BAB II
KAJIAN TEORITIS TENTANG METODE PEMBIASAAN DALAM
PENGEMBANGAN MORAL KEAGAMAAN PADA ANAK USIA DINI
A. Metode
Pembiasaan
1. Pengertian
Metode Pembiasaan dalam Mengembangkan Moral Keagamaan bagi Anak Usia
Dini
Metode merupakan “cara yang telah teratur dan
telah terpikir baikbaik untuk mencapai suatu maksud”[1].
Menurut pendapat Mahmud Yunus yang dikutip Armai Arief, metode adalah “Jalan
yang hendak ditempuh oleh seseorang supaya seseorang sampai pada tujuan
tertentu, baik dalam lingkungan perusahaan, perniagaan, maupun dalam kupasan
ilmu pengetahuan dan lainnya”[2].41
Secara etimologi, pembiasaan berasal
dari kata “biasa”. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, “biasa” berarti 1) Lazim
atau umum, 2) Seperti sedia kala, 3) Sudah merupakan hal yang tidak terpisahkan
dari kehidupan sehari-hari. Dengan adanya prefiks “pe” dan sufiks “an” menunjukkan
arti proses. Sehingga pembiasaan dapat diartikan dengan proses membuat
sesuatu/seseorang menjadi terbiasa. Dalam kaitannya dengan metode pengajaran
pendidikan agama Islam, dapat dikatakan bahwa pembiasaan adalah “sebuah cara
yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak didik berfikir, bersikap, bertindak
sesuai dengan tuntunan ajaran Islam”[3].
Metode Pembiasaan merupakan kegiatan yang dilakukan
secara teratur dan berkesinambungan untuk melatih anak agar memiliki
kebiasaan-kebiasaan tertentu, yang umumnya berhubungan dengan pengembangan
kepribadian anak seperti emosi, disiplin, budi pekerti, kemandirian,
penyesuaian diri, hidup bermasyarakat, dan lain sebagainya”[4].
Pembiasaan menurut Zainal Aqib “merupakan
upaya yang dilakukan untuk mengembangkan perilaku anak, yang meliputi perilaku keagamaan,
sosial, emosional dan kemandirian”[5].
“Pembiasaan merupakan proses penanaman kebiasaan. Kebiasaan adalah pola untuk
melakukan tanggapan terhadap situasi tertentu yang dipelajari oleh seorang
individu dan yang dilakukan secara berulang-ulang untuk hal yang sama”[6].
Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja
dilakukan secara berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Pembiasaan
sebenarnya berintikan pengalaman, yang dibiasakan itu adalah sesuatu yang
diamalkan. Metode pembiasaan juga tergambar dalam Alquran dalam penjabaran
materi pendidikan melalui kebiasaan yang dilakukan secara bertahap. Dalam hal
ini termasuk merubah kebiasaan-kebiasaan yang negatif. Kebiasaan ditempatkan
oleh manusia sebagai sesuatu yang istimewa. Ia banyak sekali menghemat kekuatan
manusia, karena sudah menjadi kebiasaan yang sudah melekat dan spontan, agar
kekuatan itu dapat dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan dalam berbagai bidang pekerjaan,
berproduksi dan aktivitas lainnya[7].
Demikian halnya dengan cara mendidik anak.
Untuk dapat membina agar anak mempunyai sifatsifat terpuji, tidaklah mungkin
dengan menggunakan penjelasan pengertian saja, akan tetapi perlu membiasakannya
untuk melakukan hal-hal yang baik yang diharapkan nanti dia akan memiliki sifat
itu, serta menjauhi sifat tercela. “Kebiasaan dan latihan itulah yang membuat
dia cenderung untuk melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk”[8].
Maka, “semakin kecil umur anak, hendaknya semakin banyak latihan dan pembiasaan
agama dilakukan pada anak. Dan semakin bertambah umur anak, maka hendaknya
semakin bertambah pula penjelasan dan pengertian tentang agama itu diberikan
sesuai dengan tingkat perkembangannya”[9].
Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa metode pembiasaan berarti cara untuk melakukan suatu tindakan
dengan teratur dan telah terpikir secara baik-baik dan dilakukan secara
berulangulang sehingga menjadi suatu kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan.
2. Dasar
dan Tujuan Metode Pembiasaan
Pendidikan agama Islam sebagai pendidikan
nilai maka perlu adanya pembiasaan-pembiasaan dalam menjalankan ajaran Islam, sehingga
nilai-nilai ajaran Islam dapat terinternalisasi dalam diri peserta didik, yang
akhirnya akan dapat membentuk karakter yang Islami. Nilainilai ajaran Islam
yang menjadi karakter merupakan perpaduan yang bagus (sinergis) dalam
membentuk peserta didik yang berkualitas, di mana individu bukan hanya mengetahui
kebajikan, tetapi juga merasakan kebajikan dan mengerjakannya dengan didukung
oleh rasa cinta untuk melakukannya. Pembentukan karakter seseorang (terutama peserta didik) bersifat
tidak alamiah, sehingga dapat berubah dan dibentuk sesuai dengan tujuan
yang diharapkan.
Pembiasaan dalam pendidikan agama
hendaknya dimulai sedini mungkin. Sebagaimana perintah Rasulullah Saw kepada orang tua,
dalam hal ini para pendidik agar mereka menyuruh anak-anak mengerjakan shalat, tatkala
mereka berumur tujuh tahun. Hal tersebut berdasarkan hadits di bawah
ini:
حدثنا مأمل بن هشام قال:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم مُرُوْا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلَاةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوْهُمْ
عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي اْلمَضَاجِعِ (رواه ابو داود(
Artinya: Dari Muamal Bin Hisyam Berkata,
bersabda Rasulullah Saw. Suruhlah anak kalian mengerjakan shalat, sedang mereka
berumur tujuh tahun, dan pukulilah mereka itu karena shalat ini, sedang mereka
berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka. (HR. Abu Daud)[10]
Membiasakan
anak shalat, lebih-lebih dilakukan secara berjamaah itu penting.
