diturunkan kepada seluruh manusia sejak
detik-detik pertama turunnya Islam. Bahkan sebelum turunnya ayat ini keharusan
pendidikan merupakan tugas untuk memperingatkan seluruh manusia terhadap kufur
dan syirik serta menyuruh mereka supaya mengagungkan dan membesarkan asma
Allah, dengan meneladani Muhammad SAW sebagai Rasul.[8]
Di samping itu secara rinci Azis Abbas juga
mengemukakan pendapat yang senada dengan hal tersebut bahwa:
Tujuan pendidikan ibadah dalam Islam adalah: pertama, Untuk membentuk
akhlak yang mulia, karena akhlak inti pendidikan Islam untuk mencapai akhlak
yang sempurna harus melalui pendidikan. Kedua, Persiapan untuk kehidupan dunia
dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam bukan hanya menitikberatkan pada
keagamaan saja, atau pada keduniaan saja tetapi pada kedua-duanya. Ketiga,
Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat atau lebih dikenal
dengan profesionalisme. Tujuan ini adalah menyiapkan pelajar dari segi
profesionalisme, teknikal dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi
tertentu, dan keterampilan pekerjaan agar dapat mencari rezeki dalam hidup di
samping memelihara segi kerohanian dan keagamaan. Keempat, menumbuhkan semangat
ilmiyah pada pelajar dan memuaskan keingintahuan (curiosity) dan
memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri.[9]
Di dalam Al-Qur'an tujuan pendidikan
adalah: pertama, mengarahkan
manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya,
yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengelola bumi sesuai dengan
kehendak Tuhan. Kedua, mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan
tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada
Allah, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan. Ketiga, membina dan
mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu,
akhlak dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan untuk mendukung tugas
pengabdian dan kekhalifahan. Keempat, mengarahkan manusia agar berakhlak
mulia, sehingga tidak menyalahkan fungsi kekhalifahannya. Kelima,
mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Lapangan pendidikan Islam identik dengan
ruang lingkup pendidikan Islam, yaitu bukan sekedar proses pengajaran (face
to face), tetapi mencakup segala
usaha penanaman (internalisasi) nilai-nilai Islam ke dalam diri subjek didik.
Usaha tersebut dapat dilaksanakan dengan mempengaruhi, membimbing, melatih,
mengarahkan, membina dan mengembangkan kepribadian subjek didik. “Tujuannya
adalah agar terwujudnya manusia muslim
yang berilmu, beriman dan beramal shaleh. Usaha-usaha tersebut dapat dilaksanakan secara langsung ataupun secara tidak langsung”.[10]
Tujuan ini secara hirarkhis bersifat
ideal bahkan universal. Tujuan tersebut dapat dijabarkan pada tingkat yang
lebih rendah lagi, menjadi tujuan yang bercorak nasional, institusional,
terminal, klasikal, perbidang studi, berpokok ajaran, sampai dengan setiap kali
melaksanakan kegiatan belajar mengajar.[11]
D.
Sumber
Pendidikan Ibadah
Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang
disengaja untuk mencapai suatu tujuan mempunyai landasan tempat berpijak yang
baik dan kuat. Oleh karena itu pendidikan anak sebagai usaha untuk membentuk
manusia, harus mempunyai landasan ke mana kegiatan dan perumusan tujuan
pendidikan anak itu dihubungkan.
Untuk memperjelas persoalan tersebut,
maka ada baiknya penulis menguraikan dasar pendidikan anak menurut kategori
masing-masing antara lain:
a.
Al-Qur’an
Al-Qur'an
ialah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi
Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk
keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam
Al-Qur'an itu terdiri tiga prinsip besar, yaitu yang berhubungan dengan masalah
keimanan yang disebut dengan aqidah, yang berhubungan dengan ibadah disebut
syari’ah serta pergaulan yang disebut akhlaq.
Sesuai
dengan hal ini Zakiah Daradjat mengemukakan :
Ajaran-ajaran yang berhubungan
dengan wahyu tidak banyak dibicarakan dalam Al-Qur'an, tidak sebanyak ajaran
yang berkenaan dengan amal perbuatan. Ini menunjukkan bahwa amal itulah yang
paling banyak dilaksanakan, sebab semua amal perbuatan manusia dalam
hubungannya dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan manusia sesamanya
(masyarakat), dengan alam dan lingkungannya, dengan makhluk lainnya, termasuk
dalam ruang lingkup amal shaleh (syari’ah). Istilah-istilah yang biasa
digunakan dalam membicarakan ilmu tentang syari’at ini ialah:
a. Ibadah untuk
perbuatan langsung berhubungan dengan Allah.
b. Mu’amalah
untuk perbuatan yang berhubungan dengan selain Allah.
c. Akhlak untuk
tindakan yang menyangkut etika dan budi pekerti manusia, baik pribadi maupun
masyarakat.[12]
Pendidikan,
karena termasuk ke dalam usaha atau tindakan untuk membentuk manusia, termasuk
ke dalam ruang lingkup mua’amalah. Pendidikan sangat penting karena ia ikut
menentukan corak dan bentuk amal dan kehidupan manusia, baik pribadi maupun
masyarakat.
b. Hadits
Hadits
atau As-Sunnah ialah perkataan, perbuatan ataupun pengakuan Rasul Allah SAW.
Yang dimaksud dengan pengakuan ialah kejadian atau perbuatan orang lain yang
diketahui Rasulullah dan beliau membiarkan saja kejadian atau perbuatan itu
berjalan. As-Sunnah merupakan sumber ajaran kedua sesudah Al-Qur'an. Seperti
Al-Qur'an, As-Sunnah juga berisi tentang aqidah dan syari’ah.
Dalam
hal ini Herry Noer Aly mengemukakan :
Sunnah
berisi petunjuk (pedoman) untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala
aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang
bertaqwa. Untuk itu, Rasul menjadi guru dan pendidik utama. Beliau sendiri
mendidik, pertama dengan menggunakan rumah Al-Arqam ibn Abi Al-Arqam, kedua
dengan memanfaatkan tawanan perang untuk mengajar baca tulis, ketiga dengan
mengirim para sahabat ke daerah-daerah yang baru masuk Islam. Semua itu adalah
pendidikan dalam rangka pembentukan manusia muslim dan masyarakat Islam.[13]
Sekalipun
demikian pendidikan merupakan masalah yang selalu menarik untuk dibicarakan dan
dibahas karena melalui pendidikan manusia dapat terwujud suatu cita-cita yang
akan diinginkan demi masa depan untuk diri sendiri maupun bangsa dan negara
E.
