BAB DUA
NAFKAH DALAM MASA
IDDAH
A.
Pengertian Nafkah dan Dasar
Hukumnya
Nafkah merupakan salah satu
kewajiban yang dibebankan oleh Allah SWT kepada suami. Nafkah menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan belanja untuk hidup; (uang) pendapatan;
belanja yang diberikan kepada isteri, atau rezeki; bekal hidup sehari-hari.[1]
Dari keterangan tersebut, maka nafkah diartikan dengan belanja hidup yang
diberikan oleh suami kepada isterinya.
Pengertian ini sangat berbeda dengan
pengertian yang diberikan Abdul Aziz Dahlan, bahwa nafkah adalah “pengeluaran
yang dapat digunakan seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk
orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.”[2]
Berdasarkan kedua kutipan di atas,
dapat diambil suatu pemahaman, bahwa pengertian nafkah berbeda menurut letak
tempat. Jika letak tempatnya berada dalam sebuah keluarga, maka pengertian
nafkah dapat diberikan biaya hidup yang menjadi tanggungan suami terhadap
isterinya. Akan tetapi, jika letaknya pada tempat yang umum, maka pengertian
yang diberikan pengeluaran yang digunakan seseorang untuk keperluan yang baik.
Namun, apabila dilihat dari pengertian
menurut Hasan Shadly, nafkah adalah “pemberian yang diberikan seorang suami
kepada seorang isteri dan anak-anaknya sebagai tanggung jawab dalam keluarga.”[3]
Akan tetapi, Imam Syafi’i sendiri memberikan pengertian adalah “pemberian wajib
yang mesti diberikan oleh suami kepada isteri dan anak-anaknya baik berupa
makanan, pakaian dan perumahan.”[4]
Jadi, nafkah adalah mencakup
kebutuhan isteri berupa makanan, tempat tinggal, pakaian dan obat-obatan,
walaupun isteri tersebut orang kaya. Hal ini diwajibkan berdasarkan Al-Qur’an,
As-Sunnah dan ijma’ ulama.
Dasar hukum berdasarkan ayat Al-Qur’an
termaktub dalam surat
Al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut:
والولدات يرضعن أولادهن حولين كاملين لمن أراد أن يتم الرضاعة وعلى المولود له
رزقهن وكسوتهن بالمعروف لا تكلف نفس إلا وسعها لا تضار والدة بولدها ولا مولود له
بولده وعلى الوارث مثل ذلك فإن أرادا فصالا عن تراض منهما وَتَشَاوُرٍ فلا جناح عليهما وإن أردتم أن تسترضعوا أولادكم فلا جناح عليكم إذا سلمتم ما
ءاتيتم بالمعروف, واتقوا الله
واعلموا أن الله بما تعملون بصير (البقرة:٢٣٣)
Artinya:
Para Ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang ma’ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kesanggupannya. Janganlah seorang
ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya,
dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum
dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa
atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak
ada dosa bagimu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
(Al-Baqarah: 233)
Dalam ayat ada kata المولودله adalah suami atau bapak anak. Sedangkan yang
dimaksud dengan وزقهن dalam hal ini adalah makan yang memadai. Dan
kata كسوتهن ialah pakaian. Dan yang dimaksud dengan بالمعروف ialah saling berkenalan baik sesuai dengan
ketentuan syara’, tanpa sangat berlebihan dan tanpa sangat berkekurangan
sekali.[5]
Dalam firman Allah SWT yang lain
dijelaskan sebagai berikut:
أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم ولا تضاروهن لتضيقوا عليهن
وإن كن أولات حمل فأنفقوا عليهن حتى يضعن حملهن فإن أرضعن لكم فآتوهن أجورهن
وأتمروا بينكم بمعروف وإن تعاسرتم فسترضع له أخرى، لينفق ذوسعة من سعته, ومن قدر
عليه رزقه فلينفق مماءاته الله, لايكلف الله نفسا الا ماءاتها, سيجعل الله بعد عسر
يسرى (الطلاق: ٦- ٧)
Artinya:
Tempatkanlah mereka (para isterimu) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika
menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan
musyawarahlah diantara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui
kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. “Hendaklah
orang yang memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan
rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak memikul beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah
diberikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
(Q. S. ath-Thalaq: 6 - 7)
Dari keterangan ayat al-Qur’an di atas
mendeskripsikan, bahwa memberikan nafkah kepada isteri oleh suami tidak perlu
dipertanyakan lagi tentang ketetapan hukumnya. Akan tetapi, dalam memberikan
nafkah kepada isteri hukum syara’ tidak ditentukan batas yang harus dipenuhi
oleh suami, karena dalam al-Qur’an hanya ditetapkan sekedar menurut kemampuan
suami dalam memenuhi nafkah isterinya.