Sebab “dalam kehidupan sehari-hari pembiasaan itu merupakan hal
yang sangat penting, karena banyak dijumpai orang berbuat dan bertingkah
laku hanya karena kebiasaan semata-mata. Tanpa itu hidup seseorang
akan berjalan lambat sekali, sebab sebelum melakukan sesuatu seseorang
harus memikirkan terlebih dahulu apa yang akan dilakukan”[11].
Zakiah Darajat
berpendapat: “Orang tua adalah Pembina pribadi yang utama dalam hidup anak,
kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur
pendidikan yang tidak berlangsung dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi
anak yang sedang tumbuh”[12].
Ketika
mencermati pendapat tersebut, maka pendidikan anak usia dini dengan
metode pembiasaan positif sangatlah tepat karena pada masa ini anak
sedang mengalami perkembangan yang sangat pesat baik perkembangan
fisik maupun psikisnya.
Pada saat ini
anak masih mudah dipengaruhi dan diajak untuk membiasakan diri pada hal-hal yang
baik. Sehingga kebiasaan-kebiasaan yang telah ditanamkan sejak dini
sangat melekat pada dirinya dan dibawa sepanjang hidupnya. Hal ini juga senada dengan pendapat para tokoh pendidikan seperti John
Locke yang terkenal dengan teori “Tabularasa”nya yang menyampaikan bahwa
manusia lahir itu seperti kertas putih yang masih bersih sehingga tergantung
dari orang tuanya akan menulisi apa. Menurutnya segala sesuatu yang ada dalam pikirannya berasal dari pengalaman
inderawi. Artinya dengan pengamatan panca indera akan mengisi jiwa
dengan kesan-kesan yang dengan jalan sintesis, analisis, dan perbandingan
diolah menjadi pengetahuan.
Adapun ciri
dari didaktis John Locke adalah : a) belajar seperti bermain, 2)
mengajarkan mata pelajaran berturut-turut, tidak sama, 3) mengutamakan
pengalaman dan pengamatan, 4) mengutamakan budi pekerti. Beliau
mementingkan kepatuhan si anak. Dari permulaan atau sejak dini anak
harus dibiasakan pada hal-hal yang baik. “Pendidikan menurut John Locke bersifat utilities, yang didasarkan atas dasar kegunaan.
Beliau beranggapan bahwa proses pendidikanlah yang member banyak
hal kepada anak”[13]. Sebagaimana
yang disampaikan oleh Ibnu Sina yang dikutip oleh Abudin Nata tentang metode pengajaran terdapat
metode pembiasaan dan teladan bagi anak. Beliau menyampaikan bahwa “pembiasaan
adalah salah satu metode pengajaran yang paling efektif, khususnya
dalam mengajarkan akhlak. Cara tersebut secara umum dilakukan
dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan dengan perkembangan
jiwa anak”[14].
Banyak pendapat
yang menyatakan bahwa pembiasaan positif yang ditanamkan
sejak dini sangat memberikan pengaruh positif pula pada masa yang
akan datang. Sebagaimana pepatah arab disebutkan :
“Barang siapa membiasakan
sesuatu di waktu mudanya maka di waktu tuanya akan menjadi kebiasaannya pula”. “Yang
dimaksud pembiasaan disini adalah pembentukan keterampilan berucap, berbuat
sesuai dengan yang diajarkan agama. Pembiasaan ini mempunyai arti yang penting
karena merupakan sarana paling efektif guna pembentukan pribadi yang shaleh”[15].
Lagi pula pada masa usia dini anak cenderung bersifat imitatif atau suka meniru
apa yang dilihat dan diketahui. Sehingga ketika yang dilihat dan diketahui oleh
anak itu adalah hal-hal yang baik dan dibiasakan sejak dini maka akan sangat
efektif bagi pembentukan pribadi yang baik.
Al-Ghazali mengatakan: Anak adalah amanah orang tuanya. Hatinya yang bersih
adalah permata berharga nan murni, yang kosong dari setiap tulisan dan gambar.
Hati itu siap menerima setiap tulisan dan cenderung pada setiap yang ia
inginkan. Oleh karena itu, jika dibiasakan mengerjakan yang baik, lalu tumbuh
di atas kebaikan itu maka bahagialah ia di dunia dan akhirat, orang tuanya pun
mendapat pahala bersama.[16]
Kutipan di atas
memperjelas kedudukan metode pembiasaan bagi perbaikan dan pembentukan akhlak
melalui pembiasaan. Dengan demikian pembiasaan yang dilakukan sejak dini akan
berdampak besar terhadap kepribadian /akhlak anak ketika mereka telah dewasa.
Sebab pembiasan yang telah dilakukan sejak kecil akan melekat kuat di ingatan
dan menjadi kebiasaan yang tidak dapat dirubah dengan mudah. Dengan demikian metode
pembiasaan sangat baik dalam rangka mendidik moral dan akhlak anak.
3. Bentuk-bentuk
Metode Pembiasaan
Pembiasaan merupakan kegiatan yang dilakukan
secara terus menerus dan dalam kehidupan sehari-hari anak sehingga menjadi kebiasaan
yang baik. Pembiasaan ini meliputi aspek perkembangan moral dan nilai-nilai
agama, pengembangan sosio emosional dan kemandirian.
Dari program pengembangan moral dan
nilai-nilai agama diharapkan dapat meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan yang
maha Esa dan membantu terbinanya sikap anak yang baik. Dan dengan pengembangan sosio
emosional anak diharapkan dapat memiliki sikap membantu orang lain, dapat mengendalikan
diri dan berinteraksi dengan lingkungannya[17].
Adapun bentuk-bentuk Pembiasaan pada anak
dapat dilaksanakan dengan cara berikut :
1) Kegiatan rutin, adalah kegiatan yang dilakukan di sekolah setiap hari, misalnya
berbaris, berdo’a sebelum dan sesudah melakukan kegiatan.
2) Kegiatan spontan adalah kegiatan yang dilakukan secara spontan, misalnya
meminta tolong dengan baik, menawarkan bantuan dengan baik, dan menjenguk teman
yang sakit.
3) Pemberian teladan adalah kegiatan yang dilakukan dengan memberi teladan/contoh
yang baik kepada anak, misalnya memungut sampah di lingkungan sekolah dan sopan
dalam bertutur kata.
