Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pentingnya Al-Qur’an Bagi Manusia


BAB II
MANUSIA DAN AL-QUR’AN


A.   Pentingnya Al-Qur’an Bagi Manusia
Tidak disangsikan lagi bahwa Al-Qur’an adalah sumber yang asasi bagi syariat Islam. Dan Al-Qur’an sebagai dasar hukum Islam beserta cabang-cabangnya yang harus digali.
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab Quraisy dengan perantara Malaikat Jibril, sebagai hujjah (argumentasi) baginya dalam mendakwahkan kerasulannya dan sebagai pedoman hidup bagi manusia yang dapat dipergunakan untuk mencari kebahagian hidup di dunia dan di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan membacanya. Al-Qur’an itu bacaan sempurna yang merupakan suatu nama pilihan Allah SWT yang sangat tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis baca yang dapat menandingi Al-Qur’an Al-Karim[1]. Al-Qur’an diterima oleh manusia dengan pemberitaan secara mutawatir (dengan cara penyampaian yang menimbulkan tentang kebenarannya) baik bertulis maupun lisan. Dari generasi ke generasi dan terpelihara dari perubahan dan pergantian kata, sebagaimana Allah SWT sendiri telah menjaminnya dalam firman-Nya:
إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون ( الحجرة (15):9)
Artinya: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sungguh Kamilah (pula) yang benar-benar memeliharanya”.[2]
Al-Qur’an diturunkan ke atas bumi setelah kemampuan manusia itu lengkap dan pemikiran mereka pun meningkat karena risalah Nabi Muhammad SAW. sehingga manusia itu sendiri mencapai tahap kepentingannya dan pertumbuhan akalnya secara keseluruhan serta mencapai keseimbangan. Al-Qur’an mampu membimbing dari meluruskan jalan hidup manusia guna menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan Khalifah Nya yang mengabdi kepadanya[3], sebagaimana firman Allah SWT:
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون (الذاريات (51):56)

Artinya: “Dan Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (Q.S.Al-Dzariyat (51):56)
Manusia yang dibina adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur jasmani, akal dan jiwa, sehingga terciptalah makhluk dwi dimensi dalam satu keseimbangan dunia dan akhirat, ilmu dan iman.
Agama Islam datang dengan Al-Qur’an membuka lebar-lebar mata manusia, agar mereka menyadari jati diri dan hakekat keberadaannya di pentas bumi ini. Juga, agar manusia tidak terlena dengan kehidupan dunia ini, sehingga mereka tidak menduga bahwa hidup mereka hanya dimulai dengan kelahiran dan berakhir dengan kematian.
Al-Qur’an mengajak umat manusia untuk berpikir tentang kekuasaan Allah SWT dengan berbagai dalil, juga mengajak kita untuk membuktikan keharusan adanya hari kebangkitan, dan bahwa kebahagiaan pada hari itu akan ditentukan oleh persesuaian sikap hidup manusia itu sendiri dengan apa yang dikehendaki oleh sang pencipta Allah Yang Maha kuasa.[4] 
Untuk mencapai kebahagian hidup di akhirat kelak manusia memerlukan peraturan-peraturan, tak ubahnya seseorang yang akan menuju suatu kota yang jauh. Ia harus berkendaraan yang layak dan harus mengikuti rambu-rambu lalu lintas di sepanjang perjalanannya apabila ia ingin selamat sempai tujuan.
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT sebagai petunjuk bagi manusia yang bertakwa kepadaNya dan menjadi pedoman bagi kehidupannya. Al-Qur’an memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan aqidah, syari’ah akhlak, politik, ekonomi, sosial dan kemayarakatan dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsipil mengenai persoalan-persoalan tersebut. Al-Qur’anlah yang mengatur kehidupan keluarga dan masyarakat, dan Al-Qur’anlah yang meletakkan dasar-dasar kemanusiaan yang mulia dan adil. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah Ayat 2-4
ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين. الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلاة ومما رزقناهم ينفقون. والذين يؤمنون بما أنزل إليك وما أنزل من قبلك وبالآخرة هم يوقنون (البقرة (2):2-4)
Artinya: ”Kitab Al Qur'an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelum kamu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (Q.S. Al-Baqarah (2): 2-4).
Jadi, Al-Qur’an menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang memelihara diri dari perbuatan dosa dan ada yang benci Allah. Dengan cara mengikuti segala perintah Nya menjauhi segala laranga Nya.
Allah SWT. menyatakan bahwa sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan ke dunia ini, disamping menjadi petunjuk juga untuk mewujudkan istilah (perbaikan) hal ihwal manusia.[5]
Al-Qur’an dapat juga dijadikan obat (syifa) bagi orang yang sedang sedih, gelisah, orang sakit dan terkena musibah sehingga dengan mambaca Al-Qur’an jiwanya akan merasa tenang dan dekat dengan Allah SWT, sebagaimana Firman-Nya dalam surat Fushshilat Ayat. 44
 ... قل هو للذين ءامنوا هدى وشفاء...(فصلت (41):44)
Artinya: ….”Katakan Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan (penyembuh, penawar) bagi orang-orang yang beriman”… (Q.S. Fushshilat (41): 44)
Al-Qur’an juga sebagai peringatan dan pelajaran bagi setiap insan, sehingga dapat memahami arti kehidupan ini. Al-Qur’an juga dijadikan sebagai sumber pertama dan utama bagi hukum Islam dan pedoman hidup manusia sebagaimana ditegaskan oleh.
Rasulullah SAW:
عن ابي هريرة قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: تركت فيكم امرين لن تضلواماتمسكتم بهما كتاب الله وسنتي (رواه البخارى)