Dasar hukum berdasarkan hadits
Rasulullah saw, adalah sebagai berikut:
عن أبى هريرة رضى الله عنه : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم: قال فى حجة
الوداع : فانقواالله فى الناس فإنكم أخذ تموهن بكلمة الله واستحللتم فروجهن بكلمة
الله ولكم عليهن الا يوطئن فرشكم احدا تكر هو فإن فعلن ذالك فضربوهن ضرب غير مبرح
ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف (رواه مسلم)[6]
Artinya:
Dari Abi Hurairah ra: sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: pada waktu beliau
melakukan haji terakhir (haji wada’), “Hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah
mengenai wanita! Sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan kalimat Allah,
jadi halal bagimu kemaluan mereka dengan menyebut nama Allah. Bagimu atas
mereka ada hak, yaitu jangan sampai ada seseorang yang kamu benci menginjak
tikarmu, bila mereka melakukan demikian, maka pukullah mereka dengan pukulan
yang tidak melukainya! Bagi mereka atasmu ada hak, yaitu memberi rezeki atau
menafkahi mereka dari pakaian yang baik (H. R. Muslim).
Sementara itu dalam
hadits yang lain disebutkan sebagai berikut:
عن
عائشة رضي الله عنها : أن هندا بنت عتبه قالت يارسول الله صلى الله عليه وسلم ان
أبا سفيان رجل شيخ : وليس يعطينى وولدى الا ما اخذت منه – وهو لا يعلم قال خذي ما
يكفيك وولدك بالمعروف (رواه البخاري)[7]
Artinya:
Aisyah ra menceritakan bahwa Hindun bin Uthbah bertanya, Ya Rasulullah saw sesungguhnya
Abu Sofyan (suaminya) ialah seorang laki-laki yang kikir. dia tidak memberi
kepada saya dan anak saya kecuali bila saya ambil darinya sesuatu, tanpa
sepengetahuannya, bagaimana itu? “jawab beliau, “ambil saja secukupnya bagimu
dan anakmu dengan baik. (H. R. Bukhari).
عن
معاوية القشير رضي الله عنه قال : قلت يارسول الله صلى الله عليه وسلم! ما حق زوجة
احدنا عليه ...؟ قال تطعمها اذا طعمت زتكوها اذا التسيت ولا فضرب الوجه, ولا تقبع
ولا تهجر الا فر البيت (رواه البخاري)[8]
Artinya:
Muawwiyah Qusyairi ra menceritakan bahwa dia pernah menanyakan kepada
Rasulullah saw., “Ya Rasulullah saw. Apakah hak isteri salah seorang kami
atasnya? “jawab beliau,” engkau memberikan makanan, bila engkau makan pula,
engkau berikan pakaian, bila engkau berpakaian, juga engkau pukul (bila harus
diajar dengan tangan) makanya, jangan engkau jelekkan/burukkan dia, dan jangan
engkau hindarkan dari tempat tinggal engkau, kecuali dalam rumah engkau juga
(jangan dipamerkan keluar rumah). (H. R. Bukhari).
Dari ilustrasi hadits di atas
maka dapat dipahami, bahwa kewajiban memberikan nafkah kepada isteri oleh suami
tidak saja dilakukan secara terang-terangan, melainkan secara
sembunyi-sembunyi. Artinya apabila suami tidak memberikan nafkah, maka isteri
berhak mengambil harta tanpa sepengetahuan suaminya untuk keperluan hidup
dengan sekadar secukupnya. Di sisi lain, kewajiban memberikan nafkah tidak saja
dilakukan pada waktu-waktu biasa, melainkan ketika isteri menyeleweng dan
mendapatkan sanksi dari suami, tetap wajib menerima biaya hidup dari suaminya.
Semua ulama fiqh sependapat,
bahwa wajib menafkahi isteri oleh semua suami, bila semua isteri telah baligh,
kecuali bila isteri durhaka kepadanya. Di
antaranya
Ibnu Mundzir terdapat pemahaman, bahwa isteri yang durhaka boleh ditahan di
rumah, sehingga dia tidak boleh berbuat bebas dan tidak dapat pergi berusaha,
tapi wajib dibiayai.[9]
Berdasarkan
keterangan yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami, bahwa persoalan
kewajiban memberikan nafkah kepada isteri, memang tidak dapat ditolerir lagi,
karena terdapat ketentuan hukum yang dapat diganggu gugat. Artinya penetapan
hukum tentang wajib nafkah sudah tidak perlu dipungkiri oleh khalayak ramai,
sehingga siapapun yang hendak membina rumah tangga, salah satu persyaratan yang
harus dipersiapkan adalah mampu memenuhi nafkah kepada isterinya.