4) Kegiatan terprogram adalah kegiatan yang deprogram dalam kegiatan pembelajaran
(program semester, SKM, dan SKH) , misalnya makan bersama dan menjaga
kebersihan lingkungan sekolah.[18]
4. Langkah-langkah
Pelaksanaan Metode Pembiasaan
Kebiasaan baik yang dibentuk dan dikembangkan
melalui proses pendidikan yang baik, misalnya kebiasaan dalam berkomunikasi , pengaturan
dan penggunaan waktu secara tepat, bersikap baik dan tepat, memilih permainan
dan menggunakan saran dengan tepat. Anak perlu dibiasakan sejak dini untuk
mengatur dan menggunakan waktu secara tepat, agar kelak bisa menjadi orang
disiplin dan bertanggung jawab. Pembiasaan sebaiknya ditanamkan dari hal-hal
kecil dan yang mudah dilakukan oleh anak usia dini. Misalnya mengatur waktu
antara menonton TV dengan bermain, belajar, istirahat dan kegiatan-kegiatan
yang lainnya. Apabila kebiasaan ini sudah dimiliki oleh anak , maka anak
sendiri akan menyesuaikan berbagai tindakannya sehingga tidak saling merugikan
atau menghambat.
Agar pembiasaan dapat segera tercapai dan
hasilnya baik, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Mulailah pembiasaan itu sebelum terlambat, jadi sebelum anak itu mempunyai
kebiasaan lain yang berlawanan dengan hal-hal yang akan dibiasakan.
2) Pembiasaan hendaknya dilakukan secara terus menerus (berulangulang) dijalankan
secara teratur sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang otomatis. Tapi
juga butuh pengawasan dari orang tua, keluarga maupun pendidik.
3) Pendidikan hendaklah konsekuen, bersikap tegas dan tetap teguh terhadap
pendiriannya yang telah diambil. Jangan memberi kesempatan anak untuk melanggar
pembiasaan yang telah ditetapkan.
4) Pembiasaan yang mula-mulanya mekanistis harus semakin menjadi pembiasaan
yang disertai kata hati anak itu sendiri.[19]
Kebiasaan lain perlu dipupuk dan dibentuk
adalah berkomunikasi dengan anggota keluarga, misalnya mendiskusikan hal-hal
yang mereka saksikan di lingkungan. “Kebiasaan berkomunikasi dan berdiskusi
akan memupuk kemampuan anak dalam berinteraksi sosial dan pengembangan diri.
Dalam hal ini orang tua mempunyai peran yang sangat besar dan penting terutama
melalui metode pembiasaan dan keteladanan”[20].
Sedangkan upaya untuk memelihara kebiasaan
yang baik dilakukan dengan cara:
1) Melatihkan hingga benar-benar paham dan bisa melakukan tanpa kesulitan. Sesuatu
hal yang baru tentu tidak mudah dilakukan semua anak, maka pembiasaan bagi
mereka perlu dilakukan sampai anak dapat melakukan. Pendidik perlu membimbing
dan mengarahkan agar anak-anak mampu melakukan.
2) Mengingatkan anak yang lupa melakukan. Anak-anak perlu diingatkan dengan
ramah jika lupa atau dengan sengaja tidak melakukan kebiasaan positif yang
telah diajarkan tapi jangan sampai mempermalukan anak. Teguran sebaiknya dilakukan
secara pribadi.
3) Apresiasi pada masing-masing anak secara pribadi. Pemberian apresiasi dapat
membuat anak senang, tetapi harus hati-hati agar tidak menimbulkan kecemburuan
pada anak yang lain.
4) Hindarkan mencela pada anak. Guru merupakan profesi yang professional, maka
seluruh perilaku dalam mendidik anak diupayakan agar menguntungkan bagi perkembangan
anak dengan tidak mencela anak, walau terdapat kesalahan atau kekurangan
padanya.[21]
B.
Metode pembiasaan pada Pengembangan Moral
Keagamaan Bagi Anak Usia Dini
1.
Pengertian Moral Keagamaan
Istilah moral kadang-kadang
dipergunakan sebagai kata yang sama dengan etika. Moral “berasal dari bahas Latin, mos (adat istiadat, kebiasaan, cara,
tingkah laku, kelakuan), mores (adat istiadat, tabiat, kelakuan, watak, akhlak,
cara hidup)”[22]. “Secara
etimologi moral dan etika mempunyai arti yang sama
karena keduanya berasal dari kata yang mengandung arti adat kebiasaan.
Sedangkan etika berasal dari bahasa Yunani ethos (jamak: ta etha). Moral
diartikan sebagai nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya”[23].
Sebagaimana pendapat Helden dan Richards yang dikutip oleh
Sjarkawi, moral diartikan
sebagai suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan dantindakan dibandingkan dengan
tindakan lain yang tidak hanya berupakepekaan terhadap prinsip dan aturan.
Selanjutnya, Atkinson berpendapat bahwa
moral merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Selain itu juga
moral merupakan
seperangkat keyakinan dalam suatu masyarakat berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa yang seharusnya dilakukan
oleh manusia[24].
Sedangkan yang dimaksud disini adalah moral
keagamaan, yang berarti nilai atau norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang
atau kelompok masyarakat yang mengatur tingkah laku dalam kehidupan yang didasarkan
pada keyakinan atau agama yang dianut.
2.
Bentuk-bentuk Moral Keagamaan
Bentuk-bentuk nilai moral yang
diterapkan pada anak adalah sebagai berikut:
1)
Religiusitas, terdiri dari membiasakan anak berdoa sebelum dan sesudah melakukan suatu perbuatan, membiasakan anak bersyukur, sikap toleran dan mendalami ajaran agama.
2)
Sosialitas, terdiri dari membiasakan anak hidup bersama, dan saling memperhatikan serta tolong menolong.
3)
Gender, berupa kesetaraan atau kesamaan dalam permainan anak.
4)
Keadilan, berupa pemberian kesempatan yang sama pada anak baik dalam bermain dan belajar.
5)
Demokrasi, berupa pemberian penghargaan terhadap imajinasi anak, dihargai dan diarahkan.
