Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengertian Manajemen Sekolah


BAB II
KAJIAN PUSTAKA



A.    Pengertian Manajemen Sekolah
Manajemen sekolah adalah Suatu usaha yang dilakukan secara bersama-sama untuk mencapai tujuan belajar-mengajar yang optimal. Maka dengan demikian ada beberapa faktor manajemen sekolah sebagai berikut:

1. Faktor Fungsi Pokok Manajemen Sekolah
Manajemen sekolah perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan minat peserta didik, guru-guru serta masyarakat setempat, untuk itu perlu dipahami fungsi-fungsi pokok manajemen, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pembinaan. Dalam prakteknya keempat fungsi pokok manajemen tersebut merupakan proses yang berkesinambungan.
Selanjutnya, keempat fungsi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Perencanaan program pendidikan sedikitnya mempunyai dua fungsi utama. Pertama, merupakan upaya sistematis yang menggambarkan penyusunan rangkaian tindakan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan organisasi atau lembaga untuk mempertimbangkan sumber-sumber yang tersedia atau sumber-sumber yang dapat disediakan.
Kedua, kegiatan untuk menggerakkan atau menggunakan sumber-sumber yang terbatas secara efisien dan efektif untuk menciptakan tujuan yang telah ditetapkan.
b.   Pelaksanaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan rencana menjadi tindakan nyata dalam rangka mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
c. Pengawasan dapat diartikan  sebagai upaya untuk mengamati secara sistematis dan berkesinambungan, merekam, memberi penjelasan, petunjuk, pembinaan dan meluruskan berbagai hal yang kurang tepat serta memperbaiki kesalahan. Pengawasan merupakan kunci keberhasilan dalam seluruh proses manajemen, perlu dilihat secara komprehensif, terpadu dan tidak terbatas pada hal-hal tertentu.
d.    Pembinaan merupakan rangkaian upaya pengendalian secara profesional semua unsur organisasi agar berfungsi sebagaimana mestinya sehingga rencana untuk mencapai tujuan dapat terlaksana secara efektif dan efisien.

Kepala sekolah, guru dan tenaga administrasi harus memiliki sifat profesional dan manajerial. Mereka harus memiliki pengetahuan yang dalam tentang peserta didik dan prinsip-prinsip pendidikan untuk menjamin bahwa segala keputusan penting yang dibuat oleh sekolah, didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan pendidikan. Kepala sekolah khususnya, perlu mempelajari dengan teliti, baik kebijakan dan prioritas pemerintah maupun prioritas sekolah. Untuk kepentingan tersebut, kepala sekolah harus :
1.       Memiliki kemampuan untuk berkolaborasi (bekerjasama) dengan guru dan masyarakat sekitar sekolah.
2.       Memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori pendidikan dan pembelajaran.
3.       Memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menganalisis situasi sekarang berdasarkan apa yang seharusnya serta mampu memperkirakan kejadian di masa depan berdasarkan situasi sekarang.
4.       Memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengidentifikasikan masalah dan kebutuhan yang berbentuk efektivitas pendidikan di sekolah, dan
5.       Mampu memanfaatkan berbagai tantangan sebagai peluang serta mengkonseptualkan arah baru untuk perubahan.[19]

Pemahaman terhadap sifat profesional dan manajerial tersebut sangat penting agar peningkatan efisiensi, mutu dan pemerataan serta supervisi dan monitoring yang direncanakan disekolah betul-betul untuk mencapai tujuan pendidikan yang sesuai dengan kerangka kebijakan pemerintah dan tujuan sekolah.
Manajemen sekolah sebagai proses pemberdayaan sekolah dalam rangka peningkatan mutu dan kemandirian sekolah. Dengan manajemen sekolah diharapkan kepala sekolah, guru dan personil lain disekolah serta masyarakat setempat dapat melaksanakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan, perkembangan zaman, karakteristik lingkungan dan tuntutan global.
Dalam dunia pendidikan, pemberdayaan  merupakan cara yang sangat praktis dan produktif untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari kepala sekolah (manajer), para guru, dan pegawai. Proses yang ditempuh untuk mendapatkan hasil yang terbaik dan produktif tersebut adalah dengan membagi tanggung jawab secara profesional kepada para guru. Satu prinsip terpenting dalam pemberdayaan ini adalah melibatkan guru dalam proses pengambilan keputusan dan tanggung jawab, melalui pemberdayaan itu diharapkan para guru memiliki kepercayaan diri.
Dalam manajemen sekolah, pemberdayaan dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja sekolah agar dapat mencapai tujuan secara optimal, efektif dan efisien. Pada sisi lain, untuk memberdayakan sekolah harus pula ditempuh upaya-upaya memberdayakan peserta didik dan masyarakat setempat, disamping mengubah paradigma pendidikan yang dimiliki oleh para guru dan kepala sekolah. Para guru dan kepala sekolah perlu lebih dahulu tahu, memahami akan hakikat, manfaat dan proses pemberdayaan merupakan cara untuk membangkitkan kemauan dan potensi peserta didik agar memiliki kemampuan mengontrol diri dan lingkungannya untuk dimanfaatkan bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan.
Pada dasarnya pemberdayaan terjadi melalui beberapa tahap :
Pertama, masyarakat mengembangkan sebuah kesadaran awal bahwa mereka dapat melakukan tindakan untuk meningkatkan kehidupannya dan memperoleh seperangkat keterampilan agar mampu bekerja lebih baik. Melalui upaya tersebut, pada tahap kedua, mereka akan mengalami pengurangan perasaan ketidak mampuan dan mengalami peningkatan kepercayaan diri. Akhirnya, ketiga, seiring dengan tumbuhnya keterampilan dan kepercayaan diri, masyarakat bekerjasama untuk berlatih lebih banyak mengambil keputusan dan memilih sumber-sumbernya yang akan berdampak pada peningkatan mereka.
Sedikitnya terdapat delapan langkah pemberdayaan dalam kaitannya dengan manajemen sekolah, yaitu (1) menyusun kelompok guru sebagai penerima awal atas rencana program pembedayaan; (2) mengidentifikasi dan membangun peserta didik disekolah; (3) memilih dan melatih guru dan tokoh masyarakat yang terlibat secara dalam implementasi manajemen sekolah; (4) membentuk dewan sekolah, yang terdiri dari unsur sekolah, unsur masyarakat dibawah pengawasan pemerintah daerah; (5) menyelenggarakan pertemuan-pertemuan anggota dewan sekolah; (6) mendukung aktivitas kelompok yang tengah berjalan; (7) mengembangkan hubungan yang  harmonis antara sekolah dan masyarakat; (8) menyelenggarakan loka-karya untuk evaluasi.[20]
Untuk keberhasilan tugas kepala sekolah sebagai pemimpin, administrator dan supervisor, haruslah mampu menerapkan sifat-sifat kepemimpinan terhadap stafnya, sebagaimana firman Allah SWT:
$yJÎ6sù 7pyJômu z`ÏiB «!$# |MZÏ9 öNßgs9 ( öqs9ur |MYä. $ˆàsù xáÎ=xî É=ù=s)ø9$# (#qÒxÿR]w ô`ÏB y7Ï9öqym ( ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ͐öDF{$# ( #sŒÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$#  )ﻞﻋﻤﺮﺍﻥ:١٥٩﴾