B. Kewajiban
Nafkah dalam Masa Iddah Terhadap Bekas Isteri
Nafkah (biaya hidup) merupakan
hak isteri dan anak-anak dalam hal makanan, pakaian dan kediaman, serta
beberapa kebutuhan pokok lainnya dan bahkan pengobatan sekalipun si isteri
termasuk seorang wanita yang kaya. Nafkah dalam bentuk ini wajib hukumnya
berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang telah disebutkan.
Namun demikian,
bila kedua pasangan telah sama-sama dewasa, maka merupakan kewajiban sang
suami, bahkan siisteri seperti terjadi di beberapa negara barat pada saat telah
mewajibkan untuk memberikan makanan, pakaian dan kediaman bagi isteri dan
anak-anaknya sesuai dengan tingkat kedudukan sosial pasangan tersebut selaras
dengan adat kebiasaan masyarakat di tempat mereka tinggal.[10]
Mengenai hal
tersebut, beberapa ulama telah memberikan perincian tentang masalah penting
yang harus diberikan sebagai nafkah pada masa ketika menuliskannya. Hal ini
dapat disesuaikan dengan kebutuhan masa kini agar selaras dengan keadaan negeri
dan standar kehidupan mereka. Nafkah merupakan tanggung jawab seorang ayah
terhadap putera-puterinya sampai mereka menikah, dan putera sampai berusia
puber. Begitu pula setiap muslim menafkahi orang tuanya serta kakek neneknya
kalau dia mampu melakukan hal itu. Seandainya memungkinkan dan seseorang
memiliki harta, maka dia sepatutnya memperhatikan berbagai kebutuhan, bahkan
tiap kaum kerabatnya yang muslim. Menurut Mazhab Hanafi, setiap keluarga sampai
pada derajat atau tingkat tertentu berhak untuk dinafkahi, seandainya dia masih
kanak-kanak dan miskin, lemah dan buta serta melarat, atau kalau dia seorang
perempuan yang sudah berkeluarga yang masih anak-anak atau sudah dewasa.[11]
Bila si isteri
masih kecil, dia akan dinafkahi oleh ayah atau walinya sebagai yang telah
dijelaskan sbelumnya. Rasulullah saw menikahi Aisyah dua tahun ia mencapai usia
dewasa dan selama waktu itu beliau tidak memberikan nafkah. Tetapi bila
siisteri belum puber namun telah berkumpul dengan suaminya, menurut mazhab
Malik dan Syafi’I, bahwa suami tidak wajib memberi nafkah kepada isteri.
Namun demikian,
Qadhi Abu Yusuf, salah seorang ulama Syafi’iyah menyampaikan kalau isteri masih
kecil dan suaminya menerima tinggal di rumahnya, maka suami wajib menafkahi,
tetapi bila ia tidak datang kerumahnya, maka suami tidak wajib melakukan hal
itu. Namun Imam Abu Nawawi sendiri bersama muridnya, Imam Muhammad mengikuti
mazhab Syafi’i sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.[12]
Oleh karena itu,
agama mewajibkan suami menafkahi isterinya, karena dengan adanya ikatan
perkawinan yang sah, maka seorang isteri hanya terikat kepada suaminya dan
menjadi tanggungannya, karena itu ia berhak menikmati secara terus menerus.
Isteri wajib taat kepada suaminya, tinggal di rumahnya, mengatur rumah
tangganya, memelihara dan mendidik anak-anaknya. Sebaliknya, suami berkewajiban
memenuhi kebutuhannya dan memberikan belanja kepadanya selama ikatan suami
isteri masih berjalan dan isteri tidak durhaka atau karena hal-hal lain yang
menghalangi penerimaan belanja. Hal ini berdasarkan kaidah umum, yaitu: “setiap
orang yang menahan hak orang lain atau kemanfaatannya bertanggung jawab
membelanjainya.”[13]
Mengenai kewajiban
memberi nafkah tersebut, Imam Nawawi berpendapat bahwa menafkahkan isteri
merupakan kewajiban yang mesti diberikan oleh seorang suami kepada isteri yang
apabila suami tidak memberikannya isteri berhak mengambilnya dengan cara paksa.[14]
Berdasarkan
keterangan tersebut dapat diketahui, bahwa kewajiban seorang suami memberikan
nafkah kepada isteri memang sangat tegas pembebanannya, sebab hal itu perlu
ditegaskan karena isteri mempunyai kewajiban yang mutlak dalam mengabdikan diri
kepada suaminya. Namun demikian, isteri mempunyai persyaratan tertentu agar
dapat menerima belanja dari suaminya, di antaranya adalah:
1.
Ikatan perkawinannya sah.
2.
Menyerahkan diri kepada
suaminya.
3.
Suaminya dapat menikmati
dirinya.
4.
Menyetujui apabila diajak
pindah ketempat yang dikehendaki oleh suami, kecuali keadaan yang membahayakan
dirinya.
5.