6)
Kejujuran, berupa sikap menghargai milik orang lain. Kemandirian, berupa sikap anak yang bisa melakukan kegiatan sendiri tanpa dibantu orang lain, misalnya memakai baju, sepatu, makan dan minum, dsb. Serta sekolah tidak ditunggui orang tua atau pengasuh.
7)
Daya juang, terdiri dari rasa memupuk kemauan untuk mencapai tujuan, serta bersikap tidak mudah menyerah. Bisa berupa kegiatan fisik, jalan-jalan.
8)
Tanggung jawab, berupa kegiatan memakai dan membereskan alat permainannya sendiri.
9)
Penghargaan terhadap lingkungan alam, berupa sikap anak yang memelihara tanaman atau bunga, tidak membuang sampah sembarangan[25].
3.
Langkah-langkah untuk pengembangan
Moral Keagamaan
a. Religiusitas
Religiusitas pada anak usia dini dapat
dikenalkan dengan cara membiasakan diri bersyukur dan berterima kasih pada
Tuhan Yang Maha Esa, akan membawa suasana hidup yang menyenangkan. Untuk melatih
hal ini sehingga menjadi suatu kebiasaan yang dapat dilakukan secara dini pada
masa pendidikan adalah dengan membiasakan berdoa sebelum atau sesudah melakukan
sesuatu. Misalnya, berdoa sebelum dan sesudah belajar, sebelum dan sesudah
makan, sebelum dan sesudah tidur, dsb.
b. Sosialitas
Sosialitas pada anak usia dini dapat diajarkan
dengan cara sekolah menyediakan alat permainan yang jumlahnya teratas untuk anak-anak.
Selanjutnya guru mengajak anak mulai memperhatikan sesamanya, mau berbagi dan
menyadari bahwa dalam kehidupan bersama dalam masyarakat perlu ada aturan,
saling memperhatikan dan saling mendukung. Anak diajak bersikap terbuka, rendah
hati, saling menerima dan mau berbagi, serta tidak egois. Langkah awal yang
bisa dilakukan berupa sikap dan perilaku mau berbagi mainan dengan teman, mau
bergantian dengan teman, serta tidak asyik dengan kepentingan dan kemauan
dirinya sendiri.
c. Gender
Pengenalan gender pada anak usia dini perlu
ditanamkan sejak dini, misalnya dengan cara disosialisasikan pada anak melalui permainan
dan kegiatan bersama yang tidak membedakan antara lakilaki dengan perempuan.
d. Keadilan
Nilai keadilan dapat ditanamkan pada
pendidikan anak usia dini dengan cara memberi kesempatan yang sama untuk semua
siswa baik laki-laki maupun perempuan untuk mengerjakan tugas yang diberikan
oleh guru, baik melalui kegiatan menyanyi, permainan, maupun tugas lain.
e. Demokrasi
Nilai demokrasi pada anak usia dini dapat
diajarkan melalui kegiatan menghargai perbedaan yang tahap demi tahap harus diarahkan
pada pertanggungjawaban yang benar dan sesuai dengan nalar anak. “Untuk
memulainya di lingkungan sekolah, anak diberi kebebasan untuk menggambar sesuai
imajinasi dan kreativitasnya masing-masing, seperti apapun hasilnya anak diberi
apresiasi. Apresiasi yang diberikan merupakan bagian dari penghargaan akan perbedaan”[26].
f. Kejujuran
Nilai kejujuran pada anak usia dini dapat
diajarkan melalui kegiatan keseharian yang sederhana dan sebagai suatu
kebiasaan, yaitu perilaku yang dapat membedakan milik pribadi dan milik orang
lain. Kemampuan dasar untuk membedakan merupakan dasar untuk bersikap jujur.
g. Kemandirian
Kemandirian pada anak usia dini dapat dibentuk
melalui cara: memberi anak-anak pilihan sesuai dengan minat masing-masing, menetapkan
batasan-batasan yang jelas, konsisten dan masuk akal tentang suatu pengertian.
Misalnya, pada pengenalan tentang aneka buah, maka pendidik memberi pengetahuan
tentang ciri dari masing-masing buah baik warna, rasa, atau kulit. dsb.
Kemudian menerima irama anak-anak antara kebebasan dan ketergantungan,
memfokuskan pada manfaat ketika anak-anak mempraktikkan keterampilan baru bukan
pada kesalahan yang mereka lakukan, serta menetapkan harapan yang sesuai dengan
kemampuan anak dan memfokuskan kurikulum pada hal-hal nyata atau kegiatan
sehari-hari.[27]
h. Daya juang
Upaya menumbuhkan nilai daya juang pada anak
bisa dilakukan dengan mengajak anak jalan-jalan. Kemampuan menempuh jarak
tertentu menjadi dasar untuk mengembangkan daya juangnya. Melalui kegiatan ini
anak juga diajak mengenal alam sekitar dan cara hidup bersama di jalan umum
seperti: disiplin, tertib, hati-hati untuk keselamatan diri dan bersama,
menghargai kebersihan dengan tidak membuang sampah sembarangan. Di samping itu
anak juga diajak mencintai dan mengakui kebesaran Allah yang menciptakan
keindahan alam semesta ini, serta berusaha mensyukuri nikmat yang diberikan dengan
cara menjaganya.
i. Tanggung jawab
Nilai tanggungjawab pada anak usia dini dapat
dilakukan melalui kegiatan permainan atau tugas-tugas yang menggunakan alat. Dengan
cara memperkenalkan dan melatih tanggungjawab anak menjaga alat permainannya.
Selalu minta izin apabila meminjam barang milik temannya.
j. Penghargaan terhadap lingkungan alam
“Penghargaan terhadap lingkungan alam dapat
ditumbuhkan dengan cara mengajak dan mengajari anak memelihara tanaman di sekolah.
Anak diajak berkebun, dan diberi tanggungjawab memelihara satu tanaman. Serta
tidak membuang sampah pada tempatnya”[28].
Pembentukan sikap, pembinaan moral dan pribadi
pada umumnya terjadi melalui pengalaman sejak kecil. Pendidik/pembimbing utama
dan pertama adalah orang tua, kemudian guru. Semua pengalaman yang dilalui anak
pada masa kecil merupakan unsur terpenting dalam hidupnya. Sikap anak terhadap
agama didapat melalui pengalaman yang didapat dengan orang tua serta keluarga.