Peranan Tokon
Masyarakat Terhadap Ibadah
Dalam berbagai
kesempatan pada pengajaran khutbah, kita selalu diajak agar kita selalu diajak
agar kita selalu menigkatkan ketakqwaan kepada Allah. Salah satu bentuk usaha
mencapai derajat takwa ialah menjadikan dan menempatkan hidup kita sebagai
proses memperhambakan diri kepada Allah, yang merupakan tugas dan kewajiban
manusia.[14] Secara esensial
penghambaan manusia hanya kepada Allah adalah penghambaan yang berupa ketaatan
dan kepatuhan kita yang penuh kepada penciptaan alam semesta ini, sebagai mana
firman Allah SWT sebagai berikut:
$)
7èR
$)r
úüèG¡S
Artinya: "Hanya Engkaulah yang kami sembah dan Hanya
kepada Engkaulah kami meminta pertolongan" (Q.S. Al-Fatihah : 4)
Dengan menempatkat seluruh hidup kita
sebagai proses mencapai kedekatan kepada sang pencipta alam yang indah ini
yaitu Allah SWT mengandung konsekuensi agar kita selalu meneliti setiap gerak
dan langkah kita sesuai dengan kehendak Allah. Ibadah harus dilaksanakan oleh
manusia, untuk melaksanakan fungsi dan misi khilafah dalam kerangka kehidupan
berbangsa dan bernegara, ibadah yang demikian itu adalah dengan cara berqarrub,
mendekatkan diri kepada Allah, dengan jalan menaati seluruh apa yang sudah
diperintahkan dan kepada apa yang sudah dilarang-Nya.[15]
Manusia di dunia ini selain sebagai
khalifah Allah di bumi, agar manusia menjalankan perintah Allah seperti
beribadah kepada Allah, Allah menegaskan dalam firman-Nya sebagai berikut:
ياايها ¨$Y9#
(#r6ã#
N3/
%!#
N3)={
ûï%!#r
`B N3=6%
N3=è9
bq)G?
Artinya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah
menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (Q.S.
Al-Baqarah:21)
Pada prisipnya ibadah merupakan sari
ajaran Islam yang berisi penyerahan diri secara sempurna pada kehendak Allah.
Apabila hai ini dapat dicapai sebagai nilai dalam sikap dan perilaku manusia,
maka akan lahir suatu keyakinan untuk tetap mengabdikan diri kepada Allah,
artinya tidak akan adanya terbuka peluang sedikitpun bagi
penyimpangan-penyimpangan yang dapat merusak pengabdiaan kita kepada Allah.
Penyimpangan pengabdian berarti akan merusak manusia itu sendiri dan merugikan
dirinya sendiri, sama sekali tidak berakibat kepada Allah. Beribadah tidaknya
manusia kepada Allah, tidaklah mengurangi keagungan dan kebesaran Allah sebagai
pemelihara alam semesta ini.[16]
Manusia yang telah menyatakan
dirinya sebagai muslim dituntut untuk senantiasa melaksanakan ibadah sebagai
tanda keikhlasan mengabdikan diri kepada Allah. Tanpa adanya ketaatan
beribadah, bearti pengakuaannya sebagai muslim diragukan dan dipertanyakan. Dan
jika kesenjangan antara pengakuan dan amal ibadah, berarti ia belum memahami
sepengaruhnya konsepsi syari'ah tentang kewajiban pengabdian kepada Allah.
Dalam syari'at Islam di ungkapkan
bahwa tujuan akhir dari semua aktivitas hidup manusia adalah pengabdian kepada
Allah, sebab Dialah wujud yang kreatif, yang telah menciptakan manusia di muka
bumi dan semesta ini. Sebagai Rabb bagi manusia, Allah tidak memebankan
kewajiban beribadah di luar batas kemampuan manusia itu sendiri. Melaksanakan
suatu perintah Allah saja sudah bernilai ibadah, sebab tidak satupun anjuran
dan perintah Allah yang tidak bernilai ibadah. Demikian juga dengan menjauhi
larangan-Nya termasuk mempunyai nilai ibadah, menurut Islam semua aktivitas manusia yang diniatkan demi
kemaslahatan umat dan demi mencari ridha Allah termasuk juga salah satunya
ibadah.
Dalam kehidupan manusia di dunia ini
yang perlu dipahami bersama adalah ada tiga pilar pondasi keislaman, yakni
akidah, syari'ah dan akhlak yang merupak bagian dan tidak bisa dipisahkan. Yang
bisa kita lakuakan mengkin hanya sekedar pembedaan antara ketiganya, artinya
secara keilmuan kita bisa membuat ketegori mana aqidah, syari'ah dan akhlak,
akan tetapi dalam kehidupan kita sehari di muka bumu ini ketiganya akan menyatu
secara integral. Berikut penjelasan dari ketiga katagori di atas yaitu sebagai
berikut:
a. Aqidah
Kita ketahui bahwa akidah adalah
kepercayaan yang timbul di dalam hati manusia dan tidak dapat dipaksakan
kehadirannya, dari akidah ini dijabarkan beberapa unsur keimanan. Agama Islam
mengandung sistem keyakinan yang mendasari seluruh aktifitas pemeluknya yang
disebut aqidah. Aqidah berisikan ajaran tentang apa saja yang mesti dipercayai,
diyakini dan diimani oleh setiap orang. Karena Islam bersumber kepada
kepercayaan dan keimanan kepada Tuhan, maka aqidah merupakan sistem kepercayaan
yang mengikat manusia kepada Islam.[17]
Sistem
kepercayaan Islam atau
aqidah dibangun atas enam dasar
keimanan yang lazim disebut rukun Iman.
Rukun Iman meliputi keimanan kepada Allah, para Malaikat, kitab-kitab, para
Rasul, hari akhir serta qadha dan
qadar-Nya. Sebagai rukun Iman tersebut adalah:
ياايها الذيـن أمنوا أمنّـو بالله
ورسوله والكتاب الذي
أنزل من قبل ومن
يـكفر بالله وملائـكته
وكتبه ورسوله واليـوم
الأخر فقد ضل ضلالا بـعيدًا.
Artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya dan kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. Barang siapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu
telah sesat sejauh-jauhnya." (Q. S.
An-Nisa’:136).
Ayat di atas menjelaskan
bahwa Allah mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya agar beriman
kepada Allah, malaikat, rasul, kitab-kitab suci yang diturunkan Allah dan hari
akhir. Maka orang tersebut benar-benar telah tersesat dari jalan yang benar,
yaitu jalan yang menyelamatkan mereka dari azab yang pedih dan membawa kepada
kebahagiaan yang abadi
Seseorang yang mengingkari
kitab-kitab Allah berarti ia belum meresapi hakikat keimanan yang sesungguhnya.
Karena itu, imannya tidak dapat dikatakan iman
yang benar, bahkan suatu kesesatan yang jauh dari hidayah Allah. Untuk
menghindari hidup yang sesat, hendaklah tetap berpegang teguh pada ajaran Allah
yang disampaikan oleh Rasul-Nya, agar tidak tergolong orang-orang yang rugi dan
orang-orang yang sombong.
b.
