Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengertian Keadilan Sosial

Pengertian Keadilan Sosial

BAB III
PERSOALAN-PERSOALAN KEADILAN SOSIAL


A.         Pengertian Keadilan Sosial
Persoalan keadilan merupakan salah satu persoalan pokok yang disasari umat manusia semenjak mereka mulai berpikir. Namun setelah manusia menginjak pola kehidupan bernegara masalah keadilan dalam pemerintahan banyak menyibukkan para pemikir, khususnya para pemimpin agama yang saat itu merupakan salah satunya kelas literati dalam masyarakat.
Keadilan sosial merupakan salah satu gejala yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sosial. Namun demikian secara lebih tegas keadilan sosial dapat diberi pengertian bahwa keadilan merupakan dua bentuk kata yang berbeda maknanya. Kata keadilan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata adil yang artinya tidak berat sebelah; tidak pandang bulu.[1] Apabila kata adil tersebut diberikan imbuhan “ke” dan “an” menjadi keadilan yang melekat pengertiannya adalah keseimbangan dalam melakukan suatu tindakan atau memberikan keputusan di pengadilan. Sedangkan kata sosial menurut Kamus Bahasa Indonesia  dapat diartikan adalah “segala sesuatu mengenai masyarakat; kemasyarakatan; suka memperhatikan kepentingan umum; suka menolong dan sebagainya”.[2]
Para ahli sejarah mencatat bahwa cita-cita keadilan umat manusia itu untuk pertama kalinya secara hukum mewujudnyatakan dalam hukum atau kodeks Hammurabi. Maka Babilonia merupakan negara pertama yang mengenal sistem keadilan sosial berdasarkan hukum yang tema pokoknya ialah keadilan. Kodeks Hammurabi itu berbunyi sebagai berikut:
Ketika Anu yang mulia, Raja dari Annunaki
Dan Enlil, Tuhan langit dan bumi,
Penentu nasib negeri
Yang ditentukan untuk Marduk, putera pertama Enki
Yang menguasai seluruh umat manusia
Kemudian Anu dan Enlil menunjukkan aku, Hammurabi…
Untuk membuat keadilan berkuasa di negeri…
Untuk menghancurkan yang berdosa dan zalim
Agar yang kuat tidak menindas yang lemah
Untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.[3]

Ismail al-Faruqi menjelaskan bahwa daro kodeks itu terlihat bahwa Hammurabi (memerintah 1728-1686 SM) mengaku hanyalah dibimbing oleh Tuhan, yang disebut Marduk, untuk memerintah dunia dengan keadilan. Hammurabi sendiri bukanlah, dan tidak mengaku, sebagai Tuhan, melainkan sebagai seorang hamba atau abdi yang ditunjuk untuk memerintah atas nama-Nya, guna menegakkan hukum yang merupakan kehendak-Nya untuk umat manusia. Negeri dunia menjadi tiruan atau replica negeri alam raya di mana Marduk, dewa Utama memerintah di antara Annunaki, masyarakat para dewa. Kekuatan dan kekuasaan raja yang harus digunakan untuk kepentingan “anak-anak yatim dan para janda”, untuk mereka yang tertindas di seluruh negeri dunia guna membebaskan mereka dari penindasan dan guna mengembalikan hak-hak mereka. Maka, kata al-Faruqi, godaan amat besar terhadap seorang raja untuk melihat dirinya sebagai dewa atau setengah dewa, dalam kondeks Hammurabi itu diruntuhkan sekali untuk selama-lamanya.[4]
Warisan raja Babilonia tersebut sangat banyak mempengaruhi pemikiran kenegaraan dan kemasyarakatan bangsa-bangsa Semit di Lembah Mesopotamia dan sekitarnya. Keadaan it uterus berlanjut, untuk kemudian menyatakan diri lebih tegas pada ajaran-ajaran para nabi yang kebanyakan memang muncul dari kalangan bangsa-bangsa Yahudi dan Arab, terutama sejak Nabi Ibrahim putera ‘Azar dari Babilonia.
Karena latar belakang itulah, sebagian para ahli tentang pertumbuhan pemikiran manusia menggolongkan pola ajaran para nabi Timur Tengah pada kelompok ajaran yang berorientasi kepada sejarah. Yakni, para nabi itu mengarahkan sasaran ajaran mereka kepada usaha memperbaiki peri kehidupan manusia sebagaimana terwujud dalam sejarah. Dan disebut sejarah, karena cita-cita perbaikan itu hendak diwujudkan dalam pengalaman nyata hidup kolektif manusia di dunia, dalam konteks ruang dan waktu. Pola ajaran nabi Semit yang berorientasi kepada sejarah itu bisa dibandingkan dengan di satu pihak, pola ajaran para filosof Yunani yang berorientasi kepada alam jagat raya (kosmos) dan menghasilkan filsafat dan, dipihak lain, pola ajaran para guru kerohanian India yang berpusat kepada hakekat manusia dan menghasilkan elaborasi tentang olah ruhani seperti yoga-yogi, pertapaan dan meditasi.[5]
Jadi dapat dipahami bahwa tema pokok usaha perbaikan masyarakat oleh para nabi bangsa-bangsa Semit ialah menegakkan keadilan. Dengan kata lain, keadilan merupakan inti tugas suci para nabi, sebagaimana hal tersebut ditegaskan para ulama dalam menafsirkan berbagai kitab suci. Berkenaan dengan hal tersebut Ibnu Taimiyah menegaskan sebagai berikut:
“Jika urusan dunia ini diperintah dengan keadilan, maka masyarakat akan menjadi sehat, biarpun terdapat keburukan moral pribadi para penguasa…dan jika urusan dunia ini diperintah dengan kedhaliman, maka masyarakat akan runtuh, tanpa peduli kesalehan pribadi para penguasa yang tentunya akan diberi pahala di akhirat nanti… maka urusan dunia akan ditegakkan dengan baik karena keadilan, sekalipun tidak ada keagamaan; dan akan runtuh karena kedhaliman, sekalipun disertai dengan Islam”.[6]