Keduanya dapat saling
menikmati.[15]
Jika salah satu
dari syarat-syarat ini tidak dipenuhi, maka ia tidak wajib diberi belanja,
karena jika ikatan perkawinannya tidak sah, bahkan batal, maka wajiblah suami
isteri diceraikan guna mencegah timbulnya bencana yang tidak dikehendaki. Namun
demikian, nafkah yang wajib diberikan suami kepada isteri berupa nafkah lahir
dan nafkah bathin. Nafkah tersebut wajib dilaksanakan dan akan menjadi utang
kalau tidak dilaksanakan dengan sengaja.[16]
Kalau suaminya tidak memberikan nafkah tersebut, maka ia berstatus sebagai seorang
yang mempunyai utang kepada isterinya. Setiap utang mesti dibayar, baik utang
itu kepada isteri, suami, anak-anak maupun kepada pihak lain. Utang tersebut
baru menjadi bebas, kalau dibebaskan oleh orang yang bersangkutan.[17]
Berdasarkan kutipan
di atas dapat, dipahami bahwa nafkah merupakan suatu hal yang wajib diberikan
oleh bekas suaminya. Bahkan jika suami tidak memberikan nafkah kepada isteri,
maka nafkah yang tidak diberikan oleh suami termasuk hutang yang wajib dibayar.
Oleh karenanya, Islam mensyari’atkan bahwa seorang isteri yang tidak
mendapatkan nafkah dari suaminya wajib mengambil nafkah dari harta suami
secukupnya.
C. Bentuk-Bentuk
Nafkah yang Wajib Dipenuhi
Nafkah merupakan salah satu bentuk tanggung jawab yang
diberikan Allah kepada seorang suami. Tanggung jawab ini dibebankan karena
suami telah mengikat seorang wanita sebagai isteri dengan sebuah ikatan yang
disebut dengan pernikahan. Karena hal itulah, maka isteri berhak menerima
pemberian suami dalam bentuk pangan, sandang, papan dan pakaian.
Nafkah pakaian wajib diterima oleh seorang isteri dari
suami, karena pakaian merupakan salah perlengkapan untuk menutup aurat isteri.
Di sisi lain, suami diwajibkan memberikan nafkah kepada isteri berupa perumahan
sebagai sarana untuk berlindung dari terik matahari dan hujan. Demikian juga
diwajibkan kepada suami untuk memberikan kebutuhan makanan kepada isteri,
karena makanan merupakan kebutuhan pokok dalam menjalani kehidupan ini.
Kewajiban memberikan nafkah kepada isteri ditegaskan dalam
firman Allah surat
ath-Thalaq ayat 7 sebagai berikut:
لينفق ذوسعة من سعته, ومن قدر عليه رزقه فلينفق مماءاته الله, لايكلف الله
نفسا الا ماءاتها, سيجعل الله بعد عسر يسرى (الطلاق: ٧)
Artinya: Hendaklah orang yang memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari
harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikul beban kepada
seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah diberikan kepadanya. Allah kelak
akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (Q. S. ath-Thalaq: 7).
Firman Allah di atas membuktikan, bahwa seorang laki-laki
yang telah mengikat seorang wanita dengan aqad nikah, maka wajib memberikan
segala keperluan nafkahnya. Namun demikian, pemberian nafkah harus disesuaikan
dengan kemampuan suami. Bahkan menurut ketentuan hukum Islam, seorang isteri
dibolehkan mengambil harta suami, bila isteri tidak diberikan nafkahnya.
Sebenarnya kewajiban memberi nafkah ini sudah ada sejak
masa sebelum Islam berkembang, tetapi hal ini tidak pernah diterangkan secara
tegas, karena pada masa itu manusia masih labil dalam menganut ajaran
syari’atnya, sehingga perintah untuk memberikan nafkah kepada isteri tidak
dibebankan secara tegas.[18]
Dalam perintah memberikan nafkah kepada isteri tidak
terjadi perbedaan dalam setiap mazhab, karena mereka berpedoman secara langsung
kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Apalagi para imam mazhab berpedoman pada ayat
dan hadits yang sama, sehingga tidak terjadi perbedaan pandangan dalam
menentukan jumlah kadar nafkah.
Nafkah adalah semua hajat dan keperluan yang berlaku
menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian,dan rumah. Namun
demikian, dalam syari’at Islam nafkah dibagi dalam dua bentuk yaitu nafkah
lahir dan nafkah bathin. Nafkah lahir adalah nafkah yang diberikan kepada
isteri berupa materi, sedangkan nafkah bathin adalah nafkah yang diberikan
dalam bentuk non materi seperti kasih sayang.
Banyak belanja yang diwajibkan sekedar keperluan dan
belanja serta mengingat keadaan kekuatan yang berkewajiban menurut adat suatu
tempat keterangan atau alasannya adalah sebuah hadits, berhubungan dengan
keadaan isteri Abu Sofyan seperti yang akan datang dengan mengingat firman
Allah:
لينفق ذوسعة من سعته........ (الطلاق: ٧)
Artinya: Orang-orang yang mempunyai kemampuan hendaklah
memberi nafkah menurut kemampuannya (Q. S. Thalaq: 7).