Syari'ah
Syari'ah adalah hal yang mengatur tata kehidupan muslim
sehari-hari termasuk di dalamnya soal ibadah.[18]
Pada dasarnya, syari’ah merumuskan tentang permasalahan yang menyangkut dengan
aqidah, ibadah dan akhlak seorang hamba kepada Tuhannya,. demikian juga mencoba
meramu konteks aqidah, ibadah dan akhlak ini dalam bentuk nilai-nilai
aplikatif.
Konsep
iman yang dibicarakan dalam perbuatan pada umumnya mengacu pada masalah
berbakti kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut Mahmud Syaltout, yang dimaksud
dengan keimanan “Mengamalkan apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi SAW dan
para sahabatnya; disebut “Taqwa” karena mereka teguh mengikuti sunnah Nabi SAW;
disebut muslimin, karena mereka berpegang di atas al-haq (kebenaran), tidak
berselisih dalam agama, mereka terkumpul pada para imam al-haq, dan mengikuti
apa yang telah menjadi kesepakatan para ulama.
Pada
fitrahnya memang setiap individu itu telah diberikan hidayah kebaikan (berupa
ketauhidan dan keimanan) oleh Allah SWT. Akan tetapi iman dan tauhid itu dapat
saja berubah ke arah kelunturan apabila tidak disiram dan dipupuk dengan
bimbingan ke jalan menuju ke arah keimanan dan Islam.[19]
Karena itu, masing-masing individu memiliki perbedaan kemampuan, kecerdasan,
karakter, latar belakang sosial ekonomi dan perbedaan tingkat usia. Dalam
pelaksanaan ibadah seorang anak manusia tidak pernah terjadi perbedaan, karena
pendidikan ini selalu berpedoman secara langsung kepada Al-Qur’an dan
as-Sunnah. Apalagi para ulama fiqih berpedoman pada ayat dan hadits yang sama,
sehingga tidak terjadi perbedaan pandangan dalam menentukan bagaimana cara
melaksanakan amal ibadah kepada Allah.
c.
Akhlak
Dan aklahk adalah yang tertanan dalam
jiwa kita yang menimbulkan perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. Dalam hadits Rasulullah saw juga disebutkan sebagai berikut:
عن ﺍﺑﻰﻫﺭﻳﺭﻩ
الى إختارلكم الاسلام د
ينا فاكرموه بحس الخلق والسخاء فأنه
لا يكمل الا بهما(ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﻤﺴﻟﻣ).
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, Berkata Rasulullah saw
bahwa: Allah telah memilih agama Islam untuk kamu, hormatilah agama dengan
akhlak dan sikap dermawan, karena Islam itu tidak akan sempurna kecuali adalah
akhlak dan sikap kedermawanan.[20] (H.R.
Muslim)
Berdasarkan
keterangan hadits di atas, maka dapat dipahami bahwa akhlak merupakan salah
satu landasan utama ditegakkan agama Islam. Hal ini dibuktikan dari tujuan
diutusnya Rasulullah saw untuk memperbaiki akhlak manusia. Oleh karena itu,
bagi orang yang belum mengamalkan akhlak mulia belum dapat dikatakan Islamnya
telah sempurna. Akan tetapi sebaliknya, orang yang telah mengamalkan akhlak
mulia, maka orang tersebut dapat dikatagorikan sebagai umat Islam sejati.
Apabila
dikaitkan hadits tersebut dengan pendidikan akhlak sangat erat hubungannya.
Sebab hadits tersebut mengajarkan manusia untuk menghormati agama dengan akhlak
dan sikap dermawan. Sementara itu, sikap kedermawanan merupakan salah satu
implementasi dari pendidikan akhlak, karena sikap dermawan adalah bagian dari
akhlak yang terpuji.
Berbicara
pada tatanan akhlak tentu tidak dapat dipisahkan dengan manusia sebagai sosok
ciptaan Allah yang sangat sempurna. Akhlak adalah mutiara hidup yang membedakan
makhluk manusia dengan makhluk hewan. Manusia tanpa akhlak akan hilang derajat
kemanusiaannya sebagai makhluk Allah yang paling mulia, menjadi turun ke
mertabat hewani. Manusia yang telah lari dari sifat insaniyahnya adalah sangat
berbahaya dari binatang buas.
Di
dalam surat at-Tin ayat 4-6 mengajarkan bahwa:
لقد
خلقنا الإنسان فى أحسن تقويم، ثم رددناه أسفل سافلين، إلا الذين أمنوا وعملوا
الصالحات فلهم اجر غير ممنون.
Artinya: “Sesunguhnya Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya; kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang
serendah-rendahnya (neraka); kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh, amal bagi mereka pahala yang tidak putus-putus (Q. S. at-Tin: 4-6)
Keterangan
ayat di atas menggambarkan bahwa manusia dapat saja rendah derajatnya melebihi
binatang apabila tidak berakhlak. Akhlak merupakan salah satu jalan manifestasi
dari keimanan, serta usaha untuk mengaplikasi iman dan Islam secara langsung
Dikatakan
Imam al-Ghazali dalam kitabnya Muqasyafatul Qulub, bahwa Allah telah
menciptakan makhluk-Nya manusia atas tiga katagori, yaitu:
1. Allah
menciptakan malaikat dan kepadanya diberikan akal tidak diberikan nafsu
2.
Allah menjadikan hewan tidak
lengkap dengan akal, tetapi diberikan nafsu syahwat.
3. Allah
menjadikan manusia lengkap dengan akal dan nafsu.[21]
Oleh
karena itu, barang siapa yang nafsunya dapat mengalahkan akal, maka hewan
melata misalnya lebih baik darinya. Sebaliknya bila manusia dengan akalnya
dapat mengalahkan nafsunya, maka derajatnya setingkat dengan malaikat.
Keimanan merupakan akidah dan pokoh,
yang di atasnya berdiri syari'ah termasuk di dalamnya ibadah keduanya saling
menyambung serta tidak dapat dipisahkan keduanya bagaikan buah dan pohonnya.
Antara keimanan dan amaliah ibadah mempunyai kolerasi yang kuat dan tidak bisa
dipisahkan-pisahkan. Dengan kata lain ibadah merupakan manifentasi dari
keimanan, kuat dan lemah atau tebal dan tipisnya keimanan seseoarang, dapat
diukur dari intensitas amaliah ibadahnya. Samapai sejauhmana dia beribadah,
disitulah ukuran lahiriah keimanannya seseorang. Hal ini merupakan titik berangkat
yang diperlukan manakala kita akan mengklasifikasikan seseorang ke dalam masyarakat
mukmin atau non-muslim, tanpa pembuktian itu sama sekali tidak masuk akal, akan
tetapi tidak lain adalah amal ibadah dalam situasi dan kondisi yang bagaimana
adanya.
