Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengertian Nafkah dan Dasar Hukumnya


BAB DUA
NAFKAH DALAM MASA IDDAH


A.   Pengertian Nafkah dan Dasar Hukumnya
          Nafkah merupakan salah satu kewajiban yang dibebankan oleh Allah SWT kepada suami. Nafkah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan belanja untuk hidup; (uang) pendapatan; belanja yang diberikan kepada isteri, atau rezeki; bekal hidup sehari-hari.[1] Dari keterangan tersebut, maka nafkah diartikan dengan belanja hidup yang diberikan oleh suami kepada isterinya.
          Pengertian ini sangat berbeda dengan pengertian yang diberikan Abdul Aziz Dahlan, bahwa nafkah adalah “pengeluaran yang dapat digunakan seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.”[2]
          Berdasarkan kedua kutipan di atas, dapat diambil suatu pemahaman, bahwa pengertian nafkah berbeda menurut letak tempat. Jika letak tempatnya berada dalam sebuah keluarga, maka pengertian nafkah dapat diberikan biaya hidup yang menjadi tanggungan suami terhadap isterinya. Akan tetapi, jika letaknya pada tempat yang umum, maka pengertian yang diberikan pengeluaran yang digunakan seseorang untuk keperluan yang baik.
          Namun, apabila dilihat dari pengertian menurut Hasan Shadly, nafkah adalah “pemberian yang diberikan seorang suami kepada seorang isteri dan anak-anaknya sebagai tanggung jawab dalam keluarga.”[3] Akan tetapi, Imam Syafi’i sendiri memberikan pengertian adalah “pemberian wajib yang mesti diberikan oleh suami kepada isteri dan anak-anaknya baik berupa makanan, pakaian dan perumahan.”[4]
          Jadi, nafkah adalah mencakup kebutuhan isteri berupa makanan, tempat tinggal, pakaian dan obat-obatan, walaupun isteri tersebut orang kaya. Hal ini diwajibkan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ ulama.
          Dasar hukum berdasarkan ayat Al-Qur’an termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut:
والولدات يرضعن أولادهن حولين كاملين لمن أراد أن يتم الرضاعة وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف لا تكلف نفس إلا وسعها لا تضار والدة بولدها ولا مولود له بولده وعلى الوارث مثل ذلك فإن أرادا فصالا عن تراض منهما وَتَشَاوُرٍ فلا جناح عليهما وإن أردتم أن تسترضعوا أولادكم فلا جناح عليكم إذا سلمتم ما ءاتيتم بالمعروف, واتقوا الله واعلموا أن الله بما تعملون بصير (البقرة:٢٣٣)

Artinya: Para Ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah: 233)

          Dalam ayat ada kata المولودله adalah suami atau bapak anak. Sedangkan yang dimaksud dengan وزقهن dalam hal ini adalah makan yang memadai. Dan kata كسوتهن ialah pakaian. Dan yang dimaksud dengan بالمعروف ialah saling berkenalan baik sesuai dengan ketentuan syara’, tanpa sangat berlebihan dan tanpa sangat berkekurangan sekali.[5]
          Dalam firman Allah SWT yang lain dijelaskan sebagai berikut:
أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم ولا تضاروهن لتضيقوا عليهن وإن كن أولات حمل فأنفقوا عليهن حتى يضعن حملهن فإن أرضعن لكم فآتوهن أجورهن وأتمروا بينكم بمعروف وإن تعاسرتم فسترضع له أخرى، لينفق ذوسعة من سعته, ومن قدر عليه رزقه فلينفق مماءاته الله, لايكلف الله نفسا الا ماءاتها, سيجعل الله بعد عسر يسرى (الطلاق: ٦-  ٧)

Artinya: Tempatkanlah mereka (para isterimu) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahlah diantara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. “Hendaklah orang yang memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikul beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah diberikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Q. S. ath-Thalaq: 6 - 7)

          Dari keterangan ayat al-Qur’an di atas mendeskripsikan, bahwa memberikan nafkah kepada isteri oleh suami tidak perlu dipertanyakan lagi tentang ketetapan hukumnya. Akan tetapi, dalam memberikan nafkah kepada isteri hukum syara’ tidak ditentukan batas yang harus dipenuhi oleh suami, karena dalam al-Qur’an hanya ditetapkan sekedar menurut kemampuan suami dalam memenuhi nafkah isterinya.
          Dasar hukum berdasarkan hadits Rasulullah saw, adalah sebagai berikut:
عن أبى هريرة رضى الله عنه : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم: قال فى حجة الوداع : فانقواالله فى الناس فإنكم أخذ تموهن بكلمة الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله ولكم عليهن الا يوطئن فرشكم احدا تكر هو فإن فعلن ذالك فضربوهن ضرب غير مبرح ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف (رواه مسلم)[6]

