2.1 Pengertian
Kinerja Guru
Menurut Whitmore (2001 :3)
mengatakan kinerja adalah suatu perbuatan prestasi dan keterampilan seseorang
atau guru dalam mencapai prestasi sebagaimana yang telah dituntut dan
ditentukan. Kinerja yang penulis maksudkan dalam penelitian ini adalah guru
harus dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab dalam meningkatkan prestasi
belajar siswa sehingga mencapai hasil belajar yang optimal.
Guru adalah satu
dari sekian banyak unsur yang ikut menentukan berhasil tidaknya belajar siswa.
Guru harus memiliki kamampuan dalam mengelola kelas serta menggunakan metode
yang sesuai. Tanpa adanya guru proses belajar mengajar tidak mungkin dapat
berjalan, karena itu peran guru dalam proses belajar mengajar sangatlah
penting. Guru tidak dapat diganti dalam proses belajar mengajar.
Djamarah (2002 :
73) guru adalah salah satu unsur manusia dalam proses pendidikan karena guru
orang yang mendidik peserta didik atau siswa.
2.2 Pengertian
Kepala Sekolah
Kata “kepala” dapat
diartikan sebagai “ketua” atau “pemimpin”. Dalam suatu organisasi atau sebuah
lembaga dimana menjadi tempat menerima dan memberi pelajaran.
Sedangkan sekolah
merupakan lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat kompleks karena
sekolah sebagai organisasi didalamnya
terdapat berbagai dimensi yang satu sama lain saling berkaitan dan saling
menentukan. Sedangkan sifat unik menunjukkan bahwa sekolah sebagai organisasi
yang memiliki ciri-ciri tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Seperti
yang dikatakan oleh Wahjo Sumidjo, (2001:81) dimana dalam lingkup sekolah
terjadi proses belajar mengajar, tempat terselenggarakan pembudayaan kehidupan
umat manusia.
Menurut Wahjo
Sumidjo (2001 :83) dengan demikian secara sederhana kepala sekolah dapat
didefenisikan sebagai “seorang tenaga fungsional guru yang diberikan tugas
untuk memimpin suatu sekolah dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar
atau tempat terjadinya interaksi antara guru yang memberi pelajaran dengan
siswa yang menerima pelajaran.
Menurut
Schermerhorn, Jonh R (2001 :84) kepala sekolah adalah pemimpin yang tidak bisa
diisi oleh orang-orang tanpa didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan.
Siapapun yang akan diangkat menjadi kepala sekolah harus ditentukan melalui
prosedur serta persyaratan tertentu seperti latar belakang pendidikan,
pengalaman, usia, pangkat dan integritas. Oleh sebab itu kepala sekolah pada
hakikatnya adalah pejabat formal, sebab pengangkatan melalui suatu proses yang
didasarkan atas peraturan yang berlaku.
Perosedur pengangkatan memberikan
petunjuk tentang sumber dari mana calon kepala sekolah dicalonkan : (1) siapa
yang harus mencalonkan mulai dari tingkat sekolah, Kabupaten, Provinsi sampai
pada tingkat pusat. (2) Intansi-intasi terkait mana saja yang terlibat dalam
proses pencalonan tersebut. Sedangkan peraturan yang dimaksud lebih ditekankan
pada persyaratan atau kriteria yang perlu dipenuhi oleh para calon, Wahjo
Sumidjo (2001 : 84-85)
Klasifikasi
persyaratan yang perlu diperhatikan yaitu :
- Bersifat administratif, yang meliputi: usia minimal dan maksimal, pangkat, masa kerja, pegalaman, berkedudukan sebagai tenaga fungsional guru.
- bersifat akademis, yaitu: latar belakang pendidikan formal dan pelatihan terakhir yang dimiliki oleh calon.
- Keperibadian, yaitu : babas dari perbuatan tercela (integritas), loyal terhadap pancasila dan pemerintah.
2.3 Syarat-syarat
Kepemimpinan Kepala Sekolah
Dibidang kekepalasekolahan
kualitas-kualitas kepemimpinan yang
penting dapat diklasifikasikan menjadi katagori pokok yang saling berhubungan
dan interdependen, menurut Elsbree, Burhanuddin (1994:78) adalah sebagai
berikut:
1)
Personality
merupakan “totalitas karakteristik-karakteristik individu”, melalui sifat-sifat
keperibadian tersebut, seseorang dapat memperoleh pengakuan dari orang lain dan
sekaligus menjadi penentu bagi kepemimpinannya. Hasil studi juga telah
membuktikan bahwa para kepala sekolah yang sangat efektif dalam memelihara
hubungan daik dalam organisasi pada umumnya adalah mereka yang punya sikap
bersahabat (ramah), responsive, periang, antusias, berani, murah hati, spontan,
percaya diri, menerima, dan bebas dari rasa takut atau kebimbangan.
2)
Purpose,
apabila kepala sekolah sendiri tidak begitu memahami tujuan pendidikan secara
jelas, maka kepemimpinannya akan lemah dan penuh keraguan. Sebagai pemimpin
kelompoknya ia harus dapat memikirkan, merumuskan tujuan oganisasinya (sekolah)
secara teliti serta menginformasikannya kepada para anggota agar mereka dapat
menyadarinya dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan itu. Disamping itu
hendaknya mempunyai kemampuan dalam memberikan dorongan kepada anggota kelompok
untuk melaksakan tugas-tugas yang telah digariskan sesuai dengan rencana demi
tercapaianya tujuan organisasi.