Dalam kehidupan kenegaraan, khususnya berkenaan dengan pandangan dasar dalam Pancasila, prinsip keadilan disebutkan dalam rangka “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan “keadilan sosial”. Fakta ini menunjukkan tingginya cita-cita keadilan dalam konsep kenegaraan Syeikh al-Ghazali.

B.          Sebab-Sebab Terjadi Perubahan Sosial
Dalam kehidupan merupakan terjadi perubahan merupakan hal yang pantas terjadi. Hal tersebut disebabkan masyarakat merupakan sekelompok manusia yang saling berinteraksi satu sama lainnya, sehingga dalam berinteraksi tersebut sering terjadi berbagai perubahan. Dengan kata lain, perubahan dapat terjadi karena adanya interaksi sosial dalam masyarakat.
Suatu ciri yang khas dalam masyarakat manusia – yang tidak dapat dikembari oleh masyarakat-masyarakat makhluk lain – adalah dikenal dan digunakannya sistem simbolik antara para warga masyarakat. Dengan adanya sistem seperti ini dapatlah suatu situasi dibayangkan di dalam mental, dan disampaikan kepada orang lain walaupun situasi tersebut dapat ada (atau tidak pernah ada) di dalam wujud yang kongkret.
Di dalam masyarakat selalu ada, dan selalu dimungkinkan adanya, apa yang disebut double reality. Di satu pihak ada sistem fakta, yaitu sistem yang tersusun atas segala apa yang senyatanya di dalam kenyataan ada, dan di lain pihak ada sistem normative, yaitu sistem yang berada dalam mental yang membayangkan tentang apa yang seharusnya ada.[7]
Sistem fakta dan normative tersebut di atas itu sesungguhnya bukan dua realitas yang identik. Namun, meskipun tidak identik, kedua realitas itu pun sama sekali tidak saling berpisah. Antara keduanya ada pertalian erat; secara timbal balik, yang satu amat mempengaruhi yang lainnya.
Pertama-tama, sistem fakta berfungsi sebagai determinasi sistem normative. Artinya, bahwa apa yang dibayangkan di dalam mental sebagai suatu keharusan itu sesungguhnya adalah selalu sesuatu yang di alam kenyataan merupakan seseutau yang betul-betul ada, dan atau yang mungkin ada. Norma atau pertimbangan dalam kenyataan dan mempertimbangkan pula segala kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam situasi fakta. Orang tidak akan mungkin diwajibkan melakukan tindakan yang tidak akan dikerjakanoleh orang pada umumnya.
Namun jika ditinjau dari aspek sosisologis, kehidupan sosial berlangsung dalam suatu wadah yang disebut masyarakat. Dalam konteks pemikiran sistem, masyarakat akan dipandang sebagai sebuha sistem (sosial). Di sisi lain, pandangan ini selain menunjukkan pada suatu satuan masyarakat yang besar, misalnya mkdesa, masyarakat kota atau masyarakat Indonesia. Di sisi lain, juga bisa menunjukkan pada satuan masyarakat yang kecil, mialnya keluarga, organisasi dan sebagainya. Menurut Talcoot Parsons, kehidupan sosial itu harus dipandang sebagai suatu sistem sosial. Atinya, kehidupan tersebut harus dilihat sebagai suatu keseluruhan atau totalitas dari bagian-bagian atau unsure-unsur yang saling berhubungan satu sama lain, saling tergantung, dan berada dalam suatu kesatuan. Kehidupan sosial seperti itu yang disebut sistem sosial.[8]