Artinya: Dari Abi Hurairah ra: sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: pada waktu beliau melakukan haji terakhir (haji wada’), “Hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah mengenai wanita! Sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan kalimat Allah, jadi halal bagimu kemaluan mereka dengan menyebut nama Allah. Bagimu atas mereka ada hak, yaitu jangan sampai ada seseorang yang kamu benci menginjak tikarmu, bila mereka melakukan demikian, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukainya! Bagi mereka atasmu ada hak, yaitu memberi rezeki atau menafkahi mereka dari pakaian yang baik (H. R. Muslim).

Sementara itu dalam hadits yang lain disebutkan sebagai berikut:
عن عائشة رضي الله عنها : أن هندا بنت عتبه قالت يارسول الله صلى الله عليه وسلم ان أبا سفيان رجل شيخ : وليس يعطينى وولدى الا ما اخذت منه – وهو لا يعلم قال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف (رواه البخاري)[7]
Artinya: Aisyah ra menceritakan bahwa Hindun bin Uthbah bertanya, Ya Rasulullah saw sesungguhnya Abu Sofyan (suaminya) ialah seorang laki-laki yang kikir. dia tidak memberi kepada saya dan anak saya kecuali bila saya ambil darinya sesuatu, tanpa sepengetahuannya, bagaimana itu? “jawab beliau, “ambil saja secukupnya bagimu dan anakmu dengan baik. (H. R. Bukhari).

عن معاوية القشير رضي الله عنه قال : قلت يارسول الله صلى الله عليه وسلم! ما حق زوجة احدنا عليه ...؟ قال تطعمها اذا طعمت زتكوها اذا التسيت ولا فضرب الوجه, ولا تقبع ولا تهجر الا فر البيت (رواه البخاري)[8]
Artinya: Muawwiyah Qusyairi ra menceritakan bahwa dia pernah menanyakan kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulullah saw. Apakah hak isteri salah seorang kami atasnya? “jawab beliau,” engkau memberikan makanan, bila engkau makan pula, engkau berikan pakaian, bila engkau berpakaian, juga engkau pukul (bila harus diajar dengan tangan) makanya, jangan engkau jelekkan/burukkan dia, dan jangan engkau hindarkan dari tempat tinggal engkau, kecuali dalam rumah engkau juga (jangan dipamerkan keluar rumah). (H. R. Bukhari).

Dari ilustrasi hadits di atas maka dapat dipahami, bahwa kewajiban memberikan nafkah kepada isteri oleh suami tidak saja dilakukan secara terang-terangan, melainkan secara sembunyi-sembunyi. Artinya apabila suami tidak memberikan nafkah, maka isteri berhak mengambil harta tanpa sepengetahuan suaminya untuk keperluan hidup dengan sekadar secukupnya. Di sisi lain, kewajiban memberikan nafkah tidak saja dilakukan pada waktu-waktu biasa, melainkan ketika isteri menyeleweng dan mendapatkan sanksi dari suami, tetap wajib menerima biaya hidup dari suaminya.
Semua ulama fiqh sependapat, bahwa wajib menafkahi isteri oleh semua suami, bila semua isteri telah baligh, kecuali bila isteri durhaka kepadanya. Di antaranya Ibnu Mundzir terdapat pemahaman, bahwa isteri yang durhaka boleh ditahan di rumah, sehingga dia tidak boleh berbuat bebas dan tidak dapat pergi berusaha, tapi wajib dibiayai.[9]
Berdasarkan keterangan yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami, bahwa persoalan kewajiban memberikan nafkah kepada isteri, memang tidak dapat ditolerir lagi, karena terdapat ketentuan hukum yang dapat diganggu gugat. Artinya penetapan hukum tentang wajib nafkah sudah tidak perlu dipungkiri oleh khalayak ramai, sehingga siapapun yang hendak membina rumah tangga, salah satu persyaratan yang harus dipersiapkan adalah mampu memenuhi nafkah kepada isterinya.