Al-Qur’an telah menegaskan kepada para suami untuk memberikan
nafkah kepada isteri sesuai dengan kemampuannya. Hal ini ditegaskan karena pada
dasarnya kemampuan seorang suami berbeda-beda. Bahkan seorang isteri tidak
diperkenankan menuntut nafkah melebihi kemampuan suami. Namun demikian, seorang
suami wajib memenuhi nafkah untuk isterinya sesuai dengan keadaan tempat dan
waktu di mana mereka berada. Akan tetapi perlu juga diketahui, bahwa faktor yang
menyebabkan wajib nafkah tersebut ada tiga macam, yaitu:
1. Dengan sebab keturunan; wajib atas bapak atau ibu kalau
bapak tidak ada, memberikan nafkah kepada anaknya, begitu juga kepada cucu
kalau dia tidak mempunyai bapak. Sesuai dengan hadits Rasulullah saw:
عن عائشة رضي الله عنها : أن هند بنت عتبه قالت يارسول الله صلى الله عليه
وسلم؟ ان أبا سفيان رجل شيح : وليس يعطينى وولدى الا ما اخذت منه – وهو لا يعلم
قال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف (رواه البخاري)[19]
Artinya: Aisyah ra
menceritakan bahwa Hindun bin Uthbah bertanya, Ya Rasulullah saw! Sesungguhnya
Abu Sofyan (suaminya) ialah seorang laki-laki yang kikir. Dia tidak memberi
kepada saya dan anak saya kecuali bila saya
ambil darinya sesuatu, tanpa sepengetahuannya, bagaimana itu? “jawab beliau, “ambil saja secukup bagimu dan anakmu
dengan baik. (H. R. Bukhari).
Syarat wajibnya belanja atas dua ibu bapak kepada anak,
apabila sianak masih kecil dan miskin, atau besar tetapi tidak kuat berusaha
dan miskin pula. Sebaliknya, wajib atas anaknya memberikan
nafkah kepada ibu bapaknya, apabila keduanya tidak kuat lagi berusaha dan tidak
mempunyai harta. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT:
وصاحبهما فى الدنيا معروفا (لقمان : ١٥)
Artinya: Bergaullah dengan
keduanya (ibu bapakmu) dalam dunia dengan sebaik-baiknya.(Q.S. Luqman :15)
Maksud bergaul dengan baik di
sini adalah memperlakukan kedua orang tua dengan baik, bahkan di sini termasuk
dengan menghormati keduanya, sehingga dengan demikian kedua orang tua akan
menyayangi dan mengasihi anaknya.
2. Dengan sebab perkawinan; diwajibkan kepada suami
memberikan nafkah kepada isterinya yang taat, baik makanan ataupun pakaian,
maupun kediaman dan perkakas rumah tangga, dan lain-lain menurut tempat dan
keadaan di tempat masing-masing dan tingkatan suami. Banyaknya menurut hajat
dan adat yang berlaku di tempat masing-masing, dengan mengingat tingkatan dan
keadaan yang sama dengan keadaan suami. Walaupun sebagian Ulama mengatakan
nafkah isteri dengan kadar yang tertentu, tetapi yang mu’tamad tidak ditentukan
hanya sekedar cukup serta mengingat keadaan suami. Keterangan hadits isteri Abu
Sofyan yang telah lalu dan firman Allah SWT:
...ولهن مثل الذى عليهن بالمعروف
...(البقرة : ٢٢٨)
Artinya: …Hak
nafkah isteri yang dapat diterimanya dari suaminya seimbang dengan kewajibannya
terhadap suaminya itu dengan baik…(Q.S. Al-Baqarah: 228)
Nafkah seorang isteri harus sesuai dengan ketaatannya.
Seorang isteri yang tidak taat (durhaka) kepada suaminya tidak berhak mengambil
segala bentuk nafkahnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah saw sebagai
berikut:
أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم: فاتقوا الله فى الناس
فانكم احذ تمهن بكلمة الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله ولكم عليهن الا
يوطئن فرشكم احدا تكر هونه فان فعلن ذلك فاضربوهن ضربا غير مبرح ولهن عليكم رزقهن
وكسوتهن بالمعروف (رواه مسلم)[20]
Artinya: Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Hendaklah
kamu bertaqwa kepada Allah mengenai wanita! Sesungguhnya kamu telah mengambil
mereka dengan kalimat Allah, jadi halal bagimu kemaluan mereka dengan menyebut
nama Allah. Bagi atas mereka ada hak, yaitu jangan sampai ada seseorang yang
kamu benci menginjak tikarmu, bila mereka melakukan demikian, maka pukullah
mereka dengan pukulan yang tidak melukainya! Bagi mereka atasmu ada hak, yaitu
memberi rezeki atau menafkahi mereka dari pakaian yang baik (H. R. Muslim).
