Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengertian Metode Pembiasaan dalam Mengembangkan Moral Keagamaan bagi Anak Usia Dini


BAB II

KAJIAN TEORITIS TENTANG METODE PEMBIASAAN DALAM PENGEMBANGAN MORAL KEAGAMAAN PADA ANAK USIA DINI


A.    Metode Pembiasaan

1.     Pengertian Metode Pembiasaan dalam Mengembangkan Moral Keagamaan bagi Anak Usia Dini          

Metode merupakan “cara yang telah teratur dan telah terpikir baikbaik untuk mencapai suatu maksud”[1]. Menurut pendapat Mahmud Yunus yang dikutip Armai Arief, metode adalah “Jalan yang hendak ditempuh oleh seseorang supaya seseorang sampai pada tujuan tertentu, baik dalam lingkungan perusahaan, perniagaan, maupun dalam kupasan ilmu pengetahuan dan lainnya”[2].41  Secara etimologi, pembiasaan berasal dari kata “biasa”. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, “biasa” berarti 1) Lazim atau umum, 2) Seperti sedia kala, 3) Sudah merupakan hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dengan adanya prefiks “pe” dan sufiks “an” menunjukkan arti proses. Sehingga pembiasaan dapat diartikan dengan proses membuat sesuatu/seseorang menjadi terbiasa. Dalam kaitannya dengan metode pengajaran pendidikan agama Islam, dapat dikatakan bahwa pembiasaan adalah “sebuah cara yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak didik berfikir, bersikap, bertindak sesuai dengan tuntunan ajaran Islam”[3].
Metode Pembiasaan merupakan kegiatan yang dilakukan secara teratur dan berkesinambungan untuk melatih anak agar memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu, yang umumnya berhubungan dengan pengembangan kepribadian anak seperti emosi, disiplin, budi pekerti, kemandirian, penyesuaian diri, hidup bermasyarakat, dan lain sebagainya”[4].

Pembiasaan menurut Zainal Aqib “merupakan upaya yang dilakukan untuk mengembangkan perilaku anak, yang meliputi perilaku keagamaan, sosial, emosional dan kemandirian”[5]. “Pembiasaan merupakan proses penanaman kebiasaan. Kebiasaan adalah pola untuk melakukan tanggapan terhadap situasi tertentu yang dipelajari oleh seorang individu dan yang dilakukan secara berulang-ulang untuk hal yang sama”[6].
Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Pembiasaan sebenarnya berintikan pengalaman, yang dibiasakan itu adalah sesuatu yang diamalkan. Metode pembiasaan juga tergambar dalam Alquran dalam penjabaran materi pendidikan melalui kebiasaan yang dilakukan secara bertahap. Dalam hal ini termasuk merubah kebiasaan-kebiasaan yang negatif. Kebiasaan ditempatkan oleh manusia sebagai sesuatu yang istimewa. Ia banyak sekali menghemat kekuatan manusia, karena sudah menjadi kebiasaan yang sudah melekat dan spontan, agar kekuatan itu dapat dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan dalam berbagai bidang pekerjaan, berproduksi dan aktivitas lainnya[7].

Demikian halnya dengan cara mendidik anak. Untuk dapat membina agar anak mempunyai sifatsifat terpuji, tidaklah mungkin dengan menggunakan penjelasan pengertian saja, akan tetapi perlu membiasakannya untuk melakukan hal-hal yang baik yang diharapkan nanti dia akan memiliki sifat itu, serta menjauhi sifat tercela. “Kebiasaan dan latihan itulah yang membuat dia cenderung untuk melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk”[8]. Maka, “semakin kecil umur anak, hendaknya semakin banyak latihan dan pembiasaan agama dilakukan pada anak. Dan semakin bertambah umur anak, maka hendaknya semakin bertambah pula penjelasan dan pengertian tentang agama itu diberikan sesuai dengan tingkat perkembangannya”[9].
Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa metode pembiasaan berarti cara untuk melakukan suatu tindakan dengan teratur dan telah terpikir secara baik-baik dan dilakukan secara berulangulang sehingga menjadi suatu kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan.
2.     Dasar dan Tujuan Metode Pembiasaan      

Pendidikan agama Islam sebagai pendidikan nilai maka perlu adanya pembiasaan-pembiasaan dalam menjalankan ajaran Islam, sehingga nilai-nilai ajaran Islam dapat terinternalisasi dalam diri peserta didik, yang akhirnya akan dapat membentuk karakter yang Islami. Nilainilai ajaran Islam yang menjadi karakter merupakan perpaduan yang bagus (sinergis) dalam membentuk peserta didik yang berkualitas, di mana individu bukan hanya mengetahui kebajikan, tetapi juga merasakan kebajikan dan mengerjakannya dengan didukung oleh rasa cinta untuk melakukannya. Pembentukan karakter seseorang (terutama peserta didik) bersifat tidak alamiah, sehingga dapat berubah dan dibentuk sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Pembiasaan dalam pendidikan agama hendaknya dimulai sedini mungkin. Sebagaimana perintah Rasulullah Saw kepada orang tua, dalam hal ini para pendidik agar mereka menyuruh anak-anak mengerjakan shalat, tatkala mereka berumur tujuh tahun. Hal tersebut berdasarkan hadits di bawah ini:    
حدثنا مأمل بن هشام قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم مُرُوْا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلَاةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي اْلمَضَاجِعِ (رواه ابو داود(
Artinya: Dari Muamal Bin Hisyam Berkata, bersabda Rasulullah Saw. Suruhlah anak kalian mengerjakan shalat, sedang mereka berumur tujuh tahun, dan pukulilah mereka itu karena shalat ini, sedang mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka. (HR. Abu Daud)[10]

