BAB II
KEDUDUKAN KELUARGA
A. Pengertian Keluarga
Keluarga adalah “jiwa masyarakat dan
tulang punggungnya. Kesejahteraan lahir dan batin yang dinikmati oleh suatu
bangsa, atau sebaliknya, kebodohan dan keterbelakangannya adalah cerminan dari
keadaan keluarga-keluarga yang hidup pada masyarakat bangsa tersebut”.[1] Keluarga
adalah “sekolah tempat putra-puteri bangsa belajar”[2].
Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat, dan
kasih sayang, ghirah (kecemburuan positif) dan sebagainya. Dari
kehidupan keluarga, seorang ayah dan suami memperoleh dan memupuk sifat
keberanian dan keuletan sikap dan upaya dalam rangka membela sanak keluarganya
dan membahagiakan mereka pada saat hidupnya dan setelah matinya.
Keluarga adalah satuan kerabat yang
mendasar terdiri dari suami, isteri dan anak-anak.[3]
Keluarga dalam pandangan Islam memiliki nilai yang tidak kecil. Bahkan Islam
menaruh perhatian besar terhadap kehidupan keluarga degan meletakkan
kaidah-kaidah yang arif guna memelihara kehidupan keluarga dari ketidak
harmonisan dan kehancuran. Kenapa demikian besar perhatian Islam? Karena tidak
dapat dipungkiri bahwa keluarga adalah batu bata pertama untuk membangun istana
masyarakat muslim dan merupakan madrasah iman yang diharapkan dapat mencetak
generasi-generasi muslim yang mampu meninggikan kalimat Allah di muka bumi.
Bila pondasi ini kuat lurus agama dan
akhlak anggota maka akan kuat pula masyarakat dan akan terwujud keamanan yang
didambakan. Sebalik bila tercerai berai ikatan keluarga dan kerusakan meracuni
anggota-anggota maka dampak terlihat pada masyarakat bagaimana kegoncangan
melanda dan rapuh kekuatan sehingga tidak diperoleh rasa aman.[4]
Kemudian setiap adanya keluarga
ataupun sekumpulan atau sekelompok manusia yang terdiri atas dua individu atau
lebih, tidak bisa tidak, pasti dibutuhkan keberadaan seorang pemimpin atau
seseorang yang mempunyai wewenang mengatur dan sekaligus membawahi individu
lainnya (tetapi bukan berarti seperti keberadaan atasan dan bawahan).
Demikian juga dengan sebuah keluarga,
karena yang dinamakan keluarga adalah minimal terdiri atas seorang suami dan
seorang istri yang selanjutnya muncul adanya anak atau anak-anak dan
seterusnya. Maka, sudah semestinya di dalam sebuah keluarga juga dibutuhkan
adanya seorang pemimpin keluarga yang tugasnya membimbing dan mengarahkan
sekaligus mencukupi kebutuhan baik itu kebutuhan yang sifatnya dhohir maupun
yang sifatnya batiniyah di dalam rumah tangga tersebut supaya terbentuk
keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Di dalam Al-Qur’ān disebutkan
bahwa suami atau ayahlah yang mempuyai tugas memimipin keluarganya karena
laki-laki adalah seorang pemimpin bagi perempuan.
Unit sosial dasar masyarakat
Islam adalah keluarga. Jika Islam dapat digambarkan sebagai jiwa masyarakat Islam,
keluarga dapat dilihat secara kiasan sebagai raganya. Selama beribu-ribu tahun,
keluarga merupakan fokus utama identitas emosional, ekonomi, dan politik orang.
Perubahan yang terjadi pada abad ke-19 dan khususnya abad ke-20 sangat
membebani unit ini, namun keluarga, bersama iman Islam, tetap sentral tempatnya
dalam kehidupan orang dari segenap kelas sosial, dalam konteks desa dan kota,
dan di segenap negara Muslim.
Konsep keluarga sudah setua sejarah
kehidupan manusia. Dimana ada manusia pastilah ada keluarga yang melahirkan,
merawat serta mendidiknya meskipun dalam waktu yang amat singkat[5].
Dalam perspektif teologis hanya ada dua orang yang lahir tidak dari sebuah
sistem keluarga. Adam sebagai manusia pertama yang berjenis kelamin laki-laki
dan Hawa sebagai manusia kedua yang berjenis kelamin perempuan. Dua orang
inilah yang berusaha dari awal sekali untuk mengembangkan konsep keluarga atas
petunjuk Tuhan. Adam dan Hawa melakukan semacam kesepakatan dan berkomitmen (mitsaqan
galiza) untuk bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan satu sama lain baik
dalam hal kebutuhan biologis maupun kebutuhan emosional.
Keluarga bisa diibaratkan seperti
sebuah unit sistem produksi yang paling sederhana. Dimana ada sebuah sistem
yang mengatur agar sebuah kinerja saling berhubungan menghasilkan sebuah
produk. Baik-buruknya produk itu sangat bergantung pada baik buruknya manajemen
perusahaan dan serta komitmen pada karyawannya.[6]
Hanya bedanya perusahaan memiliki tiga unsur produksi yang terpisah yaitu;
alat, bahan baku dan pelaku produksi atau karyawan. Sistem produksi keluarga
memiliki tiga elemen tersebut, menyatu secara alamiah dalam diri pelaksana
produksi (manusia) itu sendiri yang memiliki alat serta bahan baku produksi
sekaligus. Jika dalam perusahaan, manusia menciptakan sebuah produk yang
berbentuk benda mati, sedangkan dalam keluarga, manusia memproduksi manusia.
