Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengertian Ibadah


BAB II
LANDASAN TEORITIS DAN KONSEPTUAL

A.    Pengertian Ibadah
Ibadah secara bahasa berarti taat, tunduk, turut, mengikut dan doa dan disebut juga dengan meyembah Allah SWT. Soenarjo mendefinikan ibadah adalah kepatuhan dan ketundukan yang ditimbulkan oleh perasaaan tentang kebesaran Allah SWT, sebagai tuhan yang disembah karena keyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.[1] Ibadah adalah pola dan tataracara hubungan manusia dengan Allah SWT semata, yang dalam bahasa agama dikenal dengan sebutan ibadah mahdah atau ibadah murni. Ibadah bentuk ini mengambil bentuk vertikal (tegak lurus dari bawah ke atas).
Menurut Amin Abdullah ibadah mahdah dapat didefinisikan, mahdah merupakan aspek normativitas (wahyu), yang lebih menekankan aspek legalitas formalitas ekternal.[2] Dalam ibadah mahdah berlaku autentitas artinya tidak boleh ditambah atau dikurangi, karena ketentuaannya telah diatur oleh Allah sediri dan dijelaskan secara rinci oleh Rasul-Nya. Misalnya seperti ketentuan sholat dhuhur yaitu diwajibkan setiap orang mukmin mengerjakan empat rakaat, tidak boleh diubah menjadi tiga rakaat atau dua rakaat, kecuali ada ketentuan lain misalnya qasar, maka shalat dhuhur yang tadinya empat biasa menjadi dua rakaat. Shalat subuh dua rakaat tidak boleh diubah menjadi tidak rakaat atau empat rakaat, karena sifatnya tertutup dalam ibadah mahdah berlaku umum yakni semua perbuatan ibadah dilarang melakukan kecuali perbuatan yang dengan tegas diperintahkan oleh Allah dan  rasul-Nya.
Kalau dihubungkan dengan lima kaidah (al-ahkam al-khamsah) kaidah asal ibadah adalah haram atau larangan, artinya sesgala sesuatu atau yang berada dalam ruang lingkup ibadah khususnya ibadah kepada Allah SWT sebagaimana dicontohkan Rasulnya. Dengan demikian tidak mungkin ada pembaharuan (tajdid, modernisasi) dalam ibadah yakni proses pembaharuan dan perombakan mengenai susunan, cara dan tatacara ibadah, yang mungkin ada halnya penggunaaan alat-alat modern dalam pelaksanaannya.[3] Campur tangan akal pikiran manusia sama sekali tidak dibenarkan, lain halnya dengan mu'amalah, kaidah asalnya adalah ibahah atau mubah, jaiz, pembolehan, sepanjang yang dilakukan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
Jadi prinsip ibadah mahdah sudah ditegaska dan tercakup secara terinci dengan pedoman yang jelas dan tegas dalam Al-Qur'an serta aplikasi praktisnya disebutkan dalam sunnah Rasullullah.[4]


B.    Macam-macam Ibadah
Secara garis besar ibadah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu:
a.      Ibadah Mahdah
Ibadah mahdah disebut juga ibadah yang ketentuannya pasti sudah ditentukan oleh Allah atau ibadah khassah yaitu ibadah murni, ibadah khusus, yakni ibadah yang ketentuan dan pelaksanaannya telah ditetapkan oleh nas dan merupakan sari ibadah kepada Allah.[5] Dan tidak bisa diubah lagi oleh manusia, kita hanya menjalankan bagaimana yang telah ditentukan-Nya, seperti mengerjakan shalat, shalat itu sudah diwajibkan kepada manusia dalam satu hari satu malam lima waktu, subuh, dhuhur, ashar, magrib,dan insya sedangkan yang lain boleh dikerjakan akan tetapi itu tidak diwajibkan. Dan selanjutnya membayar zakat, zakat itu sudah ada ketentuan dalam agama siapa-siapa saja yang harus membayarnya yakni orang memiliki kelebihan harta benda. Dan berpuasa pada bulan ramadhan itu juga sudah ada ketentuannya yakni berpuasa pada bulan yang sudah ditentukan bahkan ada yang dilarang berpuasa seperti pada kedua hari raya. Dan yang terakhir menunaikan haji, yakni diwajib bagi orang tersebut yang ada memiliki kemampuan baik secara fisik ataupun materialnya.

b.     Ibadah ghairu mahdah
Ibadah ghairu mahdah yaitu ibadah yang berhubungan manusia yang lain misalnya sosial, politik, budaya, pendidikan lingkungan hidup, kemiskinan,dan sebagainya. Dari uraian tentang kedua ibadah dia atas M. Amin Abdullah memberi dua penertian yaitu: pertama merujuk pada aspek normatifitas, wahyu, yang dihukumi oleh kaum fuqaha' sebagai fardu ain, sedangkan penngertian yang kedua merujuk pada aspek historisitas yang tersudut pada katagori fardhu kifayah.[6]
Selanjutnya jika ditinjau dari segi pelaksanaannya ibadah dapat dibagikan menjadi tiga bentuk yaitu:
1.     Ibadah jasmaniah dan rohaniah yaitu panduan ibadah jasmani dan rohaniah seperti shalat dan puasa.
2.     Ibadah rohaniah dan maliah yaitu panduan ibadah rohani dan harta seperti membayar zakat.
3.     Ibadah jasmaniah, rohaniah dan maliah sekaligus, seperti menunaikan atau melaksanakan ibadah haji
Jika ditinjau dari segi kepentingannya ibadah ada dua  yaitu: kepentingan pribadi atau perorangan, seperti shalat dan puasa, dan kepentingan ijtima'i atau masyarakat seperti zakat dan melaksanakan ibadah haji.
Ibadah ditinjau dari bentuk dan sifatnya ada lima macam yaitu:
1.     Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan (ucapan lidah) seperti berzikir, berdo'a tahmid, membaca Al-Qur'an.
2.     Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti menolong orang lain, jihad, mengurus jenazah.
3.     Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujud perbuatannya seperti shalat, zakat, dan haji.
4.     Ibadah  yang tatacara pelaksanaannya berbentuk menahan diri seperti puasa, i'tikaf dam ihram.
5.     Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan seseorang yang berhutang kepadanya.[7]


C.    Tujuan Pendidikan Ibadah dalam Islam
Tujuan umum pendidikan dan pengajaran dalam Islam ialah menjadikan manusia sebagai abdi atau hamba Allah, mengingat Islam adalah risalah samawi yang diturunkan kepada seluruh manusia sejak detik-detik pertama turunnya Islam. Bahkan sebelum turunnya ayat ini keharusan pendidikan merupakan tugas untuk memperingatkan seluruh manusia terhadap kufur dan syirik serta menyuruh mereka supaya mengagungkan dan membesarkan asma Allah, dengan meneladani Muhammad  SAW sebagai  Rasul.[8]
Di samping itu secara rinci Azis Abbas juga mengemukakan pendapat yang senada dengan hal tersebut bahwa:
Tujuan pendidikan ibadah dalam  Islam adalah: pertama, Untuk membentuk akhlak yang mulia, karena akhlak inti pendidikan Islam untuk mencapai akhlak yang sempurna harus melalui pendidikan. Kedua, Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam bukan hanya menitikberatkan pada keagamaan saja, atau pada keduniaan saja tetapi pada kedua-duanya. Ketiga, Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat atau lebih dikenal dengan profesionalisme. Tujuan ini adalah menyiapkan pelajar dari segi profesionalisme, teknikal dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu, dan keterampilan pekerjaan agar dapat mencari rezeki dalam hidup di samping memelihara segi kerohanian dan keagamaan. Keempat, menumbuhkan semangat ilmiyah pada pelajar dan memuaskan keingintahuan (curiosity) dan memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri.[9]