Membiasakan anak shalat, lebih-lebih dilakukan secara berjamaah itu penting. Sebab dalam kehidupan sehari-hari pembiasaan itu merupakan hal yang sangat penting, karena banyak dijumpai orang berbuat dan bertingkah laku hanya karena kebiasaan semata-mata. Tanpa itu hidup seseorang akan berjalan lambat sekali, sebab sebelum melakukan sesuatu seseorang harus memikirkan terlebih dahulu apa yang akan dilakukan[11].            
Zakiah Darajat berpendapat: “Orang tua adalah Pembina pribadi yang utama dalam hidup anak, kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak berlangsung dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang tumbuh”[12]. Ketika mencermati pendapat tersebut, maka pendidikan anak usia dini dengan metode pembiasaan positif sangatlah tepat karena pada masa ini anak sedang mengalami perkembangan yang sangat pesat baik perkembangan fisik maupun psikisnya.
Pada saat ini anak masih mudah dipengaruhi dan diajak untuk membiasakan diri pada hal-hal yang baik. Sehingga kebiasaan-kebiasaan yang telah ditanamkan sejak dini sangat melekat pada dirinya dan dibawa sepanjang hidupnya. Hal ini juga senada dengan pendapat para tokoh pendidikan seperti John Locke yang terkenal dengan teori “Tabularasa”nya yang menyampaikan bahwa manusia lahir itu seperti kertas putih yang masih bersih sehingga tergantung dari orang tuanya akan menulisi apa. Menurutnya segala sesuatu yang ada dalam pikirannya berasal dari pengalaman inderawi. Artinya dengan pengamatan panca indera akan mengisi jiwa dengan kesan-kesan yang dengan jalan sintesis, analisis, dan perbandingan diolah menjadi pengetahuan.
Adapun ciri dari didaktis John Locke adalah : a) belajar seperti bermain, 2) mengajarkan mata pelajaran berturut-turut, tidak sama, 3) mengutamakan pengalaman dan pengamatan, 4) mengutamakan budi pekerti. Beliau mementingkan kepatuhan si anak. Dari permulaan atau sejak dini anak harus dibiasakan pada hal-hal yang baik. Pendidikan menurut John Locke bersifat utilities, yang didasarkan atas dasar kegunaan. Beliau beranggapan bahwa proses pendidikanlah yang member banyak hal kepada anak[13]. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Sina yang dikutip oleh Abudin Nata tentang metode pengajaran terdapat metode pembiasaan dan teladan bagi anak. Beliau menyampaikan bahwapembiasaan adalah salah satu metode pengajaran yang paling efektif, khususnya dalam mengajarkan akhlak. Cara tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan dengan perkembangan jiwa anak[14].
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa pembiasaan positif yang ditanamkan sejak dini sangat memberikan pengaruh positif pula pada masa yang akan datang. Sebagaimana pepatah arab disebutkan :       
“Barang siapa membiasakan sesuatu di waktu mudanya maka di waktu tuanya akan menjadi kebiasaannya pula”. “Yang dimaksud pembiasaan disini adalah pembentukan keterampilan berucap, berbuat sesuai dengan yang diajarkan agama. Pembiasaan ini mempunyai arti yang penting karena merupakan sarana paling efektif guna pembentukan pribadi yang shaleh”[15]. Lagi pula pada masa usia dini anak cenderung bersifat imitatif atau suka meniru apa yang dilihat dan diketahui. Sehingga ketika yang dilihat dan diketahui oleh anak itu adalah hal-hal yang baik dan dibiasakan sejak dini maka akan sangat efektif bagi pembentukan pribadi yang baik.
Al-Ghazali mengatakan: Anak adalah amanah orang tuanya. Hatinya yang bersih adalah permata berharga nan murni, yang kosong dari setiap tulisan dan gambar. Hati itu siap menerima setiap tulisan dan cenderung pada setiap yang ia inginkan. Oleh karena itu, jika dibiasakan mengerjakan yang baik, lalu tumbuh di atas kebaikan itu maka bahagialah ia di dunia dan akhirat, orang tuanya pun mendapat pahala bersama.[16]

Kutipan di atas memperjelas kedudukan metode pembiasaan bagi perbaikan dan pembentukan akhlak melalui pembiasaan. Dengan demikian pembiasaan yang dilakukan sejak dini akan berdampak besar terhadap kepribadian /akhlak anak ketika mereka telah dewasa. Sebab pembiasan yang telah dilakukan sejak kecil akan melekat kuat di ingatan dan menjadi kebiasaan yang tidak dapat dirubah dengan mudah. Dengan demikian metode pembiasaan sangat baik dalam rangka mendidik moral dan akhlak anak.
3.     Bentuk-bentuk Metode Pembiasaan

Pembiasaan merupakan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dan dalam kehidupan sehari-hari anak sehingga menjadi kebiasaan yang baik. Pembiasaan ini meliputi aspek perkembangan moral dan nilai-nilai agama, pengembangan sosio emosional dan kemandirian.
Dari program pengembangan moral dan nilai-nilai agama diharapkan dapat meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan yang maha Esa dan membantu terbinanya sikap anak yang baik. Dan dengan pengembangan sosio emosional anak diharapkan dapat memiliki sikap membantu orang lain, dapat mengendalikan diri dan berinteraksi dengan lingkungannya[17].

Adapun bentuk-bentuk Pembiasaan pada anak dapat dilaksanakan dengan cara berikut :
1)     Kegiatan rutin, adalah kegiatan yang dilakukan di sekolah setiap hari, misalnya berbaris, berdo’a sebelum dan sesudah melakukan kegiatan.
2)     Kegiatan spontan adalah kegiatan yang dilakukan secara spontan, misalnya meminta tolong dengan baik, menawarkan bantuan dengan baik, dan menjenguk teman yang sakit.
3)     Pemberian teladan adalah kegiatan yang dilakukan dengan memberi teladan/contoh yang baik kepada anak, misalnya memungut sampah di lingkungan sekolah dan sopan dalam bertutur kata.
4)     Kegiatan terprogram adalah kegiatan yang deprogram dalam kegiatan pembelajaran (program semester, SKM, dan SKH) , misalnya makan bersama dan menjaga kebersihan lingkungan sekolah.[18]    