Kemudian diperbaiki di sekolah. Adapun latihan keagamaan yang menyangkut akhlak
dan ibadah sosial, sesuai dengan ajaran agama, jauh lebih penting daripada
penjelasan dengan kata-kata. Latihan disini dilakukan melalui contoh yang
diberikan oleh guru atau orang tua. Oleh karena itu, guru agama hendaknya
mempunyai kepribadian yang dapat mencerminkan ajaran agama, yang akan diajarkan
kepada anak didiknya, lalu sikapnya dalam melatih kebiasaan-kebiasaan baik yang
sesuai dengan ajaran agama itu, hendaknya menyenangkan dan tidak kaku[29].
68
Demikian halnya pada pengembangan moral
keagamaan pada anak, harus dilakukan dengan latihan-latihan langsung dan dibiasakan
untuk melakukan, sehingga nilai-nilai moral keagamaan tidakhanya sebatas
pengetahuan tentang apa dan bagaimana moral itu sendiri, tetapi bagaimana moral
keagamaan itu diterapkan dalam kehidupan seseorang.
C. Metode
pembiasaan pada Anak Usia Dini
1.
Pengertian Anak Usia Dini
Anak usia dini merupakan “kelompok
manusia yang berumur 0-6 tahun. Anak usia dini merupakan kelompok anak yang berada dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik dalam arti memiliki
pola pertumbuhan dan perkembangan”[30]. Anak usia
dini atau biasa disebut anak pra sekolah adalah mereka yang berusia antara
3-6 tahun, menurut Biechler dan Snowman “mereka biasanya mengikuti program pra sekolah. Di Indonesia umumnya anak tersebut mengikuti program
tempat penitipan anak (3-5 tahun), kelompok bermain (2-4 tahun),
sedangkan pada usia 4-6 tahun biasanya mengikuti program taman kanak-kanak”[31]. Rentangan
anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat
1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD
dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan
sejak usia 0-8 tahun yang terdiri dari beberapa periode :
a.
Infant (0-1 tahun)
b. Toodler
(2-3 tahun)
c.
Preschool/ kindergarten children
(3-6 tahun
Jadi bisa disimpulkan bahwa anak
usia dini atau anak prasekolah adalah golongan anak yang berusia antara 0-6 tahun yang berada
dalam masa pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik maupun psikis. Pada
masa ini perkembangan dan pertumbuhan berlangsung sangat pesat, sehingga
masa ini biasa disebut dengan masa keemasan atau Golden age.
2.
Karakteristik Anak Usia Dini
Anak usia dini merupakan individu yang
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Bahkan dikatakan
sebagai lompatan perkembangan. Maka usia dini dikatakan sebagai usia emas atau
Golden Age, yaitu usia yang sangat berharga karena pada masa ini terjadi transformasi
yang luar biasa pada otak dan fisiknya yang tidak terjadi pada masa-masa
berikutnya. Maka dari itu, pada masa keemasan ini sangat penting bagi
perkembangan intelektual, emosi dan social di masa yang akan datang dengan
memperhatikan dan menghargai keunikan setiap anak.
Adapun karakteristik dari anak usia dini
adalah sebagai berikut:
a.
Kecepatan pertumbuhan dan perubahan fisik
b. Secara berangsur-angsur berkurangnya ketergantungan pada pihak lain (ibunya)
c. Merupakan fondasi bagi pertumbuhan selanjutnya
d. Banyak resiko
e. Banyak memerlukan perhatian dari orang tuanya.[33]
Karakteristik yang lain adalah 1) anak sangat
aktif mengeksplorasi benda-benda yang ada di sekitarnya. Eksplorasi anak yang
dilakukan anak terhadap benda apa saja yang ditemui merupakan proses belajar
yang sangat efektif. Anak juga sangat aktif melakukan berbagai kegiatan seperti
melompat, berlari dan memanjat 2) kemampuan berbahasa anak semakin baik, sudah
mampu memahami pembicaraan orang lain dan mampu mengungkapkan pikirannya dalam batas-batas
tertentu, seperti meniru dan mengulang pembicaraan. 3) anak mulai belajar
mengembangkan emosi. “Perkembangan emosi anak didasarkan pada bagaimana
lingkungan memperlakukan dia. Sebab emosi bukan ditentukan oleh bawaan, namun lebih
banyak pada lingkungan”[34].
Sedangkan menurut Siti Aisyah karakteristik
anak usia dini adalah sebagai berikut[35]:
1) Memiliki rasa ingin tahu yang besar
Anak usia dini sangat tertarik dengan dunia
sekitarnya dan ingin mengetahui segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Hal ini
ditunjukkan dengan mengajukan berbagai pertanyaan ketika melihat sesuatu, walau
dalam bahasa yang masih sangat sederhana. Untuk memenuhi rasa ingin tahunya
anak sering membongkar pasang segala sesuatu.
2) Merupakan pribadi yang unik
Meskipun banyak terdapat kesamaan dalam pola
umum perkembangan, tetapi setiap anak memiliki keunikan masing-masing walaupun
pada anak kembar secara genetis. Keunikan tersebut terlihat dalam hal gaya
belajar, minat dan latar belakang keluarganya. Maka dari itu, bagi para
pendidik, perlu melakukan pendekatan individual selain pendekatan kelompok
sehingga keunikan pada anak dapat terakomodasi dengan baik.
3) Suka
berfantasi dan berimajinasi
Anak usia dini
suka membayangkan dan mengembangkan berbagai hal jauh
melampaui kondisi nyata. Anak dapat menceritakan berbagai hal
dengan sangat meyakinkan seolah-olah dia melihat atau mengalami
sendiri hal itu, padahal itu adalah hasil fantasi atau imajinasinya
saja.
4) Masa
paling potensial untuk belajar
Anak usia dini
sering disebut dengan istilah Golden Age karena pada rentang usia
ini anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada
berbagai aspek.
5) Menunjukkan
sikap egosentris
Anak usia dini
pada umumnya hanya memahami sesuatu dari sudut pandangnya
sendiri atau bersifat egosentris. Anak yang egosentrik lebih banyak
berfikir dan berbicara tentang diri sendiri daripada orang lain
dan tindakannya terutama bertujuan menguntungkan dirinya.