Pengertian keluarga dapat
ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial. Dalam dimensi
hubungan darah, keluarga merupakan suatu kesatuan yang diikat oleh hubungan
darah antara satu dengan lainnya[7].
Berdasarkan hubungan darah ini, keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga besar
dan keluarga inti. Keluarga adalah kelompok primer yang paling penting
dalam masyarakat. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan
suatu kesatuan yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan
saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, walaupun di antara mereka tidak
terdapat hubungan darah.
Tetapi dalam kontek keluarga
inti keluarga adalah kumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal
bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga
terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri[8].
Sedangkan dalam pengertian pedagogis,keluarga adalah satu persekutuan hidup
yang dijalin oleh kasih sayang antara
pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan, yang bermaksud
untuk saling menyempurnakan diri.
Pada dasarnya keluarga itu
adalah sebuah komunitas dalam ”satu atap”. Kesadaran untuk hidup bersama
dalam satu atap sebagai suami-istri dan saling interaksi dan berpotensi puya
anak dan akhirnya membentuk komunitas baru yang disebut keluarga. Karenanya
keluarga pun dapat diberibatasan sebagai sebuah group yang terbentuk
dari perhubungan laki-laki dan wanita, perhubungan mana sedikit banyak
berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Jadi, keluarga
dalam bentuk yang murni merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami,
istri dan anak-anak yang belum dewasa. Satuan ini mempunyai sifat-sifat
tertentu yang sama, dimana saja dalam satuan masyarakat manusia.
Sifar-sifat keluarga yang
terpenting adalah hubungan suami-istri yang harmonis, pada umumnya keluarga itu
mempunyai tempat tinggal bersama (rumah bersama). “Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya. Tempat kediaman adalah tempat tinngal yang layak untuk isteri
selama dalam ikatan perkawinan”[9]. Tempat kediaman disediakan untuk
melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain sehingga
mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat
menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
Ketika sebuah keluarga
terbentuk, komunitas baru karena hubungan darah pun terbentuk pula. Di dalamnya
ada suami, istri dan anak sebagai penghuninya. Saling berhubungan, saling
berinteraksi di antara mereka melahirkan dinamika kelompok karena berbagai
kepentinagn, yang terkadang bisa memicu konflik dalam keluarga. Misalnya konflik
antara suami-istri, konflik antara ayah dan anak, konflik antara ibu dan anak,
dan konflik antara anak-anak, bahkan konflik antara ayah, ibu dan anak.
B. Faktor-Faktor Pembentukan
Keluarga
Diantara faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi terhadap pembentukan keluarga adalah sebagai berikut:
a.
Faktor utama
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi pembentukan
keluarga sakinah antara lain adalah [10]:
1. Memahami hak suami terhadap
istri dan kewajiban istri terhadap suami.
Suami memiliki hak terhadap istrinya,
dimana hak tersebut harus diberikan oleh istri sebagai sebuah kewajiban
terhadap suaminya. “Hak suami atas istrinya antara lain, suami berhak untuk
dihormati, dilayani, dimaafkan bila terdapat kesalahan, diluruskan bila terjadi
kekhilafan, dibantu bila memperoleh kesulitan, dihibur bila mendapatkan
kegelisahan”[11], dan lain-lain;
1) Memahami kedudukan suami.
Dalam kehidupan keluarga, suami adalah
“pemimpin tertinggi atau disebut dengan qawwam. Sebagai pemegang jabatan
tertinggi dalam keluarga, maka secara keseluruhan suami merupakan penanggung
jawab kehidupan keluarga. Maju mundurnya keluarga, sangat bergantung kepada
seorang suami”[12]. Dalam hal ini, maka
istri memiliki tanggung jawab untuk membantu suami dalam mengelola keluarga.
2) Suami merupakan pemimpin yang
dipilihkan Allah
Suami adalah “pemimpin yang telah
dipilihkan Allah bagi seorang istri dan seluruh keturunannya. Dalam tugasnya
sebagai seorang pemimpin, maka suami harus menjadi tauladan bagi seluruh
anggota keluarganya, bermusyawarah dalam mengambil satu keputusan untuk
kemaslahatan keluarganya, dan lain-lain”[13];
3) Ta’at dan patuh terhadap
suami
Allah dan Rasul-Nya telah memberikan
batasan mengenai ketaatan seorang hamba terhadap hamba yang lainnya, termasuk
ketaatan seorang istri terhadap suaminya; yakni sepanjang suami tidak
memerintahkan maksiat kepada istri dan anak-anaknya. Selama perintah dan
larangannya tidak bertabrakan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka seorang
istri dan anak-anaknya wajib taat kepada suaminya.[14]
2. Suami harus mampu menjaga dan
dijaga kehormatan dirinya
Yang termasuk dalam kategori menjaga
dan dijaga kehormatan dirinya adalah[15]:
1) Menjaga Akhlak dalam
Pergaulan
Seseorang tidak akan mungkin lepas
dari pergaulannya di tengah-tengah masyarakat, karena manusia adalah makhluk sosial
yang memerlukan pergaulan dengan masyarakat. Maka dalam melaksanakan pergaulan
dengan masyarakat ini suami harus bisa menjaga akhlaknya. Akhlak seorang suami
dalam pergaulannya ditengah-tengah masyarakat, akan mencitrakan kehidupan
keluarganya dimasyarakat tersebut. Demikian juga dengan akhlak istrinya, karena
kebaikan akhlakseorang istri akan memberikan penilaian yang positif terhadap
seorang suami.