4.     Langkah-langkah Pelaksanaan Metode Pembiasaan
             
Kebiasaan baik yang dibentuk dan dikembangkan melalui proses pendidikan yang baik, misalnya kebiasaan dalam berkomunikasi , pengaturan dan penggunaan waktu secara tepat, bersikap baik dan tepat, memilih permainan dan menggunakan saran dengan tepat. Anak perlu dibiasakan sejak dini untuk mengatur dan menggunakan waktu secara tepat, agar kelak bisa menjadi orang disiplin dan bertanggung jawab. Pembiasaan sebaiknya ditanamkan dari hal-hal kecil dan yang mudah dilakukan oleh anak usia dini. Misalnya mengatur waktu antara menonton TV dengan bermain, belajar, istirahat dan kegiatan-kegiatan yang lainnya. Apabila kebiasaan ini sudah dimiliki oleh anak , maka anak sendiri akan menyesuaikan berbagai tindakannya sehingga tidak saling merugikan atau menghambat.
Agar pembiasaan dapat segera tercapai dan hasilnya baik, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)     Mulailah pembiasaan itu sebelum terlambat, jadi sebelum anak itu mempunyai kebiasaan lain yang berlawanan dengan hal-hal yang akan dibiasakan.
2)     Pembiasaan hendaknya dilakukan secara terus menerus (berulangulang) dijalankan secara teratur sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang otomatis. Tapi juga butuh pengawasan dari orang tua, keluarga maupun pendidik.
3)     Pendidikan hendaklah konsekuen, bersikap tegas dan tetap teguh terhadap pendiriannya yang telah diambil. Jangan memberi kesempatan anak untuk melanggar pembiasaan yang telah ditetapkan.
4)     Pembiasaan yang mula-mulanya mekanistis harus semakin menjadi pembiasaan yang disertai kata hati anak itu sendiri.[19]

Kebiasaan lain perlu dipupuk dan dibentuk adalah berkomunikasi dengan anggota keluarga, misalnya mendiskusikan hal-hal yang mereka saksikan di lingkungan. “Kebiasaan berkomunikasi dan berdiskusi akan memupuk kemampuan anak dalam berinteraksi sosial dan pengembangan diri. Dalam hal ini orang tua mempunyai peran yang sangat besar dan penting terutama melalui metode pembiasaan dan keteladanan”[20].
Sedangkan upaya untuk memelihara kebiasaan yang baik dilakukan dengan cara:
1)     Melatihkan hingga benar-benar paham dan bisa melakukan tanpa kesulitan. Sesuatu hal yang baru tentu tidak mudah dilakukan semua anak, maka pembiasaan bagi mereka perlu dilakukan sampai anak dapat melakukan. Pendidik perlu membimbing dan mengarahkan agar anak-anak mampu melakukan.
2)     Mengingatkan anak yang lupa melakukan. Anak-anak perlu diingatkan dengan ramah jika lupa atau dengan sengaja tidak melakukan kebiasaan positif yang telah diajarkan tapi jangan sampai mempermalukan anak. Teguran sebaiknya dilakukan secara pribadi.
3)     Apresiasi pada masing-masing anak secara pribadi. Pemberian apresiasi dapat membuat anak senang, tetapi harus hati-hati agar tidak menimbulkan kecemburuan pada anak yang lain.
4)     Hindarkan mencela pada anak. Guru merupakan profesi yang professional, maka seluruh perilaku dalam mendidik anak diupayakan agar menguntungkan bagi perkembangan anak dengan tidak mencela anak, walau terdapat kesalahan atau kekurangan padanya.[21]



B.    Metode pembiasaan pada Pengembangan Moral Keagamaan Bagi Anak Usia Dini       
                                           
1.     Pengertian Moral Keagamaan         

Istilah moral kadang-kadang dipergunakan sebagai kata yang sama dengan etika. Moral berasal dari bahas Latin, mos (adat istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan), mores (adat istiadat, tabiat, kelakuan, watak, akhlak, cara hidup)[22]. Secara etimologi moral dan etika mempunyai arti yang sama karena keduanya berasal dari kata yang mengandung arti adat kebiasaan. Sedangkan etika berasal dari bahasa Yunani ethos (jamak: ta etha). Moral diartikan sebagai nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya[23].
Sebagaimana pendapat Helden dan Richards yang dikutip oleh Sjarkawi, moral diartikan sebagai suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan dantindakan dibandingkan dengan tindakan lain yang tidak hanya berupakepekaan terhadap prinsip dan aturan. Selanjutnya, Atkinson berpendapat bahwa moral merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Selain itu juga moral merupakan seperangkat keyakinan dalam suatu masyarakat berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia[24].

Sedangkan yang dimaksud disini adalah moral keagamaan, yang berarti nilai atau norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang atau kelompok masyarakat yang mengatur tingkah laku dalam kehidupan yang didasarkan pada keyakinan atau agama yang dianut.

2.     Bentuk-bentuk Moral Keagamaan  

Bentuk-bentuk nilai moral yang diterapkan pada anak adalah sebagai berikut:
1)     Religiusitas, terdiri dari membiasakan anak berdoa sebelum dan sesudah melakukan suatu perbuatan, membiasakan anak bersyukur, sikap toleran dan mendalami ajaran agama.
2)     Sosialitas, terdiri dari membiasakan anak hidup bersama, dan saling memperhatikan serta tolong menolong.
3)     Gender, berupa kesetaraan atau kesamaan dalam permainan anak.
4)     Keadilan, berupa pemberian kesempatan yang sama pada anak baik dalam bermain dan belajar.
5)     Demokrasi, berupa pemberian penghargaan terhadap imajinasi anak, dihargai dan diarahkan.
6)     Kejujuran, berupa sikap menghargai milik orang lain. Kemandirian, berupa sikap anak yang bisa melakukan kegiatan sendiri tanpa dibantu orang lain, misalnya memakai baju, sepatu, makan dan minum, dsb. Serta sekolah tidak ditunggui orang tua atau pengasuh.
7)     Daya juang, terdiri dari rasa memupuk kemauan untuk mencapai tujuan, serta bersikap tidak mudah menyerah. Bisa berupa kegiatan fisik, jalan-jalan.
8)     Tanggung jawab, berupa kegiatan memakai dan membereskan alat permainannya sendiri.
9)     Penghargaan terhadap lingkungan alam, berupa sikap anak yang memelihara tanaman atau bunga, tidak membuang sampah sembarangan[25].           