Artinya : “Maka karena rahmat dari Allah engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka, sekiranya engkau berlaku keras dan berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Maka maafkanlah mereka dan mohon ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam sesuatu urusan. Maka apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal”. (Q.S. Ali Imran:159).[21]



2. Faktor Efektivitas,  Efisiensi dan Produktivitas Manajemen Sekolah
Pembinaan sistem  pendidikan suatu sekolah tidak hanya ditentukan oleh peranan salah satu unit kerja, tetapi oleh semua unit kerja dalam lingkungan sekolah tersebut.
Sehubungan dengan itu, keberhasilan implementasi manajemen sekolah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan sedikitnya dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu efektivitas, efisiensi dan produktivitas. Ketiga dimensi tersebut saling berkaitan antara satu sama lain dan saling pengaruh mempengaruhi. Meskipun demikian, dalam mengukur keberhasilan suatu program atau suatu kegiatan ketiga dimensi tersebut dapat dipisahkan.
Efektivitas, efisiensi dan produktivitas manajemen sekolah harus sejak awal ditetapkan agar dapat diketahui dampaknya sejak dini terhadap pencapaian tujuan pendidikan pada umumnya, khususnya dalam merealisasikan berbagai program sekolah. Dengan demikian sejak awal dapat diperbaiki kelemahan-kelemahan atau kekurangan-kekurangan, sementara kelebihan dan kekuatan dapat dipertahankan.
Selanjutnya penulis perlu menjelaskan perbedaan ketiga dimensi tersebut di atas, yaitu :
a.      Faktor Efektivitas Manajemen Sekolah
Dalam memahami efektivitas setiap orang memberi arti yang berbeda, sesuai sudut pandang, dan kepentingan masing-masing.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa efektif berarti ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya), manjur atau mujarab, dapat membawa hasil.  Jadi efektivitas adalah adanya kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju. Dengan kata lain, efektivitas adalah bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional.[22]
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikemukakan bahwa efektivitas berkaitan dengan terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan, ketepatan waktu dan adanya partisipasi aktif dari anggota. Dengan demikian, efektivitas manajemen sekolah berarti bagaimana manajemen sekolah berhasil melaksanakan semua tugas pokok sekolah, menjalin partisipasi aktif masyarakat, mendapatkan serta memanfaatkan sumber daya, sumber dana dan sumber belajar untuk mewujudkan tujuan sekolah.
Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT bahwa orang yang berilmu dan tidak berilmu itu berbeda dalam pandangan Islam.
ô`¨Br& uqèd ìMÏZ»s% uä!$tR#uä È@ø©9$# #YÉ`$y $VJͬ!$s%ur âxøts notÅzFy$# (#qã_ötƒur spuH÷qu ¾ÏmÎn/u 3 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôètƒ tûïÏ%©!$#ur Ÿw tbqßJn=ôètƒ 3 $yJ¯RÎ) ㍩.xtGtƒ (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ﴿ﺍﺰﻣﺮ׃٩﴾
Artinya: (apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya. Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. Az-Zumar: 9)[23]

Masalah efektivitas biasanya berkaitan erat dengan perbandingan antara tingkat pencapaian tujuan dengan rencana yang telah disusun sebelumnya, atau perbandingan hasil nyata dengan hasil yang direncanakan. Efektivitas manajemen sekolah sebagaimana efektivitas pendidikan pada umumnya dapat dilihat berdasarkan teori sistem, kriteria efektivitas harus mencerminkan keseluruhan siklus input-proses-output, tidak hanya output atau hasil, serta harus mencerminkan hubungan timbal balik antara manajemen sekolah dan lingkungan sekitarnya. Adapun berdasarkan dimensi waktu efektivitas manajemen sekolah dapat diamati dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.[24]
Kriteria efektivitas jangka pendek mewujudkan hasil kegiatan dalam kurun waktu sekitar satu tahun, dengan kriteria kepuasan, efesiensi dan produksi. Efektivitas jangka menengah dalam waktu sekitar lima tahun, dengan kriteria perkembangan serta kemampuan beradabtasi dengan lingkungan dan perusahaan. Sementara kriteria efektivitas jangka panjang adalah untuk menilai waktu yang akan datang (di atas lima tahun) digunakan kriteria kemampuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan kemampuan membuat perencanaan strategi bagi kegiatan di masa depan.
Efektivitas dapat dijadikan barometer untuk mengukur keberhasilan pendidikan. Dalam upaya pengukuran ini terdapat dua istilah yang perlu diperhatikan, yaitu validasi dan evaluasi.
Sehubungan dengan ini Rae mengemukakan bahwa: Validasi dapat dilihat dari dua sisi, yakni intern dan ekstern. Validasi intern merupakan serangkaian tes dan penilaian yang dirancang untuk mengetahui secara pasti apakah suatu program pendidikan telah mencapai sasaran yang telah ditentukan. Adapun validasi ektern merupakan serangkaian tes dan penilaian yang dirancang untuk mengetahui secara pasti apakah sasaran perilaku dari suatu program secara intern telah valid.[25]
Berkaitan dengan evaluasi, sebagai kata kedua yang penting dalam membicarakan Efektivitas bahwa: Evaluasi dapat digunakan  tiga tahapan, yakni perencanaan, pelaksanaan dan pasca pelaksanaan. Selanjutnya ditegaskan bahwa evaluasi yang baik dilaksanakan hanya apabila didasarkan pada rencana yang baik pula. Oleh karena itu kegiatan evaluasi dalam kaitannya dengan efektivitas harus mengukur untung rugi, tidak hanya mengukur pencapaian sasaran belaka.
Pekerjaan seseorang dapat dikatakan efektif jika dapat memberikan hasil yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan atau sudah mampu mewujudkan tujuan organisasi dalam aspek yang dikerjakan tersebut. Pada hakikatnya efektivitas organisasi bukanlah efektivitas pribadi, melainkan efektivitas manajer, dan  manajer yang efektif akan menghasilkan manajemen yang efektif. Lebih lanjut kriteria manajemen sekolah yang efektif dapat dilihat kemampuannya dalam membuat sesuatu yang benar, mengkreasikan alternatif, mengoptimalkan berbagai sumber berfikir dan  meningkatkan keuntungan sekolah.
Kajian terhadap efektivitas suatu usaha yang panjang dan berkesinambungan seperti pendidikan, membawa kita pada pertanyaan apa yang menjadi indikator efektivitas pada setiap tahapannya. Indikator ini tidak saja mengacu pada apa yang ada (input, process, output dan outcome) tetapi juga apa yang terjadi atau proses.