Mengenai keterkaitan antara keimanan
dan amalia ibadah bisa kita lihat dari pentingnya niat ibadah, semua amaliah
manusia bisa bernilai ibadah atau tidak menjadi apa sama sekali, tergantung
pada motif dan niat seseorang yang menjalankannya.[22]
Jadi adanya hubungan timbal balik antara keimanan dan ibadah, artinya jika iman
seseorang tebal maka akan melahirkan intensitas ibadah yang banyak maupun yang
kualitas ibadah yang baik pula. Sebaiknya jika seseorang rajin melaksanakan ibadah disertai niat tulus
ikhlas karena Allah niscaya akan mempertebakan kemanannya seseorang terhadap
penciptanya yaitu Allah SWT.
Dan hubungan amal ibadah dengan
akhlak adalah sangat erat, misal seseorang yang melakukan shalat dengan baik,
benar, khusyu', khudu', memenuhi syarat dan rukunnya, pastilah perbuatan
kesehariannya akan mencerminkan akhlak yang mulia, shalat yang dilakukan mampu
membentingi terhadap dirinya dari perbuatan yang keji dan mungkar, dan akan
selamatnya keimanan dimana kita berada. Dan begitu juga orang yang melakukan
ibdah puasa yang bertujuan finalnya adalah membentuk pribadi muttaqin,
niscaya akan melahirkan sikap dan tingkah laku yang terpuji yang mencerminkan
sikap takwa kepada Allah.
Kemudian ada juga ibadah yakni zakat
juga diyakini sebagai mediator bagi seseorang untuk berakhlak mulia, dengan
ekonomi yang baik dan berlebih seseorang dituntut untuk mengeluarkan zakat,
sebagai wujud kepudulian terhadap situasi lingkungan sosial masyarakat yang
kekurangan sangat membutuhkan uluran tangan dan bantuan dari berbagai pihak
terutama sekali bagi orang orang yang mempunyai sedikit kelebihan hartanya.
Diantara fungsi zakat selain menyucikan harta benda juga bisa membuat kita
lebih hidup bermasyarkat yang memiliki rasa kebersamaan dalam kehidupan di alam
ciptaan Allah.
Demikian juga dengan ibadah haji
yang dilakukan muslimin juga diharapkan mampu mencerminkan akhlakul karimah
bagi yang melaksanakannya.. Cerminan sikap ibadah haji ini juga merupan
indikasi bahwa haji yang bersangkutan diterima oleh Allah atau disebut dengan
haji mabrul. Allah berfirman sebagai berikut:
mù ايات بينات P$)B
Odºö/)
( `Br
¼&#z
b%.
$YB#ä
3 !r
?ã
¨$Z9#
km M79#
`B í$ÜG#
m9)
x6
4 `Br
ÿ.
b*ù
!# ÓÍ_î
`ã ûüJ=»è9#
(ال عمرن:٩٧)
Artinya: Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di
antaranya) maqam Ibrahi; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi
amanlah Dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. barangsiapa
mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam.(Q.S. Ali Imran: 97)
Jika ibadah haji dilakukan oleh
seseorang tidak mencerminkan akhlak mulia dalam praktik keseharian, kita perlu
mempertanyakan apakah ibadah yang dilakukan itu sudah sesuai dengan petunjuk
Al-Qur'an dan sunnah Nabi, apakah ibadahnya sudah memenuhi syarat dan rukunnya,
apakah ibadah haji tersebut dilakukan secara ikhlas karena Allah dan bukan
karena pamer atau motif-motif tertentu. Jadi jangan serta merta menyalahkan
ibadah, misal ibadah itu tidak ada gunanya, karena tidak mempunyai dampak
apa-apa dalam kehidupan sosial masyarakat. Misalnya orang mengerjakan shalat
tetapi dia tetap melakukan kejahatan perbuatan yang sudah jelas dilarang oleh
agama misal judi, mabuk, mencuri dan dan sebagainya. Intinya jangan kita
menganggap nilai ibadah itu salah tetapi kita harus cermat dan teliti bahwa
seharusnya yang dislahlan adalah pelaku ibadah yang tidak mau menghayati dan
meresapi nilai-nilai ibadah, akan tetapi pelaku ibadah itu yang tidak
mencerminkan akhlakul karimah.
F.
Pengaruh Ibadah
terhadap Masyarakat
Untuk mengetahui pengaruh ibadah terhadap masyarakat, ada
tiga aspek yang perlu dipelajari, yaitu aspek dari segi kebudayaan, aspek dari
segi sistem sosial, dan aspek dari segi kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan
fenomena sosial yang kompleks dan terpadu yang pengaruhinya keseharian
masyarakat yang dapat diamati pada perilaku manusia. Maka timbul pertanyaan:
Sejauh mana fungsi lembaga agama dalam memelihara sistem, apakah lembaga agama
terhadap kebudayaan sebagai suatu sistem? Dan sejauh mana fungsi agama dalam
memepertahankan keseimbangan pribadi?[23]
Berkaitan dengan tiga aspek di atas
August Comte menjelaskan secara umum tentang hubungan agama dengan masyarakat
yang menurutnya, terbagi tiga tipe. Tampaknya pembagian ini mengikuti konsep
August Comte tentang proses tahapan pembentukan masyarakat. Adapun tipe-tipe
yang dimaksud August Comte itu adalah sebagai berikut.
1.
Masyarakat yang terbelakang dan
nilai-nilai sakral, tipe masyarakat ini kecil, terisolasi, dan terbelakang.
Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga lain yang
relatif berkembang selain lembaga keluarga, agama menjadi fokus utama bagi
pengintegrasian dan persatuan masyarakat dari masyarakat secara keseluruhan.
Oleh karena itu, kemungkinan agama memasukkan pengaruh yang sakral ke dalam
sistem nilai-nilai masyarakat sangat mutlak.[24]
2.
Masyarakat pra-industri yang
sedang berkembang, keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan
teknologi yang lebih tinggi dari pada tipe pertama. Agama memberikan arti dan
ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini. Tetapi pada saat yang
sama, lingkungan yang sakral dan yang sekuler sedikit banyak masih dapat
dibedakan. Misalnya, pada fase-fase kehidupan sosial masih diisi oleh
upacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan lain, pada aktivitas
sehari-hari, agama kurang mendukung. Agama hanya mendukung masalah adat
istiadat saja. Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan fokus
utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perseorangan, dan pembentukan citra
pribadi mempunyai konsekuensi penting bagi agama. Salah satu akibatnya, anggota
masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan metode empiris yang berdasarkan
penalaran dan efisiensi dalam menganggapi masalah-masalah kemanusiaan sehingga
lingkungan yang bersifat sekuler semakin meluas.[25]
Menilik
karakter-karakter yang telah dikemukakan di atas, tampaknya pengaruh agama
ataupun ibadah terhadap masyarakat masyarakat pun, jika dilihat dari karakter
masing-masing masyarakat pekerjaan, tidak akan berbeda jauh dengan pengaruh
agama terhadap masyarakat, karena sistem masyarakat akan mencirikan budaya
masyarakatnya.