2) Menjaga harga diri suami
Menjaga harga diri seorang suami bisa
dilakukan oleh suami itu sendiri, istri, maupun oleh anak-anaknya. Suami yang
berupaya menjaga harga dirinya, dilarang untuk melakukan satu perbuatan yang
dapat menurunkan harga dirinya, seperti mencuri dan lain-lain. seorang istri
yang berupaya menjaga harga diri suaminya pantang untuk memasukkan orang lain
yang bukan muhrimnya ke rumahnya tanpa izin dari suami. Dan anak yang berusaha
menjaga harga diri orang tuanya, pantang untuk melakukan satu perbuatan yang
bisa menghancurkan harga diri orang tuanya.
3) Berkhidmat kepada Suami
Berkhidmat kepada suami dalam arti
mendudukan suami pada posisinya, baik sebagai pemimpin yang dihormati, dihargai
dan ditaati, maupun sebagai pengambil keputusan untuk kemaslahatan keluarga.
Diantara perilaku yang merupakan bentuk nyata khidmat seorang istri terhadap
suaminya adalah: menyiapkan dan melayani kebutuhan suami baik lahir maupun
batin, menyiapkan keperluan kerja suami, mengantar dan mendo’akan suami, serta
menanti dengan setia kedatangan suami dari tempat bekerja, senantiasa bersyukur
kepada Allah atas rizki yang telah dikaruniakan, serta berterima kasih pada
suami atas apa yang diberikannya serta dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk
kemaslahatan keluaraga.
4) Memahami Hak-hak Istri yang
Menjadi Kewajiban Suami
Suami dan istri sebagaimana telah
disebutkan di atas, memiliki hak dan kewajiban yang seimbang dan proporsional.
Adapun yang menjadi hak-hak istri dan merupakan kewajiban suami adalah sebagai
berikut :
a). Mendapatkan Mahar yang Layak
Mahar atau maskawin meruapakan salah
satu syarat pernikahan. Maka seorang istri berhak mengajukan mahar untuk
dirinya ketika akan dinikahi oleh seorang laki-laki. Maka mahar tersebut
menjadi hak bagi istri dan menjadi kewajiban bagi suami untuk memberikannya
sesuai dengan apa yang diinginkannya sebelum akad nikah. Apabila mahar tersebut
belum dibayarkan, maka istri berhak menuntut mahar tersebut dan berhak untuk
digauli oleh suaminya sebelum maharnya dibayarkan;
b). Mendapatkan nafakah
Seorang istri berhak mendapatkan
nafakah dari suaminya, baik nafkah lahir maupun nafkah batin. Termasuk dalam
kategori nafkah lahir adalah rumah tempat bernanung, pakaian, makanan, dll.
Adapun yang termasuk nafkah batin adalah perlindungan, ketenangan, pendidikan
agama, kasih saying, keluangan waktu, mendengarkan keluh kesahnya, dll.
Termasuk juga dalam nafkah batin ini adalah menjaga nama baik istri dan nama baik
keluarga besar istrinya;
c). Tatakrama terhadap Istri
Perlakuan sopan seorang suami terhadap
istrinya, akan menimbulkan motivasi pada seorang istri untuk bersikap lebih
sopan terhadap suaminya. Selain itu, kesopanan seorang suami terhadap istrinya,
akan mengukuhkan eksistensi seorang istri dihadapan anak-anaknya dan keluarga
besarnya.
b.
Faktor Penunjang
Diantara factor-faktor penunjang dalam
pembentukan keluarga sakinah adalah sebagai berikut[16]:
1) Bersikap realistis
Bersikaf realistis di sini adalah
menerima kenyataan dari pasangan hidup yang merupakan pilihan kita sendiri.
Suami harus menerima kelebihan dan kekurangan yang ada pada istrinya, pun
sebaliknya. Selain itu dimaksudkan dengan realistis ini adalah memanfaatkan
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Jadi intinya adalah adanya
keridhoan atas karunia Allah yang telah dilimpahkan dan berusaha semaksimal
mungkin memanfaatkan karunia tersebut.
2) Peningkatan pengetahuan
Bukan hanya pengetahuan ajgama yang
dibutuhkan dalam menjalani kehidupan keluarga, namun pengetahuan umum lainnya
pun dibutuhkan. Pengetuan umum yang banyak dibutuhkan dalam mendukung
terbentuknya keluarga sakinah adalah pengethuan tentang memasak, mengelola
keuangan, tatacara berbusana, ilmu kecantikan dan lain-lain. Semua ilmu tersebut
dipergunakan untuk memelihara keutuhan keluarga.
