Pengertian Tasawuf
BAB
II
TASAWUF
ZAMAN KLASIK
A. Pengertian Tasawuf
Tasawuf banyak
mendefinisikan pengertiannya, namun di lihat dari asal katanya seperti:
a). صَوْفٌ
(Bulu domba)
b). صَافِيٌ
(Bijaksana)
c). الصُّفَى
(Bersih suci, jernih)
d). صَفٌّ
(Barisan= orang yang selalu menjaga shalatnya)
e). الصُّفَةْ(Ruangan,
tempat berkumpul para sahabat yang tidak mempunyai tempat tinggal).
Dari pengertian tersebut
di atas dapat kita simpulkan bahwa tasawuf adalah jalan menuju kedekatan kepada
Allah SWT dengan cara melepaskan diri dari segala sesuatu yang rendah dan hina
dan berpegang kepada sunah Rasulullah SAW, membangun manusia dalam hal tutur
kata, perbuatan, serta gerak hati, baik dalam skala kecil, yaitu pribadi atau
dalam skala besar dengan menjadikan hubungan kepada Allah SWT sebagai dasar
semua itu.[1]
Pada hakekatnya tasawuf
itu dapat diartikan mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan
rohani. Orang sufi juga pada mulanya mengagumi pandangan lahiriyah, yang dapat
diraba dan dirasakan oleh panca indera, tetapi lama-kelamaan kepuasan merasakan
yang lahir itu berangsur-angsur susut, maka hilanglah keindahan dunia yang
dapat dirasakan itu dan mereka beralih ke dalam dunia rohani, dunia yang tidak
diraba dengan panca indera tetapi dirasa dengan kelezatan yang halus, dunia
yang ghaib, berpadu dengan arti cinta dan kesempurnaan.[2]
Hakekat tasawuf adalah
mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat dengan
manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut dalam al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat 186:
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا
دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ) البقرة: ١٨٦(
Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku (QS. Al-Baqarah: 186)
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata
atau istilah yang di-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf.
Nasution, misalnya menyebutkan lima istilah yang berdengan tasawuf, yaitu al-suffah
(ahl al-suffah), (orang yang pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah),
saf (baris-sufi (suci), sophos (bahasa Yunani: hikmat),
dan suf (kain Keseluruhan kata ini bisa-bisa saja dihubungkan dengan wuf.
Kata ahl al-suffah[3]
(orang yang ikut pindah dengan Nabi Mekkah ke Madinah) misalnya menggambarkan
keadaan yang rela mencurahkan jiwa raganya, harta benda dan lain-lainya hanya
untuk Allah.
Mereka ini rela meninggalkan jung
halamannya, rumah, kekayaan dan harta benda lainnya kah untuk hijrah bersama
Nabi ke Madinah. Tanpa ada iman dan kecintaan pada Allah, tak mungkin mereka
ukan hal yang demikian. Selanjutnya kata suf/juga diartikan sebagai orang yang selalu berada di barisan
depan dalam beribadah
kepada Allah dan melakukan amal kebajikan. Demi pula kata sufi (suci)
menggambarkan orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan
maksiat, dan kata suf (Kain wol) menggambarkan orang yang hidup
sederhana dan mementingkan dunia. Dan kata sophos (bahasa Yunani) berarti keadaan jiwa yang senantiasa
cenderung ke pada kebenaran.[4]
Dari segi Linguistik (kebahasaan)
ini segera dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu
memelihara kesucian
diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu
bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian pada hakikatnya adalah akhlak yang
mulia.”[5]
Adapun pengertian tasawuf dari segi
istilah atau pendapat para ahli amat bergantung kepada sudut pandang yang
diguna-kannya masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan
para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai
makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan manusia
sebagai makhluk yang ber-Tuhan.[6]
Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, maka
tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara
menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada
Allah SWT.
[2]
H.Abu Bakar Atceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Semarang:
Ramadhani, 1984), hal. 7.
[3] Lidinillah, Mustofa Anshori, Tasawuf dan
Keterlibatan Sosial Sufi, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UGM,. 1995), hal. 28.