Karakteristik lain dari kehidupan social – sebagaimana dikatakanTalcoot Parsons – adalah ia cenderung selalu mempertahankan ekuilibrium atau keseimbangannya. Dengan kata lain, keteraturan merupakan norma dari sistem. Jika dalam sebuah kehidupan sosial terjadi penyimpangan atau ketidakteraturan dari norma, maka sistem akan berusaha menyesuaikan diri dan mencoba untuk kembali kepada keadaan semula.
Melalui proses penyesuaian yang akomudatif – cepat atau lambat – sebuah kehidupan sosial akan menjadi terbiasa dan kemudian keseimbangan dalam sistem kehidupan sosial akan bisa normal. Norma tentang kesopanan mungkin akan menjadi sedikit lebih longgar. Namun, jika kehidupan bermasyarakat dipandang sebagai sistem sosial, berarti melihat masyarakat sebagai suatu kesatuan yang memiliki karakteristik seperti halnya sebuah sistem. Tetapi, satu hal yang perlu dicatat, meski memiliki karakteristik sebagai sebuah system, masyarakat bukan sebuah sistem yang bersifat empiris. Karena sifatnya tidak empiris itulah yang menyebabkan terjadi perubahan dalam kehidupan sosial.[9]
Menurut Syeikh al-Ghazali terjadinya perubahan sosial disebabkan oleh peran ilmu-ilmu sosial. Apalagi pengaruh ilmu sosial sangat terasa dalam kehidupan kemasyarakatan, sehingga dalam perkembangan masyarakat, aktualisasi nilai-nilai Islam berlangsung mengikuti irama berbagai macam sistem nilai kebudayaan yang pluralistic yang masing-masing membentuk struktur masyarakat yang berbeda. Tetapi sistem nilai yang membentuk prilaku dan corak struktur sosial, keduanya mempengaruhi anggota masyarakat dalam memahami ajaran Islam. Karena itu, perbedaan aktualisasi ajaran Islam dalam bentuk kerja dan kegiatan ekonomi dapat terlihat dari kegiatan masyarakat yang umumnya menganut ajaran Islam dengan sistem nilai yang berbeda-beda.[10]
Berdasarkan gambaran di atas, maka tergambar dengan jelas bahwa penyebab terjadi perubahan sosial dalam masyarakat dikarenakan adanya sistem nilai sosial yang selalu berubah setiap waktu. Bahkan Syeikh al-Ghazali menukilkan bahwa perubahan sosial terjadi karena masyarakat Islam telah jauh meninggalkan sistem sosial yang diajarkan Al-Qur'an, sehingga umat manusia menjadi lalai dalam menjalankan tugasnya.
Namun demikian, menurut ahli sosiologi beranggapan bahwa Islam – yang diakui pemeluknya sebagai agama terakhir dan penutup dari rangkaian petunjuk (wahyu) Tuhan untuk mermbimbing kehidupan manusia – mengkalim dirinya sebagai agama yang paling sempurna. Salah satu makna kesempurnaan adalah bahwa Islam diyakini bersifat universal yang meliputi berbagai dimensi ruang dan waktu. Dengan ungkapan apologia, jika ditafsirkan secara kontekstual, maka ajaran Islam cocok dimana saja dan kapan saja.
Akan tetapi nasib masyarakat Islam di zaman modern ini sangat ditentukan oleh kemampuan masyarakat Islam dalam merespon tuntutan dan perubahan sejarah yang terjadi di era modern. Umpamanya, fenomena munculnya sufisme pada era modern ini merupakan salah satu usaha reinterpretasi dan reaktualisasi tertentu kepada ajaran Islam, dengan tujuan agar tidak saja relevan bagi kehidupan modern, tetapi juga untuk mengefektifkan fungsinya sebagai sumber makna hidup bagi pemeluknya. Namun demikian, apa yang disuguhkan atau bentuk respon Islam selama ini – yaitu yang secara fenomenal disebut modernisme Islam dan fundamentalisme Islam – dianggap tidak memadai untuk disuguhkan di masyarakat era modern dewasa ini.[11]