3) Salturrahmi
Silaturrahmi merupakan salah satu
factor penunjang bagi pembentukan keluarga sakinah. Silaturrahmi di sini
dimaksudkan silaturrahmi antara suami-istri dengan keluarganya (ibu dan
bapaknya), dengan saudara-saudaranya, termasuk di dalamnya dengan
saudara-saudara dari kedua orang tunanya. Pemeliharaan hubungan silaturrahnmi
ini, akan sangat membantu dalam menjaga keutuhan keluarga, sehingga tatakala
ada sebuah permasalahan yang menghinggapinya, keluarga yang lain akan
membantunya.
C. Bentuk-Bentuk Keluarga
Keluarga adalah merupakan lembaga pendidikan yang
pertama dan utama dalam masyarakat, karena dalam keluargalah manusia dilahirkan, berkembang
menjadi dewasa. Bentuk dan isi serta cara-cara pendidikan di dalam keluarga
akan selalu mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya watak, budi pekerti dan
kepribadian tiap-tiap manusia[17].
Selain itu keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi
pertumbuhan dan pengembangan anak. Jika suasana dalam keluarga itu baik dan menyenangkan,
maka anak akan tumbuh dengan baik pula. Jika tidak, tentu akan
terhambatlah pertumbuhan anak tersebut. Peranan orang tua dalam keluarga amat
penting, terutama ibu. Dia lah yang mengatur, membuat rumah tangganya
menjadi surga bagi anggota keluarga, menjadi mitra sejajar yang saling
menyayangi dengan suaminya.[18]
Bentuk - bentuk pendidikan keluarga
dalam Islam adalah sebagai berikut:
a. Pendidikan sebelum kelahiran
Pendidikan islam terhadap anak tidak
hanya di mulai dari masa kelahiran tetapi bahkan sebelum melakukan pernikahan.
Hal ini dapat di lakukan dengan cara memperhatikan calon pasangan, sebagaimana
yang telah di sebutkan oleh Rasulullah Saw, bahwa apabila ingin mencari
pasangan hidup maka carilah yang kuat agamanya, karena dalam membentuk rumah
tangga yang islami dan anak – anak yang shalih di perlukan seorang ibu yang
yang shalihah dan pandai mendidik anaknya serta baik tingkah lakunya.
Mendidik anak shalih sebelum lahir
laksana menanam tanaman, maka siapa yang menginginkan tanamannya subur dan
membuahkan hasil yang memuaskan sehingga membuat hati senang dan damai maka
hendaklah mempersiapkan dan memilih pendidikan yang terbaik dan benar sehingga
mampu menumbuhkan dan memberikan hasil yang menyenangkan. Tanah adalah azas
paling utama dan paling menentukan keberhasilan dalam bercocok tanam. Begitu
juga untuk mendapatkan anak yang shalih maka pilihannya tidak lain adalah
seorang isteri yang shalihah yang akan menjadi ibu bagi anak. Dialah yang akan
mendidik anak diatas belaian kasih sayang islam dan nilai mulia syariat
sehingga membuahkan hasil takwa dan komitmen kepada anak.
Sebagaimana yang dikatakan penyair: Ibu
adalah madrasah, bila engkau persiapkan dengan baik, maka engkau telah
mempersiapkan bangsa yang baik dan kuat. Ibu laksana taman, bila engkau
pelihara tanamannya dengan siraman yang cukup, maka akan tumbuh dengan subur
dan rindang[19]. Apabila orang tua
mengharapkan seorang anak yang sholeh, berbudi luhur dan bertaqwa serta
bermanfaat unttuk dirinya, agama dan umatnya maka hendaklah mendidik anak
tersebut dengan pendidikan islam yang benar mulai sebelum lahir bahkan sebelum
menikah[20].
b. Pendidikan setelah kelahiran
Setelah anak di lahirkan kedunia, maka
ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh orang tua yaitu :
1) Mengumandangkan azan dan
iqamah pada telinga bayi
Islam sangat menaruh perhatian tinggi
terhadap kelurusan dan kebaikan budi pekerti anak sehingga islam menganjurkan
kepada orang tua agar mengumandangkan azan dan iqamah pada telinga bayi ketika
keluar dari perut sang ibu kepada alam dunia. Jadi yang pertama kali di dengar
oleh bayi adalah suara dan nilai tauhid kepada Allah Swt.
Faedah adzan pada telinga bayi[21] :
a). adzan termasuk bagian syiar
islam serta syiar tauhid yang diperdengakan pertama kali kepada bayi.
b). Adzan mengandung unsur ajakan
kepada penghambaan diri kepada Allah dan peringatan tentang sholat sebagai
rukun islam yang terpenting.
c). Adzan merupakan panggilan
agama serta sunnah Nabi Muhammad saw.
d). Adzan melindungi bayi dari
gangguan syetan karena syetan menyingkir ketika mendengar suara adzan.
e). Ketika sang bayi mendengar
adzan maka suara itu menguatkan dan menggerakkan fungsi pendengaran bayi.
f). Adzan sebagai bentuk ajakan
bagi anak kepada ibadah terhadap Allah.
2) Melakukan takhnik kepada bayi
Tahnik adalah mengunyahkan kurma atau
semisalnya kemudian di oleskan kelangit – langit pada mulut bayi[22].
Demikian itu termasuk sunnah Nabi karena beliau pernah melakukan hal tersebut
ketika ada seorang bayi lahir.