Di dalam Al-Qur'an tujuan pendidikan adalah: pertama, mengarahkan  manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengelola bumi sesuai dengan kehendak Tuhan. Kedua, mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan. Ketiga, membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan untuk mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahan. Keempat, mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga tidak menyalahkan fungsi kekhalifahannya. Kelima, mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Lapangan pendidikan Islam identik dengan ruang lingkup pendidikan Islam, yaitu bukan sekedar proses pengajaran (face to face), tetapi mencakup  segala usaha penanaman (internalisasi) nilai-nilai Islam ke dalam diri subjek didik. Usaha tersebut dapat dilaksanakan dengan mempengaruhi, membimbing, melatih, mengarahkan, membina dan mengembangkan kepribadian subjek didik. “Tujuannya adalah agar terwujudnya manusia  muslim yang berilmu, beriman dan beramal shaleh. Usaha-usaha tersebut  dapat dilaksanakan  secara langsung ataupun  secara tidak langsung”.[10] 
Tujuan ini secara hirarkhis bersifat ideal bahkan universal. Tujuan tersebut dapat dijabarkan pada tingkat yang lebih rendah lagi, menjadi tujuan yang bercorak nasional, institusional, terminal, klasikal, perbidang studi, berpokok ajaran, sampai dengan setiap kali melaksanakan kegiatan belajar mengajar.[11]

D.    Sumber Pendidikan Ibadah
Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan mempunyai landasan tempat berpijak yang baik dan kuat. Oleh karena itu pendidikan anak sebagai usaha untuk membentuk manusia, harus mempunyai landasan ke mana kegiatan dan perumusan tujuan pendidikan anak itu dihubungkan.
Untuk memperjelas persoalan tersebut, maka ada baiknya penulis menguraikan dasar pendidikan anak menurut kategori masing-masing antara lain:

a.      Al-Qur’an
Al-Qur'an ialah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam Al-Qur'an itu terdiri tiga prinsip besar, yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut dengan aqidah, yang berhubungan dengan ibadah disebut syari’ah serta pergaulan yang disebut akhlaq.
Sesuai dengan hal ini Zakiah Daradjat mengemukakan :
Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan wahyu tidak banyak dibicarakan dalam Al-Qur'an, tidak sebanyak ajaran yang berkenaan dengan amal perbuatan. Ini menunjukkan bahwa amal itulah yang paling banyak dilaksanakan, sebab semua amal perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan manusia sesamanya (masyarakat), dengan alam dan lingkungannya, dengan makhluk lainnya, termasuk dalam ruang lingkup amal shaleh (syari’ah). Istilah-istilah yang biasa digunakan dalam membicarakan ilmu tentang syari’at ini ialah:
a.       Ibadah untuk perbuatan langsung berhubungan dengan Allah.
b.      Mu’amalah untuk perbuatan yang berhubungan dengan selain Allah.
c.       Akhlak untuk tindakan yang menyangkut etika dan budi pekerti manusia, baik pribadi maupun masyarakat.[12]

Pendidikan, karena termasuk ke dalam usaha atau tindakan untuk membentuk manusia, termasuk ke dalam ruang lingkup mua’amalah. Pendidikan sangat penting karena ia ikut menentukan corak dan bentuk amal dan kehidupan manusia, baik pribadi maupun masyarakat.

b.     Hadits
Hadits atau As-Sunnah ialah perkataan, perbuatan ataupun pengakuan Rasul Allah SAW. Yang dimaksud dengan pengakuan ialah kejadian atau perbuatan orang lain yang diketahui Rasulullah dan beliau membiarkan saja kejadian atau perbuatan itu berjalan. As-Sunnah merupakan sumber ajaran kedua sesudah Al-Qur'an. Seperti Al-Qur'an, As-Sunnah juga berisi tentang aqidah dan syari’ah.
Dalam hal ini Herry Noer Aly mengemukakan :
Sunnah berisi petunjuk (pedoman) untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa. Untuk itu, Rasul menjadi guru dan pendidik utama. Beliau sendiri mendidik, pertama dengan menggunakan rumah Al-Arqam ibn Abi Al-Arqam, kedua dengan memanfaatkan tawanan perang untuk mengajar baca tulis, ketiga dengan mengirim para sahabat ke daerah-daerah yang baru masuk Islam. Semua itu adalah pendidikan dalam rangka pembentukan manusia muslim dan masyarakat Islam.[13]

Sekalipun demikian pendidikan merupakan masalah yang selalu menarik untuk dibicarakan dan dibahas karena melalui pendidikan manusia dapat terwujud suatu cita-cita yang akan diinginkan demi masa depan untuk diri sendiri maupun bangsa dan negara

E.    Peranan Tokon Masyarakat Terhadap Ibadah
Dalam berbagai kesempatan pada pengajaran khutbah, kita selalu diajak agar kita selalu diajak agar kita selalu menigkatkan ketakqwaan kepada Allah. Salah satu bentuk usaha mencapai derajat takwa ialah menjadikan dan menempatkan hidup kita sebagai proses memperhambakan diri kepada Allah, yang merupakan tugas dan kewajiban manusia.[14] Secara esensial penghambaan manusia hanya kepada Allah adalah penghambaan yang berupa ketaatan dan kepatuhan kita yang penuh kepada penciptaan alam semesta ini, sebagai mana firman Allah SWT sebagai berikut:
$ƒ) 7èR $ƒ)r úüèG¡S 