6) Memiliki
rentang daya konsentrasi yang pendek
Anak usia dini
mempunyai rentang perhatian yang sangat pendek sehingga
perhatiannya mudah teralihkan pada hal lain. Apalagi kalau sesuatu
itu dirasa tidak menarik lagi baginya.
7) Sebagai
bagian dari makhluk sosial
Anak usia dini
sudah mulai suka bergaul dan bermain dengan teman sebayanya. Ia
mulai belajar berbagi, mengalah, dan antri menunggu giliran saat
bermain dengan teman-temannya.
8) Bermain
merupakan dunia masa anak-anak.
Bermain bagi
anak merupakan proses mempersiapkan diri untukmasuk ke dalam dunia
orang dewasa, cara bagi anak untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai hal, membutuhkan hasrat bereksplorasi,
melatih pertumbuhan fisik dan imajinasi.
3.
Perkembangan Anak Usia Dini
a. Perkembangan
Fisik dan Motorik
Perkembangan fisik sangat berkaitan
erat dengan perkembangan motorik anak. Motorik merupakan perkembangan pengendalian
gerakan tubuh melalui kegiatan yang terkoordinir antara susunan saraf,
otot, otak, dan spinal cord. Perkembangan motorik meliputi
motorik kasar dan halus. Pertumbuhan fisik pada masa kanak-kanak berlangsung lebih lambat
dibandingkan pada masa bayi. Perbedaan tersebut terletak pada penampilan,
proporsi tubuh, berat, serta tinggi badan dan keterampilan-keterampilan
yang dimiliki anak. Meskipun selama masa anak-anak pertumbuhan fisik mengalami keterlambatan tetapi keterampilan-keterampilan
motorik halus dan kasar justru berkembang pesat.
1) Perkembangan
Motorik Kasar
Tugas perkembangan jasmani berupa
koordinasi gerakan tubuh, seperti berlari, berjinjit, melompat, bergantung, melempar dan
menangkap, serta menjaga keseimbangan. Kegiatan ini diperlukan
dalam meningkatkan keterampilan koordinasi gerakan motorik kasar.
Pada anak usia 4 tahun, anak sangat menyenangi kegiatan fisik
yang menantang baginya, seperti melompat dari tempat tinggi
atau bergantung dengan kepala menggelantung ke bawah. Pada
usia 5 atau 6 tahun keinginan untuk melakukan kegiatan
tersebut bertambah. Anak pada masa ini menyenangi kegiatan lomba,
seperti balapan sepeda, balapan lari atau kegiatan lainnya yang
mengandung bahaya.
2) Perkembangan
Motorik Halus
Perkembangan motorik halus anak
taman kanak-kanak ditekankan pada koordinasi gerakan motorik halus dalam hal ini berkaitan
dengan kegiatan meletakkan atau memegang suatu objek dengan
menggunakan jari tangan. Pada usia 4 tahun koordinasi gerakan motorik
halus anak sangat berkembang, bahkan hamper sempurna.
Walaupun demikian anak usia ini masih mengalami kesulitan dalam
menyusun balok-balok menjadi suatu bangunan. Hal ini
disebabkan oleh keinginan anak untuk meletakkan balok secara sempurna
sehingga kadang-kadang meruntuhkan bangunan itu sendiri. “Pada usia 5
atau 6 tahun koordinasi gerakan motorik halus
berkembang pesat. Pada masa ini anak telah mampu mengkoordinasikan
gerakan visual motorik, seperti mengkoordinasikan gerakan mata dengan tangan, lengan, dan tubuh
secara bersamaan, antara lain dapat dilihat pada waktu anak menulis
atau menggambar”[36].
“Secara langsung maupun tidak langsung
perkembangan fisik dan motorik anak akan mempengaruhi konsep diri dan perilaku
anak sehari-hari yang kemungkinan akan terus dibawa di masa yang akan datang.
Oleh karena itu diperlukan adanya perhatian yang besar terhadap faktorfaktor yang diduga
kuat memiliki pengaruh terhadap perkembangan fisik dan motorik anak”[37].
b. Perkembangan
Kognitif
Menurut Piaget yang dikutip oleh Isjoni
Perkembangan kognitif anak pra sekolah yaitu berada pada tahap pra operasional,
yaitu tahapan dimana anak belum menguasai operasi mental secara logis. yang
mempunyai ciri berkembangnya kemampuan menggunakan sesuatu yang lain dengan
menggunakan symbol-simbol. Melalui
kemampuan tersebut anak mampu berimajinasi
atau berfantasi tentang banyak hal. Adanya penguasaan bahasa, meniru, sekalipun cara berfikirnya secara egosentris, memusat dan tidak bisa dibalik[38].
c. Perkembangan
Emosi
Pada tahap ini emosi anak usia dini
lebih rinci atau terdiferensiasi, anak cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas
dan terbuka. Sikap marah sering diperlihatkan dan sering berebut
perhatian guru. “Pada masa ini anak mampu melakukan partisipasi dan
mengambil inisiatif dalam kegiatan fisik. Anak
sering
memiliki keraguan untuk memilih antara apa yang ingin dikerjakan
dengan apa yang harus dikerjakan”[39]. “Ciri khas emosi anak
adalah emosinya kuat, sifat tersebut seringkali tampak, emosinya
bersifat sementara/ labil, dan emosi tersebut dapat diketahui
melalui perilaku anak”[40].
Menurut Erikson yang dikutip oleh Slamet Suyanto anak usia dini (2-3 tahun) berada pada tahap autonomy vs shame and doubt dimana anak harus sudah mampu menguasai kegiatan memegang atau melemaskan seluruh otot-otot tubuhnya seperti berjalan dan berlari. Bila ia diberikan kebebasan bergerak dan mampu menguasai anggota tubuhnya maka ia akan mengembangkan ras percaya dirinya, begitu pula sebaliknya bila lingkungan tidak memberinya kepercayaan maka akan menumbuhkan rasa malu dan ragu-ragu pada anak[41].
d. Perkembangan
Sosial
Perkembangan sosial anak dimulai dari sifat egosentris, individual kea rah interaksi sosial. Pada mulanya anak bersifat egosentris, memandang persoalan dari satu sisi yaitu dirinya sendiri. Ia tidak mengerti bahwa orang lain bisa berpandangan berbeda dari dirinya. Maka pada usia 2-3 tahun anak suka bermain sendiri, selanjutnya anak mulai berinteraksi dengan orang lain. Ia mulai bermain bersama dan tumbuh sifat sosialnya[42].