Indikator-indikator tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.       Indikator input; meliputi karakteristik guru, fasilitas, perlengkapan dan materi pendidikan serta kapasitas manajemen.
2.       Indikator proses; meliputi prilaku administrasi, alokasi waktu guru dan alokasi waktu peserta didik.
3.       Indikator output; berupa hasil-hasil dalam bentuk perolehan peserta didik dan  dinamikanya sistem sekolah, hasil-hasil yang berhubungan dengan prestasi belajar, dan hasil-hasil yang berhubungan dengan perubahan sikap, serta hasil-hasil yang berhubungan dengan keadilan dan kesamaan.
4.       Indikator outcome; meliputi jumlah lulusan ketingkat pendidikan berikutnya, prestasi belajar disekolah yang lebih tinggi dan pekerjaan serta pendapatan.
b. Faktor Efisiensi Manajemen  Sekolah
Implementasi  manajemen sekolah di samping dilihat dari segi efektivitas juga perlu dianalisis dari segi efisiensi.
Efisiensi merupakan aspek yang sangat penting dalam manajemen sekolah karena sekolah umumnya dihadapkan pada masalah kelangsungan sumber dana, dan secara langsung berpengaruh terhadap kegiatan manajemen. Kalau efektivitas membandingkan antara rencana dengan tujuan yang dicapai, efisiensi lebih ditekankan pada perbandingan antara input atau sumber daya dengan output, suatu kegiatan dikatakan efisien jika tujuan dapat dicapai secara optimal dengan penggunaan atau pemakaian sumber daya yang minimal.[26]
Sejalan dengan uraian di atas, Dharma  mengemukakan bahwa: Efisiensi mengacu pada ukuran penggunaan sumber daya yang langka oleh organisasi. Efisiensi juga merupakan  perbandingan antara input dan output, tenaga dan hasil, perbelanjaan dan masukan, biaya serta kesenangan yang dihasilkan.[27]
Keluaran atau output manajemen sekolah adalah segala sesuatu yang dikelola  dan dihasilkan di sekolah, yaitu berapa banyak yang dihasilkan dan seberapa baik sekolah dapat mengelola keluaran, tersebut dapat  beragam perubahan prilaku baik dalam aspek kognitif, psikomotor maupun afektif, pada pengelola sekolah, baik peserta didik, kepala sekolah, guru, maupun pegawai. Di samping itu dapat dilihat dampaknya terhadap masyarakat lingkungan.
Perubahan kognitif berbentuk perubahan aspek intelektual yang terjadi dalam aspek pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Perubahan-perubahan itu berjenjang artinya yang disebut terdahulu lebih rendah tingkatannya dibanding yang disebut kemudian. Misalnya, perubahan pengetahuan hapalan lebih rendah tingkatannya dibandingkan dengan perubahan pemahaman, perubahan pemahaman lebih rendah dibanding dengan penerapan. Perubahan psikomotor, berupa perubahan keterampilan diawali dengan adanya perubahan pengetahuan. Misalnya, dari tidak terampil menjadi terampil. Perubahan afektif merupakan hasil belajar  yang berupa perubahan sikap seseorang. Misalnya dari sikap masa bodoh menjadi peduli. Sementara dampak terhadap lingkungan bisa positif dan bisa negatif, dampak positif apabila dapat mengangkat lingkungan serta harkat dan martabat masyarakat; dan negatif apabila merusak lingkungan serta menurunkan harkat dan martabat masyarakat.
Selain dianalisis dari komponen input dan output, tingkat efisiensi bisa dianalisis dari proses pendidikan, yang merupakan interaksi antara faktor-faktor manusiawi dengan faktor-faktor non manusiawi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan waktu yang disediakan. Dalam hal ini, sesuatu dikatakan efisien jika melakukan banyak proses atau kegiatan dalam waktu yang relatif singkat.[28]

c. Faktor Produktivitas Manajemen Sekolah
Konsep produktivitas pada awalnya dikemukakan oleh Quesney, seorang ekonom Perancis pada tahun 1776. Oleh karena itu, wajar jika pengertian produktivitas senantiasa dikaitkan dengan nilai ekonomis  suatu kegiatan, yakni bagaimana mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan menggunakan sumber daya dengan dana sekecil mungkin.
Produktivitas pendidikan dapat ditinjau dari tiga dimensi sebagai berikut :
1. Meninjau produktivitas sekolah dari segi keluaran administratif, yaitu seberapa besar dan seberapa baik layanan yang dapat diberikan dalam suatu proses pendidikan baik oleh guru, kepala sekolah, maupun pihak lain yang berkepentingan.
2. Meninjau produktivitas dari segi keluaran peubahan prilaku, dengan melihat nilai-nilai yang diperoleh peserta didik sebagai suatu gambaran dari prestasi akademik yang jelas dicapainya dalam periode belajar tertentu disekolah.
3. Melihat produktivitas sekolah dari keluaran ekonomis yang berkaitan dengan pembiayaan layanan pendidikan di sekolah. Hal ini mencakup “harga” layanan yang diberikan (pengorbanan atau cost) dan “perolehan” (earning) yang ditimbulkan oleh layanan itu atau disebut “peningkatan nilai balik”.
Indikator produktivitas lebih mengarah pada efisiensi yang bersifat kuantitatif. Oleh karena itu, perlu disadari pentingnya indikator-indikator yang bersifat kualitatif, seperti semangat kerja, motivasi dan lain-lain. Dalam kaitan ini Soedijarto  mengemukakan tujuh kunci untuk meningkatkan produktivitas, yaitu:
1.     Keahlian manajemen
2.     Kepemimpinan yang luar biasa dan memiliki pengaruh besar
3.     Kesederhaan organisasi dan operasional
4.     Kepegawaian yang efektif
5.     Tugas yang menantang
6.     Perencanaan dan pengendalian tujuan
7.     Pelatihan manajerial khusus.[29]
Produktivitas pendidikan sangat  dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks dan sangat erat kaitannya satu sama lain. Depdikbud (1998) mengungkapkan beberapa faktor yang perlu diperhatikan agar manajemen pendidikan dan persekolahan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien
1.     Faktor-faktor yang berhubungan dengan organisasi dan manajemen
2.     Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepala sekolah
3.     Faktor-faktor yang berhubungan dengan guru
4.     Faktor-faktor yang berhubungan dengan anggaran pendidikan
5.     Faktor-faktor yang berhubungan dengan lingkungan sekolah
6.     Faktor-faktor yang berhubungan dengan pengawasan dan pengendalian
7.     Faktor-faktor yang berhubungan dengan disiplin sebagai kunci keberhasilan dalam pengelolaan.[30]

Jika faktor produktivitas diatas dihubungkan dengan manajemen sekolah, dapat dikemukakan bahwa karakteristik umum sekolah yang produktif dapat dilihat dari bentuk dan sifat organisasi sekolah tersebut, apakah dapat memberikan peluang untuk mencapai produktivitas yang tinggi . Hal tersebut antara lain berupa pendekatan jumlah dan kualitas kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik setelah mengikuti pembelajaran. Untuk mendorong sekolah yang produktif perlu diperhatikan berbagai faktor yang memiliki pengaruh terhadap tinggi rendahnya  produktivitas, seperti moral, etika kerja, motivasi, jaminan sosial, sikap, disiplin, kesehatan, kesempatan berprestasi, lingkungan dan suasana kerja, kepuasan kerja, kebijakan pemerintah  dan besarnya pendapatan, serta sarana produksi. Faktor-faktor tersebut harus senantiasa diperhatikan dalam manajemen sekolah  untuk menghasilkan sekolah yang produktif, efektif dan efisien.