Masyarakat
yang berbudaya atau mentalitas kehidupan sosial ada beberapa macam masyarakat
adalah sebagai berikut:
1.
Masyarakat petani.
Pada umumnya, masyarakat petani termasuk masyarakat yang
terbelakang. Lokasinya berada di daerah terisolasi, sistem masyarakatnya masih
sederhana, lembaga-lembaga sosialnya pun belum banyak berkembang. Di samping
alasan-alasan tersebut, unsur-unsur ketidakpastian, ketidak mampuan, dan
kelangkaan, sangat erat dengan kehidupan petani. Mata pencaharian utamanya
bergantung pada alam yang tidak bisa dipersepat, diperlambat, atau
diperhitungkan secara cermat sesuai dengan keinginan petani. Faktor cuaca,
faktor pertumbuhan tanaman, faktor binatang baik sebagai alat pembatantu maupun
sebagai hama faktor subur tidaknya tahah, dan sebagainya merupakan
faktor-faktor yang berbeda di luar jangkauan petani. Oleh sebab itu, mereka
mencari kekuatan dan kemampuan di luar dirinya yang dipandang mampu dan dapat mengatasi
semua persoalan yang telah atau akan menimpa dirinya.
Maka, diadakanlah upacara-upacara atau ritus-ritus yang
dianggap sebagai tolak bala atau menghormati dewa. Menyediakan sesajen bagi
Dewi Sri, yang dipercayai sebagai pelindung sawah dan ladang, pada waktu akan
panen menjadi keharusan bagi mereka, agar hasil panennya berlimpah.
Upacara-upacara semacam itu kerap dilakukan sebagai suatu tradisi; meninggalkan
upacara-upacara tersebut diyakini akan mendatangkan bala atau panennya tidak
berhasil.
Dengan
pengamatan selintas, pengaruh agama terhadap masyarakat petani cukup besar.
Jiwa keagamaan mereka relatif lebih besar karena kedekatannya dengan alam.
2.
Masyarakat nelayan.
Kareakter pekerja masyarakat nelayan hampir sama dengan
kareakter masyarakat petani. Mata pencahariannya bergantung pada keramahan
alam. Jika musimnya sedang bagus, tidak ada badai, boleh jadi hasil tangkapan
ikannya melimpah. Biasanya pada waktu-waktu tertentu ada semacam upacara untuk
menghormati penguasa laut, yang pada masyarakat Indonesia dikenal sebagai Nyi
Roro Kidul. Berdasarkan fakta tersebut, pengaruh agama terhadap kehidupan
nelayan dapat dikatakan signifikan.
Apabila
dilihat menurut konsep Nottingham, baik masyarakat petani atau masyarakat
nelayan, termasuk tipe masyarakat terbelakang, yang nilai-nilai sakral sangat
memasuki sistem nilai masyarakatnya. Maka dalam penyampaian ajaran agama kepada
mereka, hendaklah dengan cara yang sederhana dan memakai contoh-contoh yang
bisa diambil dari lingkungan alamnya.
3.
Masyarakat pengrajin dan pedagang
kecil.
Masyarakat pengrajin dan pedagang kecil hidup dalam situasi yang berbeda
dengan masyarakat petani. Kehdiupan masyarakat ini tidka terlalu berkutat
dengan situasi alam dan tidak erlalu bergantung pada hukum alam. Hidup mereka
didasarkan atas landasan ekonomi yang emmerlukan perhitungan rasional. Mereka
tidak menyandarkan diri pada keramahan alam yang tidak bisa dipastikan, tetapi
lebih mempercayai perencanaan yang teliti dan pengarahan yang pasti.
Menurut
Weber yang mempelajari sejarah agama-agama dengan cara yang berlaku pada
zamannya, yaitu agama Kristen, Yahudi, Islam, Hindu, Budha, dan Konfusianisme,
aoisme masyarakat pengrajin dan pedagang kecil suka meneri pandangan hidup yang
mencakup etika pembalasan.[26]
Mereka menaati kaidah moral dan pola sopan santun dan percaya bahwa pekerjaan
yang baik dilakukan dengan tekun dan teliti akan membawa balas jasa yang
setimpal. Akhirnya, agama yang mereka pilih adalah agama etis yang rasional.
Dengan kata lain, unsur emosi tidak memainkan peranan terpenting dan utama
sperti pada masyarakat petani dan nelayan. Hal ini serupa dengan tipe
masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Bagi mereka, dalam
persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan materi/sehari-hari, agama tidak
dijadikan rujukan utama. Bagi mereka, rasiolah yang menjadi pegangannya.
Meskipun
demikian, pada sisi lain, misalnya berkenaan dengan tahapan-tahapan kehidupan
sosial seperti kelahiran, pertumbuhan anak, perkawinan, dan kematian masih diliputi
oleh perasaan keagamaan yang kental, dalam hal ini, mereka masih mengadakan
upacara-upacara keagamaan.
4.
Masyarakat pedagang besar.
Kategori
yang paling menonjol dari masyarakat pedagang besar adalah memiliki sikapnya
yang lain terhadap agama. Pada umumnya kelompok ini mempunyai jiwa yang jauh
dari gagasan tentang imbalan jasa (compensation) moral, seperti yang dimiliki masyarakat
tingkat menengah bawah. Mereka lebih beroreintasi pada kehidupan duniawi (mundane)
dan cenderung menutup agama profetis dan etis. Semakin besar kemewahan dan
kekayaan yang mereka peroleh, semakin kecil hasrat dan kecenderungan mereka
terhadap agama yang mengarahkannya pada dunia lain.[27]
Perasaan
keagamaannya lebih bersifat fungsional. Kemampuan yang mereka miliki terletak
pada kekuatan ekonominya. Biasanya, sebagai formalitas, mereka tidak
segan-segan menymbang sejumlah dana untuk kepentingan kegiatan agama, tetapi
mereka sendiri tidka terlibat langsung pada kegiatan tersebtu. Pemberian dana
dianggapnya cukup untuk mewakili perasaan keagamaannya.
5.
Masyarakat karyawan.