B.  Kewajiban Nafkah dalam Masa Iddah Terhadap Bekas Isteri
Nafkah (biaya hidup) merupakan hak isteri dan anak-anak dalam hal makanan, pakaian dan kediaman, serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan bahkan pengobatan sekalipun si isteri termasuk seorang wanita yang kaya. Nafkah dalam bentuk ini wajib hukumnya berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang telah disebutkan.
Namun demikian, bila kedua pasangan telah sama-sama dewasa, maka merupakan kewajiban sang suami, bahkan siisteri seperti terjadi di beberapa negara barat pada saat telah mewajibkan untuk memberikan makanan, pakaian dan kediaman bagi isteri dan anak-anaknya sesuai dengan tingkat kedudukan sosial pasangan tersebut selaras dengan adat kebiasaan masyarakat di tempat mereka tinggal.[10]
Mengenai hal tersebut, beberapa ulama telah memberikan perincian tentang masalah penting yang harus diberikan sebagai nafkah pada masa ketika menuliskannya. Hal ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan masa kini agar selaras dengan keadaan negeri dan standar kehidupan mereka. Nafkah merupakan tanggung jawab seorang ayah terhadap putera-puterinya sampai mereka menikah, dan putera sampai berusia puber. Begitu pula setiap muslim menafkahi orang tuanya serta kakek neneknya kalau dia mampu melakukan hal itu. Seandainya memungkinkan dan seseorang memiliki harta, maka dia sepatutnya memperhatikan berbagai kebutuhan, bahkan tiap kaum kerabatnya yang muslim. Menurut Mazhab Hanafi, setiap keluarga sampai pada derajat atau tingkat tertentu berhak untuk dinafkahi, seandainya dia masih kanak-kanak dan miskin, lemah dan buta serta melarat, atau kalau dia seorang perempuan yang sudah berkeluarga yang masih anak-anak atau sudah dewasa.[11]
Bila si isteri masih kecil, dia akan dinafkahi oleh ayah atau walinya sebagai yang telah dijelaskan sbelumnya. Rasulullah saw menikahi Aisyah dua tahun ia mencapai usia dewasa dan selama waktu itu beliau tidak memberikan nafkah. Tetapi bila siisteri belum puber namun telah berkumpul dengan suaminya, menurut mazhab Malik dan Syafi’I, bahwa suami tidak wajib memberi nafkah kepada isteri.
Namun demikian, Qadhi Abu Yusuf, salah seorang ulama Syafi’iyah menyampaikan kalau isteri masih kecil dan suaminya menerima tinggal di rumahnya, maka suami wajib menafkahi, tetapi bila ia tidak datang kerumahnya, maka suami tidak wajib melakukan hal itu. Namun Imam Abu Nawawi sendiri bersama muridnya, Imam Muhammad mengikuti mazhab Syafi’i sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.[12]
Oleh karena itu, agama mewajibkan suami menafkahi isterinya, karena dengan adanya ikatan perkawinan yang sah, maka seorang isteri hanya terikat kepada suaminya dan menjadi tanggungannya, karena itu ia berhak menikmati secara terus menerus. Isteri wajib taat kepada suaminya, tinggal di rumahnya, mengatur rumah tangganya, memelihara dan mendidik anak-anaknya. Sebaliknya, suami berkewajiban memenuhi kebutuhannya dan memberikan belanja kepadanya selama ikatan suami isteri masih berjalan dan isteri tidak durhaka atau karena hal-hal lain yang menghalangi penerimaan belanja. Hal ini berdasarkan kaidah umum, yaitu: “setiap orang yang menahan hak orang lain atau kemanfaatannya bertanggung jawab membelanjainya.”[13]
Mengenai kewajiban memberi nafkah tersebut, Imam Nawawi berpendapat bahwa menafkahkan isteri merupakan kewajiban yang mesti diberikan oleh seorang suami kepada isteri yang apabila suami tidak memberikannya isteri berhak mengambilnya dengan cara paksa.[14]
Berdasarkan keterangan tersebut dapat diketahui, bahwa kewajiban seorang suami memberikan nafkah kepada isteri memang sangat tegas pembebanannya, sebab hal itu perlu ditegaskan karena isteri mempunyai kewajiban yang mutlak dalam mengabdikan diri kepada suaminya. Namun demikian, isteri mempunyai persyaratan tertentu agar dapat menerima belanja dari suaminya, di antaranya adalah:
1.     Ikatan perkawinannya sah.
2.     Menyerahkan diri kepada suaminya.
3.     Suaminya dapat menikmati dirinya.
4.     Menyetujui apabila diajak pindah ketempat yang dikehendaki oleh suami, kecuali keadaan yang membahayakan dirinya.
5.     Keduanya dapat saling menikmati.[15]