3.  Faktor Pendidik
Yang termasuk pendidik di sini adalah orang tua, guru, masyarakat dan teman-temannya yang dapat mempengaruhi semangat belajar seorang anak. pendidik pertama dan paling utama bagi anak dan dapat membawa pengaruh  yang sangat besar terhadap pendidikan anak adalah orang tuanya. Oleh karena itu sifat-sifat orang tua, praktek pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga, semuanya dapat memberi dampak baik ataupun buruk terhadap kegiatan belajar dan hasil yang dicapai oleh anak.
Sehubungan dengan ini Allah SWT berfirman :
äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ﴿ﺍﻧﺤﻠﻮ׃١۲۵﴾
Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Q.S An-Nahl : 125)[31]

Oleh karena itu kebiasaan yang diterapkan orang tua dalam mengelola keluarga yang keliru, seperti kalalaian orang tua dalam memonitor kegiatan anak, dapat menimbulkan dampak lebih buruk lagi. Dalam hal ini bukan saja anak tidak mau belajar melainkan juga ia cenderung berperilaku menyimpang, terutama prilaku menyimpang yang berat seperti pergaulan bebas dan penyalahgunaan narkoba.
Dalam hal ini sebagai pendidik orang tua harus mempunyai sifat kasih sayang terhadap anaknya, sehingga anak akan merasa diperhatikan dan disayangi oleh orang tuanya dalam memberikan bekal di masa depannya.
Sehubungan dengan ini Buchori Mukhtar mengemukakan bahwa :  Salah satu sifat seorang pendidik yang sukses adalah bersifat kasih sayang. Sifat  ini dimiliki oleh orang tua kepada anak-anaknya, lebih banyak dari pada orang selainnya. Sifat inilah yang merupakan salah satu faktor yang sangat dominan dalam perkembangan anak baik itu ditinjau dari sisi psikologis maupun sosiologis. Apabila anak-anak ini berkembang tanpa kasih sayang, mereka akan berkembang dengan timpang dan akan menyeleweng dari masyarakat, tidak bisa berinteraksi  antara satu individu dengan yang lainnya dan tidak bisa bergabung di dalamnya.[32]
Guru-guru yang efektif adalah mereka yang  punya  rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis dari pada autokratik dan mereka harus mampu berhubungan dengan mudah dan wajar dengan para siswa, baik secara perorangan ataupun secara kelompok. guru yang tidak efektif jelas kurang memiliki rasa humor, mudah marah, menggunakan komentar-komentar yang melukai dan mengurangi rasa ego, cenderung bertindak otoriter, dan biasanya kurang peka terhadap kebutuhan-kebutuhan siswa.
Mengajar yang baik bukan sekedar persoalan teknik-teknik dan metodelogi belajar saja. Untuk menjaga disiplin, guru sering bertindak otoriter, menjauhi siswa, bersikap dingin itu menyembunyikan rasa takut kalau dianggap lemah. Nasehat yang sering diberikan misalnya agar guru bertindak keras pada saat permulaan.