3)
Knowledge,
suatu kelompok akan menaruh kepercayaan pada sang pemimpin apabila mereka
menyadari bahwa otoritas kepemimpinannya diperlengkap dengan skop pengetahuan
yang laus dan mampu memberikan keputusan-keputusan yang mantap.
4)
Profesional
skill, kepala sekolah haru memiliki ketrampilan-ktrampilan professional yang
efektif dalam fungsi administrasi pendidikan.
Menjadi seorang
pemimpin yang ideal yaitu seorang pemimpin yang dapat bertindak secara tegas,
cepat mengambil keputusan saat mendesak, mampu menjadi seorang yang bijaksana
terhadap bawahan.
Ngalim Purwanto (2005 : 48) menyebutkan tiga bentuk
kepemimpinan yang sangat ekstrim; Pertama : bentuk otoriter,
seorang pemimpin yang otoriter akan menerjemahkan disiplin kerja yang tinggi
yang ditujukan oleh para bawahan kepadanya, padahal sesungguhnya disiplin kerja
itu didasarkan kepada ketakutan bukan kesetiaan. Kedua : bentuk
demokrasi, seorang pemimpin yang demokrasi dalam kehidupan organisasi
perilakunya mendorong para bawahan menumbuhkan dan mengembangkan daya inovasi
dan kreatifitasnya. Dengan sungguh-sungguh ia mendengarkan pendapat, saran dan
kritik orang lain, terutama para bawahannya. Pemimpin yang demokratis selalu
berusaha menstimulasi anggota-anggotanya agar bekerja secara kooperatif untuk
mencapai tujuan bersama. Dalam tindakan dan usaha-usahanya, ia selalu
berpangkal pada kepentingan dan kebutuhan kelompoknya, dan mempertimbangkan
kesanggupan serta kemampuan kelompoknya. Bentuk demokratis merupakan bentuk
kepemimpinan yang paling ideal, dan
dianggap paling baik terutama untuk kepemimpinan dalam pendidikan. Ketiga : bentuk Laissez faire, perilaku seorang pemimpin
Laissez faire cendrung mengarah kepada tindak tanduk yang memperlakukan bawahan
sebagai rekan sekerja, hanya saja kehadirannya sebagai pemimpin diperlukan
sebagai akibat dari adanya struktur dan hirarki organisasi. Tingkat
keberhasilan organisasi atau lembaga yang dipimpin dengan bentuk Laissez faire
semata-mata disebabkan kesadaran dan dedikasi beberapa anggota kelompoknya. Di
dalam bentuk kepemimpinan ini, biasanya
struktur organisasinya tidak jelas dan kabur. Segala kegiatan dilakukan tanpa
rencana terarah dan tanpa pengawasan dari pemimpin.
Untuk dapat
membimbing maupun menggerakkan para guru, kepemimpinan kepala sekolah harus memiliki kelebihan
daripada orang yang dipimpinnya. Serta harus ada penerimaan secara sukarela
dari pengikutnya.
Namun setelah
mengadakan studi pendahuluan (31 Desember 2005) peneliti menemukan bahwa kepala
sekolah menganut berbagai bentuk kepemimpinan, yang pertama bentuk
kepemimpinan otoriter, dimana kepala
sekolah sebagai pemegang mutlak terhadap keputusan dan peraturan di sekolah
sehingga guru menjadi kaku dan takut untuk bereaksi dalam mengajar dan akan
terbatas dalam pengembangan ide dan pendapat untuk pengembangan proses belajar
mengajar.
Kedua bentuk
kepemimpinan demokratis, bentuk
kepemimpinan ini memiliki karakteristik
mau berdiskusi, menerima pendapat dari orang lain dan terbuka terhadap saran
serta kritikan terhadap orang lain. Bentuk kepemimpinan kepala sekolah seperti ini akan menghasilkan guru
yang mampu mengembangkan ide, kritis dan memberi kesempatan kepada guru untuk
berkembang lebih maju. Dan pemimpin seperti ini akan mejadi faktor motikator
bagi guru-gurunya.
Ketiga bentuk
kepemimpinan laissez faire (perilaku santai), pemimpin ini hanya memimpin
berdasarkan tuntutan organisasi dan jabatan. Pemimpin laissez faire membiarkan
orang-orang/guru berbuat sekehendaknya, asalkan tujuan yang ditetapkan
tercapai, dan kepala sekolah kurang memberi pengawasan dan koreksi bagi guru
sehingga guru dalam bekerja tanpa koordinasi dari atasan.
Hal tersebut di
atas merupakan perilaku pemimpin yang kurang ideal dalam lingkungan pendidikan
serta bukan kepemimpinan kepala sekolah
yang dikehendaki. Perilaku tersebut lebih banyak terjadi pada kemampuan manajerial
dan administrasi, serta kepemimpinan. Sehingga kompetensi kepala sekolah yang
bersifat administrative dan pengawasan belum dengan dapat diwujudkan.
Burhanuddin (1994:77-78)
mengetengahkan dua syarat-syarat kepemimpinan kepala sekolah, yaitu : (1) Kepala
sekolah atau pemimpin seharusnya mempunyai kemampuan yang lebih tinggi daripada
orang-orang yang dipimpinnya, terutama dalam melaksanakan kepemimpinan dibidang kependidikan. (2) Kepala sekolah
harus mempunyai kesiapan dan pembinaan yang mantap.