3) Menyusui bayi hingga dua
tahun
Dalam pandangan islam menyusui anak
termasuk pilar pendidikan yang paling utama sehingga hokum islam yang pertama
yaitu Al-Quran menganjurkan kepada semua kaum ibu agar menyusui anak-anak
mereka selama dua tahun secara sempurna dari iar susu mereka sendiri sebab hal
itu akan memberi hal baik dan positif bagi bayi.
Manfaat air susu ibu bagi bayi :
1) Bayi langsung mendapat
makanan bersih dan steril
2) ASI tidak terlalu dingin dan
terlalu panas sehingga cocok bagi anak.
3) Cocok dan sesuai kabutuhan
perut si bayi hingga umur dua tahun.
4) ASI memberi imunisasi dan
kekebalan bagi tubuh bayi dari bakteri dan penyakit.
5) Akan menumbuhkan perasaan
kasih sayang dan cinta antara orang tua dan anak serta menguatkan hubungan
bathin.
Proses menyusui apabila di sertai
dengan niat yang baik dalam rangka mencari ridha Allah, maka Allah akan
memberikan imbalan pahala setiap kali menyusui.
4) Mengaqiqahkan
Aqiqah adalah sebutan hewan yang di
sembelih untuk anak yang lahir dan aqiqah adalah hak yang dianjurkan untuk di
tunaikan orang tua untuk anak, dua ekor kambing bagi anak laki-laki dan satu
ekor kambing bagi anak perempuan. Aqiqah lebih utama dari sedekah berupa uanng sebesarnya
ataupun lebih besar.
Faedah dan manfaat Aqiqah adalah
sebagai berikut:
1) Menyampaikan berita tentang
kehadiran anak secara tidak langsung mengabarkan tentang posisi nasab anak agar
tidak ada persangkaan buruk terhadap status anak.
2) Mengikuti panggilan sifat
murah hati dan dermawan serta menjauhi sifat kikir dan pelit.
3) Aqiqah adalah kelanjutan dari
kebaikan dan ketundukan sebab melakukan hal ini
semenjak masa bayi menunjukkan kemauan orang tua untuk berkorban di
jalan Allah, seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim.
4) Melepas status anak yang
masih tergadai karena anak tergadai dengan aqiqahnya.[23]
Semoga Allah menjadikan aqiqah ini
sebagai pembebas dari gangguan syetan ketika bayi baru lahir dan menuju alam
dunia. Maka fungsi aqiqah adalah untuk menebus dan membebaskan anak dari
tawanan dan penjara syetan, juga dapat menhambat usaha syetan untuk
mencelakakan manusia pada akhir hayatnya. Apalagi iblis sudah bersumpah kepada
Allah untuk menyesatkan manusia kecuali sedikit yang tidak disesatkan, sehingga
iblis menunggu mangsanya semenjak keluar dari alam kandungan menuju ke alam
dunia.
Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an
surat Al-Isra’ ayat 64 sebagai berikut:
وَاسْتَفْزِزْ
مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِم بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ
وَشَارِكْهُمْ فِي الأَمْوَالِ وَالأَوْلادِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ
الشَّيْطَانُ إِلاَّ غُرُوراً)
الإسراء: ٦٤(
Artinya: Dan hasunglah siapa yang
kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka
pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan
mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang
dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka. (Qs. Al-Isra:
64).
Maksud ayat ini ialah Allah memberi
kesempatan kepada iblis untuk menyesatkan manusia dengan segala kemampuan yang
ada padanya. tetapi segala tipu daya syaitan itu tidak akan mampu menghadapi
orang-orang yang benar-benar beriman. Karena bahaya yang mengancam anak seperti
itu maka Allah menganjurkan kepada kedua orang tua untuk melepaskan jeratan itu
dengan memberikan tebusan berupa aqiqah dan bila aqiqah belum disembelih maka
anak masih tergadai keselamatan dan keamanannya dari gangguan syetan.
5) Memberi nama yang baik
Islam sangat menganjurkan kepada orang
tua agar memilih nama anak yang baik lagi di cintai. Sudah menjadi ketetapan
seluruh umat manusia dan juga termasuk sunnah fitrah dalam semua jenis dan
bentuk masyarakat memberi nama anak yang baru lahir merupakan suatu keharusan
untuk membedakan dari yang lain. Sebagai pendidik yang baik hendaknya memilih
nama yang baik dan indah untuk yang terlahir sebagai bentuk realisasi
pengamalan ajaran islam.
Yang harus diperhatikan dalam memberi
nama anak.
a). Nama anak di ambil dari
nama-nama tokoh agama atau ulama baik kalangan para nabi, rasul atau nama-nama
orang shalih dalam rangka taqarrub kapada Allah.
b). Nama tersebut bagus dan
sesuai dengan kondisi orang yang diberi nama dengan tingkatan social dan
keadaan status.
c). Mengikuti nama-nama yang
telah diajarkan Nabi Muhammad saw seperti : Abdullah, Abdurrahman, Al-harits
dan Hamman.