Weber
menyebut masyarakat karyawan sebagai kaum birokrat. Jika dilihat dari teori
Nottingham, masyarakat ini dapat dimasukkan pada masyarakat industri, karena
sistem sosial yang ada sudah bersifat modern. Hal ini dilihat dari pembagian
fungsi-fungsi kerja yang ada sudah jelas dan adanya penyelesaian suatu masalah
kemanusiaan berdasarkan penalaran dan efisiensi. Berdasarkan asumsi ini, dapat
dipastikan bahwa rasa keberagamaan masyarakat karyawan berbeda dengan masyarakat-masyarakat
lain. Penelitian Weber di China, khususnya tentang penganut agama Konfosius,
menyimpulkan bahwa kecenderungan rasa keagamaan birikrasi bersifat “serba
mencari untung dan enak”. Yang menjadi penyebabnya, karena rasa kekhawatiran akan ketidak pastian,
ketidak mampuan, dan kelangkaan dam kehidupan sehari-harinya dapat dikatakan
tidka pernah mereka alami. Mereka sudah terjamin dengan kepastian datangnya
sejumlah gaji pada setiap bulan. Maka budaya yang dikembangkan, boleh jadi
seperti penemuan Weber tersebut adalah serba mencari keuntungan dan keenakan.[28]
Akan
tetapi, masyarakat karyawan di Indonesia, terutama pada masa sekarang,
tampaknya cukup religius. Di kantor-kantor sudah terdapat tempat-tempat salat
yang terkadang dijadikan tempat salah Jum’at; bahkan, dana untuk membayar
khatib dan imam Jum’at pun dikeluarkan secara khusus oleh instansinya.
Instansi-instansi tertenu kdang ikut aktif dalam mengumpulkan dana zakat fitrah
atau zakat harta, atau menyelenggarakan salaht Idul Adha dan Kurban, menghajikan
karyawan-karyawannya yang beragama Islam secara bergilir atau berdasarkan
prestasi kerja, membolehkan karyawan wanita menggunakan jilbab sebagai salah
satu kewajiban yang diperintahkan dalam ajaran Islam.
6.
Masyarakat buruh.
Yang
dimaksud dengan masyarakat buruh adalah mereka yang bekerja dalam
industri-industri atau perusahaan-perusaan modern. Berdasarkan pengamatan Karl
Marx, masyarakat buruh termasuk kelas proletar yang tidak diikut sertakan dalam
kehidupan masyarakat, disingkirkan dari sistem sosial yang berlaku. Kelas ini
merupakan masyarakat yang dijadikan sapi perahan untuk meraup keuntungan yang
sangat besar oleh kaum borjuis.[29]
Agama yang dibutuhkan oleh masyarakat
buruh tampaknya agama yang bisa membebaskan dirinya dari penghiasapan tenaga
kerja secara berlebihan.
7.
Masyarakat tua muda.
Meskipun
secara sosial penmasyarakat tua muda ini ada, tetapi susah ditentukan
batasannya secara praktis. Kesulitan ini akhirnya mengimbas pada pernyataan
tingkat pengaruh kepada masing-masing masyarakat.
Di
Indonesia, usia 40 tahun ke atas biasanya dianggap telah tua, dan usia 40 tahun
ke bawah dianggap muda. Usia 40 tahun ini seringkali dijadikan patokan oleh
penganut agama untuk mempelajari agamanya secara intensif dan berupaya
menghayatinya secara mendalam dengan mengamalkan perintah dan larangan ajaran
agamanya. Misalnya saja, salat berjamaah di mesjid-mesjid seringkali lebih
banyak diisi oleh masyarakat tua dari pada golognan muda. Masyarakat muda lebih
banyak mengisi acara-acara pesta atau kegiatan yang bersifat duniawi.
Berdasarkan
pengamatan sepintas tersebut, dapat dikatakan bahwa agama pada masyarakat tua
lebih kental dibandingkan dengan masyarakat muda. Namun, bila asumsi ini
diterapkan pada zaman sekarang, ternyata mengalami kesulitan juga, karena tidak
jarang banyak orang yang berumur 40 ke
atas berlaku seperti anak muda, pergi ke pesta-pesta, diskotek, pub, atau
cafe-cafe untuk berhura-hrua. Sebaliknya, banyak di antara masyarakat muda
mengikuti, melaksanakan, dan mengisi waktunya dengna kegiatan-kegiatan
keagamaan. Misalnya, kini bermunculan kelompok-kelompok pengajian remaja mesjid
yang mengadakan berbagai kegiatan kegamaan, seperti muludan, pesantren kilat,
tablig akbar, dan lain sebagainya. Bahkan, kini jilbab sudah menjadi mode yang
trend di kalngan anak muda.
8.
Masyarakat pria-wanita.
Secara
Psikologis, waktak umum pria dan wanita berbeda. Dalam menghadapi suatu
keadaan, watak pria lebih dominaan menggunakan pertimbangan rasional, sedangkan
wanita lebih dominan pertimbangan rasa/emosinya.
Jika
dilihat secara keseluruhan, tujuan
beragama seseorang itu rata-rata mencari untuk ketenangan batin. Dalam masalah
penghayatan keagamaan, tampaknya masyarakat wanita lebih dominan, karena faktor
pembawaan mereka umumnya cenderung emosional. Bagi wanita, yang terpenting dari
keberagamaan itu dapat merasakannya secara langsung. Sementara masyarakat pria
kurang menghayati rasa-rasa keagamaan seperti itu. Mereka memerlukan dasar
rasionalnya terlebih dahulu. Oleh karena itu, pengaruh agama terhadap masyarakat
wanita cukup signifikan, sebaliknya, masyarakat pria cenderung mengarah kearah
sekuler.
G.
Usaha-usaha
dalam Meningkatkan Ibadah
Usaha-usaha
dalam meningkatkan ibadah yang dimaksudkan disini adalah usaha-usaha yang dapat
ditempuh oleh tokoh-tokoh masyarakat dalam meningkatkan ibadah masyarakatnya.
Dan hal ini merupakan salah satu tugas yang harus dilakukan oleh tokoh
masyarakat sebagai bentuk tanggung jawabnya selaku orang yang mempunyai
pengaruh dalam masyarakat.
Tokoh masyarakat merupakan pelaku
dakwah pertama dalam masyarakat yang dikembangkan untuk melakukan penyiaran
agama Islam. Tokoh masyarakat memiliki kaitan erat dengan pendidikan Islam pada
masyarakat, sehingga salah satu tugas tokoh masyarakat mengandung arti sebagai
pemberi jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang agar menjadi pribadi yang
Islami. Karena itu tokoh masyarakat dalam peningkatan ibadah masyarakat
dianggap sebagai orang yang memprasaranai untuk memahami, menggali, dan mengembangkan
ajaran Islam (ibadah).
Dalam
peningkatan ibadah masyarakat, tokoh masyarakat berfungsi sebagai pemberi jalan atau cara yang sebaik mungkin dalam mentransfer ilmu agama terutama
menyangkut penanaman nilai-nilai yang terdapat dalam Islam, khususnya
dalam pelaksanaan kegiatan dakwah dan mempunyai pola sebagai berikut:
1. Memberikan
Contoh Teladan
Kata teladan dalam al-Qur'an indentik dengan kata uswah yang kemudian diberi sifat hasanah di
belakangnya yang berarti contoh teladan
yang baik. Kata uswah dicontohkan
pada Nabi Muhammad SAW dan Nabi
Ibrahim, "Dalam diri rasulullah itu kamu dapat menemukan teladan
yang baik”. Metode teladan ini dianggap penting karena aspek agama
yang mengandung akhlak yang
termasuk dalam kawasan afektif yang terwujud dalam bentuk tingkah laku (behaviroral).[30]
Dalam surat al-Ahzab ayat 21 juga dijelaskan
sebagai berikut:
لقد كان لكم فى رسول الله اسوة حسنة ...