Hadits di atas memberikan gambaran, bahwa Rasullulah saw
tidak memberikan ketentuan kadar yang pasti terhadap nafkah itu, hanya dengan
kata-kata ma’ruf (pantas) yang berarti menurut keadaan suatu tempat dan
disesuaikan dengan kemampuan suami serta kedudukannya dalam masyarakat.
3.
Dengan sebab milik, yaitu binatang yang dimiliki oleh seseorang wajib atasnya
memberi makan binatang, dan dia wajib menjaganya jangan sampai diberi beban
lebih dari semestinya. Dalam hal ini Sabda Rasulullah saw menjelaskan dengan
hadits:
عن ابن عمر رضى الله عنهما أن النبى صلى الله عليه وسلم قال
عذبت أمراة فى هرة حبستها حتى ماتت (رواه البخارى)[21]
Artinya: Dari Ibnu Umar ra, bahwasanya Nabi Muhammad saw
telah berkata: ”Telah disiksa seorang perempuan lantaran dia mengurung seekor
kucing, tidak diberinya makan dan tidak pula diberinya minum, sehingga mati
kucing itu (H.R. Bukhari).
Berdasarkan keterangan hadits di atas dapat dipahami,
bahwa jangankan kepada seorang manusia khususnya isteri, kepada seekor
binatangpun wajib diberi makan apabila menjadi binatang peliharaan, apalagi
seorang isteri yang menjadi tulang punggung bagi kehidupan seorang laki-laki.
Bahkan isteri juga sebagai pemelihara keturunan dari seorang laki-laki.
Dalam pembahasan skripsi ini penulis hanya menguraikan
masalah kewajiban nafkah yang wajib ditanggung oleh seorang suami terhadap
isterinya. Akan tetapi, pemberian nafkah itu dilakukan harus sesuai dengan
kadar kemampuan suami. Kewajiban suami terhadap bekas isteri adalah:
1.
Nafkah,
kiswah, dan tempat kediaman bagi si isteri.
2.
Biaya
rumah tangga, perawatan, dan biaya pengobatan bagi anak dan isteri.
3.
Biaya
pendidikan bagi anak.[22]
Namun dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab pada umumnya
Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa pemberian nafkah itu ditentukan menurut
kemampuan seorang suami. Sebab,
pemberian nafkah tersebut sangat tergantung pada kemampuan materi suami. Jika seorang suami tergolong orang
kaya, maka kewajiban nafkah yang wajib ditanggung akan besar pula. Demikian
juga sebaliknya.[23] Akan
tetapi, apabila dilihat realitas sekarang, maka kadar nafkah yang wajib
ditanggung lebih besar jika dibandingkan dengan masa yang lalu. Hal tersebut
dikarenakan perkembangan masa dan keadaan, yang pada masa lalu kebutuhan yang
diperlukan lebih sedikit, sedangkan kebutuhan yang dibutuhkan masa sekarang
lebih besar.
Jika pada masa lalu nafkah isteri ditentukan menurut
kifarat, maka pada saat ini penentuan kadar nafkah ditentukan berdasarkan
kebutuhan yang berlaku sekarang. Untuk saat ini, kebutuhan nafkah yang layak
diterima oleh seorang isteri diukur dengan pendapat perkapita perbulan atau
lebih tepatnya Rp. 500.000 perbulan. [24]
Berdasarkan keterangan di atas jelaslah, bahwa pembagian
kadar nafkah yang wajib ditanggung sesuai dengan kemampuan suami. Hal ini jelas
bahwa dari pengklasifikasian status sosial ini menandakan adanya perbedaan
kemampuan dalam penghasilan suami, sehingga tanggungan nafkahpun disesuaikan
dengan penghasilan yang mereka dapatkan.