d). Tidak memberikan nama-nama yang
dilarang oleh Rasulullah dan di haramkan oleh para ulama seperti : Yasar,
Rabah, Najih, Rafi’, Barakah, Harb, Ashram (tandus), Ashi dan Abdul
Ka’bah, Abdun Nabi, Abdur Rasul, Raja Diraja, Sayidun Nas atau nama-nama
syetan.[24]
6) Mencukur rambut bayi
Hal ini dianjurkan pada hari ketujuh
dari kelahiran, maka pernah Hasan di Tanya tentang sabda Nabi Saw: hilangkan
gangguan dari bayi, beliau menjawab, “mencukur rambutnya”. Begitu juga Imam
Ahmad berkata: “mencukur rambut bayi”. Nabi melarang mencukur rambut dengan
model qaza’ yaitu mencukur sebagian dan membiarkan sebagian. Ibnu Qayyim
berkata[25]:
potong rambut model Qaza’ ada empat bentuk :
a). Memotong rambut dari satu
arah sebagian dan dari arah lain sebagian seperti terpencarnya mendung di
langit.
b). Mencukur bagian tengah
meninggalkan bagian samping seperti yang dilakukan oleh penjaga gereja
dikalangan kaum Nashrani.
c). Mencukur bagian samping dan
membiarkan bagian tengah seperti yang dilakukan oleh para preman.
d). Mencukur bagian depan dan
samping meninggalkan bagian belakang.[26]
7) Memberikan contoh keteladanan
“Keteladanan yang baik akan membawa
pesan positif terhadap anak-anaknya, karena orang yang paling banyak dicontoh
dan ditiru oleh anak adalah orang tuanya dan mereka pulalah yang paling kuat
menanamkan pengaruhnya kepada jiwa anak”[27].
Orang tua dituntut untuk menjalankan segala perintah Allah swt dan sunnah
Rasulullah saw menyangkut sikap dan perbuatan, karena anak melihatnya setiap
waktu.
Sebagaimana yang telah dicontohkan
oleh Rasulullah Saw, Beliau adalah
teladan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah :
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً)
الأحزاب: ٢١(
Artinya : Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah.(Qs. Al-Ahzab: 21).
8) Memilih waktu yang tepat
untuk menasehati anak
Memberi nasehat pada waktu yang tepat
sangat besar pengaruhnya. Orang tua harus mampu memilih kapan waktu yang tepat
agar hati anak dapat menerima dan terkesan dengan nasehatnya. Dengan demikian
beban pendidikan semakin berkurang. Hasil pendidikan pun dapat di capai dengan
maksimal.
Rasulullah saw telah mengajarkan
kepada kita bahwa ada tiga waktu yang tepat ketika akan memberi nasehat kepada
anak-anak, yaitu[28]:
a). Saat berjalan-jalan atau di
atas kendraan
Ketika dalam perjalanan secara tidak
langsung pikiran anak menjadi tenang dan santai, keadaan yang demikian itu akan
memudahkan bagi anak menerima nasehat dari orang tuanya.
b). Waktu makan
Ketika makan anak-anak sering
melakukan perbuatan yang kurang sopan. Hal ini terdorong oleh nafsu makannya
yang tinggi. Jika orang tua tidak mau duduk dan menemaninya makan, serta
meluruskan kesalahan-kesalahannya maka anak akan selalu dalam kebiasaan buruk
waktu makan.
c). Ketika anak sakit
Jika orang tua bisa lembut hatinya
dalam keadaan sakit, maka anakpun bisa lebih lembut lagi hatinya apabila sakit.
Dalam kelembutan hati yang demikian itu maka nasehat yang diberikan oleh orang
tua akan meresap kadalam hati anak.
9) Bersikap adil dan tidak pilih
kasih
Ketidakadilan dan sikap pilih kasih
orang tua terhadap anak-anak akan menimbulkan rasa iri dan kedengkian dalam
jiwa anak karena merasa dirinya disisihkan. Namun demikian ada penyebab yang
membolehkan orang tua mengistimewakan anak yang satu dengan yang lainnya,
seperti : ada kebutuhan yang mendesak, karena usia, cacat, atau mengalihkan
pemberian dari anak yang jahat dan suka berfoya-foya kepada anak yang baik dan
dermawan.
10) Memenuhi hak-hak anak
Anak yang dipenuhi dan dikabulkan
hak-haknya akan memiliki sikap positif dalam kehidupan. Anak akan belajar bahwa
dalam hidup ini harus bersikap saling member dan menerima. Sekaligus melatih
dirinya agar bisa tunduk kepada kebenaran. Namun sebagian orang tua kadangkala
enggan memenuhi hak dan menerima kebenaran dari seorang anak kecil.
11) Mendo’akan anak dengan
kebaikan
Doa merupakan rukun utama yang harus
diamalkan oleh orang tua. Doa akan semakin menghangatkan kasih sayang dan
memantapkan cinta orang tua kepada anak-anaknya. Demi kebaikan anak-anak, orang
tua harus memohon dengan sungguh-sungguh dan penuh harap kepada Allah.
Sebaliknya sangat berbahaya jika orang tua mendoakan keburukan buat anaknya.
Karena keburukannya bukan hanya akan dirasakan oleh anak, tetapi juga akan
dirasakan oleh orang tuanya.
12) Menceritakan kisah-kisah
teladan
Kisah memainkan peranan penting dalam
membangun kesadaran akal dan intelektual anak. Hal terpenting yang harus
diperhatikan adalah bahwa kisah – kisah yang diceritakan itu berdasarkan atas
realitas dimasa silam, kisah nyata yang membuat anak percaya terhadap sejarah
dan memberikan dorongan serta semangat kepada anak, kemudian juga dapat membina
kesadaran keislaman dan jauh dari khurafat dan dongeng fiktif.