4. Faktor Pengaruh Lingkungan Masyarakat
Kehidupan anak bukan saja berlangsung di dalam rumah tangga dan sekolah, akan tetapi lebih besar lagi kehidupannya berada dalam lingkungan masyarakat. Kehidupan dalam masyarakat merupakan lingkungan ketiga bagi anak dan juga merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan pendidikan mereka. Karena dalam lingkungan masyarakat inilah seorang anak akan menerima bermacam-macam pengalaman, baik yang bersifat positif maupun negatif. Di sini anak akan menerima didikan dan pengalaman yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan lingkungan masyarakat di tempat ia berada. Apa saja yang diterima anak dalam masyarakat akan turut mempengaruhinya.
Sebagai makhluk sosial sang anak lahir, hidup sampai mati berada dalam lingkungan masyarakat. Sudah sepantasnya akan menerima hubungan timbal balik antara dirinya dengan masyarakat. Baik buruknya seseorang dapat dipengaruhi oleh pergaulannya dalam masyarakat dengan kapasitas bekal yang dibawa dari keluarga dan sekolah.
Lingkungan merupakan tempat atau area pergaulan anak-anak yang tidak mungkin dipisahkan dengan anak itu sendiri. Lingkungan ini sangat besar juga pengaruhnya bagi anak, karena apabila lingkungan itu baik maka baik pula pengaruhnya bagi anak. Jika anak-anak sudah dipengaruhi oleh teman upaya peningkatan pada anak tidak akan terwujud tanpa adanya dukungan masyarakat dimana anak itu berada.
Lingkungan masyarakat merupakan faktor yang cukup kuat mempengaruhi perkembangan siswa, sulit dikontrol pengaruhnya. Keluarga dan sekolah adalah lembaga yang khusus, mempunyai anggota tertentu serta mempunyai tujuan dan tanggung jawab yang pasti dalam mendidik anak. Berbeda dengan masyarakat, dimana di dalamnya terdapat berbagai macam kegiatan, berlaku untuk segala tingkatan umur dan ruang lingkupnya sangat luas.
Dengan kata lain pendidikan dalam masyarakat adalah pendidikan yang berlangsung di luar rumah tangga dan di luar sekolah. Pelaksanaan pendidikan dalam masyarakat pencerminan dari perwujudan pembentukan kepribadian anak yang dilakukan dengan berbagai cara dan kegiatan yang sifatnya menambah pengetahuan dan keterampilan.
Masyarakat terdiri dari anak-anak yang belum matang dan orang-orang dewasa yang telah berpengalaman. Anak-anak memerlukan orang dewasa dan pengalaman-pengalaman mereka. Meskipun hidup orang dewasa tidak berlangsung terus, namun hidup masyarakat tetap lestari dan berjalan terus. Proses kematian dan hidup manusia dari tiap-tiap anggota masyarakat memperkuat keharusan adanya pendidikan. Hal ini disebabkan oleh karena setiap anggota baru yang datang ke dalam masyarakat, bukan saja memerlukan pertumbuhan jasmani, akan tetapi pada waktu yang sama mereka memerlukan pertumbuhan kemasyarakatan, pada waktu ia turun langsung ke dalam masyarakat dan ikut bersama mencapai keinginannya, tujuannya, kecakapan-kecakapan untuk membentuk dan menetapkan di dalamnya.
Pendidikan masyarakat dapat diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang, atas dasar setiap orang sebagai anggota masyarakat yang ikut bertanggung jawab terhadap sesamanya termasuk di dalamnya tugas pendidikan agama. Ini adalah tugas orang-orang dewasa yang akan pindah dari sebuah masyarakat untuk mewarisi pengalaman-pengalamannya kepada anggota-anggota yang masih kecil yang datang kepada mereka.
Dalam hal ini Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati juga mengemukakan bahwa pergaulan sehari-hari antara seseorang dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat mengandung gejala-gejala pendidikan, karena para tokoh tersebut dalam pergaulannya mengarah kepada pengaruh yang positif, menuju kepada tujuan yang mencakup nilai yang tinggi/luhur.[33]
Masyarakat sangat besar pengaruhnya dalam memberi arahan terhadap pendidikan anak, terutama para pemimpin masyarakat atau penguasa yang ada di dalamnya. Pimpinan masyarakat muslim tentu saja menghendaki agar setiap anak didik menjadi anggota yang taat dan patuh menjalankan agamanya, baik dalam lingkungan keluarganya, anggota sepermainannya, kelompok kelasnya dan sekolahnya. Bila anak telah besar diharapkan menjadi anggota yang baik sebagai warga desa, warga kota dan warga negara.
Dengan demikian, di pundak mereka terpikul keikutsertaan membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak. Ini berarti bahwa pemimpin dan penguasa dari masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan.
Jika kita cermati ekses di zaman globalisasi ini sedang bermuara kepada suatu kebebasan yang sulit terkendali. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi baik dalam bidang komunikasi dengan penemuan perangkat alat-alat komunikasi seperti komputer, satelit, parabola, telepon, faksimile, dan alat-alat transportasi, maka batas-batas dunia terasa menjadi sempit. Sehingga tanpa disadari telah membawa kita pada suatu kondisi global yang dapat menyebabkan pembauran budaya di seluru pelosok dunia.
Antara satu bangsa dengan bangsa lainnya terjadi saling mempengaruhi antara satu budaya mempengaruhi budaya lainnya. Campuran budaya yang memiliki keunggulan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menerobos ke wilayah-wilayah yang tanpa memiliki kemampuan menangkal secara dahsyat. Bahkan dapat menyusup sampai ke kamar-kamar tidur anak-anak kita melalui televisi atau internet. Sehingga merebaknya budaya serba boleh, seperti pergaulan bebas, pakaian minim ala barat, abortus, narkoba, bunuh diri dan sejumlah budaya lainnya yang dapat merusak moral generasi muda kita. Terlebih lagi jika tidak di imbangi dengan pendidikan agama dan nilai-nilai budaya sendiri yang dilakukan oleh orang tua dan guru-guru, maka dampak negatif kebudayaan modern itu akan semakin mudah menyerang generasi muda kita.
Di samping banyak kebaikan globalisasi, kita perlu waspada dan mawas diri, karena kedahsyatan  pengaruh negatif globaslisasi dapat mengikis dan menghapuskan manusia dari kemanusiaannya. Luasnya dampak negatif globaslisasi ditentukan kecepatan dan besarnya dinamika globaslisasi itu.
Untuk menghindari anak-anak kita dari pengaruh  kebudayaan negatif yang datang dari luar, maka para orang tua, guru dan masyarakat harus mampu bersaing dan mengaktualisasikan mutu pendidikannya supaya dapat menarik minat anak-anak untuk memilih dan mencintai budaya sendiri.
Dengan demikian tinggi rendahnya prestasi belajar anak bukan ditentukan oleh guru yang mengajarnya, akan tetapi prestasi belajar anak dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang berasal dari dalam anak itu sendiri, kondisi lingkungan di mana anak itu berada dan jenis usaha belajar yang ditempuh siswa dalam pembelajaran.


B.    Kegiatan Belajar-Mengajar di Sekolah
Proses perkembangan prestasi belajar siswa dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor sehingga seorang siswa dapat dikatakan berhasil dalam belajar atau dapat dikatakan mendapat prestasi belajar yang tinggi. Dalam hal ini kita perhatikan suatu pendapat yang dikemukakan oleh Muhibbin Syah bahwa :
Secara global faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat kita bedakan menjadi tiga macam, yakni :
1)     Faktor Internal (faktor dari dalam diri siswa), yakni keadaan/kondisi jasmani dan rohani siswa.
2)     Faktor Eksternal (faktor dari luar diri siswa), yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa.
3)     Faktor Pendekatan Belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.[34]