3.     Langkah-langkah untuk pengembangan Moral Keagamaan

a.      Religiusitas
Religiusitas pada anak usia dini dapat dikenalkan dengan cara membiasakan diri bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa, akan membawa suasana hidup yang menyenangkan. Untuk melatih hal ini sehingga menjadi suatu kebiasaan yang dapat dilakukan secara dini pada masa pendidikan adalah dengan membiasakan berdoa sebelum atau sesudah melakukan sesuatu. Misalnya, berdoa sebelum dan sesudah belajar, sebelum dan sesudah makan, sebelum dan sesudah tidur, dsb.
b.     Sosialitas
Sosialitas pada anak usia dini dapat diajarkan dengan cara sekolah menyediakan alat permainan yang jumlahnya teratas untuk anak-anak. Selanjutnya guru mengajak anak mulai memperhatikan sesamanya, mau berbagi dan menyadari bahwa dalam kehidupan bersama dalam masyarakat perlu ada aturan, saling memperhatikan dan saling mendukung. Anak diajak bersikap terbuka, rendah hati, saling menerima dan mau berbagi, serta tidak egois. Langkah awal yang bisa dilakukan berupa sikap dan perilaku mau berbagi mainan dengan teman, mau bergantian dengan teman, serta tidak asyik dengan kepentingan dan kemauan dirinya sendiri.
c.      Gender
Pengenalan gender pada anak usia dini perlu ditanamkan sejak dini, misalnya dengan cara disosialisasikan pada anak melalui permainan dan kegiatan bersama yang tidak membedakan antara lakilaki dengan perempuan.
d.     Keadilan
Nilai keadilan dapat ditanamkan pada pendidikan anak usia dini dengan cara memberi kesempatan yang sama untuk semua siswa baik laki-laki maupun perempuan untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, baik melalui kegiatan menyanyi, permainan, maupun tugas lain.


e.      Demokrasi
Nilai demokrasi pada anak usia dini dapat diajarkan melalui kegiatan menghargai perbedaan yang tahap demi tahap harus diarahkan pada pertanggungjawaban yang benar dan sesuai dengan nalar anak. “Untuk memulainya di lingkungan sekolah, anak diberi kebebasan untuk menggambar sesuai imajinasi dan kreativitasnya masing-masing, seperti apapun hasilnya anak diberi apresiasi. Apresiasi yang diberikan merupakan bagian dari penghargaan akan perbedaan”[26].
f.      Kejujuran
Nilai kejujuran pada anak usia dini dapat diajarkan melalui kegiatan keseharian yang sederhana dan sebagai suatu kebiasaan, yaitu perilaku yang dapat membedakan milik pribadi dan milik orang lain. Kemampuan dasar untuk membedakan merupakan dasar untuk bersikap jujur.
g.     Kemandirian
Kemandirian pada anak usia dini dapat dibentuk melalui cara: memberi anak-anak pilihan sesuai dengan minat masing-masing, menetapkan batasan-batasan yang jelas, konsisten dan masuk akal tentang suatu pengertian. Misalnya, pada pengenalan tentang aneka buah, maka pendidik memberi pengetahuan tentang ciri dari masing-masing buah baik warna, rasa, atau kulit. dsb. Kemudian menerima irama anak-anak antara kebebasan dan ketergantungan, memfokuskan pada manfaat ketika anak-anak mempraktikkan keterampilan baru bukan pada kesalahan yang mereka lakukan, serta menetapkan harapan yang sesuai dengan kemampuan anak dan memfokuskan kurikulum pada hal-hal nyata atau kegiatan sehari-hari.[27]




h.     Daya juang
Upaya menumbuhkan nilai daya juang pada anak bisa dilakukan dengan mengajak anak jalan-jalan. Kemampuan menempuh jarak tertentu menjadi dasar untuk mengembangkan daya juangnya. Melalui kegiatan ini anak juga diajak mengenal alam sekitar dan cara hidup bersama di jalan umum seperti: disiplin, tertib, hati-hati untuk keselamatan diri dan bersama, menghargai kebersihan dengan tidak membuang sampah sembarangan. Di samping itu anak juga diajak mencintai dan mengakui kebesaran Allah yang menciptakan keindahan alam semesta ini, serta berusaha mensyukuri nikmat yang diberikan dengan cara menjaganya.
i.       Tanggung jawab
Nilai tanggungjawab pada anak usia dini dapat dilakukan melalui kegiatan permainan atau tugas-tugas yang menggunakan alat. Dengan cara memperkenalkan dan melatih tanggungjawab anak menjaga alat permainannya. Selalu minta izin apabila meminjam barang milik temannya.
j.       Penghargaan terhadap lingkungan alam
“Penghargaan terhadap lingkungan alam dapat ditumbuhkan dengan cara mengajak dan mengajari anak memelihara tanaman di sekolah. Anak diajak berkebun, dan diberi tanggungjawab memelihara satu tanaman. Serta tidak membuang sampah pada tempatnya”[28].
Pembentukan sikap, pembinaan moral dan pribadi pada umumnya terjadi melalui pengalaman sejak kecil. Pendidik/pembimbing utama dan pertama adalah orang tua, kemudian guru. Semua pengalaman yang dilalui anak pada masa kecil merupakan unsur terpenting dalam hidupnya. Sikap anak terhadap agama didapat melalui pengalaman yang didapat dengan orang tua serta keluarga. Kemudian diperbaiki di sekolah. Adapun latihan keagamaan yang menyangkut akhlak dan ibadah sosial, sesuai dengan ajaran agama, jauh lebih penting daripada penjelasan dengan kata-kata. Latihan disini dilakukan melalui contoh yang diberikan oleh guru atau orang tua. Oleh karena itu, guru agama hendaknya mempunyai kepribadian yang dapat mencerminkan ajaran agama, yang akan diajarkan kepada anak didiknya, lalu sikapnya dalam melatih kebiasaan-kebiasaan baik yang sesuai dengan ajaran agama itu, hendaknya menyenangkan dan tidak kaku[29]. 68

Demikian halnya pada pengembangan moral keagamaan pada anak, harus dilakukan dengan latihan-latihan langsung dan dibiasakan untuk melakukan, sehingga nilai-nilai moral keagamaan tidakhanya sebatas pengetahuan tentang apa dan bagaimana moral itu sendiri, tetapi bagaimana moral keagamaan itu diterapkan dalam kehidupan seseorang.
C.    Metode pembiasaan pada Anak Usia Dini
                               