Jika salah satu dari syarat-syarat ini tidak dipenuhi, maka ia tidak wajib diberi belanja, karena jika ikatan perkawinannya tidak sah, bahkan batal, maka wajiblah suami isteri diceraikan guna mencegah timbulnya bencana yang tidak dikehendaki. Namun demikian, nafkah yang wajib diberikan suami kepada isteri berupa nafkah lahir dan nafkah bathin. Nafkah tersebut wajib dilaksanakan dan akan menjadi utang kalau tidak dilaksanakan dengan sengaja.[16] Kalau suaminya tidak memberikan nafkah tersebut, maka ia berstatus sebagai seorang yang mempunyai utang kepada isterinya. Setiap utang mesti dibayar, baik utang itu kepada isteri, suami, anak-anak maupun kepada pihak lain. Utang tersebut baru menjadi bebas, kalau dibebaskan oleh orang yang bersangkutan.[17]
Berdasarkan kutipan di atas dapat, dipahami bahwa nafkah merupakan suatu hal yang wajib diberikan oleh bekas suaminya. Bahkan jika suami tidak memberikan nafkah kepada isteri, maka nafkah yang tidak diberikan oleh suami termasuk hutang yang wajib dibayar. Oleh karenanya, Islam mensyari’atkan bahwa seorang isteri yang tidak mendapatkan nafkah dari suaminya wajib mengambil nafkah dari harta suami secukupnya.

C.  Bentuk-Bentuk Nafkah yang Wajib Dipenuhi
Nafkah merupakan salah satu bentuk tanggung jawab yang diberikan Allah kepada seorang suami. Tanggung jawab ini dibebankan karena suami telah mengikat seorang wanita sebagai isteri dengan sebuah ikatan yang disebut dengan pernikahan. Karena hal itulah, maka isteri berhak menerima pemberian suami dalam bentuk pangan, sandang, papan dan pakaian.
Nafkah pakaian wajib diterima oleh seorang isteri dari suami, karena pakaian merupakan salah perlengkapan untuk menutup aurat isteri. Di sisi lain, suami diwajibkan memberikan nafkah kepada isteri berupa perumahan sebagai sarana untuk berlindung dari terik matahari dan hujan. Demikian juga diwajibkan kepada suami untuk memberikan kebutuhan makanan kepada isteri, karena makanan merupakan kebutuhan pokok dalam menjalani kehidupan ini.
Kewajiban memberikan nafkah kepada isteri ditegaskan dalam firman Allah surat ath-Thalaq ayat  7 sebagai berikut:
لينفق ذوسعة من سعته, ومن قدر عليه رزقه فلينفق مماءاته الله, لايكلف الله نفسا الا ماءاتها, سيجعل الله بعد عسر يسرى (الطلاق: ٧)
Artinya: Hendaklah orang yang memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikul beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah diberikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (Q. S. ath-Thalaq: 7).

Firman Allah di atas membuktikan, bahwa seorang laki-laki yang telah mengikat seorang wanita dengan aqad nikah, maka wajib memberikan segala keperluan nafkahnya. Namun demikian, pemberian nafkah harus disesuaikan dengan kemampuan suami. Bahkan menurut ketentuan hukum Islam, seorang isteri dibolehkan mengambil harta suami, bila isteri tidak diberikan nafkahnya.
Sebenarnya kewajiban memberi nafkah ini sudah ada sejak masa sebelum Islam berkembang, tetapi hal ini tidak pernah diterangkan secara tegas, karena pada masa itu manusia masih labil dalam menganut ajaran syari’atnya, sehingga perintah untuk memberikan nafkah kepada isteri tidak dibebankan secara tegas.[18]
Dalam perintah memberikan nafkah kepada isteri tidak terjadi perbedaan dalam setiap mazhab, karena mereka berpedoman secara langsung kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Apalagi para imam mazhab berpedoman pada ayat dan hadits yang sama, sehingga tidak terjadi perbedaan pandangan dalam menentukan jumlah kadar nafkah.
Nafkah adalah semua hajat dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian,dan rumah. Namun demikian, dalam syari’at Islam nafkah dibagi dalam dua bentuk yaitu nafkah lahir dan nafkah bathin. Nafkah lahir adalah nafkah yang diberikan kepada isteri berupa materi, sedangkan nafkah bathin adalah nafkah yang diberikan dalam bentuk non materi seperti kasih sayang.
Banyak belanja yang diwajibkan sekedar keperluan dan belanja serta mengingat keadaan kekuatan yang berkewajiban menurut adat suatu tempat keterangan atau alasannya adalah sebuah hadits, berhubungan dengan keadaan isteri Abu Sofyan seperti yang akan datang dengan mengingat firman Allah:
لينفق ذوسعة من سعته........ (الطلاق: ٧)
Artinya: Orang-orang yang mempunyai kemampuan hendaklah memberi nafkah menurut kemampuannya (Q. S. Thalaq: 7).
Al-Qur’an telah menegaskan kepada para suami untuk memberikan nafkah kepada isteri sesuai dengan kemampuannya. Hal ini ditegaskan karena pada dasarnya kemampuan seorang suami berbeda-beda. Bahkan seorang isteri tidak diperkenankan menuntut nafkah melebihi kemampuan suami. Namun demikian, seorang suami wajib memenuhi nafkah untuk isterinya sesuai dengan keadaan tempat dan waktu di mana mereka berada. Akan tetapi perlu juga diketahui, bahwa faktor yang menyebabkan wajib nafkah tersebut ada tiga macam, yaitu:
1. Dengan sebab keturunan; wajib atas bapak atau ibu kalau bapak tidak ada, memberikan nafkah kepada anaknya, begitu juga kepada cucu kalau dia tidak mempunyai bapak. Sesuai dengan hadits Rasulullah saw:
عن عائشة رضي الله عنها : أن هند بنت عتبه قالت يارسول الله صلى الله عليه وسلم؟ ان أبا سفيان رجل شيح : وليس يعطينى وولدى الا ما اخذت منه – وهو لا يعلم قال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف (رواه البخاري)[19]