Menurut Abul A’la al-Maududi bahwa kewajiban suami
memberikan nafkah terhadap isteri karena Islam memberikan batasan tegas dalam
hal mencakup tugas dan kewajiban suami isteri. Kewajiban isteri tinggal di rumah
tangga “tinggallah di rumahmu” adalah perintah al-Qur’an terhadap kaum
perempuan. Kewajiban suami adalah bekerja untuk menghidupi keluarga dan menyediakan
kebutuhan hidupnya. Inilah faktor yang menyebabkan suami lebih tinggi dari
isteri. Karena itu harus dipatuhi sepenuhnya dalam statusnya sebagai pelindung
terhadap isteri. Dalam istilah bahasa disebut qawwam.[25]
Qawwam artinya seorang yang menjaga dan memelihara sesuatu
dengan kebijaksanaan memiliki kekuasaan
atasnya. Ayat al-Qur’an merincikan ketinggian status laki-laki karena uangnya
yang dibelanjakan dalam pembelanjaan termasuk mas kawin (mahar) ataupun biaya
hidup. Jika suami lalai melaksanakan kewajiban ini, hukuman akan memaksanya
untuk melakukan, dan jika menolak ketetapan hukum walaupun karena miskin,
pengadilan akan menyelesaikan perkawinannya. Mengenai jumlah biaya hidup
penilaiannya harus didasarkan pada kemampuan laki-laki bukan didasarkan pada
tuntutan isteri. Sebab seseorang yang kemampuannya terbatas, pembayaran tidak
dapat dilakukan diluar kemampuan itu, dan juga tidak dapat dalam arti apapun
seseorang diharuskan membayar jumlah diluar kemampuan keuangannya.[26]
Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami, bahwa kadar
nafkah yang wajib diberikan oleh suami tidak ditentukan, karena kewajiban
nafkah sangat tergantung pada kemampuan suami. Akan tetapi jika suami tidak
memberikan nafkah kepada isteri, maka pengadilan berhak memutuskan perkawinan
mereka. Apalagi nafkah termasuk salah satu syarat suami berkuasa atas isteri.
D. Kadar
Nafkah Menurut Ulama Fiqh
Nafkah
merupakan salah satu kewajiban suami yang harus diberikan kepada isterinya.
Kewajiban nafkah tersebut dikarenakan adanya ikatan perkawinan yang dilakukan
oleh dua orang yang tidak bertalian darah.[27]
Oleh karena itu, Islam mewajibkan kepada suami untuk memberikan nafkah kepada
isteri, sesuai dengan masa dan kondisi daerah di mana mereka berada.
Salah
satu sebab diwajibkan memberi nafkah isteri bagi suami karena antara kedua
suami isteri telah diwajibkan untuk memberikan hak dan kewajiban mereka
masing-masing dalam hal mengabdikan diri selaku suami isteri. Nafkah yang wajib
diberikan oleh suami terhadap isterinya adalah berupa bahan-bahan pokok yang
berlaku di suatu daerah mereka tinggal.
Berkaitan
dengan hal tersebut, Al-Ghifari dalam bukunya Hak dan Kewajiban Suami Isteri dijelaskan,
bahwa memberikan nafkah kepada isteri merupakan salah satu kewajiban yang harus
ditanggung oleh seorang suami.[28]
Oleh karena itu, nafkah merupakan kebutuhan yang wajib dipenuhi seorang suami
untuk memenuhi kebutuhan hidup isteri dan anak-anaknya.
Ulama
sepakat bahwa perkawinan merupakan salah satu sebab yang mewajibkan pemberian
nafkah. Kewajiban nafkah terhadap isteri ditetapkan nashnya dalam suatu Firman
Allah SWT dalam surat
Al-Baqarah ayat 233 :
....وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن
بالمعروف.....(البقرة: ٢٣٣)
Artinya
: …dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
yang ma’ruf… (Al-Baqarah : 233)
Di
samping itu ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam hadits:
عن جابر رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم فى
الحديث الحج فى ذكر النساء قال : ولهن عليكم رزقهن وكسوهن بالمعروف (رواه مسلم)[29]
Artinya
: Dan Jabir ra, Dari Nabi Muhammad saw dalam hadistnya menyebut mengenai
wanita, beliau bersabda: hak bagi mereka (wanita), kewajiban atasmu (suami)
memberi mereka makanan dan pakaian secara ma’ruf (H.R. Muslim).
Syariat
Islam telah menetapkan, bahwa suami wajib memberikan nafkah kepada isteri yang
dipilihnya dan ditetapkan nafkah yang merupakan salah satu hak isteri. Hukum
memberikan nafkah kepada isteri adalah wajib atas suami karena suami berkuasa
terhadap isteri manakala isteri menentukan dirinya untuk kepentingan suami
disebabkan oleh ikatan perkawinan yang sah. Apabila suami tidak mau menanggung
nafkah yang menjadi kewajiban, maka diperbolehkan kepada isteri untuk mengambil
harta suami sekedar untuk mencukupi keperluan hidupnya.
Ketentuan
dalam ayat dan hadits mengisyaratkan, bahwa memberi nafkah kepada isteri dan
anak-anak merupakan salah satu kewajiban yang tidak boleh dilalaikan. Bahkan
jika dilalaikan akan mendapatkan laknat dari Allah SWT. Kelalaian suami dapat
memberikan kebebasan kepada isteri untuk mengambil harta suami walaupun hanya
sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun mengenai ketentuan kadar
nafkah yang sebenarnya tidak pernah disebutkan, karena hal tersebut sangat
berkaitan dengan kemampuan suami.