Dalam banyak hal faktor-faktor di atas sering saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Seorang siswa yang bersikap biasa-biasa saja terhadap ilmu pengetahuan atau bermotif ekstrinsik (faktor ekstern) umpamanya, biasanya cenderung mengambil pendekatan yang sederhana dan tidak mendalam. Sebaliknya, seorang siswa yang berinteligensi tinggi (faktor intern) dan mendapat dorongan positif dari orang tuanya (faktor ekstern), mungkin akan memilih pendekatan belajar yang lebih mementingkan kualitas hasil pembelajaran. Jadi karena pengaruh faktor-faktor tersebutlah muncul siswa-siswa yang berprestasi tinggi dan yang berprestasi rendah atau gagal sama sekali. Dalam hal ini, seorang guru kompeten dan profesional diharapkan mampu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan munculnya kelompok siswa yang menunjukkan gejala kegagalan dengan berusaha mengetahui dan mengatasi faktor yang menghambat proses belajar mereka.
Faktor yang berasal  dalam diri siswa itu sendiri, yaitu meliputi dua aspek: aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah) dan aspek psikologis (yang bersifat rohaniah).
1.   Aspek Fisiologis
Faktor kesehatan fisik merupakan salah satu faktor yang dapat menghambat kelancaran pendidikan seorang anak. keadaan anak yang sakit atau kurang sehat atau mengalami kelainan-kelainan pada fisiknya, seperti pendengaran yang kurang, penglihatan yang tidak sempurna dan lain-lain akan menghambat kelancaran pendidikannya. Dalam hal ini Wasty Soemanto mengemukakan bahwa : Orang yang belajar membutuhkan kondisi badan yang sehat. Orang yang badannya sakit akibat penyakit-penyakit tertentu serta kelelahan tidak akan dapat belajar dengan efektif. Cacat fisik juga mengganggu hal belajar.[35]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kondisi umum jasmani yang menandakan tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika disertai kepala pusing misalnya, dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajarinyapun kurang atau tidak berbekas. Untuk mempertahankan jasmani agar tetap bugar, siswa sangat dianjurkan mengkonsumsi makanan dan minuman bergizi. Selain itu siswa juga dianjurkan memilih pola istirahat dan olah raga ringan yang sedapat mungkin terjadwal secara tetap dan berkesinambungan. Hal ini penting sebab kesalahan pola makan, minum dan istirahat yang tidak seimbang  serta tidak memperhatikan kebersihan, maka akan menimbulkan reaksi jasmani yang negatif dan merugikan semangat mental siswa itu sendiri.
Anak yang kurang sehat dapat mengalami kesulitan belajar, sebab ia mudah capek, mengantuk, pusing, daya konsentrasinya hilang, kurang semangat dan pikiran terganggu. Karena hal-hal inilah maka penerimaan dan respon pelajaran berkurang, saraf otak tidak mampu bekerja secara optimal memproses, mengelola, menginterprestasikan dan mengorganisir bahan pelajaran melalui inderanya.
Muhibbin Syah mengemukakan bahwa: Kondisi organ-organ khusus anak, seperti tingkat kesehatan indera pendengar dan indera penglihatan juga sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan pengetahuan, khususnya yang disajikan oleh guru di sekolah. Daya pendengaran dan penglihatan anak yang rendah, umpamanya akan menyulitkan sensory register dalam menyerap item-item informasi yang bersifat echoic dan iconic (gema dan citra). Akibat negatif selanjutnya adalah terhambatnya proses informasi yang dilakukan oleh sistem memori anak tersebut.[36]
Jadi kesehatan seorang anak sangat mempengaruhi pendidikannya, sebab anak yang kurang sehat tidak mampu berkonsentrasi secara sempurna terhadap materi pelajaran yang diberikan gurunya.
2.   Aspek Psikologis
Sebagaimana yang terdapat dalam aspek fisioligis, maka dalam aspek psikologis juga terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran anak. Di antara faktor-faktor psikologis yang dipandang lebih penting bagi anak adalah sebagai berikut :
a.   Intelegensi
Manusia yang belajar sering menghadapi situasi-situasi baru serta permasalahan. Hal itu memerlukan kemampuan individu yang belajar untuk menyesuaikan diri serta memecahkan setiap permasalahan yang  dihadapi. Oleh karena itu Wasty Soemanto mengemukakan bahwa : “Intelegensi menyangkut kemampuan untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian terhadap situasi-situasi yang kurang dikenal, atau dalam pemecahan masalah-masalah.”[37]
Sehubungan dengan ini Muhibbin Syah juga mengatakan bahwa intelegensi secara umum dapat diartikan: Sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat. Jadi intelegensi sebenarnya bukan persoalan kualitas otak saja, melainkan juga kualitas organ-organ tubuh lainnya. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa peran otak dalam hubungannya dengan intelegensi manusia lebih menonjol dari pada peran organ-organ tubuh lainnya, lantaran otak merupakan menara pengontrol hampir seluruh aktivitas manusia.[38]
Tingkat kecerdasan seorang anak tidak sama antara satu dengan anak lainnya. Anak yang tingkat kecerdasannya tinggi mereka lebih cepat dan mudah memahami pelajaran-pelajaran yang diberikan kepadanya, sebaliknya anak-anak yang kecerdasannya rendah akan mengakibatkan sukar dan kurang mampu memahami pelajaran-pelajaran yang diberikan kepadanya. Sehingga bagi mereka yang tergolong dalam golongan ini sering kelihatan prestasi yang dicapainya rendah, baik dalam setiap ulangan maupun ketika dalam penentuan kenaikan kelas dan sebagainya.
Dengan demikian tingkat kecerdasan atau intelegensi anak sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar mereka. Ini bermakna, semakin tinggi kemampuan intelegensi seorang anak semakin besar peluangnya untuk meraih sukses. Sebaliknya, semakin rendah  kemampuan intelegensi seorang anak, maka semakin kecil peluang untuk memperoleh sukses.
Di antara siswa mungkin terdapat satu atau dua orang yang tergolong anak sangat cerdas dan berbakat. Di samping itu, mungkin ada pula siswa yang kecerdasan di bawah rata-rata. Menghadapi situasi  seperti ini Muhibbin Syah mengemukakan bahwa :
Setiap calon guru dan guru profesional sepantasnya menyadari bahwa keluarbiasaan intelegensi siswa, baik yang positif seperti superior maupun- yang negatif seperti borderline, lazimnya akan menimbulkan kesulitan belajar siswa yang bersangkutan. Di satu sisi siswa yang cerdas sekali akan merasa tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari sekolah karena pelajaran yang disajikan terlampau  mudah baginya. Akibatnya, ia menjadi bosan dan frustasi karena tuntutan kebutuhan keingin tahuannya merasa di bendung  secara tidak adil. Di sisi lain, siswa yang bodoh sekali akan merasa sangat payah mengikuti sajian pelajaran karena terlalu sukar baginya. Karenanya siswa itu sangat tertekan, dan akhirnya merasa bosan dan frustasi seperti yang dialami rekannya yang luas biasa positif tadi.[39]
Dalam hal  untuk menolong siswa yang berbakat, sebaiknya menaikkan kelasnya setingkat lebih tinggi dari pada kelasnya tadi. Kelak, apabila ternyata di kelas barunya itu dia masih merasa terlalu mudah juga, siswa tersebut dapat dinaikkan setingkat lebih tinggi lagi. Begitu seterusnya, hingga dia mendapatkan kelas yang tingkat kesulitan mata pelajarannya sesuai dengan  tingkat intelegensinya. Apabila cara tersebut sulit di tempuh, alternatif lain dapat diambil, misalnya dengan cara menyerahkan siswa tersebut kepada lembaga pendidikan khusus untuk para siswa berbakat.
Sementara itu untuk menolong siswa yang berkecerdasan di bawah rata-rata tidak dapat dilakukan sebaliknya yakni dengan menurunkan ke kelas lebih rendah. Sebab, cara penurunan kelas seperti ini dapat menimbulkan masalah baru yang besifat psiko-sosial yang tidak hanya mengganggu dirinya saja, tetapi juga mengganggu adik-adik barunya.
Oleh karena itu, tindakan yang dipandang lebih bijaksana adalah dengan cara memindahkan siswa penyandang intelegensi tersebut ke lembaga pendidikan khusus untuk anak-anak penyandang intelegensi rendah.
b.       Bakat
Secara umum bakat adalah : “Kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang.”[40]
Dengan demikian setiap orang pasti memiliki bakat dalam arti berpotensi untuk mencapai  prestasi sampai ke tingkat tertentu sesuai dengan kapasitas masing-masing. Jadi secara global bakat itu mirip dengan intelegensi. Itulah sebabnya seorang anak yang berintelegensi sangat cerdas atau cerdas luar biasa disebut juga sebagai anak berbakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, bakat kemudian diartikan : “Sebagai kemampuan individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan latihan.”[41]
Misalnya seorang siswa yang berbakat dalam bidang berpidato, anak akan jauh lebih mudah menyerap informasi, pengetahuan, dan keterampilan yang berhubungan dengan  bidang tersebut dibandingkan dengan siswa lainnya. Inilah yang kemudian disebut bakat khusus yang konon tak dapat dipelajari karena merupakan karunia yang dibawa sejak lahir.
Minat sebagaimana yang telah disebutkan dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar anak dalam bidang studi tertentu. Umpamanya, seorang  anak yang menaruh minat besar terhadap bahasa Arab akan  memusatkan perhatiannya lebih banyak terhadap materi itu dari pada anak lainnya. Kemudian karena pemusatan perhatian yang insentif terhadap materi itulah yang memungkinkan siswa tadi untuk belajar lebih giat dan akhirnya mencapai prestasi yang diinginkan.
c.      Motivasi
Dalam proses belajar diketahui ada satu perangkat jiwa yang harus diperhatikan yaitu motivasi. Arti dan fungsi motivasi dalam belajar sangat berperan, khususnya dalam melakukan kegiatan pembelajaran tersebut. Motivasi adalah : “Daya dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu atau keadaan seseorang atau  organisme yang menyebabkan kesiapannya untuk memulai serangkaian tingkah laku atau perbuatan.”[42]
Sehubungan dengan  itu Muhibbin Syah juga mengatakan tentang pengertian dasar motivasi. Menurutnya motivasi adalah : “Keadaan internal organisme, baik manusia ataupun hewan yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini motivasi pemasok daya untuk bertingkah laku secara terarah.”[43]
Dalam perkembangan selanjutnya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a)     Motivasi intrinsik, yaitu hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri anak sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar.
b)     Motivasi ekstrinsik, yaitu hal dan keadaan yang datang dari luar individu anak yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar.[44]
Termasuk  dalam motivasi intrinsik adalah perasaan menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi tersebut, misalnya untuk kehidupan masa depan anak yang bersangkutan. Sedangkan pujian dan hadiah, peraturan/tata tertib sekolah, suri teladan orang tua, guru, dan seterusnya merupakan contoh-contoh kongkrit motivasi ekstrinsik yang dapat menolong anak untuk belajar.  Kekurangan atau ketiadaan motivasi, baik yang bersifat internal maupun eksternal, akan menyebabkan kurang bersemangatnya anak dalam melakukan proses pembelajaran materi-materi pelajaran baik di sekolah maupun di rumah.
Paling ideal kalau pada tiap-tiap individu terdapat motivasi internal dalam mengikuti kegiatan pendidikan. Tetapi karena motivasi internal ini belum pasti ada pada setiap individu, maka dalam proses pendidikan perlu mengadakan motivasi eksternal. Sebenarnya motivasi internal mempunyai intensitas lebih kuat dan lebih tahan lama dari pada motivasi eksternal. Dorongan untuk melakukan sesuatu itu biasanya tidak ditentukan oleh motivasi tunggal, karena pada diri seseorang terdapat bermacam-macam motivasi yang mendasari perbuatan seseorang tersebut. Begitu pula dalam mengikuti pendidikan ada bermacam-macam motivasi. Di antaranya dorongan untuk mencapai prestasi tinggi, dorongan untuk memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk masa depan juga memberi pengaruh kuat dan relatif lebih langgeng dibandingkan dengan dorongan untuk memperoleh hadiah atau dorongan keharusan dari orang tua dan guru. 