Artinya: Aisyah ra menceritakan bahwa Hindun bin Uthbah bertanya, Ya Rasulullah saw! Sesungguhnya Abu Sofyan (suaminya) ialah seorang laki-laki yang kikir. Dia tidak memberi kepada saya dan anak saya kecuali bila saya ambil darinya sesuatu, tanpa sepengetahuannya, bagaimana itu? “jawab beliau, “ambil saja secukup bagimu dan anakmu dengan baik. (H. R. Bukhari).
Syarat wajibnya belanja atas dua ibu bapak kepada anak, apabila sianak masih kecil dan miskin, atau besar tetapi tidak kuat berusaha dan miskin pula. Sebaliknya, wajib atas anaknya memberikan nafkah kepada ibu bapaknya, apabila keduanya tidak kuat lagi berusaha dan tidak mempunyai harta. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT:
وصاحبهما فى الدنيا معروفا (لقمان : ١٥)
Artinya: Bergaullah dengan keduanya (ibu bapakmu) dalam dunia dengan sebaik-baiknya.(Q.S. Luqman :15)
Maksud bergaul dengan baik di sini adalah memperlakukan kedua orang tua dengan baik, bahkan di sini termasuk dengan menghormati keduanya, sehingga dengan demikian kedua orang tua akan menyayangi dan mengasihi anaknya.
2. Dengan sebab perkawinan; diwajibkan kepada suami memberikan nafkah kepada isterinya yang taat, baik makanan ataupun pakaian, maupun kediaman dan perkakas rumah tangga, dan lain-lain menurut tempat dan keadaan di tempat masing-masing dan tingkatan suami. Banyaknya menurut hajat dan adat yang berlaku di tempat masing-masing, dengan mengingat tingkatan dan keadaan yang sama dengan keadaan suami. Walaupun sebagian Ulama mengatakan nafkah isteri dengan kadar yang tertentu, tetapi yang mu’tamad tidak ditentukan hanya sekedar cukup serta mengingat keadaan suami. Keterangan hadits isteri Abu Sofyan yang telah lalu dan firman Allah SWT:
...ولهن مثل الذى عليهن بالمعروف ...(البقرة : ٢٢٨)
Artinya: …Hak nafkah isteri yang dapat diterimanya dari suaminya seimbang dengan kewajibannya terhadap suaminya itu dengan baik…(Q.S. Al-Baqarah: 228)
Nafkah seorang isteri harus sesuai dengan ketaatannya. Seorang isteri yang tidak taat (durhaka) kepada suaminya tidak berhak mengambil segala bentuk nafkahnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah saw sebagai berikut:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم: فاتقوا الله فى الناس  فانكم احذ تمهن بكلمة الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله ولكم عليهن الا يوطئن فرشكم احدا تكر هونه فان فعلن ذلك فاضربوهن ضربا غير مبرح ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف (رواه مسلم)[20]
Artinya: Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah mengenai wanita! Sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan kalimat Allah, jadi halal bagimu kemaluan mereka dengan menyebut nama Allah. Bagi atas mereka ada hak, yaitu jangan sampai ada seseorang yang kamu benci menginjak tikarmu, bila mereka melakukan demikian, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukainya! Bagi mereka atasmu ada hak, yaitu memberi rezeki atau menafkahi mereka dari pakaian yang baik (H. R. Muslim).