13) berbicara sesuai dengan
kemampuan akal anak
Seperti manusia lainnya, anak-anak
juga mempunyai keterbatasan. Akal dan pikiran nya masih dalam tahap
perkembangan. Kemampuan orang tua dan pendidik untuk mengetahui sejauh mana
tingkat perkembangannya akan membantu mengatasi setiap permasalahan yang
timbul. Dengan demikian orang tua mengetahui kapan saatnya berbicara, dengan
kata-kata apa seharusnya berbicara dan ide-ide apa yang selayaknya dilontarkan.
14) Memberi pujian kepada anak
Pujian punya pengaruh penting dalam
diri anak. Dapat menggerakkan perasaan dan emosinya sehingga cepat memperbaiki
kesalahannya.
D. Fungsi Keluarga dalam
Kehidupan Manusia
Keluarga merupakan tempat bernaung
bagi manusia yang dapat membuat jiwa dan raga kita merasa tenang dan tenteram
berada di dalamnya. Tak dapat terbantahkan lagi bahwa keluarga sangat
berpengaruh besar bagi manusia dalam menjalani kehidupannya sehari-hari apapun
kegiatan itu baik dalam keadaan suka maupun duka, keluarga selalu bisa menjadi
semacam motivasi bagi manusia yang melecut mental kita dalam mengarungi
kerasnya kehidupan di luar sana agar tidak mudah berputus asa, dan keluarga
selalu menyertai setiap langkah & tindak tanduk kehidupan manusia. Keutamaan
keluarga dalam kehidupan manusia adalah mampu membangun keharmonisan di dalam
ruang lingkup keluarga itu sendiri, dengan begitu manusia dapat menjadikan
dirinya pribadi yang bersahaja, mempunyai jiwa kekeluargaan, dan bertanggung
jawab baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain ataupun keluarganya.[29]
Begitu pentingnya keberadan keluarga
dalam setiap kehidupan manusia sehingga setiap masing-masing individu tidak
dapat begitu saja melepaskan perannya di dalam sebuah keluarga, dan karena
perannya yang luas itulah, setiap insan manusia tidak dapat mengenyampingkan
kepentingan keluarganya dan menuruti keinginan egonya yang tinggi. Apabila itu
yang terjadi justru akan menjerumuskannya ke dalam lembah kenistaan yang sangat
sulit untuk dihilangkan jika keluarga tidak menjadi prioritas dan bagian vital
dalam perjalanan kehidupan manusia di muka bumi ini. Untuk menghindari kejadian
itu dan tidak terulang kembali, diperlukan kesadaran dari masing-masing manusia
itu sendiri untuk mengubah perilakunya dan tentunya keluarga yang selalu berada
di samping kita, disitulah pentingnya peran vital adanya keluarga yang terus
memberikan kenyamanan batin dan tempat melepaskan segala permasalahan yang
menimpa setiap insan manusia.
Keluarga bisa menjadi tempat
bersandarnya hati yang gelisah dan keluh kesah. Tak hanya itu, suasana keluarga
dapat juga diisi dengan hati yang senang supaya tercipta keakraban dan
keharmonisan antar sesama manusia. Terlepas dari semua keterangan yang
dijaleaskan , keluarga mempunyai fungsi yang sangat kompleks dalam membangun
suatu keharmonisan hidup bagi semua kehidupan manusia di muka bumi ini. Oleh
karena itu, untuk memelihara dan menjaga keutuhan keluarga diperlukan ketulusan
hati yang mampu mengalahkan ego yang ada pada diri manusia sehingga dapat
menguatkan hubungan kekeluargaan antar manusia lainnya.[30]
Dalam kehidupan manusia, pendidikan
memiliki peranan penting dalam membentuk generasi mendatang. Dengan pendidikan
diharapkan dapat menghasilkan manusia berkualitas, bertanggung jawab dan mampu meng-antisipasi
masa depan. Pendidikan dalam maknanya yang luas senantiasa menstimulir,
menyertai perubahan-perubahan dan perkembangan umat manusia. Selain itu, upaya
pendidikan senantiasa menghantar, membimbing perubahan dan perkembangan hidup
serta kehidupan umat manusia.
Peranan pendidikan sebagaimana
disebutkan di atas tidak terlepas dari kedudukan manusia, baik sebagai abdullāh maupun
sebagai khalifatullāh. Sebagai ‘abdullāh, maka manusia harus
mengabdikan dirinya kepada Allah swt dengan penuh tanggungjawab, dan sebagai
khalīfatullāh maka manusia harus mengelolah alam ini, juga dengan penuh tanggungjawab.
Oleh karena itu, pendidikan bukan hanya sekedar tindakan lahiriyah, tetapi ia
juga merupakan tindakan batiniyah, sebab di dalam proses pendidikan ada tanggungjawab
yang harus diembang. Dengan melaksanakan tanggungjawab tersebut dengan baik,
praktis bahwa arah dan tujuan pendidikan akan mudah tercapai.
Dalam pandangan Islam, tanggung jawab
pendidikan tersebut di-bebankan kepada setiap individu hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam surat At-Tahrim ayat 6 sebagai berikut:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ
اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ ) التحريم:
٦(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.(Qs. At-Tahrim:6).