(الأحواب: ٢١)
Artinya: " Dalam diri rasulullah
itu kamu dapat menemukan teladan yang baik …" (Q.S. al-Ahzab : 21).
2. Memberikan
Nasihat
Al-Qur'an juga menggunakan kalimat yang menyentuh hati untuk
mengarahkan manusia kepada ide yang dikehendakinya. Inilah yang kemudian
dikenal dengan nasihat. Tetapi nasihat yang disampaikannya ini selalu disertai dengan panutan atau teladan dari sipemberi atau penyampai
nasihat itu. Ini menunjukkan bahwa antara satu metode yakni nasihat dengan
metode lain yang dalam hal ini keteladanan bersifat saling melengkapi.
Dalam pesantren nasihat itu terkait dengan para nabi kepada
kaumnya. Sebagai contoh nabi Shaleh ketika meninggalkan kaumnya berkata:
فتولى
عنهم وقال ياقوم لقد ابلغتكم رسالة ربي ونصحت لكم ولكن لاتحبون النصحين (الأعراف:
٧۹)
Artinya: "Maka Saleh
meninggalkan mereka seraya berkata: Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu
amanah Tuhanku, dan aku telah memberi nasihat kepadamu, tetapi kamu
tidak menyukai orang-orang yang memberi
nesihat." (Q. S Al-a’raf: 79).
Demikian juga dengan nabi Syu'aib kepada kaumnya;
فتولى
عنهم وقال يقوم لقد ابلغتكم رسالت ربي ونصحت لكم فكيف اسى على قوم كافرين (الأعراف:
۹۳)
Artinya: "Maka Syu'aib
meninggalkan mereka seraya berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku
telah menyampaikan kepadamu amanah-amanah Tuhanku dan aku telah memberi nasihat kepadamu" (Q.S.
Al-a’raf: 93).
Dari ayat-ayat di atas
terlihat bahwa al-Qur'an secara eksplisit menggunakan
nasihat sebagai salah satu
cara untuk menyampaikan suatu
ajaran. Al-Qur'an berbicara tentang penasihat, yang dinasihati, obyek nasihat,
situasi nasihat dan latar belakang nasihat. Karena itu sebagai metode pengajaran
nasihat dapat diakui kebenarannya.[31]
3. Membiasakan
Tokoh masyarakat juga memberikan pembinaan melalui kebiasaan
yang dilakukan secara bertahap.
Dalam hal ini termasuk
merubah kebiasaan-kebiasaan yang negatif. Al-Qur'an menjadikan kebiasaan
itu sebagai salah satu teknik dalam
pendidikan. Lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik
menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa
terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga, dan tanpa menemukan banyak kesulitan. Selain itu al-Qur'an juga menciptakan agar
tidak terjadinya kerutinan yang
kaku dalam bertindak, dengan cara terus menerus mengingatkan tujuan
yang ingin dicapai dengan kebiasaan itu,
dan dengan menjalin hubungan yang dapat
mengalirkan bekas cahaya ke dalam hati sehingga tidak
gelap gulita.
Karena itu tokoh masyarakat dapat menggunakan kebiasaan
tidak terbatas yang baik dalam bentuk perbuatan melainkan
juga dalam bentuk perasaan
dan pikiran. Dengan kata lain pembiasan yang ditempuh pesantren juga
menyangkut segi pasif dan aktif. Kedua
segi ini tergantung pada kondisi sosial
ekonomi, bukan menyangkut kondisi
kejiwaan yang berhubungan erat
dengan akidah atau etika.
Sedangkan yang bersifat aktif atau
menuntut pelaksanaan, ditemukan pembiasaan
secara menyeluruh.[32]
4. Khutbah
Ceramah atau khutbah termasuk cara yang paling banyak di
gunakan dalam menyampaikan atau mengajak orang lain mengikuti ajaran yang telah
ditentukan.[33]
Dalam al-Qur'an kata-kata khutbah adalah:
وعباد
الرحمن الذين يمشون على الارض هونا واذا خاطبهم الجهلون قالواسلما (الفرقان: ٦۳)
Artinya: Dan hamba-hamba
Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi
dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata (yang mengandung) Keselamatan (Q.S. Al-Furqan: 63).
Khutbah
disebut juga tabligh atau menyampaikan sesuatu ajaran, khususnya dengan lisan diakui
keberadaannya, bahkan telah dipraktekkan oleh Rasulullah dalam mengajak umat manusia
ke jalan Tuhan.[34] Cara ini banyak digunakan termasuk dalam
pengajaran, karena metode ini paling murah, mudah dan tidak banyak memerlukan
peralatan. Model ini juga dipergunakan
seorang tokoh masyarakat dalam melakukan pembinaan terhadap anggota
masyarakatnya.[35]
Namun demikian
dalam penerapan kegiatan tersebut terdapat beberapa faktor-faktor yang dapat
mempengaruhinya, antara lain:
a.
Tujuan Yang Hendak Dicapai
Setiap
melaksanakan kegiatan peningkatan ibadah anggota masyarakat tentunya mempunyai
tujuan yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Misalnya pada tujuan
pengajaran aqidah dan syari’at berbeda dengan tujuan pengajaran akhlak.
Pelajaran tauhid berbeda tujuannya dengan pelajaran fiqh, demikian juga
sebaliknya.
Oleh sebab
itu, karena tujuan umum maupun tujuan khusus dari masing-masing kegiatan
pembinaan memiliki perbedaan dan tekanannya masing-masing, maka implikasinya
dalam kegiatan hendaklah mampu melihat perbedaan-perbedaan tersebut dan
membawanya ke dalam situasi pemilihan sistem yang dianggap paling tepat dan serasi
untuk diterapkan.[36]
Berdasarkan
keterangan di atas, menandakan bahwa penerapan kegiatan pembinaan harus
disesuaikan dengan materi apa yang akan diberikan, karena hanya dengan cara
demikian barulah tujuan yang dikehendaki akan tercapai.
b.
Kemampuan Tokoh Masyarakat
Efektif
tidaknya suatu kegiatan pembinaan masyarakat juga sangat dipengaruhi oleh
kemampuan tokoh masyarakat yang melaksanakannya. Di samping kepribadian tokoh
masyarakat memang cukup dominan pengaruhnya, misalnya seorang tokoh masyarakat
A oleh karena mahir dan cerdik dalam berbicara sehingga setiap pendengar
menjadi terkesan dan terpukau dengan pembicaraannya, maka ceramah menjadi
pilihan utama di samping cara lain sebagai pendukungnya. Akan tetapi ceramah
tersebut akan menjadi tidak efektif bagi seorang tokoh masyarakat yang pendiam
dan tidak menguasai teknik-teknik berceramah yang baik.[37]
Berdasarkan
gambaran di atas, maka dapat dipahami bahwa kemampuan tokoh masyarakat sangat
berperan untuk memilih materi yang sesuai dengan materi ceramah yang diberikan.