Artinya: "Hanya Engkaulah yang kami sembah dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan" (Q.S. Al-Fatihah : 4)
            Dengan menempatkat seluruh hidup kita sebagai proses mencapai kedekatan kepada sang pencipta alam yang indah ini yaitu Allah SWT mengandung konsekuensi agar kita selalu meneliti setiap gerak dan langkah kita sesuai dengan kehendak Allah. Ibadah harus dilaksanakan oleh manusia, untuk melaksanakan fungsi dan misi khilafah dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara, ibadah yang demikian itu adalah dengan cara berqarrub, mendekatkan diri kepada Allah, dengan jalan menaati seluruh apa yang sudah diperintahkan dan kepada apa yang sudah dilarang-Nya.[15]
            Manusia di dunia ini selain sebagai khalifah Allah di bumi, agar manusia menjalankan perintah Allah seperti beribadah kepada Allah, Allah menegaskan dalam firman-Nya sebagai berikut:
ياايها ¨$Y9# (#r6ã# N3/ %!# N3)={ ûï%!#r `B N3=6% N3=è9 bq)G?
Artinya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah:21)
            Pada prisipnya ibadah merupakan sari ajaran Islam yang berisi penyerahan diri secara sempurna pada kehendak Allah. Apabila hai ini dapat dicapai sebagai nilai dalam sikap dan perilaku manusia, maka akan lahir suatu keyakinan untuk tetap mengabdikan diri kepada Allah, artinya tidak akan adanya terbuka peluang sedikitpun bagi penyimpangan-penyimpangan yang dapat merusak pengabdiaan kita kepada Allah. Penyimpangan pengabdian berarti akan merusak manusia itu sendiri dan merugikan dirinya sendiri, sama sekali tidak berakibat kepada Allah. Beribadah tidaknya manusia kepada Allah, tidaklah mengurangi keagungan dan kebesaran Allah sebagai pemelihara alam semesta ini.[16]
            Manusia yang telah menyatakan dirinya sebagai muslim dituntut untuk senantiasa melaksanakan ibadah sebagai tanda keikhlasan mengabdikan diri kepada Allah. Tanpa adanya ketaatan beribadah, bearti pengakuaannya sebagai muslim diragukan dan dipertanyakan. Dan jika kesenjangan antara pengakuan dan amal ibadah, berarti ia belum memahami sepengaruhnya konsepsi syari'ah tentang kewajiban pengabdian kepada Allah.
            Dalam syari'at Islam di ungkapkan bahwa tujuan akhir dari semua aktivitas hidup manusia adalah pengabdian kepada Allah, sebab Dialah wujud yang kreatif, yang telah menciptakan manusia di muka bumi dan semesta ini. Sebagai Rabb bagi manusia, Allah tidak memebankan kewajiban beribadah di luar batas kemampuan manusia itu sendiri. Melaksanakan suatu perintah Allah saja sudah bernilai ibadah, sebab tidak satupun anjuran dan perintah Allah yang tidak bernilai ibadah. Demikian juga dengan menjauhi larangan-Nya termasuk mempunyai nilai ibadah, menurut Islam  semua aktivitas manusia yang diniatkan demi kemaslahatan umat dan demi mencari ridha Allah termasuk juga salah satunya ibadah.
            Dalam kehidupan manusia di dunia ini yang perlu dipahami bersama adalah ada tiga pilar pondasi keislaman, yakni akidah, syari'ah dan akhlak yang merupak bagian dan tidak bisa dipisahkan. Yang bisa kita lakuakan mengkin hanya sekedar pembedaan antara ketiganya, artinya secara keilmuan kita bisa membuat ketegori mana aqidah, syari'ah dan akhlak, akan tetapi dalam kehidupan kita sehari di muka bumu ini ketiganya akan menyatu secara integral. Berikut penjelasan dari ketiga katagori di atas yaitu sebagai berikut:

a. Aqidah
Kita ketahui bahwa akidah adalah kepercayaan yang timbul di dalam hati manusia dan tidak dapat dipaksakan kehadirannya, dari akidah ini dijabarkan beberapa unsur keimanan. Agama Islam mengandung sistem keyakinan yang mendasari seluruh aktifitas pemeluknya yang disebut aqidah. Aqidah berisikan ajaran tentang apa saja yang mesti dipercayai, diyakini dan diimani oleh setiap orang. Karena Islam bersumber kepada kepercayaan dan keimanan kepada Tuhan, maka aqidah merupakan sistem kepercayaan yang mengikat manusia kepada Islam.[17]
Sistem  kepercayaan  Islam  atau  aqidah dibangun atas enam  dasar keimanan  yang lazim disebut rukun Iman. Rukun Iman meliputi keimanan kepada Allah, para Malaikat, kitab-kitab, para Rasul, hari akhir serta qadha  dan qadar-Nya. Sebagai rukun Iman tersebut adalah:
ياايها الذيـن أمنوا أمنّـو  بالله  ورسوله  والكتاب  الذي  أنزل  من قبل  ومن  يـكفر  بالله  وملائـكته  وكتبه  ورسوله  واليـوم  الأخر  فقد ضل ضلالا  بـعيدًا.
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya."  (Q. S. An-Nisa’:136).
            Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya agar beriman kepada Allah, malaikat, rasul, kitab-kitab suci yang diturunkan Allah dan hari akhir. Maka orang tersebut benar-benar telah tersesat dari jalan yang benar, yaitu jalan yang menyelamatkan mereka dari azab yang pedih dan membawa kepada kebahagiaan yang abadi
            Seseorang yang mengingkari kitab-kitab Allah berarti ia belum meresapi hakikat keimanan yang sesungguhnya. Karena itu, imannya tidak dapat dikatakan iman  yang benar, bahkan suatu kesesatan yang jauh dari hidayah Allah. Untuk menghindari hidup yang sesat, hendaklah tetap berpegang teguh pada ajaran Allah yang disampaikan oleh Rasul-Nya, agar tidak tergolong orang-orang yang rugi dan orang-orang yang sombong.

b. Syari'ah
Syari'ah adalah hal yang mengatur tata kehidupan muslim sehari-hari termasuk di dalamnya soal ibadah.[18] Pada dasarnya, syari’ah merumuskan tentang permasalahan yang menyangkut dengan aqidah, ibadah dan akhlak seorang hamba kepada Tuhannya,. demikian juga mencoba meramu konteks aqidah, ibadah dan akhlak ini dalam bentuk nilai-nilai aplikatif.
Konsep iman yang dibicarakan dalam perbuatan pada umumnya mengacu pada masalah berbakti kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut Mahmud Syaltout, yang dimaksud dengan keimanan “Mengamalkan apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya; disebut “Taqwa” karena mereka teguh mengikuti sunnah Nabi SAW; disebut muslimin, karena mereka berpegang di atas al-haq (kebenaran), tidak berselisih dalam agama, mereka terkumpul pada para imam al-haq, dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan para ulama.
Pada fitrahnya memang setiap individu itu telah diberikan hidayah kebaikan (berupa ketauhidan dan keimanan) oleh Allah SWT. Akan tetapi iman dan tauhid itu dapat saja berubah ke arah kelunturan apabila tidak disiram dan dipupuk dengan bimbingan ke jalan menuju ke arah keimanan dan Islam.[19] Karena itu, masing-masing individu memiliki perbedaan kemampuan, kecerdasan, karakter, latar belakang sosial ekonomi dan perbedaan tingkat usia. Dalam pelaksanaan ibadah seorang anak manusia tidak pernah terjadi perbedaan, karena pendidikan ini selalu berpedoman secara langsung kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Apalagi para ulama fiqih berpedoman pada ayat dan hadits yang sama, sehingga tidak terjadi perbedaan pandangan dalam menentukan bagaimana cara melaksanakan amal ibadah kepada Allah.