Hadits di atas memberikan gambaran, bahwa Rasullulah saw tidak memberikan ketentuan kadar yang pasti terhadap nafkah itu, hanya dengan kata-kata ma’ruf (pantas) yang berarti menurut keadaan suatu tempat dan disesuaikan dengan kemampuan suami serta kedudukannya dalam masyarakat.
3. Dengan sebab milik, yaitu binatang yang dimiliki oleh seseorang wajib atasnya memberi makan binatang, dan dia wajib menjaganya jangan sampai diberi beban lebih dari semestinya. Dalam hal ini Sabda Rasulullah saw menjelaskan dengan hadits:
عن ابن عمر رضى الله عنهما أن النبى صلى الله عليه وسلم قال عذبت أمراة فى هرة حبستها حتى ماتت (رواه البخارى)[21]
Artinya: Dari Ibnu Umar ra, bahwasanya Nabi Muhammad saw telah berkata: ”Telah disiksa seorang perempuan lantaran dia mengurung seekor kucing, tidak diberinya makan dan tidak pula diberinya minum, sehingga mati kucing itu (H.R. Bukhari).
Berdasarkan keterangan hadits di atas dapat dipahami, bahwa jangankan kepada seorang manusia khususnya isteri, kepada seekor binatangpun wajib diberi makan apabila menjadi binatang peliharaan, apalagi seorang isteri yang menjadi tulang punggung bagi kehidupan seorang laki-laki. Bahkan isteri juga sebagai pemelihara keturunan dari seorang laki-laki.
Dalam pembahasan skripsi ini penulis hanya menguraikan masalah kewajiban nafkah yang wajib ditanggung oleh seorang suami terhadap isterinya. Akan tetapi, pemberian nafkah itu dilakukan harus sesuai dengan kadar kemampuan suami. Kewajiban suami terhadap bekas isteri adalah:
1.   Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi si isteri.
2.   Biaya rumah tangga, perawatan, dan biaya pengobatan bagi anak dan isteri.
3.   Biaya pendidikan bagi anak.[22]
Namun dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab pada umumnya Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa pemberian nafkah itu ditentukan menurut kemampuan seorang suami. Sebab, pemberian nafkah tersebut sangat tergantung pada kemampuan materi suami. Jika seorang suami tergolong orang kaya, maka kewajiban nafkah yang wajib ditanggung akan besar pula. Demikian juga sebaliknya.[23] Akan tetapi, apabila dilihat realitas sekarang, maka kadar nafkah yang wajib ditanggung lebih besar jika dibandingkan dengan masa yang lalu. Hal tersebut dikarenakan perkembangan masa dan keadaan, yang pada masa lalu kebutuhan yang diperlukan lebih sedikit, sedangkan kebutuhan yang dibutuhkan masa sekarang lebih besar.
Jika pada masa lalu nafkah isteri ditentukan menurut kifarat, maka pada saat ini penentuan kadar nafkah ditentukan berdasarkan kebutuhan yang berlaku sekarang. Untuk saat ini, kebutuhan nafkah yang layak diterima oleh seorang isteri diukur dengan pendapat perkapita perbulan atau lebih tepatnya Rp. 500.000 perbulan. [24]
Berdasarkan keterangan di atas jelaslah, bahwa pembagian kadar nafkah yang wajib ditanggung sesuai dengan kemampuan suami. Hal ini jelas bahwa dari pengklasifikasian status sosial ini menandakan adanya perbedaan kemampuan dalam penghasilan suami, sehingga tanggungan nafkahpun disesuaikan dengan penghasilan yang mereka dapatkan.
Menurut Abul A’la al-Maududi bahwa kewajiban suami memberikan nafkah terhadap isteri karena Islam memberikan batasan tegas dalam hal mencakup tugas dan kewajiban suami isteri. Kewajiban isteri tinggal di rumah tangga “tinggallah di rumahmu” adalah perintah al-Qur’an terhadap kaum perempuan. Kewajiban suami adalah bekerja untuk menghidupi keluarga dan menyediakan kebutuhan hidupnya. Inilah faktor yang menyebabkan suami lebih tinggi dari isteri. Karena itu harus dipatuhi sepenuhnya dalam statusnya sebagai pelindung terhadap isteri. Dalam istilah bahasa disebut qawwam.[25]
Qawwam artinya seorang yang menjaga dan memelihara sesuatu dengan kebijaksanaan  memiliki kekuasaan atasnya. Ayat al-Qur’an merincikan ketinggian status laki-laki karena uangnya yang dibelanjakan dalam pembelanjaan termasuk mas kawin (mahar) ataupun biaya hidup. Jika suami lalai melaksanakan kewajiban ini, hukuman akan memaksanya untuk melakukan, dan jika menolak ketetapan hukum walaupun karena miskin, pengadilan akan menyelesaikan perkawinannya. Mengenai jumlah biaya hidup penilaiannya harus didasarkan pada kemampuan laki-laki bukan didasarkan pada tuntutan isteri. Sebab seseorang yang kemampuannya terbatas, pembayaran tidak dapat dilakukan diluar kemampuan itu, dan juga tidak dapat dalam arti apapun seseorang diharuskan membayar jumlah diluar kemampuan keuangannya.[26]
Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami, bahwa kadar nafkah yang wajib diberikan oleh suami tidak ditentukan, karena kewajiban nafkah sangat tergantung pada kemampuan suami. Akan tetapi jika suami tidak memberikan nafkah kepada isteri, maka pengadilan berhak memutuskan perkawinan mereka. Apalagi nafkah termasuk salah satu syarat suami berkuasa atas isteri.