“Masa pra sekolah disebut juga usai pra-gang,
karena pada masa ini anak belajar menyesuaikan diri dengan kelompok teman sebaya
dan mengembangkan pola perilaku yang sesuai denganharapan sosial”[43].
“Ciri sosial anak usia pra sekolah sudah mulai mudah bersosialisasi dengan
lingkungannya. Pada masa ini juga muncul kesadaran anak akan konsep diri yang
berkenaan dengan “Gender” yang mana anak telah mampu memahami perannya sebagai
anak perempuan dan sebagai anak laki-laki”[44].
Oleh karena itu, salah satu keuntungan pendidikan prasekolah adalah dapat
memberikan pengalaman sosial di bawah bimbingan guru yang dapat membantu mengembangkan
hubungan sosial yang menyenangkan.
e. Perkembangan
Bahasa
Anak pra sekolah biasanya telah mampu mengembangkan keterampilan bicara melalui percakapan dengan orang lain. Merek dapat menggunakan bahasa dengan berbagai cara, misalnya dengan bertanya, melakukan dialog dan menyanyi. Sejak usia dua tahun anak memiliki minat yang kuat untuk menyebut berbagai nama benda. Minat tersebut akan terus meningkat yang sekaligus akan menambah perbendaharaan kata yang dimiliki. Dengan menggunakan kata-kata untuk menyebut benda atau menggambarkan peristiwa akan membantu anak untuk membentuk gagasan yang dapat dikomunikasikan kepada orang lain[45].
Perkembangan bahasa anak belumlah
sempurna pada masa ini dan akan terus berkembang sepanjang kehidupan seseorang. Perkembangan
bahasa berlangsung sepanjang mental manusia aktif dan tersedia
lingkungan untuk belajar. Anak usia 3-4 tahun mulai menyusun kalimat
Tanya dan kalimat negatif. Misalnya, mama dimana? Dan
saya tidak pergi.
f. Perkembangan
Moral, Disiplin dan Etika
Teori perkembangan Kohlberg tentang
perkembangan watak berlangsung melalui tiga tingkatan:
1)
Tingkat prekonvensional (anak sebelum sekolah), mengetahui baik dan buruk dari orang tua berdasarkan atas konsekwensi dari suatu tingkah laku. Jadi sesuatu itu dianggap baik dan benar apabila mendapat hadiah, dianggap jelek apabila mendapat hukuman.
2)
Tingkat konvensional (anak usia sekolah) menganggap bahwa peraturan yang diberikan orang tua atau masyarakat pasti baik dan benar, tapi tidak mengetahui akibat/hasil dari suatu perbuatan.
3)
Tingkat otonomi. Anak sudah mulai dewasa dan telah mengetahui baik dan buruk akibat suatu perbuatan, dapat menilai suatu prinsip. Mereka dapat berfikir sendiri, membuat keputusan[46].
Pada tahap ini moral anak ditandai
dengan kemampuan anak memahami aturan, norma dan etika yang berlaku. Menurut Piaget,
yang dikutip Slamet Suyanto sebagai berikut:
Anak usia dini berada pada tahap pertama perkembangan moralnya yang disebut premoral. Pada tahap ini anak belum dapat menggunakan pertimbangan moral untuk perilakunya. Hal ini disebabkan anak belum mempunyai pengalaman bersosialisasi dengan yang lain dan masyarakat tempat aturan, etika, dan norma itu ada. Disamping itu anak masih bersifat egosentris, belum dapat memahami cara pandang orang lain. Kedua, disebut moral realism. Pada tahap ini kesadaran anak akan aturan mulai tumbuh. Perilaku anak sangat dipengaruhi oleh aturan yang berlaku dan oleh konsekwensi yang harus ditanggung anak atas perbuatannya. Ketiga, disebut moral relativism. Yang mana perilaku anak didasarkan atas berbagai pertimbangan moral yang kompleks yang ada dalam dirinya. Pada tahap ini perilaku anak tidak lagi terbawa arus atau terpengaruh orang lain, tetapi ia sendiri sudah mengembangkan suatu nilai moral yang ia gunakan untuk memecahkan berbagai persoalan yang terkait dengan moral dan nilai[47].
D. Dasar
Metode Pembiasaan
Pengertian Metode secara etimologi, berasal dari dua perkataan
yaitu meta dan hodos. Meta berarti “melalui” dan hodos berarti “jalan” atau
“cara”[48].
Menurut Rama Yulis, metode adalah : “Langkah-langkah
yang diambil guru guna membantu para murid merealisaikan tujuan tertentu”.
Dalam bahasa arab dikenal dengan istilah “Thariqah yang berarti
langkah-langkah
strategis yang harus dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Bila
dihubungkan dengan Pendidikan maka langkah tersebut harus diwujudkan dalam
proses pendidikan dalam rangka pembentukan kepribadian. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa metode merupakan cara atau jalan yang harus dilalui untuk
mencapai suatu tujuan”[49].
Metode Pendidikan Islam dalam penerapannya banyak
menyangkut permaslahan individual atau sosial peserta didik dan pendidik itu
sendiri sehingga dalam menggunakan metode seorang pendidik harus memperhatikan
dasar-dasar umum metode pendidikan islam, sebab metode pendidikan itu hanyalah
merupakan sarana atau jalan menuju tujuan pendidikan, sehingga segala jalan
yang ditempuh oleh seorang pendidik haruslah mengacu pada dasar-dasar metode
pendidikan tersebbut. Dalam hal ini tidak bisa terlepas dari dasar agamis,
biologis, psikologis, dan sosiologis.