C.          Pengaruh Keadilan Sosial Dalam Masyarakat Modern
Masyarakat merupakan sebuah interaksi yang terjadi antara sesama umat manusia yang saling bergantungan satu sama lainnya. Karena itu, kehidupan manusia tersebut, sangat dipngaruhi oleh keadilan yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri, sehingga membawa dampak yang lebih baik untuk mewujudkan kehidupan yang layak.
Dengan demikian, hal yang paling penting ditekankan dalam masalah ini adalah faktor struktur yang mempengaruhi aktualisasi tersebut. Namun demikian, konsep konvensional yang bisa dilihat perkembangan masyarakat ialah pembagian golongan muslim.
Aspek keadilan sosial ditentukan dalam lima katagori kemampuan dari sistem politik. Untuk itu, Almond menyebut katagori-katagori tersebut untuk menentukan kapabilitas suatu sistem politik. Pertama, kemampuan ekstraktif sebagai persyaratan dalam mengumpulkan sumber-sumber alami dan manusiawi. Kedua, kemampuan regulative sebagai arus kontrol dari sistem politik.
Masalah keadilan sosial banyak berhubungan dengan katagori ketiga yakni kemampuan distributive. Termasuk ke dalam kemampuan distributive ini adalah alokasi barang, jasa, kehormatan, status dan kesempatan kepada kelompok dan individu dalam masyarakat.katagori keempat, adalah kemampuan simbolki, alam bentuk pameran kekuatan dan kekuasaan pada saat-saat yang kritis. Katagori kelima, yakni kemampuan responsive juga berhubungan dengan aspek keadilan sosial dari suatu sistem politik. Hal ini menyangkut dengan infut yang dating dari masyarakat dengan output yakni kebijaksanaan dari suatu sistem politik.[12]
Pandangan Almond mengenai keadilan sosial dalam teorinya itu, mencerminkan suatu justifikasi terhadap sistem politik liberal. Sebab, menurut teori Almond, di dalam sistem politik ada kesempatan untuk berkompetensi dan konflik dalam menentukan output, yakni kebijaksanaan-kebijaksanaan. Yang berbeda adalah kemampuan tiap kelompok dan individu untuk mempengaruhinya, yang antara lain melahirkan kelompok-kelompok kepentingan. Kelemahan dari teori ini adalah tidak diperhatikannya veriabel sosial ekonomi tiap kelompok atau individu.
Karena itu, peranan yang besar dalam masyarakat dibebankan kepada kelompok kelas menengah, yang oleh Lipset dianggap “bukan kaum proletariat, bukan pula kelas borjois”. Kelas menengah ini yang menjadi faktor integrative, baik dalam nilai-nilai maupun dalam distribusi politik. Dengan adanya kelas menengah yang kuat, maka unsur moderatlah yang berkuasa dalam suatu sistem politik, sehingga kestabilan politik terjamin.[13]
Terhadap teori seperti yang dikemukakan Lipset, timbul kritik karena kelemahan konseptualnya, misalnya, timbul permasalahan apakah perubahan nilai-nilai dan kepercayaan dari kelas rendah disebabkan oleh “integrasi” mereka ke kelas menengah ataukah oleh karena kegoncangan mereka terhadap sistem nilai seluruhnya.[14] Demikian pula, masih dipermasalahkan sejauhmana kestabilan politik dapat dijamin oleh pembangunan ekonomi dengan menyaksikan munculnya kelompok-kelompok baru yang sangat radikal yang tidak jarang justeru berasal dari kalangan kelas menengah.
Perbedaan utama antara pemikiran Marxis dengan yang bukan Marxis adalah dalam memandang determinan ekonomi sebagai penentu utama sikap, tingkah laku dan nilai-nilai lembaga serta actor politik. Dengan membaga masyarakat dalam kelas-kelas borjuis dan proletar, Marx menganggap bahwa di dalam masyarakat yang kapitalis “eksekutif di negara modern hanyalah suatu komite yang mengurus masalah-masalah bersama seluruh golongan borjuis”.[15] Dengan demikian, Marx menganggap negara adalah suatu instrument yang koersif dari kelas yang berkuasa, yang dicirikan oleh pemilikan dan control dari alat-alat produksi.
Akan tetapi, agar Islam mampu memerankan fungsinya menjadi dialektis konstruktif perlu dikembangkan program reinterpretasi pesan-pesan agama. Dalil-dalil normative yang ada dalam Al-Qur'an dan hadits harus di-break down dalam bentuk teori-teori sosial yang dapat diaplikasikan. Atau, lebih tepatnya harus dikontekstualisasikan agar berfungsi histories, kekinian, dan membumi. Di sini, para ulama atau para pemuka agama sangat dibutuhkan dalam melakukan reinterpretasi agama. Ulama diharuskan berperan langsung dalam melakukan pencerahan kepada masyarakat melalui reinterpretasi agama, sehingga pesan-pesan agama menjadi fungsional serta ajaran keadilan, toleransi, dan cinta kasih yang terkandung di dalam agama menjadi implementatif dan integrative dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.[16]
Dengan demikian, agama sebaik berfungsi menafsirkan kenyataan hidup dan mengarahkan, artinya memiliki fungsi interpretative dan etis. Dalam perspektif ini, agama tidak hanyut dan tenggelam dalam politik, dan politik pun tidak memperalat agama. Fungsi interpretative dan fungsi etis hanya mungkin dijalankan kalau agama dan politik tidak dicampuradukkan. Dalam situasi seperti itu, interaksi agama dan politik akan menekankan dinamisme perubahan yang dituju, sehingga kehidupan bersama akan lebih manusiawi karena kemerdekaan dan keadilan. Tanpa ada kedua fungsi ini, agama akan mudah menjadi legitimasi atau diperalat oleh praktik politik dan praktik ekonomi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian, tampaknya konflik sosial berwajah agama perlu dilihat dalam kaitan-kaitan politis, ekonomi atau sosial budayanya. Apabila benar bahwa konflik sosial, maka masalah pembangunan ekonomi perlu dtingkatkan lebih jauh agar nilai-nilai kehidupan lebih berkeadilan, kebebasan, dan menjaga hak-hak azasi manusia lainnya.