D.  Kadar Nafkah Menurut Ulama Fiqh
Nafkah merupakan salah satu kewajiban suami yang harus diberikan kepada isterinya. Kewajiban nafkah tersebut dikarenakan adanya ikatan perkawinan yang dilakukan oleh dua orang yang tidak bertalian darah.[27] Oleh karena itu, Islam mewajibkan kepada suami untuk memberikan nafkah kepada isteri, sesuai dengan masa dan kondisi daerah di mana mereka berada.
Salah satu sebab diwajibkan memberi nafkah isteri bagi suami karena antara kedua suami isteri telah diwajibkan untuk memberikan hak dan kewajiban mereka masing-masing dalam hal mengabdikan diri selaku suami isteri. Nafkah yang wajib diberikan oleh suami terhadap isterinya adalah berupa bahan-bahan pokok yang berlaku di suatu daerah mereka tinggal.
Berkaitan dengan hal tersebut, Al-Ghifari dalam bukunya Hak dan Kewajiban Suami Isteri dijelaskan, bahwa memberikan nafkah kepada isteri merupakan salah satu kewajiban yang harus ditanggung oleh seorang suami.[28] Oleh karena itu, nafkah merupakan kebutuhan yang wajib dipenuhi seorang suami untuk memenuhi kebutuhan hidup isteri dan anak-anaknya.
Ulama sepakat bahwa perkawinan merupakan salah satu sebab yang mewajibkan pemberian nafkah. Kewajiban nafkah terhadap isteri ditetapkan nashnya dalam suatu Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 233 :
....وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف.....(البقرة: ٢٣٣)
Artinya : …dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf… (Al-Baqarah : 233)
Di samping itu ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam hadits:
عن جابر رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم فى الحديث الحج فى ذكر النساء قال : ولهن عليكم رزقهن وكسوهن بالمعروف (رواه مسلم)[29]

Artinya : Dan Jabir ra, Dari Nabi Muhammad saw dalam hadistnya menyebut mengenai wanita, beliau bersabda: hak bagi mereka (wanita), kewajiban atasmu (suami) memberi mereka makanan dan pakaian secara ma’ruf (H.R. Muslim).
Syariat Islam telah menetapkan, bahwa suami wajib memberikan nafkah kepada isteri yang dipilihnya dan ditetapkan nafkah yang merupakan salah satu hak isteri. Hukum memberikan nafkah kepada isteri adalah wajib atas suami karena suami berkuasa terhadap isteri manakala isteri menentukan dirinya untuk kepentingan suami disebabkan oleh ikatan perkawinan yang sah. Apabila suami tidak mau menanggung nafkah yang menjadi kewajiban, maka diperbolehkan kepada isteri untuk mengambil harta suami sekedar untuk mencukupi keperluan hidupnya.
Ketentuan dalam ayat dan hadits mengisyaratkan, bahwa memberi nafkah kepada isteri dan anak-anak merupakan salah satu kewajiban yang tidak boleh dilalaikan. Bahkan jika dilalaikan akan mendapatkan laknat dari Allah SWT. Kelalaian suami dapat memberikan kebebasan kepada isteri untuk mengambil harta suami walaupun hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun mengenai ketentuan kadar nafkah yang sebenarnya tidak pernah disebutkan, karena hal tersebut sangat berkaitan dengan kemampuan suami.
Para penganut mazhab Syafi’i memberikan batasan nafkah yang wajib ditanggung oleh suami, bahwa kadar nafkah itu telah ditentukan berdasarkan syara’, sehingga suami-isteri dapat memenuhi kewajiban nafkah tersebut berdasarkan ketentuan yang telah disepakati oleh masing-masing suami isteri. Penentuan nafkah tersebut akan berbeda-beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu dan keadaan. Namun pada umumnya menurut Imam Syafi’i mengatakan bahwa nafkah itu ditentukan atas orang kaya 2 mud,[30] atas orang yang sedang 1 1/2 mud dan orang yang miskin 1 mud.[31]
Pendapat ini disesuaikan dengan pemberian makan dalam kifarat atau dengan pemberian pakaian.[32] Demikian pula para fuqaha telah sepakat pemberian pakaian itu tidak jelas batasnya, sedangkan pemberian makanan ada batasnya.[33]
Dalam kitab Al-Majmu’ syarh Al-Muhazzab telah terjadi kontradiksi dalam penetapan kadar nafkah yang mesti dipenuhi oleh suami, karena hal tersebut penyesuaian menurut kondisi daerah dan waktu pada saat suami isteri itu hidup berumah tangga. Dengan kenyataan kondisi demikian akan memberikan batasan nafkah yang wajib dipikul oleh suami.[34] Apalagi jika, dibandingkan keadaan antara satu masa dengan masa berikutnya, tentu akan sangat berbeda kadar nafkah yang mesti dipenuhi oleh seorang suami.