c. Akhlak
Dan aklahk adalah yang tertanan dalam jiwa kita yang menimbulkan perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. Dalam hadits Rasulullah saw juga disebutkan sebagai berikut:
عن ﺍﺑﻰﻫﺭﻳﺭﻩ الى إختارلكم الاسلام د ينا فاكرموه بحس الخلق والسخاء فأنه لا يكمل الا بهما(ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻤﺴﻟﻣ).
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, Berkata Rasulullah saw bahwa: Allah telah memilih agama Islam untuk kamu, hormatilah agama dengan akhlak dan sikap dermawan, karena Islam itu tidak akan sempurna kecuali adalah akhlak dan sikap kedermawanan.[20] (H.R. Muslim)
Berdasarkan keterangan hadits di atas, maka dapat dipahami bahwa akhlak merupakan salah satu landasan utama ditegakkan agama Islam. Hal ini dibuktikan dari tujuan diutusnya Rasulullah saw untuk memperbaiki akhlak manusia. Oleh karena itu, bagi orang yang belum mengamalkan akhlak mulia belum dapat dikatakan Islamnya telah sempurna. Akan tetapi sebaliknya, orang yang telah mengamalkan akhlak mulia, maka orang tersebut dapat dikatagorikan sebagai umat Islam sejati.
Apabila dikaitkan hadits tersebut dengan pendidikan akhlak sangat erat hubungannya. Sebab hadits tersebut mengajarkan manusia untuk menghormati agama dengan akhlak dan sikap dermawan. Sementara itu, sikap kedermawanan merupakan salah satu implementasi dari pendidikan akhlak, karena sikap dermawan adalah bagian dari akhlak yang terpuji.
Berbicara pada tatanan akhlak tentu tidak dapat dipisahkan dengan manusia sebagai sosok ciptaan Allah yang sangat sempurna. Akhlak adalah mutiara hidup yang membedakan makhluk manusia dengan makhluk hewan. Manusia tanpa akhlak akan hilang derajat kemanusiaannya sebagai makhluk Allah yang paling mulia, menjadi turun ke mertabat hewani. Manusia yang telah lari dari sifat insaniyahnya adalah sangat berbahaya dari binatang buas.
Di dalam surat at-Tin ayat 4-6 mengajarkan bahwa:
لقد خلقنا الإنسان فى أحسن تقويم، ثم رددناه أسفل سافلين، إلا الذين أمنوا وعملوا الصالحات فلهم اجر غير ممنون.
Artinya: “Sesunguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya; kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka); kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, amal bagi mereka pahala yang tidak putus-putus (Q. S. at-Tin: 4-6)
Keterangan ayat di atas menggambarkan bahwa manusia dapat saja rendah derajatnya melebihi binatang apabila tidak berakhlak. Akhlak merupakan salah satu jalan manifestasi dari keimanan, serta usaha untuk mengaplikasi iman dan Islam secara langsung
Dikatakan Imam al-Ghazali dalam kitabnya Muqasyafatul Qulub, bahwa Allah telah menciptakan makhluk-Nya manusia atas tiga katagori, yaitu:
1.     Allah menciptakan malaikat dan kepadanya diberikan akal tidak diberikan nafsu
2.     Allah menjadikan hewan tidak lengkap dengan akal, tetapi diberikan nafsu syahwat.
3.     Allah menjadikan manusia lengkap dengan akal dan nafsu.[21]

Oleh karena itu, barang siapa yang nafsunya dapat mengalahkan akal, maka hewan melata misalnya lebih baik darinya. Sebaliknya bila manusia dengan akalnya dapat mengalahkan nafsunya, maka derajatnya setingkat dengan malaikat.
            Keimanan merupakan akidah dan pokoh, yang di atasnya berdiri syari'ah termasuk di dalamnya ibadah keduanya saling menyambung serta tidak dapat dipisahkan keduanya bagaikan buah dan pohonnya. Antara keimanan dan amaliah ibadah mempunyai kolerasi yang kuat dan tidak bisa dipisahkan-pisahkan. Dengan kata lain ibadah merupakan manifentasi dari keimanan, kuat dan lemah atau tebal dan tipisnya keimanan seseoarang, dapat diukur dari intensitas amaliah ibadahnya. Samapai sejauhmana dia beribadah, disitulah ukuran lahiriah keimanannya seseorang. Hal ini merupakan titik berangkat yang diperlukan manakala kita akan mengklasifikasikan seseorang ke dalam masyarakat mukmin atau non-muslim, tanpa pembuktian itu sama sekali tidak masuk akal, akan tetapi tidak lain adalah amal ibadah dalam situasi dan kondisi yang bagaimana adanya.
            Mengenai keterkaitan antara keimanan dan amalia ibadah bisa kita lihat dari pentingnya niat ibadah, semua amaliah manusia bisa bernilai ibadah atau tidak menjadi apa sama sekali, tergantung pada motif dan niat seseorang yang menjalankannya.[22] Jadi adanya hubungan timbal balik antara keimanan dan ibadah, artinya jika iman seseorang tebal maka akan melahirkan intensitas ibadah yang banyak maupun yang kualitas ibadah yang baik pula. Sebaiknya jika seseorang  rajin melaksanakan ibadah disertai niat tulus ikhlas karena Allah niscaya akan mempertebakan kemanannya seseorang terhadap penciptanya yaitu Allah SWT.
            Dan hubungan amal ibadah dengan akhlak adalah sangat erat, misal seseorang yang melakukan shalat dengan baik, benar, khusyu', khudu', memenuhi syarat dan rukunnya, pastilah perbuatan kesehariannya akan mencerminkan akhlak yang mulia, shalat yang dilakukan mampu membentingi terhadap dirinya dari perbuatan yang keji dan mungkar, dan akan selamatnya keimanan dimana kita berada. Dan begitu juga orang yang melakukan ibdah puasa yang bertujuan finalnya adalah membentuk pribadi muttaqin, niscaya akan melahirkan sikap dan tingkah laku yang terpuji yang mencerminkan sikap takwa kepada Allah.
            Kemudian ada juga ibadah yakni zakat juga diyakini sebagai mediator bagi seseorang untuk berakhlak mulia, dengan ekonomi yang baik dan berlebih seseorang dituntut untuk mengeluarkan zakat, sebagai wujud kepudulian terhadap situasi lingkungan sosial masyarakat yang kekurangan sangat membutuhkan uluran tangan dan bantuan dari berbagai pihak terutama sekali bagi orang orang yang mempunyai sedikit kelebihan hartanya. Diantara fungsi zakat selain menyucikan harta benda juga bisa membuat kita lebih hidup bermasyarkat yang memiliki rasa kebersamaan dalam kehidupan di alam ciptaan Allah.
            Demikian juga dengan ibadah haji yang dilakukan muslimin juga diharapkan mampu mencerminkan akhlakul karimah bagi yang melaksanakannya.. Cerminan sikap ibadah haji ini juga merupan indikasi bahwa haji yang bersangkutan diterima oleh Allah atau disebut dengan haji mabrul. Allah berfirman sebagai berikut:
mŠù ايات بينات P$)B OŠdºö/) ( `Br ¼&#zŠ b%. $YB#ä 3 !r ?ã ¨$Z9# km M79# `B í$ÜG# m9) x6 4 `Br ÿ. b*ù !# ÓÍ_î `ã ûüJ=»è9# (ال عمرن:٩٧)

Artinya: Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahi; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah Dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.(Q.S. Ali Imran: 97)
            Jika ibadah haji dilakukan oleh seseorang tidak mencerminkan akhlak mulia dalam praktik keseharian, kita perlu mempertanyakan apakah ibadah yang dilakukan itu sudah sesuai dengan petunjuk Al-Qur'an dan sunnah Nabi, apakah ibadahnya sudah memenuhi syarat dan rukunnya, apakah ibadah haji tersebut dilakukan secara ikhlas karena Allah dan bukan karena pamer atau motif-motif tertentu. Jadi jangan serta merta menyalahkan ibadah, misal ibadah itu tidak ada gunanya, karena tidak mempunyai dampak apa-apa dalam kehidupan sosial masyarakat. Misalnya orang mengerjakan shalat tetapi dia tetap melakukan kejahatan perbuatan yang sudah jelas dilarang oleh agama misal judi, mabuk, mencuri dan dan sebagainya. Intinya jangan kita menganggap nilai ibadah itu salah tetapi kita harus cermat dan teliti bahwa seharusnya yang dislahlan adalah pelaku ibadah yang tidak mau menghayati dan meresapi nilai-nilai ibadah, akan tetapi pelaku ibadah itu yang tidak mencerminkan akhlakul karimah.