1.     Pengertian Anak Usia Dini  
           
Anak usia dini merupakan kelompok manusia yang berumur 0-6 tahun. Anak usia dini merupakan kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik dalam arti memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan[30]. Anak usia dini atau biasa disebut anak pra sekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun, menurut Biechler dan Snowman mereka biasanya mengikuti program pra sekolah. Di Indonesia umumnya anak tersebut mengikuti program tempat penitipan anak (3-5 tahun), kelompok bermain (2-4 tahun), sedangkan pada usia 4-6 tahun biasanya mengikuti program taman kanak-kanak[31]. Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun yang terdiri dari beberapa periode :
a.      Infant (0-1 tahun)
b.     Toodler (2-3 tahun)
c.      Preschool/ kindergarten children (3-6 tahun
d.     Early primary school (6-8 tahun).[32]
Jadi bisa disimpulkan bahwa anak usia dini atau anak prasekolah adalah golongan anak yang berusia antara 0-6 tahun yang berada dalam masa pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik maupun psikis. Pada masa ini perkembangan dan pertumbuhan berlangsung sangat pesat, sehingga masa ini biasa disebut dengan masa keemasan atau Golden age.
2.     Karakteristik Anak Usia Dini
           
Anak usia dini merupakan individu yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Bahkan dikatakan sebagai lompatan perkembangan. Maka usia dini dikatakan sebagai usia emas atau Golden Age, yaitu usia yang sangat berharga karena pada masa ini terjadi transformasi yang luar biasa pada otak dan fisiknya yang tidak terjadi pada masa-masa berikutnya. Maka dari itu, pada masa keemasan ini sangat penting bagi perkembangan intelektual, emosi dan social di masa yang akan datang dengan memperhatikan dan menghargai keunikan setiap anak.
Adapun karakteristik dari anak usia dini adalah sebagai berikut:
a.      Kecepatan pertumbuhan dan perubahan fisik
b.     Secara berangsur-angsur berkurangnya ketergantungan pada pihak lain (ibunya)
c.      Merupakan fondasi bagi pertumbuhan selanjutnya
d.     Banyak resiko
e.      Banyak memerlukan perhatian dari orang tuanya.[33]

Karakteristik yang lain adalah 1) anak sangat aktif mengeksplorasi benda-benda yang ada di sekitarnya. Eksplorasi anak yang dilakukan anak terhadap benda apa saja yang ditemui merupakan proses belajar yang sangat efektif. Anak juga sangat aktif melakukan berbagai kegiatan seperti melompat, berlari dan memanjat 2) kemampuan berbahasa anak semakin baik, sudah mampu memahami pembicaraan orang lain dan mampu mengungkapkan pikirannya dalam batas-batas tertentu, seperti meniru dan mengulang pembicaraan. 3) anak mulai belajar mengembangkan emosi. “Perkembangan emosi anak didasarkan pada bagaimana lingkungan memperlakukan dia. Sebab emosi bukan ditentukan oleh bawaan, namun lebih banyak pada lingkungan”[34].
Sedangkan menurut Siti Aisyah karakteristik anak usia dini adalah sebagai berikut[35]:
1)     Memiliki rasa ingin tahu yang besar

Anak usia dini sangat tertarik dengan dunia sekitarnya dan ingin mengetahui segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Hal ini ditunjukkan dengan mengajukan berbagai pertanyaan ketika melihat sesuatu, walau dalam bahasa yang masih sangat sederhana. Untuk memenuhi rasa ingin tahunya anak sering membongkar pasang segala sesuatu.
2)     Merupakan pribadi yang unik
Meskipun banyak terdapat kesamaan dalam pola umum perkembangan, tetapi setiap anak memiliki keunikan masing-masing walaupun pada anak kembar secara genetis. Keunikan tersebut terlihat dalam hal gaya belajar, minat dan latar belakang keluarganya. Maka dari itu, bagi para pendidik, perlu melakukan pendekatan individual selain pendekatan kelompok sehingga keunikan pada anak dapat terakomodasi dengan baik.
3)     Suka berfantasi dan berimajinasi
Anak usia dini suka membayangkan dan mengembangkan berbagai hal jauh melampaui kondisi nyata. Anak dapat menceritakan berbagai hal dengan sangat meyakinkan seolah-olah dia melihat atau mengalami sendiri hal itu, padahal itu adalah hasil fantasi atau imajinasinya saja.
4)     Masa paling potensial untuk belajar
Anak usia dini sering disebut dengan istilah Golden Age karena pada rentang usia ini anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada berbagai aspek.


5)     Menunjukkan sikap egosentris
Anak usia dini pada umumnya hanya memahami sesuatu dari sudut pandangnya sendiri atau bersifat egosentris. Anak yang egosentrik lebih banyak berfikir dan berbicara tentang diri sendiri daripada orang lain dan tindakannya terutama bertujuan menguntungkan dirinya.
6)     Memiliki rentang daya konsentrasi yang pendek
Anak usia dini mempunyai rentang perhatian yang sangat pendek sehingga perhatiannya mudah teralihkan pada hal lain. Apalagi kalau sesuatu itu dirasa tidak menarik lagi baginya.
7)     Sebagai bagian dari makhluk sosial
Anak usia dini sudah mulai suka bergaul dan bermain dengan teman sebayanya. Ia mulai belajar berbagi, mengalah, dan antri menunggu giliran saat bermain dengan teman-temannya.
8)     Bermain merupakan dunia masa anak-anak.
Bermain bagi anak merupakan proses mempersiapkan diri untukmasuk ke dalam dunia orang dewasa, cara bagi anak untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai hal, membutuhkan hasrat bereksplorasi, melatih pertumbuhan fisik dan imajinasi.
3.     Perkembangan Anak Usia Dini