[1]Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasan Indonesia Modern, Jakarta: Pustaka Amani, t.t., hal. 2

[2]Ibid. hal. 459

[3]M. Amin Rais, Islam di Indonesia Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 120
[4]Hasan Shadily, Sosilogi Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1995, hal. 135
[5]Ibid., hal. 213
[6]Ibnu Tamiyah, Majmuatul Fatawa, Jil. II, Beirut: Darusy Syuruq, t.t., hal. 117
[7]Hassan Shdily, Sosiologi Umum, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1993, hal. 96
[8]Ibid., hal. 100
[9]Riaz Hasan, Islam; Dari Konservatif sampai Fundamentalis, Jakarta: Rajawali, 1985, hal. 66
[10]Syeikh Muhammad al-Ghazali, Berdialog dengan Al-Qur'an, Terj. Masykur Hakim, Mizan: Bandung, 1996, hal. 110
[11]Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung, Remaja Roda Karya, 2000, hal. 204
[12]Gabriel Almond, Political Development; Easays in Heuristi Theory, Bouston: Little Brown, 1970, hal. 198

[13]Seymour Martin Lipset, Political Man; The Social Reses of Politics, Anchor Bokk, 1963, hal. 45
[14]Ibid., hal. 50

[15]Mattulda, Politik Kebudayaan dan Keadilan Sosial; Tinjauan Sosial, Jakarta: LP3Es, 1981, hal. 102

[16]Dadang Kahmad, Op. cit., hal. 176-177