F.    Pengaruh Ibadah terhadap Masyarakat
Untuk mengetahui pengaruh ibadah terhadap masyarakat, ada tiga aspek yang perlu dipelajari, yaitu aspek dari segi kebudayaan, aspek dari segi sistem sosial, dan aspek dari segi kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan fenomena sosial yang kompleks dan terpadu yang pengaruhinya keseharian masyarakat yang dapat diamati pada perilaku manusia. Maka timbul pertanyaan: Sejauh mana fungsi lembaga agama dalam memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan sebagai suatu sistem? Dan sejauh mana fungsi agama dalam memepertahankan keseimbangan pribadi?[23]
            Berkaitan dengan tiga aspek di atas August Comte menjelaskan secara umum tentang hubungan agama dengan masyarakat yang menurutnya, terbagi tiga tipe. Tampaknya pembagian ini mengikuti konsep August Comte tentang proses tahapan pembentukan masyarakat. Adapun tipe-tipe yang dimaksud August Comte itu adalah sebagai berikut.
1.     Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral, tipe masyarakat ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga lain yang relatif berkembang selain lembaga keluarga, agama menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan masyarakat dari masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, kemungkinan agama memasukkan pengaruh yang sakral ke dalam sistem nilai-nilai masyarakat sangat mutlak.[24]
2.     Masyarakat pra-industri yang sedang berkembang, keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi dari pada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini. Tetapi pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekuler sedikit banyak masih dapat dibedakan. Misalnya, pada fase-fase kehidupan sosial masih diisi oleh upacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan lain, pada aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung. Agama hanya mendukung masalah adat istiadat saja. Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan fokus utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perseorangan, dan pembentukan citra pribadi mempunyai konsekuensi penting bagi agama. Salah satu akibatnya, anggota masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan metode empiris yang berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menganggapi masalah-masalah kemanusiaan sehingga lingkungan yang bersifat sekuler semakin meluas.[25]
Menilik karakter-karakter yang telah dikemukakan di atas, tampaknya pengaruh agama ataupun ibadah terhadap masyarakat masyarakat pun, jika dilihat dari karakter masing-masing masyarakat pekerjaan, tidak akan berbeda jauh dengan pengaruh agama terhadap masyarakat, karena sistem masyarakat akan mencirikan budaya masyarakatnya.
Masyarakat yang berbudaya atau mentalitas kehidupan sosial ada beberapa macam masyarakat adalah sebagai berikut:

1.     Masyarakat petani.
Pada umumnya, masyarakat petani termasuk masyarakat yang terbelakang. Lokasinya berada di daerah terisolasi, sistem masyarakatnya masih sederhana, lembaga-lembaga sosialnya pun belum banyak berkembang. Di samping alasan-alasan tersebut, unsur-unsur ketidakpastian, ketidak mampuan, dan kelangkaan, sangat erat dengan kehidupan petani. Mata pencaharian utamanya bergantung pada alam yang tidak bisa dipersepat, diperlambat, atau diperhitungkan secara cermat sesuai dengan keinginan petani. Faktor cuaca, faktor pertumbuhan tanaman, faktor binatang baik sebagai alat pembatantu maupun sebagai hama faktor subur tidaknya tahah, dan sebagainya merupakan faktor-faktor yang berbeda di luar jangkauan petani. Oleh sebab itu, mereka mencari kekuatan dan kemampuan di luar dirinya yang dipandang mampu dan dapat mengatasi semua persoalan yang telah atau akan menimpa dirinya.
Maka, diadakanlah upacara-upacara atau ritus-ritus yang dianggap sebagai tolak bala atau menghormati dewa. Menyediakan sesajen bagi Dewi Sri, yang dipercayai sebagai pelindung sawah dan ladang, pada waktu akan panen menjadi keharusan bagi mereka, agar hasil panennya berlimpah. Upacara-upacara semacam itu kerap dilakukan sebagai suatu tradisi; meninggalkan upacara-upacara tersebut diyakini akan mendatangkan bala atau panennya tidak berhasil.
Dengan pengamatan selintas, pengaruh agama terhadap masyarakat petani cukup besar. Jiwa keagamaan mereka relatif lebih besar karena kedekatannya dengan alam.

2.     Masyarakat  nelayan.
Kareakter pekerja masyarakat nelayan hampir sama dengan kareakter masyarakat petani. Mata pencahariannya bergantung pada keramahan alam. Jika musimnya sedang bagus, tidak ada badai, boleh jadi hasil tangkapan ikannya melimpah. Biasanya pada waktu-waktu tertentu ada semacam upacara untuk menghormati penguasa laut, yang pada masyarakat Indonesia dikenal sebagai Nyi Roro Kidul. Berdasarkan fakta tersebut, pengaruh agama terhadap kehidupan nelayan dapat dikatakan signifikan.
Apabila dilihat menurut konsep Nottingham, baik masyarakat petani atau masyarakat nelayan, termasuk tipe masyarakat terbelakang, yang nilai-nilai sakral sangat memasuki sistem nilai masyarakatnya. Maka dalam penyampaian ajaran agama kepada mereka, hendaklah dengan cara yang sederhana dan memakai contoh-contoh yang bisa diambil dari lingkungan alamnya.

3.     Masyarakat pengrajin dan pedagang kecil.
Masyarakat pengrajin dan pedagang kecil hidup dalam situasi yang berbeda dengan masyarakat petani. Kehdiupan masyarakat ini tidka terlalu berkutat dengan situasi alam dan tidak erlalu bergantung pada hukum alam. Hidup mereka didasarkan atas landasan ekonomi yang emmerlukan perhitungan rasional. Mereka tidak menyandarkan diri pada keramahan alam yang tidak bisa dipastikan, tetapi lebih mempercayai perencanaan yang teliti dan pengarahan yang pasti.
Menurut Weber yang mempelajari sejarah agama-agama dengan cara yang berlaku pada zamannya, yaitu agama Kristen, Yahudi, Islam, Hindu, Budha, dan Konfusianisme, aoisme masyarakat pengrajin dan pedagang kecil suka meneri pandangan hidup yang mencakup etika pembalasan.[26] Mereka menaati kaidah moral dan pola sopan santun dan percaya bahwa pekerjaan yang baik dilakukan dengan tekun dan teliti akan membawa balas jasa yang setimpal. Akhirnya, agama yang mereka pilih adalah agama etis yang rasional. Dengan kata lain, unsur emosi tidak memainkan peranan terpenting dan utama sperti pada masyarakat petani dan nelayan. Hal ini serupa dengan tipe masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Bagi mereka, dalam persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan materi/sehari-hari, agama tidak dijadikan rujukan utama. Bagi mereka, rasiolah yang menjadi pegangannya.
Meskipun demikian, pada sisi lain, misalnya berkenaan dengan tahapan-tahapan kehidupan sosial seperti kelahiran, pertumbuhan anak, perkawinan, dan kematian masih diliputi oleh perasaan keagamaan yang kental, dalam hal ini, mereka masih mengadakan upacara-upacara keagamaan.