Dalam sisi lain, ayat tersebut juga
menegaskan bahwa di samping diri pribadi, maka keluarga juga harus dididik
dengan baik. Karena ayat tersebut berbicara tentang diri pribadi dan keluarga,
maka jelaslah bahwa pendidikan merupakan tanggungjawab semua orang.
Dalam implementasinya, orangtualah
sebagai penanggungjawab pendidikan di lingkungan keluarga atau di rumahtangga; guru-guru dan pengelolah
sekolah termasuk pemerintah sebagai penanggungjawab pendidikan di lingkungan
sekolah; tokoh masyarakat dan selainnya sebagai penanggungjawab pendidikan di
lingkungan masyarakat. Ketiga pihak ini, masing-masing memiliki tanggung jawab
pendidikan secara tersendiri dalam lingkungannya masing-masing, namun tidaklah
berarti bahwa mereka hanya bertanggung jawab penuh di lingkungannya, tetapi
juga memiliki tanggung jawab yang signifikan dalam lingkungan pendidikan
lainnya. Orang tua misalnya, ia sebagai penanggungjawab pendidikan di
lingkungan keluarga, tetapi tanggung jawab tersebut bukan hanya terbatas pada
lingkungan rumahtangganya, namun juga dibutuhkan tanggung jawabnya di
lingkungan sekolah dan masyarakat.
Pendidikan dalam lingkungan rumah
tangga, disebut dengan jalur pendidikan informal.[31]
Lingkungan rumah tangga atau lingkungan keluarga, memberikan peranan yang
sangat berarti dalam proses pembentukan kepribadian muslim sejak dini. Sebab di
lingkungan inilah seseorang menerima sejumlah nilai dan norma yang ditanamkan
sejak masa kecilnya. Allah Swt. berfirman dalam surat Āli Imrān ayat 102
sebagai berikut:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ
إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ) آل
عمران: ١٠٢(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.(Qs. Ali-Imran:
102).
Seruan kepada orang-orang beriman
untuk bertakwa dalam ayat di atas, bermuara pada pembentukan kepribadian
muslim. Itulah sebabnya, ayat tersebut diakhiri dengan kalimat muslimun. Orang
yang beriman hendaknya menumbuhkan karakter taqwā pada dirinya. Dengan
bertumbuhnya ketakwaan tersebut secara pesat, akan melahirkan kepribadian
muslim. Dalam perkataan lain bahwa dengan keimanan dan ketakwaan tersebut, akan
terbentuk suatu kepribadian muslim. Dengan demikian, manusia yang beriman dan
bertakwa merupakan citra manusia muslim.
Zakiah Daradjat menyatakan bahwa mati
dalam keadaan berserah diri kepada Allah sebagai muslim sebagaimana dalam ayat
tadi merupakan ujung dari takwa, sebagai akhir dari proses hidup jelas berisi
kegiatan pendidikan.[32]
Lebih lanjut pakar pendidikan ini, menjelaskan bahwa sesuatu yang diharapkan
terwujud setelah orang mengalami pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu
kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi “insan kamil” dengan pola takwa.
Insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang
secara wajar dan normal karena taqwanya.[33]
Pembentukan insan kamil sebagai
indikator kepribadian muslim, berlangsung secara berangsur-angsur, dan bukanlah
hal yang sekali jadi, melainkan sesuatu yang berkembang. Oleh karena itu,
pembentukan kepribadian merupakan suatu proses. Akhir dari perkembangan itu,
kalau berlangsung dengan baik, akan menghasilkan suatu kepribadian yang
harmonis. Selanjutnya, kepribadian itu disebut harmonis kalau segala
aspek-aspeknya seimbang, kalau tenaga-tenaga bekerja simbang pula sesuai dengan
kebutuhan. Pada segi lain, kepribadian yang harmonis dapat dikenal, pada adanya
keseimbangan antara peranan individu dengan pengaruh lingkungan sekitarnya.[34]
Lingkungan keluarga mempunyai peranan
yang sangat penting terhadap keberhasilan pendidikan, karena perkembangan
seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya. Lingkungan dapat
memberikan pengaruh yang positif dan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan
dan perkembangan sikap, akhlak dan perasaan agama.[35]
Dapat dipahami bahwa penerapan pendidikan Islam secara baik pada lingkungan
keluarga, memiliki peran penting dalam pembentukan kepribadian muslim.
[2] William J. Goode, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), hal. 33.
[7] Hasan Basri, Keluarga Sakinah; Tinjauan Psikologi dan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995), hal. 28.
[8] Azhar Basyir dan Fauzi Rahman, Keluarga Sakinah Keluarga Surgawi, (Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, 1999), hal. 28.
[10] Hasan Basri, Kelurga Sakinah (Tinjauan Psikis dan Agama), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1994), hal.
70.
[13] Ibid., hal. 72.
[14] Ibid., hal. 72.
[20] Ibid., hal. 12.
[21] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Cet. Ke-I,
(Jakarta: UI Pers,1979), hal. 10.
[32] Zakiah Daradjat, dkk. Ilmu Pendidikan Islam, Cet. III, (Jakarta: Bumi Aksara
bekerja-sama dengan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
1996), hal.
31.
0 Comments
Post a Comment