Pendapat
ini disesuaikan dengan pemberian makan dalam kifarat atau dengan pemberian
pakaian.[32]
Demikian pula para fuqaha telah sepakat pemberian pakaian itu tidak jelas
batasnya, sedangkan pemberian makanan ada batasnya.[33]
Dalam
kitab Al-Majmu’ syarh Al-Muhazzab telah terjadi kontradiksi dalam penetapan
kadar nafkah yang mesti dipenuhi oleh suami, karena hal tersebut penyesuaian
menurut kondisi daerah dan waktu pada saat suami isteri itu hidup berumah
tangga. Dengan kenyataan kondisi demikian akan memberikan batasan nafkah yang
wajib dipikul oleh suami.[34]
Apalagi jika, dibandingkan keadaan antara satu masa dengan masa berikutnya,
tentu akan sangat berbeda kadar nafkah yang mesti dipenuhi oleh seorang suami.
[1] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI ,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta :
Balai Pustaka, 1990, hlm. 605.
[2] Abdul Aziz Dahlan,
Ensiklopedi Hukum Islam, Jil. IV, Jakarta :
Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 1281.
[3] Hassan Shadly, Ensiklopedi
Islam, Jakarta :
Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1983, hlm. 1013.
[4] Imam Syafi’i, Al-Um,
Beirut :
Wasirkah al-Babi al-Halabi, t.t., hlm. 388.
[5] HAMKA, Tafsir
al-Azhar, Jil. I, Jakarta :
Pustaka Panjimas, 1977, hlm. 65.
[6] Imam Muslim, Shahih
Muslim, Beirut Libanon: Dar al-Fikri, 1967, hlm. 378.
[7] Ibnu Hajar
al-Asqalani, Fathul Bari, Beirut Libanon: Dar al-Kutub, t.t., hlm. 336.
[8] Ibid., hlm.
232
[9] Sayyid Sabiq, Fiqh
Sunnah, Terj. Kahar Masyhur, Jakarta :
Kalam Mulia, 1990, hlm. 93.
[10] Abdurrahman, Nikah
dalam Islam, Jakarta :
Bulan Bintang, 1993, hlm. 56.
[11] Abdurrahman
Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, Terj. KH. Ali Yafie, Jil. III, Bandung : al-Ma’arif,
1990, hlm. 88.
[13] M. Thalib, 40
Tanggung Jawab Suami terhadap Isteri, Bandung :
Irsyad Baitus Salam, 1995, hlm. 21.
[14] Imam Nawawi, Syarh
Majmu’ Muhazzab, Jil. XVIII, Beirut Libanon: Dar al-Fikri, t.t., hlm. 176.
[16] Utang nafkah
bathin sebaiknya dibayar dengan jalan melakukan perbaikan diri dan perbaikan
sikap kepada isteri, sehingga isteri siap memaafkan suaminya dan siap
memberikan pelayanan kepada suaminya dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan.
Sedangkan nafkah lahir adalah berupa pemberian biaya dan keperluan hidup yang
wajar dalam bentuk pangan, sandang, papan dan kesehatan. Miftah Faridl, 150
Masalah Nikah dan Keluarga, Jakarta :
Gema Insani Press, 1999, hlm. 82.
[17] Ibid., hlm.
83.
[18]Hasbi ash-Shiddieqy,
al-Islam II, Semarang :
Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 316.
[20] Imam Muslim, Shahih
Muslim, Beirut Libanon: Dar al-Fikri, 1967, hlm. 378.
[22]Hasbi ash-Shiddieqy,
Op. cit., hlm. 317.
[23] Abu Zakaria
Mahyiddin bin Syarah an-An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, Beirut
Libanon: Dar al-Fikri, t.t., hlm. 321.
[24]Yusuf Qardhawi, Kiat
Islam Mengentaskan Kemiskinan, Terj. Abdul Hayyie al-Katanie, Jakarta : Gema Insani
Press, 1993, hlm. 121.
[25] Abu A’la
al-Maududi, Kawin dan Cerai Menurut Islam, Jakarta : Gema Insani Press, 1996, hlm. 27.
[26] Ibid., hlm.
28.
[27] Al-Ghifari, Kupinang
Engkau Secara Islami, Jakarta :
Al-Mujahid, 2000, hal. 163.
[29]Imam Muslim, Shahih
Muslim, Kaherah Darul Ihya al-Kitab, hlm. 1120
[30] Menurut keterangan
para fuqaha ukuran isi 1 mud sebanyak 6 ons beras atau gandum. Lihat Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. Abdul Hayyie al-Katanie, Semarang : Asy-Syifa’,
t.t., hal. 461.
[33] Sirajuddin Abbas, 40
Masalah Agama, Jilid II, Jakarta
: Bulan Bintang,1990, hal. 115.
[34] Imam An-Nawawi, Al-Majmu’
Syarh Al-Muhazzab, Juz. XVIII, Beirut Libanon: Dar Al-Fikri, t.t., hal. 88
0 Comments
Post a Comment