4.     Masyarakat pedagang besar.
Kategori yang paling menonjol dari masyarakat pedagang besar adalah memiliki sikapnya yang lain terhadap agama. Pada umumnya kelompok ini mempunyai jiwa yang jauh dari gagasan tentang imbalan jasa (compensation)  moral, seperti yang dimiliki masyarakat tingkat menengah bawah. Mereka lebih beroreintasi pada kehidupan duniawi (mundane) dan cenderung menutup agama profetis dan etis. Semakin besar kemewahan dan kekayaan yang mereka peroleh, semakin kecil hasrat dan kecenderungan mereka terhadap agama yang mengarahkannya pada dunia lain.[27]
Perasaan keagamaannya lebih bersifat fungsional. Kemampuan yang mereka miliki terletak pada kekuatan ekonominya. Biasanya, sebagai formalitas, mereka tidak segan-segan menymbang sejumlah dana untuk kepentingan kegiatan agama, tetapi mereka sendiri tidka terlibat langsung pada kegiatan tersebtu. Pemberian dana dianggapnya cukup untuk mewakili perasaan keagamaannya.
5.     Masyarakat karyawan.
Weber menyebut masyarakat karyawan sebagai kaum birokrat. Jika dilihat dari teori Nottingham, masyarakat ini dapat dimasukkan pada masyarakat industri, karena sistem sosial yang ada sudah bersifat modern. Hal ini dilihat dari pembagian fungsi-fungsi kerja yang ada sudah jelas dan adanya penyelesaian suatu masalah kemanusiaan berdasarkan penalaran dan efisiensi. Berdasarkan asumsi ini, dapat dipastikan bahwa rasa keberagamaan masyarakat karyawan berbeda dengan masyarakat-masyarakat lain. Penelitian Weber di China, khususnya tentang penganut agama Konfosius, menyimpulkan bahwa kecenderungan rasa keagamaan birikrasi bersifat “serba mencari untung dan enak”. Yang menjadi penyebabnya, karena  rasa kekhawatiran akan ketidak pastian, ketidak mampuan, dan kelangkaan dam kehidupan sehari-harinya dapat dikatakan tidka pernah mereka alami. Mereka sudah terjamin dengan kepastian datangnya sejumlah gaji pada setiap bulan. Maka budaya yang dikembangkan, boleh jadi seperti penemuan Weber tersebut adalah serba mencari keuntungan dan keenakan.[28]
Akan tetapi, masyarakat karyawan di Indonesia, terutama pada masa sekarang, tampaknya cukup religius. Di kantor-kantor sudah terdapat tempat-tempat salat yang terkadang dijadikan tempat salah Jum’at; bahkan, dana untuk membayar khatib dan imam Jum’at pun dikeluarkan secara khusus oleh instansinya. Instansi-instansi tertenu kdang ikut aktif dalam mengumpulkan dana zakat fitrah atau zakat harta, atau menyelenggarakan salaht Idul Adha dan Kurban, menghajikan karyawan-karyawannya yang beragama Islam secara bergilir atau berdasarkan prestasi kerja, membolehkan karyawan wanita menggunakan jilbab sebagai salah satu kewajiban yang diperintahkan dalam ajaran Islam.

6.     Masyarakat buruh.
Yang dimaksud dengan masyarakat buruh adalah mereka yang bekerja dalam industri-industri atau perusahaan-perusaan modern. Berdasarkan pengamatan Karl Marx, masyarakat buruh termasuk kelas proletar yang tidak diikut sertakan dalam kehidupan masyarakat, disingkirkan dari sistem sosial yang berlaku. Kelas ini merupakan masyarakat yang dijadikan sapi perahan untuk meraup keuntungan yang sangat besar oleh kaum borjuis.[29] Agama yang  dibutuhkan oleh masyarakat buruh tampaknya agama yang bisa membebaskan dirinya dari penghiasapan tenaga kerja secara berlebihan.

7.     Masyarakat tua muda.
Meskipun secara sosial penmasyarakat tua muda ini ada, tetapi susah ditentukan batasannya secara praktis. Kesulitan ini akhirnya mengimbas pada pernyataan tingkat pengaruh kepada masing-masing masyarakat.
Di Indonesia, usia 40 tahun ke atas biasanya dianggap telah tua, dan usia 40 tahun ke bawah dianggap muda. Usia 40 tahun ini seringkali dijadikan patokan oleh penganut agama untuk mempelajari agamanya secara intensif dan berupaya menghayatinya secara mendalam dengan mengamalkan perintah dan larangan ajaran agamanya. Misalnya saja, salat berjamaah di mesjid-mesjid seringkali lebih banyak diisi oleh masyarakat tua dari pada golognan muda. Masyarakat muda lebih banyak mengisi acara-acara pesta atau kegiatan yang bersifat duniawi.
Berdasarkan pengamatan sepintas tersebut, dapat dikatakan bahwa agama pada masyarakat tua lebih kental dibandingkan dengan masyarakat muda. Namun, bila asumsi ini diterapkan pada zaman sekarang, ternyata mengalami kesulitan juga, karena tidak jarang banyak orang yang berumur 40  ke atas berlaku seperti anak muda, pergi ke pesta-pesta, diskotek, pub, atau cafe-cafe untuk berhura-hrua. Sebaliknya, banyak di antara masyarakat muda mengikuti, melaksanakan, dan mengisi waktunya dengna kegiatan-kegiatan keagamaan. Misalnya, kini bermunculan kelompok-kelompok pengajian remaja mesjid yang mengadakan berbagai kegiatan kegamaan, seperti muludan, pesantren kilat, tablig akbar, dan lain sebagainya. Bahkan, kini jilbab sudah menjadi mode yang trend di kalngan anak muda.

8.      Masyarakat pria-wanita.
            Secara Psikologis, waktak umum pria dan wanita berbeda. Dalam menghadapi suatu keadaan, watak pria lebih dominaan menggunakan pertimbangan rasional, sedangkan wanita lebih dominan pertimbangan rasa/emosinya.
Jika dilihat secara  keseluruhan, tujuan beragama seseorang itu rata-rata mencari untuk ketenangan batin. Dalam masalah penghayatan keagamaan, tampaknya masyarakat wanita lebih dominan, karena faktor pembawaan mereka umumnya cenderung emosional. Bagi wanita, yang terpenting dari keberagamaan itu dapat merasakannya secara langsung. Sementara masyarakat pria kurang menghayati rasa-rasa keagamaan seperti itu. Mereka memerlukan dasar rasionalnya terlebih dahulu. Oleh karena itu, pengaruh agama terhadap masyarakat wanita cukup signifikan, sebaliknya, masyarakat pria cenderung mengarah kearah sekuler.