a.      Perkembangan Fisik dan Motorik
Perkembangan fisik sangat berkaitan erat dengan perkembangan motorik anak. Motorik merupakan perkembangan pengendalian gerakan tubuh melalui kegiatan yang terkoordinir antara susunan saraf, otot, otak, dan spinal cord. Perkembangan motorik meliputi motorik kasar dan halus. Pertumbuhan fisik pada masa kanak-kanak berlangsung lebih lambat dibandingkan pada masa bayi. Perbedaan tersebut terletak pada penampilan, proporsi tubuh, berat, serta tinggi badan dan keterampilan-keterampilan yang dimiliki anak. Meskipun selama masa anak-anak pertumbuhan fisik mengalami keterlambatan tetapi keterampilan-keterampilan motorik halus dan kasar justru berkembang pesat.
1)     Perkembangan Motorik Kasar
Tugas perkembangan jasmani berupa koordinasi gerakan tubuh, seperti berlari, berjinjit, melompat, bergantung, melempar dan menangkap, serta menjaga keseimbangan. Kegiatan ini diperlukan dalam meningkatkan keterampilan koordinasi gerakan motorik kasar. Pada anak usia 4 tahun, anak sangat menyenangi kegiatan fisik yang menantang baginya, seperti melompat dari tempat tinggi atau bergantung dengan kepala menggelantung ke bawah. Pada usia 5 atau 6 tahun keinginan untuk melakukan kegiatan tersebut bertambah. Anak pada masa ini menyenangi kegiatan lomba, seperti balapan sepeda, balapan lari atau kegiatan lainnya yang mengandung bahaya.
2)     Perkembangan Motorik Halus
Perkembangan motorik halus anak taman kanak-kanak ditekankan pada koordinasi gerakan motorik halus dalam hal ini berkaitan dengan kegiatan meletakkan atau memegang suatu objek dengan menggunakan jari tangan. Pada usia 4 tahun koordinasi gerakan motorik halus anak sangat berkembang, bahkan hamper sempurna. Walaupun demikian anak usia ini masih mengalami kesulitan dalam menyusun balok-balok menjadi suatu bangunan. Hal ini disebabkan oleh keinginan anak untuk meletakkan balok secara sempurna sehingga kadang-kadang meruntuhkan bangunan itu sendiri. Pada usia 5 atau 6 tahun koordinasi gerakan motorik halus berkembang pesat. Pada masa ini anak telah mampu mengkoordinasikan gerakan visual motorik, seperti mengkoordinasikan gerakan mata dengan tangan, lengan, dan tubuh secara bersamaan, antara lain dapat dilihat pada waktu anak menulis atau menggambar[36].
“Secara langsung maupun tidak langsung perkembangan fisik dan motorik anak akan mempengaruhi konsep diri dan perilaku anak sehari-hari yang kemungkinan akan terus dibawa di masa yang akan datang. Oleh karena itu diperlukan adanya perhatian yang besar terhadap faktorfaktor yang diduga kuat memiliki pengaruh terhadap perkembangan fisik dan motorik anak[37].
b.     Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget yang dikutip oleh Isjoni Perkembangan kognitif anak pra sekolah yaitu berada pada tahap pra operasional, yaitu tahapan dimana anak belum menguasai operasi mental secara logis. yang mempunyai ciri berkembangnya kemampuan menggunakan sesuatu yang lain dengan menggunakan symbol-simbol. Melalui kemampuan tersebut anak mampu berimajinasi atau berfantasi tentang banyak hal. Adanya penguasaan bahasa, meniru, sekalipun cara berfikirnya secara egosentris, memusat dan tidak bisa dibalik[38].

c.      Perkembangan Emosi
Pada tahap ini emosi anak usia dini lebih rinci atau terdiferensiasi, anak cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Sikap marah sering diperlihatkan dan sering berebut perhatian guru. Pada masa ini anak mampu melakukan partisipasi dan mengambil inisiatif dalam kegiatan fisik. Anak
sering memiliki keraguan untuk memilih antara apa yang ingin dikerjakan dengan apa yang harus dikerjakan[39]. Ciri khas emosi anak adalah emosinya kuat, sifat tersebut seringkali tampak, emosinya bersifat sementara/ labil, dan emosi tersebut dapat diketahui melalui perilaku anak[40].
Menurut Erikson yang dikutip oleh Slamet Suyanto anak usia dini (2-3 tahun) berada pada tahap autonomy vs shame and doubt dimana anak harus sudah mampu menguasai kegiatan memegang atau melemaskan seluruh otot-otot tubuhnya seperti berjalan dan berlari. Bila ia diberikan kebebasan bergerak dan mampu menguasai anggota tubuhnya maka ia akan mengembangkan ras percaya dirinya, begitu pula sebaliknya bila lingkungan tidak memberinya kepercayaan maka akan menumbuhkan rasa malu dan ragu-ragu pada anak[41].

d.     Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial anak dimulai dari sifat egosentris, individual kea rah interaksi sosial. Pada mulanya anak bersifat egosentris, memandang persoalan dari satu sisi yaitu dirinya sendiri. Ia tidak mengerti bahwa orang lain bisa berpandangan berbeda dari dirinya. Maka pada usia 2-3 tahun anak suka bermain sendiri, selanjutnya anak mulai berinteraksi dengan orang lain. Ia mulai bermain bersama dan tumbuh sifat sosialnya[42].

“Masa pra sekolah disebut juga usai pra-gang, karena pada masa ini anak belajar menyesuaikan diri dengan kelompok teman sebaya dan mengembangkan pola perilaku yang sesuai denganharapan sosial”[43]. “Ciri sosial anak usia pra sekolah sudah mulai mudah bersosialisasi dengan lingkungannya. Pada masa ini juga muncul kesadaran anak akan konsep diri yang berkenaan dengan “Gender” yang mana anak telah mampu memahami perannya sebagai anak perempuan dan sebagai anak laki-laki”[44]. Oleh karena itu, salah satu keuntungan pendidikan prasekolah adalah dapat memberikan pengalaman sosial di bawah bimbingan guru yang dapat membantu mengembangkan hubungan sosial yang menyenangkan.
e.      Perkembangan Bahasa
Anak pra sekolah biasanya telah mampu mengembangkan keterampilan bicara melalui percakapan dengan orang lain. Merek dapat menggunakan bahasa dengan berbagai cara, misalnya dengan bertanya, melakukan dialog dan menyanyi. Sejak usia dua tahun anak memiliki minat yang kuat untuk menyebut berbagai nama benda. Minat tersebut akan terus meningkat yang sekaligus akan menambah perbendaharaan kata yang dimiliki. Dengan menggunakan kata-kata untuk menyebut benda atau menggambarkan peristiwa akan membantu anak untuk membentuk gagasan yang dapat dikomunikasikan kepada orang lain[45].