C.    Peran Kepala Sekolah Sebagai Wewenang
Pihak kepala sekolah dalam menggapai visi dan misi pendidikan perlu ditunjang oleh kemampuan kepala sekolah dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Meskipun pengangkatan kepala sekolah tidak dilakukan secara sembarangan, bahkan diangkat dari guru yang sudah berpengalaman atau mungkin sudah lama menjabat sebagai wakil kepala sekolah, namun tidak dengan sendirinya membuat kepala sekolah menjadi profesional dalam melakukan tugas.
  1. Kepala Sekolah Sebagai Supervisor
Kegiatan utama pendidikan di sekolah dalam rangka mewujudkan tujuannya adalah kegiatan pembelajaran, sehingga seluruh aktivitas organisasi sekolah bermuara pada pencaipaian efisiensi dan efektivitas pembelajaran. Oleh karena itu, salah satu tugas kepala sekolah adalah sebagai supervisor, yaitu mensupervisi pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kependidikan.
Supervisi sesungguhnya dapat dilaksanakan oleh kepala sekolah yang berperan sebagai supervisor, tetapi dalam sistem organisasi pendidikan modern diperlukan supervisor khusus yang lebih independen, dan dapat meningkatkan objektivitas dalam pembinaan dan pelaksaan tugasnya.
Jika supervisi dilaksanakan oleh kepala sekolah, maka ia harus mampu melakukan berbagai pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan kinerja tenaga pendidikan. Pengawasan dan pengendalian ini merupakan kontrol agar kegiatan pendidikan di sekolah terarah pada tujuan yang telah di tetapkan. Pengawasan dan pengendalian juga merupakan tindakan preventif untuk mencegah agar para tenaga kependidikan tidak melakukan penyimpangan dan lebih berhati-hati dalam melaksanakan pekerjaannya.
Pengawasan dan pengendalian yang dilkukan kepala sekolah tehadap tenaga kependidikannya khususnya guru, disebut  supervisi klinis, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan profesional guru dan meningkatkan kualitas pembelajaran yang efektif. Salah satu supervisi akademik yang populer adalah supervisi klinis, yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.      Supervisi diberikan berupa bantuan (Bukan perintah), sehingga inisiatif tetap berada di tangan tenaga kependidikan.
b.     Aspek yang di supervisi berdasarkan usul guru, yang dikaji bersama kepala sekolah sebagai supervisor untuk dijadikan kesempatan
c.      Instrumen dan metode observasi dikembangkan bersama oleh guru dan kepala sekolah
d.     Mendiskusikan dan menafsirkan hasil pengamatan dengan mendahulukan interpretasi guru
e.      Supervisi dilakukan dalam suasana terbuka secara tatap muka, dan supervisor lebih banyak mendengarkan serta menjawab pertanyaan guru daripada memberi saran dan pengarahan
f.      Supervisi klinis sedikitnya memiliki tiga tahap, pertemuan awal, pengamatan, dan umpan balik
g.     Adanya penguatan dan umpan balik dari kepala sekolah sebagai supervisor terhadap perubahan perilaku guru yang positif sebagai hasil pembinaan
h.     Supervisi dilakukan secara berkelanjutan untuk meningkatkan suatu keadaan dan memecahkan suatu masalah.[45]