G.   Usaha-usaha dalam Meningkatkan Ibadah
Usaha-usaha dalam meningkatkan ibadah yang dimaksudkan disini adalah usaha-usaha yang dapat ditempuh oleh tokoh-tokoh masyarakat dalam meningkatkan ibadah masyarakatnya. Dan hal ini merupakan salah satu tugas yang harus dilakukan oleh tokoh masyarakat sebagai bentuk tanggung jawabnya selaku orang yang mempunyai pengaruh dalam masyarakat.
            Tokoh masyarakat merupakan pelaku dakwah pertama dalam masyarakat yang dikembangkan untuk melakukan penyiaran agama Islam. Tokoh masyarakat memiliki kaitan erat dengan pendidikan Islam pada masyarakat, sehingga salah satu tugas tokoh masyarakat mengandung arti sebagai pemberi jalan untuk menanamkan pengetahuan agama  pada diri seseorang agar menjadi pribadi yang Islami. Karena itu tokoh masyarakat dalam peningkatan ibadah masyarakat dianggap sebagai orang yang memprasaranai untuk memahami, menggali, dan mengembangkan ajaran Islam (ibadah).
Dalam peningkatan ibadah masyarakat, tokoh masyarakat berfungsi  sebagai pemberi jalan atau cara  yang sebaik mungkin  dalam mentransfer ilmu agama terutama menyangkut penanaman nilai-nilai yang terdapat dalam Islam,  khususnya  dalam pelaksanaan kegiatan dakwah dan mempunyai pola sebagai berikut:

1.     Memberikan Contoh Teladan
Kata teladan dalam al-Qur'an indentik dengan kata uswah  yang kemudian diberi sifat hasanah di belakangnya  yang berarti contoh teladan yang baik. Kata uswah dicontohkan  pada Nabi Muhammad SAW  dan Nabi Ibrahim, "Dalam diri rasulullah itu kamu dapat menemukan teladan yang baik. Metode teladan ini dianggap penting karena aspek agama yang  mengandung akhlak yang termasuk  dalam kawasan afektif  yang terwujud dalam  bentuk tingkah laku  (behaviroral).[30]  Dalam surat al-Ahzab ayat 21 juga dijelaskan sebagai berikut:
لقد كان لكم فى رسول الله اسوة حسنة ... (الأحواب: ٢١)
Artinya: " Dalam diri rasulullah itu kamu dapat menemukan teladan yang baik …" (Q.S. al-Ahzab : 21).

2.     Memberikan Nasihat
Al-Qur'an juga menggunakan kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia kepada ide yang dikehendakinya. Inilah yang kemudian dikenal dengan nasihat. Tetapi nasihat yang disampaikannya ini  selalu disertai  dengan panutan  atau teladan dari sipemberi atau penyampai nasihat itu. Ini menunjukkan bahwa antara satu metode yakni nasihat dengan metode lain yang dalam hal ini keteladanan bersifat saling melengkapi.
Dalam pesantren nasihat itu terkait dengan para nabi kepada kaumnya. Sebagai contoh nabi Shaleh ketika meninggalkan kaumnya berkata:
فتولى عنهم وقال ياقوم لقد ابلغتكم رسالة ربي ونصحت لكم ولكن لاتحبون النصحين (الأعراف: ٧۹)
Artinya: "Maka Saleh meninggalkan mereka seraya berkata: Hai kaumku, sesungguhnya aku  telah menyampaikan  kepadamu  amanah Tuhanku, dan  aku  telah memberi nasihat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai  orang-orang yang memberi nesihat." (Q. S Al-a’raf: 79). 
Demikian juga dengan nabi Syu'aib kepada kaumnya;
فتولى عنهم وقال يقوم لقد ابلغتكم رسالت ربي ونصحت لكم فكيف اسى على قوم كافرين (الأعراف: ۹۳)
Artinya: "Maka Syu'aib meninggalkan mereka seraya berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku telah  menyampaikan  kepadamu amanah-amanah Tuhanku dan aku telah   memberi nasihat kepadamu" (Q.S. Al-a’raf: 93).
Dari  ayat-ayat  di atas  terlihat bahwa  al-Qur'an  secara eksplisit  menggunakan  nasihat  sebagai  salah satu  cara  untuk menyampaikan suatu ajaran. Al-Qur'an berbicara tentang penasihat, yang dinasihati, obyek nasihat, situasi nasihat  dan latar belakang  nasihat. Karena itu sebagai metode pengajaran nasihat dapat diakui kebenarannya.[31]

3.     Membiasakan
Tokoh masyarakat juga memberikan pembinaan melalui kebiasaan yang dilakukan secara bertahap.  Dalam  hal ini  termasuk  merubah kebiasaan-kebiasaan yang negatif. Al-Qur'an menjadikan kebiasaan itu sebagai  salah satu teknik dalam pendidikan. Lalu ia  mengubah  seluruh sifat-sifat  baik  menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa  kehilangan  banyak tenaga, dan tanpa  menemukan banyak kesulitan.  Selain itu al-Qur'an juga menciptakan agar tidak terjadinya kerutinan  yang kaku  dalam bertindak, dengan cara  terus menerus mengingatkan  tujuan  yang ingin  dicapai  dengan kebiasaan  itu,  dan dengan  menjalin hubungan  yang dapat  mengalirkan bekas cahaya ke dalam hati sehingga  tidak  gelap gulita.
Karena itu tokoh masyarakat dapat menggunakan  kebiasaan  tidak terbatas  yang baik  dalam bentuk perbuatan  melainkan  juga  dalam bentuk  perasaan  dan pikiran. Dengan kata lain pembiasan yang ditempuh pesantren juga menyangkut segi  pasif dan aktif. Kedua segi ini tergantung pada kondisi  sosial ekonomi, bukan menyangkut kondisi  kejiwaan  yang berhubungan  erat  dengan  akidah atau etika. Sedangkan  yang bersifat aktif atau menuntut pelaksanaan, ditemukan pembiasaan  secara  menyeluruh.[32]

4.     Khutbah
Ceramah atau khutbah termasuk cara yang paling banyak di gunakan dalam menyampaikan atau mengajak orang lain mengikuti ajaran yang telah ditentukan.[33] Dalam al-Qur'an kata-kata khutbah adalah:
وعباد الرحمن الذين يمشون على الارض هونا واذا خاطبهم الجهلون قالواسلما (الفرقان: ٦۳)
Artinya: Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) Keselamatan  (Q.S. Al-Furqan: 63).
Khutbah disebut juga tabligh atau menyampaikan sesuatu  ajaran, khususnya dengan lisan diakui keberadaannya, bahkan telah dipraktekkan oleh Rasulullah dalam mengajak  umat manusia  ke jalan Tuhan.[34]  Cara ini banyak digunakan termasuk dalam pengajaran, karena metode ini paling murah, mudah dan tidak banyak memerlukan peralatan.  Model ini juga dipergunakan seorang tokoh masyarakat dalam melakukan pembinaan terhadap anggota masyarakatnya.[35]
Namun demikian dalam penerapan kegiatan tersebut terdapat beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya, antara lain:

a.       Tujuan Yang Hendak Dicapai
Setiap melaksanakan kegiatan peningkatan ibadah anggota masyarakat tentunya mempunyai tujuan yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Misalnya pada tujuan pengajaran aqidah dan syari’at berbeda dengan tujuan pengajaran akhlak. Pelajaran tauhid berbeda tujuannya dengan pelajaran fiqh, demikian juga sebaliknya.
Oleh sebab itu, karena tujuan umum maupun tujuan khusus dari masing-masing kegiatan pembinaan memiliki perbedaan dan tekanannya masing-masing, maka implikasinya dalam kegiatan hendaklah mampu melihat perbedaan-perbedaan tersebut dan membawanya ke dalam situasi pemilihan sistem yang dianggap paling tepat dan serasi untuk diterapkan.[36]
Berdasarkan keterangan di atas, menandakan bahwa penerapan kegiatan pembinaan harus disesuaikan dengan materi apa yang akan diberikan, karena hanya dengan cara demikian barulah tujuan yang dikehendaki akan tercapai.