1)
Dasar Agama
AlQuran dan hadits tidak bisa dilepaskan dari pelaksanaan
metode pendidikan Islam. Dalam kedudukannya sebagai dasar ajaranisalam, maka
dengan sendirinya, metode pendidikan islam harus merujuk pada kedua sumber
ajaran tersebut, sehingga segala penggunaan dan pelaksanaan metode pendidikan
islam tidak menyimpang dari tujuan pendidikan itu sendiri. Misalnya dalam mata
pelajaran olahraga, maka seorang pendidik harus mampu menggunakan metode yang didalamnya
terkandung ajaran AlQuran dan Al-Hadits, seperti masalah pakaian yang islami
dan lain-lain praktek olahraga
2)
Dasar Biologis
Dalam memberikan pendididkan dalam pendidikan islam,
seseorang pendidik harus memperhatikan perkemangan biologis anak didik.
Perkembangan kondisi jasmani (bologis) seseorang juga mempunyai pengaruh yang
sangat kuat terhadap dirinya. Sesseorang yang menderita cacat jasmani akan
mempunyai melemahan dan kelebihan yang mungkin tidak dimiliki orang lain
normal, misalnya seseorang yang mempunyai penyakit pada matanya (rabun jauh),
maka ia cenderung duduk dibangku barisan depan (walaupun tidak selamanya yang
duduk didepan itu menderita penyakit pada matanya), karena dia duduk didepan,
maka dia tidak dapat bermain-main pada waktu guru memberikan keterangan materi
pelajaran. Sehingga ia memperhatikan seluruh uraian guru. Karena hal ini
berlangsung terus-menerus, maka dia akan mempunyai pengetahuan lebih dibanding
dengan temannya yang lain, apalagi ia termotivasi dengan kelainan mata
tersebut.
Berdasarkan hal, ini maka dapat dikatakan bahwa
perkembangan jasmani dan kondisi jasmani itu sendiri, memegang peranan yang
sangat penting dalam proses pendidikan. Sehingga dalam menggunakan metode
pendidikan seseorang pendidik harus bijaksana dan memperhatikan kondisi
biologis peserta didik.
3)
Dasar psikologis
Metode pendidikan baru dapat diterapkan secara efektif,
bila didasarkan pada perkembangan dan kondisi psikologi peserta didik. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa dalam menggunakan metode pendidikan seorang
pendidik disamping memperhatikan kondisi jasmani peserta didik juga perlu
memperhatikan kondisi jiwa atau rohaninya, sebab manusia pada hakikatnya
terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani dan rohani, yang kedua-duanya merupakan
satu kesauan yang tak dapat dipisah-pisahkan.
Kondisi psikologis yang menjadi dasar dalam metode
pendidikan Islam berupa sejumlah kekuatan psikologi peserta didik termasuk
motivasi, emosi, minat, sikap, keinginan, kesediaan, bakat dan kecakapan akal
(intelektualnya) sehingga seorang pendidik dituntut untuk mengembangkan potensi
psikologis yang ada pada peserta didik.
4.
Dasar Sosiologis
Interaksi yang terjadi antara sesama siswa dan interaksi
antara guru dan siswa, merupakan interaksi timbal balik yang kedua belah pihak
akan saling memberikan dampak positif pada keduanya. Dalam kenyataan secara
sosiologis seorang individu dapat memberikan pengaruh pada lingkungan sosial
masyarakatnya dan begitu pula sebaiknya. Oleh karena itu, guru sebagai pendidik
dalam berinteraksi dengan siswanya hendaklah memberikan tauladan dalam proses
sosialisasi dengan pihak lainnya, seperti dikala berhubungan dengan siswa,
sesama guru, karyawan, dan kepala sekolah.
Dari beberapa uraian di atas dapat dikatakan bahwa “pelaksanaan
metode pendidikan Islam harus dijalankan atas dasar agama, biologis,
psikologis, dan sosiologis. “Dengan keempat dasar tersebut metode pendidikan
akan mampu melaksanakan perannya sebagai jembatan menuju tercapainya tujuan
pendidikan Islam”[50].
[2]
Armai Arief, Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pembelajaran Agama Islam,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 87.
[3] Ibid,
hal. 110.
http://ramlimpd.blogspot.com/2010/10/pembelajaran-untuk-anak-usia-dini.html diakses tanggal 10 Oktober 2010.
[5]
Zainal Aqib, Belajar dan Pembelajaran di Taman Kanak-Kanak, (Bandung:
Yrama Widya, 2009), hal. 28
[6]
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999),
hal. 113.
[7]http://masmukhorul.Blogspot.com/2009/06/metode-pembiasaan-sebagai-upaya.html. diakses tanggal 27 Juni 2009.
[9] Ibid., hal. 73.
[11]
http://masmukhorul. Blogspot.com/2009/06/metode-pembiasaan-sebagai-upaya.html diakses tanggal 19 Juni 2009.
[15] Nur
Uhbiyati, Long Life Education: Pendidikan Anak Sejak dalam Kandungan Sampai
Lansia, (Semarang: Walisongo Press, 2009), hal.
58.
[16] http://riwayat.wordpress.com./ metode-mendidik-akhlak-anak/-ftn diakses
tanggal 25 Januari 2008.
[19] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis Dan Praktis,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), hal. 178.
[21] Suryati Sidharto dan Rita Eka Izzaty, Social Skill Untuk Anak
Usia Dini: Pengembangan
Kebiasaan Positif, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), hal.
11-12.
2002), hal. 115.
[24]Sjarkawi,
Pembentukan Kepribadian Anak, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), hal. 27-28.
[25] Nurul Zuhriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif
Perubahan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), hal. 39-40.
[30]
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), hal. 87-88.
[35]
Siti Aisyah, dkk, Perkembangan dan Konsep...., hal. 1.4-1.12.
[36] http://episentrum.com/artikel-psikologi/perkembangan-motorik-anak-usiadini/ diakses tanggal 18 Februari 2013.
[37]
Zainal Aqib, Belajar dan Pembelajaran....., hal. 37.
[41]Slamet
Suyanto, Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, (Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2005) hal. 72.
[44]
Isjoni, Model Pembelajaran..., hal. 30.
[45]Soemiarti
Patmonodewo, Pendidikan Anak...., hal. 28-29.
0 Comments
Post a Comment