Jika metode yang digunakan tidak sesuai, maka proses pelaksanaan pembinaan
peningkatan ibadah masyarakat tidak akan berhasil. Oleh karena itu, kemampuan
tokoh masyarakat memegang peranan penting dalam menciptakan keberhasilan
pembinaan.
c.
Masyarakat
Hal yang perlu
diperhatikan pula dalam peningkatan ibadah masyarakat adalah masyarakat itu
sendiri, karena tokoh masyarakat berhadapan dengan makhluk hidup yang bernama
manusia itu, dengan potensi dan fitrah yang dimilikinya memberi kemungkinan
sekaligus harapan untuk berkembang dengan baik ke arah yang lebih sempurna.[38]
Pada fitrahnya
memang setiap individu telah diberikan hidayah kebaikan (berupa ketauhidan dan
keimanan) oleh Allah SWT. Akan tetapi iman dan tauhid itu dapat saja berubah ke
arah kelunturan apabila tidak disiram dan dipupuk dengan bimbingan ke jalan
menuju ke arah keimanan dan Islam. Dalam hal ini berhadapan dengan masyarakat
yang masing-masing memiliki perbedaan kemampuan, kecerdasan, karakter, latar
belakang sosial ekonomi dan perbedaan tingkat usia antara satu dengan yang
lain. Oleh karena itu untuk mendukung hal tersebut diperlukan kearifan dalam
penyampaian pembinaan sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nahlu ayat 25 sebagai berikut:
ادع إلى
سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن إن ربك هو أعلم بمن ضل عن
سبيله وهو أعلم بالمهتدين (النحل: ١٢٥)
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Q. S. an-Nahlu:
125)
Dari gambaran
ayat di atas, maka diketahui bahwa usaha untuk mensukseskan kegiatan harus
ditempuh dengan cara mendidik manusia sebijaksana mungkin. Hal ini merupakan
usaha untuk meningkatkan keberhasilan proses pembinaan dalam kehidupan manusia.
d.
Situasi dan Kondisi
Situasi dan
kondisi di mana berlangsungnya kegiatan pembinaan juga harus diperhatikan dan
dipertimbangkan dalam membina masyarakat.
Situasi dan
kondisi yang dimaksud, yaitu termasuk kondisi lapangan, apakah berada di pasar
atau di samping bioskop dan sebagainya. Demikian juga keadaan tokoh masyarakat
dan masyarakat saat mana waktu akan memberikan ceramah apakah tokoh masyarakat
dalam keadaan lelah sehingga pembinaan pada saat itu perlu dipertimbangkan dan
diganti dengan tokoh masyarakat lain yang dianggap lebih tepat. Ini berarti
tokoh masyarakat perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi jika pembinaan
ingin berhasil secara optimal.[39]
Berdasarkan
gambaran di atas, dapat dipahami bahwa situasi dan kondisi merupakan faktor
utama yang dapat mempengaruhi proses pembinaan peningkatan ibadah masyarakat,
karena keberhasilan pembinaan sangat bergantung pada situasi dan kondisi.
Apabila situasi dan kondisi tidak dipengaruhi oleh kebisingan atau rasa lelah
yang menimpa tokoh masyarakat, maka kegiatan pembinaan masyarakat akan berhasil
dengan baik.
[1]Soenarjo, dkk, Al-Qur'an dalam Kehidupan
Manusia, (Semarang: Toha Putra, 1989), hal. 6
[2]M. Amin Abdullah, Filsafat
Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 21.
[3]Soenarjo, dkk, Al-Qur'an dalam
… hal. 11
[6] M. Amin Abdullah, Filsafat
Kalam ... hal. 21
[8]Abdul Fatah Jalal, Azas-azas
Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), hal. 119.
[9]Azis Abbas, Filsafat
Pendidikan, (Jakarta: Sumber Widya, 1995), hal. 71.
[10]M. Nasir Budiman, Pendidikan
dalam Perspektif Al-Qur'an, (Jakarta: Madani Press, 2001), hal. 1.
[11]Abuddin Nata, Metodologi Studi
Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 292.
[12]Zakiah Daradjat, Ilmu
Pendidikan Islam, Cet. V, (Jakarta :
Bumi Aksara, 2004), hal. 20.
[13]Herry Noer Aly, Ilmu
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 56.
[14]Abdullah Munir Mulkham, Paradigma
Intelektual Musli, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 84
[16] Ibadah, Ensiklopedi Islam,
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1991), hal. 144
[17]Direktorat Pembinaan Perguruan
Tinggi Agama Islam Depertemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam
pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta:
Bulan Bintang, 2000), hal. 126.
[18] Ibid., hal. 230.
[19]HAMKA, Pelajaran Agama Islam,
Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986, hal. 176
[20]Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz
I, (Cairo: Maktabah al-Musyahid al-Hasyimi, t.t.), hal. 236
[21]Mansur Ali Rajab, Ta’ammulat
fi Falsafati Akhlak, (Dar al-Kutub: Mesir, 1991), hal. 246
[22]KH.MA. Sahal Mahfudh, Nuansa
Fiqh Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hal. 180
[23]M. Munandar Soelaeman, Ilmu
Social Dasar dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung: Eresco, 1995), hal. 220
[24]August Comte, Sosiologi
Agama dalam Kehidupan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993) hal. 88
[26]Weber Max, Sosiologi
Tata Kehidupan Beragama, (Yogyakarta: Oxford Universiti Press, 1983), hal.
232
[27] Ibid., hal. 235
[28] Ibid., hal. 321
[30]Muhammad Quthb, Sistem Pemikiran Islam,
(Bandung: Al-Ma'arif, 1984), hal. 183.
[31]Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 100.
[32]Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an,
(Bandung: Mizan, 1982), hal. 176.
[33]AM. Romli, Dakwah dan Siyasah, (Jakarta : Bina Rena Parawira, 2003), hal. 7.
[34]Hilmi Muhammadiyah, Dakwah dan
Globalisasi, (Jakarta :
ELSA, 2000), hal. 3.
[35]Zamaskuri Zarkashi, Pedoman Para Da'i,
(Jakarta : Bulan
Bintang, 19 85), hal. 52.
[36]Tayar Yusuf dan Syaiful Anwar, Dinamika
Pengajaran Pesantren, (Surabaya :
Pustaka Rizki Putra), 1990. hal. 7
[37]Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran
Agama Islam, Cet. V, (Bandung :
Remaja Rosda Karya, 2000), hal. 33
[38]Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 39
[39]Amir Yusuf Faisal, Reorientasi
Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 43
0 Comments
Post a Comment