b.      Kemampuan Tokoh Masyarakat
Efektif tidaknya suatu kegiatan pembinaan masyarakat juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan tokoh masyarakat yang melaksanakannya. Di samping kepribadian tokoh masyarakat memang cukup dominan pengaruhnya, misalnya seorang tokoh masyarakat A oleh karena mahir dan cerdik dalam berbicara sehingga setiap pendengar menjadi terkesan dan terpukau dengan pembicaraannya, maka ceramah menjadi pilihan utama di samping cara lain sebagai pendukungnya. Akan tetapi ceramah tersebut akan menjadi tidak efektif bagi seorang tokoh masyarakat yang pendiam dan tidak menguasai teknik-teknik berceramah yang baik.[37]
Berdasarkan gambaran di atas, maka dapat dipahami bahwa kemampuan tokoh masyarakat sangat berperan untuk memilih materi yang sesuai dengan materi ceramah yang diberikan. Jika metode yang digunakan tidak sesuai, maka proses pelaksanaan pembinaan peningkatan ibadah masyarakat tidak akan berhasil. Oleh karena itu, kemampuan tokoh masyarakat memegang peranan penting dalam menciptakan keberhasilan pembinaan.

c.       Masyarakat
Hal yang perlu diperhatikan pula dalam peningkatan ibadah masyarakat adalah masyarakat itu sendiri, karena tokoh masyarakat berhadapan dengan makhluk hidup yang bernama manusia itu, dengan potensi dan fitrah yang dimilikinya memberi kemungkinan sekaligus harapan untuk berkembang dengan baik ke arah yang lebih sempurna.[38]
Pada fitrahnya memang setiap individu telah diberikan hidayah kebaikan (berupa ketauhidan dan keimanan) oleh Allah SWT. Akan tetapi iman dan tauhid itu dapat saja berubah ke arah kelunturan apabila tidak disiram dan dipupuk dengan bimbingan ke jalan menuju ke arah keimanan dan Islam. Dalam hal ini berhadapan dengan masyarakat yang masing-masing memiliki perbedaan kemampuan, kecerdasan, karakter, latar belakang sosial ekonomi dan perbedaan tingkat usia antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu untuk mendukung hal tersebut diperlukan kearifan dalam penyampaian pembinaan sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nahlu ayat 25 sebagai berikut:
ادع  إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين (النحل: ١٢٥)
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Q. S. an-Nahlu: 125)
Dari gambaran ayat di atas, maka diketahui bahwa usaha untuk mensukseskan kegiatan harus ditempuh dengan cara mendidik manusia sebijaksana mungkin. Hal ini merupakan usaha untuk meningkatkan keberhasilan proses pembinaan dalam kehidupan manusia.

d.      Situasi dan Kondisi
Situasi dan kondisi di mana berlangsungnya kegiatan pembinaan juga harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam membina masyarakat.
Situasi dan kondisi yang dimaksud, yaitu termasuk kondisi lapangan, apakah berada di pasar atau di samping bioskop dan sebagainya. Demikian juga keadaan tokoh masyarakat dan masyarakat saat mana waktu akan memberikan ceramah apakah tokoh masyarakat dalam keadaan lelah sehingga pembinaan pada saat itu perlu dipertimbangkan dan diganti dengan tokoh masyarakat lain yang dianggap lebih tepat. Ini berarti tokoh masyarakat perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi jika pembinaan ingin berhasil secara optimal.[39]
Berdasarkan gambaran di atas, dapat dipahami bahwa situasi dan kondisi merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi proses pembinaan peningkatan ibadah masyarakat, karena keberhasilan pembinaan sangat bergantung pada situasi dan kondisi. Apabila situasi dan kondisi tidak dipengaruhi oleh kebisingan atau rasa lelah yang menimpa tokoh masyarakat, maka kegiatan pembinaan masyarakat akan berhasil dengan baik.





                     





[1]Soenarjo, dkk, Al-Qur'an dalam Kehidupan Manusia, (Semarang: Toha Putra, 1989), hal. 6

[2]M. Amin Abdullah, Filsafat Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 21.

[3]Soenarjo, dkk, Al-Qur'an dalam … hal. 11

[4]Ibid., hal. 17

[5] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 41.
[6] M. Amin Abdullah, Filsafat Kalam ... hal. 21

[7]Masykur Djalal, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000), hal. 119

[8]Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), hal. 119.

[9]Azis Abbas, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Sumber Widya, 1995), hal.  71.
[10]M. Nasir Budiman, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur'an, (Jakarta: Madani Press, 2001), hal. 1.

[11]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000),  hal. 292.

[12]Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. V, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004),  hal. 20.
[13]Herry Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 56.

[14]Abdullah Munir Mulkham, Paradigma Intelektual Musli, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 84

[15]Ibid., hal. 208

[16] Ibadah, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1991), hal. 144
[17]Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Depertemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta:  Bulan Bintang, 2000), hal. 126.
  
[18] Ibid., hal. 230.

[19]HAMKA, Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986, hal. 176

[20]Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz I, (Cairo: Maktabah al-Musyahid al-Hasyimi, t.t.), hal. 236

[21]Mansur Ali Rajab, Ta’ammulat fi Falsafati Akhlak, (Dar al-Kutub: Mesir, 1991), hal. 246

[22]KH.MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hal. 180
[23]M. Munandar Soelaeman, Ilmu Social Dasar dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung: Eresco, 1995), hal. 220

[24]August Comte, Sosiologi Agama dalam Kehidupan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993) hal. 88

[25]Ibid., hal. 91
[26]Weber Max, Sosiologi Tata Kehidupan Beragama, (Yogyakarta: Oxford Universiti Press, 1983), hal. 232
[27] Ibid., hal. 235
[28] Ibid., hal. 321

[29] Karl Marx, Pengantar Antropologi,(Jakarta: Dian Rakyat, 1986), hal. 124
[30]Muhammad Quthb, Sistem Pemikiran Islam, (Bandung: Al-Ma'arif, 1984), hal. 183.

[31]Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 100.
[32]Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, (Bandung:  Mizan, 1982), hal.  176. 

[33]AM. Romli, Dakwah  dan Siyasah, (Jakarta: Bina Rena Parawira, 2003), hal. 7.

[34]Hilmi Muhammadiyah, Dakwah dan Globalisasi, (Jakarta: ELSA, 2000), hal. 3.
[35]Zamaskuri Zarkashi, Pedoman Para Da'i, (Jakarta: Bulan Bintang, 19 85), hal. 52.

[36]Tayar Yusuf dan Syaiful Anwar, Dinamika Pengajaran Pesantren, (Surabaya: Pustaka Rizki Putra), 1990. hal. 7

[37]Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Cet. V, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), hal. 33

[38]Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 39

[39]Amir Yusuf Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 43