Perkembangan bahasa anak belumlah sempurna pada masa ini dan akan terus berkembang sepanjang kehidupan seseorang. Perkembangan bahasa berlangsung sepanjang mental manusia aktif dan tersedia lingkungan untuk belajar. Anak usia 3-4 tahun mulai menyusun kalimat Tanya dan kalimat negatif. Misalnya, mama dimana? Dan saya tidak pergi.
f.      Perkembangan Moral, Disiplin dan Etika
Teori perkembangan Kohlberg tentang perkembangan watak berlangsung melalui tiga tingkatan:
1)     Tingkat prekonvensional (anak sebelum sekolah), mengetahui baik dan buruk dari orang tua berdasarkan atas konsekwensi dari suatu tingkah laku. Jadi sesuatu itu dianggap baik dan benar apabila mendapat hadiah, dianggap jelek apabila mendapat hukuman.
2)     Tingkat konvensional (anak usia sekolah) menganggap bahwa peraturan yang diberikan orang tua atau masyarakat pasti baik dan benar, tapi tidak mengetahui akibat/hasil dari suatu perbuatan.
3)     Tingkat otonomi. Anak sudah mulai dewasa dan telah mengetahui baik dan buruk akibat suatu perbuatan, dapat menilai suatu prinsip. Mereka dapat berfikir sendiri, membuat keputusan[46].

Pada tahap ini moral anak ditandai dengan kemampuan anak memahami aturan, norma dan etika yang berlaku. Menurut Piaget, yang dikutip Slamet Suyanto sebagai berikut:
Anak usia dini berada pada tahap pertama perkembangan moralnya yang disebut premoral. Pada tahap ini anak belum dapat menggunakan pertimbangan moral untuk perilakunya. Hal ini disebabkan anak belum  mempunyai pengalaman bersosialisasi dengan yang lain dan masyarakat tempat aturan, etika, dan norma itu ada. Disamping itu anak masih bersifat egosentris, belum dapat memahami cara pandang orang lain. Kedua, disebut moral realism. Pada tahap ini kesadaran anak akan aturan mulai tumbuh. Perilaku anak sangat dipengaruhi oleh aturan yang berlaku dan oleh konsekwensi yang harus ditanggung anak atas perbuatannya. Ketiga, disebut moral relativism. Yang mana perilaku anak didasarkan atas berbagai pertimbangan moral yang kompleks yang ada dalam dirinya. Pada tahap ini perilaku anak tidak lagi terbawa arus atau terpengaruh orang lain, tetapi ia sendiri sudah mengembangkan suatu nilai moral yang ia gunakan untuk memecahkan berbagai persoalan yang terkait dengan moral dan nilai[47].            
D.    Dasar Metode Pembiasaan
                             
Pengertian Metode secara etimologi, berasal dari dua perkataan yaitu meta dan hodos. Meta berarti “melalui” dan hodos berarti “jalan” atau “cara”[48]. Menurut Rama Yulis, metode adalah : “Langkah-langkah yang diambil guru guna membantu para murid merealisaikan tujuan tertentu”. Dalam bahasa arab dikenal dengan istilah Thariqah yang berarti langkah-langkah strategis yang harus dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Bila dihubungkan dengan Pendidikan maka langkah tersebut harus diwujudkan dalam proses pendidikan dalam rangka pembentukan kepribadian. Dengan demikian dapat dipahami bahwa metode merupakan cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan[49].
Metode Pendidikan Islam dalam penerapannya banyak menyangkut permaslahan individual atau sosial peserta didik dan pendidik itu sendiri sehingga dalam menggunakan metode seorang pendidik harus memperhatikan dasar-dasar umum metode pendidikan islam, sebab metode pendidikan itu hanyalah merupakan sarana atau jalan menuju tujuan pendidikan, sehingga segala jalan yang ditempuh oleh seorang pendidik haruslah mengacu pada dasar-dasar metode pendidikan tersebbut. Dalam hal ini tidak bisa terlepas dari dasar agamis, biologis, psikologis, dan sosiologis.
1)           Dasar Agama
AlQuran dan hadits tidak bisa dilepaskan dari pelaksanaan metode pendidikan Islam. Dalam kedudukannya sebagai dasar ajaranisalam, maka dengan sendirinya, metode pendidikan islam harus merujuk pada kedua sumber ajaran tersebut, sehingga segala penggunaan dan pelaksanaan metode pendidikan islam tidak menyimpang dari tujuan pendidikan itu sendiri. Misalnya dalam mata pelajaran olahraga, maka seorang pendidik harus mampu menggunakan metode yang didalamnya terkandung ajaran AlQuran dan Al-Hadits, seperti masalah pakaian yang islami dan lain-lain praktek olahraga
2)           Dasar Biologis
Dalam memberikan pendididkan dalam pendidikan islam, seseorang pendidik harus memperhatikan perkemangan biologis anak didik. Perkembangan kondisi jasmani (bologis) seseorang juga mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap dirinya. Sesseorang yang menderita cacat jasmani akan mempunyai melemahan dan kelebihan yang mungkin tidak dimiliki orang lain normal, misalnya seseorang yang mempunyai penyakit pada matanya (rabun jauh), maka ia cenderung duduk dibangku barisan depan (walaupun tidak selamanya yang duduk didepan itu menderita penyakit pada matanya), karena dia duduk didepan, maka dia tidak dapat bermain-main pada waktu guru memberikan keterangan materi pelajaran. Sehingga ia memperhatikan seluruh uraian guru. Karena hal ini berlangsung terus-menerus, maka dia akan mempunyai pengetahuan lebih dibanding dengan temannya yang lain, apalagi ia termotivasi dengan kelainan mata tersebut.
Berdasarkan hal, ini maka dapat dikatakan bahwa perkembangan jasmani dan kondisi jasmani itu sendiri, memegang peranan yang sangat penting dalam proses pendidikan. Sehingga dalam menggunakan metode pendidikan seseorang pendidik harus bijaksana dan memperhatikan kondisi biologis peserta didik.
3)           Dasar psikologis
Metode pendidikan baru dapat diterapkan secara efektif, bila didasarkan pada perkembangan dan kondisi psikologi peserta didik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam menggunakan metode pendidikan seorang pendidik disamping memperhatikan kondisi jasmani peserta didik juga perlu memperhatikan kondisi jiwa atau rohaninya, sebab manusia pada hakikatnya terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani dan rohani, yang kedua-duanya merupakan satu kesauan yang tak dapat dipisah-pisahkan.
Kondisi psikologis yang menjadi dasar dalam metode pendidikan Islam berupa sejumlah kekuatan psikologi peserta didik termasuk motivasi, emosi, minat, sikap, keinginan, kesediaan, bakat dan kecakapan akal (intelektualnya) sehingga seorang pendidik dituntut untuk mengembangkan potensi psikologis yang ada pada peserta didik.
4.     Dasar Sosiologis
Interaksi yang terjadi antara sesama siswa dan interaksi antara guru dan siswa, merupakan interaksi timbal balik yang kedua belah pihak akan saling memberikan dampak positif pada keduanya. Dalam kenyataan secara sosiologis seorang individu dapat memberikan pengaruh pada lingkungan sosial masyarakatnya dan begitu pula sebaiknya. Oleh karena itu, guru sebagai pendidik dalam berinteraksi dengan siswanya hendaklah memberikan tauladan dalam proses sosialisasi dengan pihak lainnya, seperti dikala berhubungan dengan siswa, sesama guru, karyawan, dan kepala sekolah.
Dari beberapa uraian di atas dapat dikatakan bahwa “pelaksanaan metode pendidikan Islam harus dijalankan atas dasar agama, biologis, psikologis, dan sosiologis. “Dengan keempat dasar tersebut metode pendidikan akan mampu melaksanakan perannya sebagai jembatan menuju tercapainya tujuan pendidikan Islam”[50].