[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 605.

[2] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jil. IV, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 1281.
[3] Hassan Shadly, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1983, hlm. 1013.

[4] Imam Syafi’i, Al-Um, Beirut: Wasirkah al-Babi al-Halabi, t.t., hlm. 388.
[5] HAMKA, Tafsir al-Azhar, Jil. I, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1977, hlm. 65.

[6] Imam Muslim, Shahih Muslim, Beirut Libanon: Dar al-Fikri, 1967, hlm. 378.

[7] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Beirut Libanon: Dar al-Kutub, t.t., hlm. 336.
[8] Ibid., hlm. 232

[9] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terj. Kahar Masyhur, Jakarta: Kalam Mulia, 1990, hlm. 93.

[10] Abdurrahman, Nikah dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 56.

[11] Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, Terj. KH. Ali Yafie, Jil. III, Bandung: al-Ma’arif, 1990, hlm. 88.

[12]Ibid., hlm. 89.
[13] M. Thalib, 40 Tanggung Jawab Suami terhadap Isteri, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1995, hlm. 21.

[14] Imam Nawawi, Syarh Majmu’ Muhazzab, Jil. XVIII, Beirut Libanon: Dar al-Fikri, t.t., hlm. 176.

            [15] M. Thalib, Op. cit., hlm. 21-22.
[16] Utang nafkah bathin sebaiknya dibayar dengan jalan melakukan perbaikan diri dan perbaikan sikap kepada isteri, sehingga isteri siap memaafkan suaminya dan siap memberikan pelayanan kepada suaminya dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan. Sedangkan nafkah lahir adalah berupa pemberian biaya dan keperluan hidup yang wajar dalam bentuk pangan, sandang, papan dan kesehatan. Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah dan Keluarga, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, hlm. 82.

[17] Ibid., hlm. 83.
[18]Hasbi ash-Shiddieqy, al-Islam II, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 316.

[19] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Beirut Libanon: Dar al-Kutub, t.t., hlm. 336.

[20] Imam Muslim, Shahih Muslim, Beirut Libanon: Dar al-Fikri, 1967, hlm. 378.
[21] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Beirut Libanon: Dar al-Kutub, t.t., hlm. 224

[22]Hasbi ash-Shiddieqy, Op. cit., hlm. 317.

[23] Abu Zakaria Mahyiddin bin Syarah an-An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, Beirut Libanon: Dar al-Fikri, t.t., hlm. 321.

[24]Yusuf Qardhawi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Terj. Abdul Hayyie al-Katanie, Jakarta: Gema Insani Press, 1993, hlm. 121.
[25] Abu A’la al-Maududi, Kawin dan Cerai Menurut Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 27.

[26] Ibid., hlm. 28.
[27] Al-Ghifari, Kupinang Engkau Secara Islami, Jakarta: Al-Mujahid, 2000, hal. 163.

[28] Al-Ghifari, Hak dan Kewajiban Suami Isteri, Jakarta: al-Mujahid, 2002, hal. 95.

[29]Imam Muslim, Shahih Muslim, Kaherah Darul Ihya al-Kitab, hlm. 1120
[30] Menurut keterangan para fuqaha ukuran isi 1 mud sebanyak 6 ons beras atau gandum. Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. Abdul Hayyie al-Katanie, Semarang: Asy-Syifa’, t.t., hal. 461.

[31] Ibid., hal. 462.

[32] Ahmad Rafiq, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997, hal. 186.

[33] Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Jilid II, Jakarta : Bulan Bintang,1990, hal. 115.
[34] Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, Juz. XVIII, Beirut Libanon: Dar Al-Fikri, t.t., hal. 88