     2. Kepala Sekolah Sebagai Leader
            Kepala sekolah sebagai leader harus mampu memberikan petunjuk dan pengawasan, meningkatkan kemauan tenaga kependidikan, membuka komunikasi dua arah, dan mendelegasikan tugas. Wahjosumijo (1999:110) “mengemukakan bahwa kepala sekolah sebagai leader harus memiliki karakter khusus yang mencakup kepribadian, keahlian dasar, pengalaman dan pengetahuan profesional, serta pengetahuan admitrasi dan pengawasan”
            Kemampuan yang harus diwujudkan kepala sekolah sebagai leader dapat dianalisis dari kepribadiaan, pengetahuan tehadap kependidikan, visi dan misi sekolah, kemampuan mengambil keputusan, dan kemampuan berkomunikasi.
            Kepribadian kepala sekolah sebagai leader akan tercermin dalam sifat-sifat (1) jujur, (2) percaya diri, (3) tanggung jawab, (4) berani mengambil resiko dan keputusan, (5)  Berjiwa besar, (6) emosi yang stabil, (7) teladan.
            Dalam implementasinya, kepala sekolah sebagai leader dapat dianalisis dari tiga sifat kepemimpinan, yakni demokratis, otorite, laissez-faire. Ketiga sifat tersebut sering dimiliki secara bersamaan oleh seorang leader, sehingga dalam melaksanakan kepemimpinannya, sifat-sifat tersebut muncul secara situasional. Oleh karena itu kepala sekolah sebagai leader mungkin bersifat demokratis, otoriter, dan mungkin bersifat laissez-faire.
            Meskipun kepala sekolah ingin selalu bersifat demokratis, namun seringkali situasi dan kondisi menuntut untuk bersikap lain; misalnya harus otoriter. Dalam hal tertentu sifat kepemimpinan otoriter lebih cepat digunakan dalam pengambilan suatu keputusan.
3. Kepala Sekolah Sebagai Innovator
            Dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai innovator, kepala sekolah harus memilki strategi yang tepat untuk menjalin hubugan yang harmonis dengan lingkungan, mencari gagasan baru, mengintegrasikan setiap kegiatan, memberikan teladan kepada seluruh tenaga kependidikan di sekolah, dan mengembangkan model-model pembelajaran yang inovatif.
            Kepala sekolah sebagai innovator akan tercermin dari cara-cara ia melakukan pekerjaannya secara konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional dan objektif, pragmatis, keteladanan, disiplin, serta adaptabel dan fleksibel.
            Konstruktif, dimaksudkan bahwa dalam meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolah, kepala sekolah harus berusaha mendorong dan membina setiap tenaga kependidikan agar dapat berkembang secara optimal dalam melakukan tugas-tugas yang diembankan kepada masing-masing tenaga kependidikan.
            Kreatif, dimaksudkan bahwa dalam meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolah, kepala sekolah harus berusaha mencari gagasan dan cara-cara baru dalam melaksanakan tugasnya. hal ini dilakukan agar para tenaga kependidikan dapat memahami apa-apa yang disampaikan oleh kepala sekolah sebagai pimpinan, sehingga dapat mencapai tujuan sesuai dengan visi dan misi sekolah.
            Delegatif, dimaksudkan bahwa dalam meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolah, kepala sekolah harus berupaya mendelegasikan tugas kepada tenaga kependidikan sesuai dengan deskripsi tugas, jabatan serta kemampuan masing-masing.
            Integratif, dimaksudkan bahwa dalam meningkatkan profesionalisme tebaga kependidikan di sekolah, kepala sekolah harus berusaha mengintegrasikan semua kegiatan sehingga dapat menghasilkan sinergi untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif, efisien dan produktif.
            Rasional dan objektif, dimaksudkan bahwa dalam meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolah, kepala sekolah harus berusaha bertindak berdasarkan pertimbangan rasio dan objektif.
            Pragmatis, dimaksudkan bahwa dalam meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolah, kepada sekolah harus berusaha menetapkan kegiatan atau target berdasarkan kondisi dan kemampuan nyata yang dimiliki oleh setiap tenaga kependidikan, serta kemampuan yang dimiliki sekolah.
            Keteladanan, dimaksudkan bahwa dalam meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolah, kepala sekolah harus berusaha memberikan teladan dan contoh yang baik.
            Adaptabel dan fleksibel, dimaksudkan bahwa dalam meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolah, kepala sekolah harus mampu beradaptasi dan fleksibel dalam menghadapi situasi baru, serta berusaha menciptakan situasi kerja yang menyenangkan dan memudahkan para tenaga kependidikan untuk beradaptasi dalam melaksanakan tugasnya.
            Kepala sekolah sebagai innovator harus mampu mencari, menemukan, dan melaksanakan berbagai pembaharuan di sekolah. Gagasan baru tersebut misalnya moving class. Moving class adalah mengubah strategi pembelajaran dari pola kelas tetap menjadi kelas bidang studi, sehingga setiap bidang studi memiliki kelas tersendiri, yang dilengkapi dengan alat peraga dan alat-alat lainnya. Moving class ini bisa dipadukan dengan pembelajaran terpadu, sehingga dalam suatu laboratorium bidang studi dapat dijaga oleh beberapa orang guru (fasilitator), yang bertugas memberikan kemudahan kepada peserta didik dalam belajar.[46]

           


[19]Engkoswara, Paradigma Manajemen Pendidikan, Menyongsong Otonomi daerah, (Bandung: Yayasan Atmal Keluarga, 2001), hal. 86

[20] Ibid, hal. 94

[21]Al-Qur’an dan Terjemahan,  (Semarang: Toha Putra, 1997), hal. 64
[22] W. J. S. Poerwadarminta, Kamus umum Bahasa Indonesia, Cet. II (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hal. 53

[23]Al-Qur’an dan Terjemahan…,  hal. 45
[24] Enfkoswara, Paradigma… ,hal. 96
[25] Supardi, Dasar-Dasar Administrasi Pendidikan, (Jakarta: P2LPTK, 1988), hal. 156  
[26] Soedjadi, F. X, Analisis Manajemen Modern, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal. 123 

[27] Ibid, hal. 124
[28] Ibid, hal. 129
[29] Soedijarto, Pendidikan Sebagai Sarana Reformasi Mental dalam Upaya Pembangunan Bangsa (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hal. 63

[30] Depdikbud, Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan Menjelang Era Tinggal Landas, (Jakarta: Depdikbud, 1998), hal 49
[31] Al-Qur’an dan terjemahannya, …, hal. 421
[32] Buchori Mukhtar, Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan dalam Renungan (Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press, 1994), hal. 78
[33] Abu Ahmadi dan Nur Ahbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001),  hal. 27


[34] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003), hal.144.
[35] Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hal.121.

[36] Muhibbin Syah, Psikologi…, hal.146.

[37]Wasty Soemanto, Psikologi  …, hal. 143.
[38] Muhibbin Syah, Psikologi ..., hal.147.

[39] Ibid, hal.147-148.

[40] Ibid., hal.150

[41] Ibid.hal. 151

[42] Chalijah Hasan, Dimensi-dimensi Psikologi Pendidikan, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994), hal.144.

[43] Muhibbin Syah, Psikologi…, hal. 151.

[44] Ibid.,  hal. 151 – 152.

[45] E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, (Bandung: Remaja Roda karya, 2005), hal. 112

[46] Ibid, hal. 119