               [1] Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hal 232.

               [2] Armai Arief, Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 87.

               [3] Ibid, hal. 110.
               [4] Ramli, Pembelajaran Untuk Anak Usia Dini,

               [5] Zainal Aqib, Belajar dan Pembelajaran di Taman Kanak-Kanak, (Bandung: Yrama Widya, 2009), hal. 28

               [6] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hal. 113.

               [7]http://masmukhorul.Blogspot.com/2009/06/metode-pembiasaan-sebagai-upaya.html. diakses tanggal 27 Juni 2009.
               [8] Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hal. 73.

               [9] Ibid., hal. 73.
[10] Abi Daud, Sunan Abi Daud, Juz I, (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t), hal. 133.

               [11] http://masmukhorul. Blogspot.com/2009/06/metode-pembiasaan-sebagai-upaya.html diakses tanggal 19 Juni 2009.

               [12] Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa..., hal. 56.
               [13] MIF Baihaqi, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan, (Bandung: Nuansa, 2007), hal. 86-87.
               [14] Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 75-76.

               [15] Nur Uhbiyati, Long Life Education: Pendidikan Anak Sejak dalam Kandungan Sampai Lansia, (Semarang: Walisongo Press, 2009), hal. 58.

               [16] http://riwayat.wordpress.com./ metode-mendidik-akhlak-anak/-ftn diakses tanggal 25 Januari 2008.
               [17] Isjoni, Model Pembelajaran Anak Usia Dini, (Bandung: Alfabeta, 2010), hal. 63.
               [18] Zainal Aqib, Belajar dan..., hal. 28.

               [19] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis Dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), hal. 178.

               [20]Mohammad Surya, Bina Keluarga, (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2001), hal. 5.

               [21] Suryati Sidharto dan Rita Eka Izzaty, Social Skill Untuk Anak Usia Dini: Pengembangan Kebiasaan Positif, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), hal. 11-12.

               [22]Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar..., hal. 389.
               [23]Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), hal. 115.

               [24]Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), hal. 27-28.
               [25] Nurul Zuhriah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), hal. 39-40.

               [26]Ibid, hal. 41-44.

               [27] Suryati Sidharto dan Rita Eka Izzaty, Pengembangan Kebiasaan Positif, (Yogyakarta: Pusat Penelitian Pendidikan Anak Usia Dini, 2007), hal. 24.
               [28]Nurul Zuhriyah, Pendidikan Moral..., hal. 41-45.

               [29] Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa..., hal. 74-75.

               [30] Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 87-88.

               [31] Soemiarti Patmonodewo, Pendidikan Anak Prasekolah, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), hal. 19.

               [32] http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_anak_usia_dini diakses tanggal 28 Juli 2013.
               [33] Mohammad Surya, Bina Keluarga..., hal. 30.

               [34] Isjoni, Model Pembelajaran..., hal. 25

               [35] Siti Aisyah, dkk, Perkembangan dan Konsep...., hal. 1.4-1.12.
               [36] http://episentrum.com/artikel-psikologi/perkembangan-motorik-anak-usiadini/ diakses tanggal 18 Februari 2013.

               [37] Zainal Aqib, Belajar dan Pembelajaran....., hal. 37.

               [38] Isjoni, Model Pembelajaran..., hal. 27-28.

               [39] Ibid., hal. 27-28.

               [40]Zainal Aqib, Belajar dan Pembelajaran...., hal. 40.

               [41]Slamet Suyanto, Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, (Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2005) hal. 72.

               [42] Ibid., hal. 70.

               [43] Zainal Aqib, Belajar dan Pembelajaran..., hal. 41.

               [44] Isjoni, Model Pembelajaran..., hal. 30.

               [45]Soemiarti Patmonodewo, Pendidikan Anak...., hal. 28-29.
               [46]Charles Scaefer, Bagaimana Mempengaruhi Anak, (Semarang: Dahara Prize, 1989),
hal. 130.
               [47]Slamet Suyanto, Dasar-Dasar Pendidikan...., hal. 67-68.

               [48] Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan  Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 204.

               [49] Rama Yulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hal. 149.
               [50] Ibid., hal. 158-162.