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi SAW. bersabda:“Aku tinggalkan kepada kalian dua hal, kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya yaitu kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnahku”. (H.R. Bukhari)
Di dalam Al-Qur’an Allah telah menerangkan segala sesuatu yang diperlukan manusia, baik mengenai urusan akhirat maupun mengenai urusan dunia dan Allah SWT menerangkan kaidah-kaidah syari’at serta hukum-hukum Nya yang cocok untuk diterapkan di segala zaman dan tempat, serta diperuntukkan bagi seluruh umat manusia tidak dibatasi untuk sesuatu golongan atau suatu bangsa saja itu berada.
Di dalam Al-Qur’an, Allah menerangkan hukum yang kully (menyeluruh) aqidah yang tegas, dalil atau hujjah yang kuat dan akurat yang digunakan manusia untuk menyatakan kebenaran agama Islam. Karena itulah, maka Al-Qur’an dapat berlaku (abadi) sepanjang zaman, hukum-hukumnya yang kully terus dijadikan sumber hukum bagi hukum-hukum yang lain oleh umat manusia.[6]
B.   Anjuran Mambaca Al-Qur’an
Membaca Al-Qur’an merupakan salah satu jalan untuk mengetahui sumber hukum yang terkadung di dalamnya. Sebab di dalam Al-Qur’an mengandung berbagai macam persoalan hidup manusia, baik yang berhubungan dengan aqidah, ibadah, akhlak ataupun syari’ah. Tanpa membaca Al-Qur’an tentunya sumber hukum tersebut tidak dapat digali secara benar, sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an.
Membaca Al-Qur’an dapat dilakukan sesuai dengan kehendak pembacanya, karena dengan membaca Al-Qur’an seseorang akan dapat memahami berbagai macam ilmu pengetahuan.[7] Dan dengan membaca Al-Qur’an juga dapat mengetahui bagaimana penciptaan alam beserta dengan isinya oleh Allah SWT.[8] Namun demikian, kebebasan membaca Al-Qur’an tersebut juga boleh dilakukan dengan sekehendak hatinya, apabila dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat pemahaman terhadap Al-Qur’an itu sendiri, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 16 yang berbunyi :
لا تحرك به لسانك لتعجل به (القيامه (75):16)

Artinya:“Janganlah kamu (Muhammad) gerakkan lidah mu untuk (membaca Al-Qur’an) karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya”. (Q.S. Al-Qiyamah (75):16)
Di sisi lain, Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu rahmat yang tiada taranya bagi alam semesta. Wahyu Ilahi ini yang menjadi pedoman dan pelajaran bagi siapa saja yang mempercayai serta mengamalkannya. Bukan itu saja, tetapi juga Al-Qur’an itu adalah kitab suci yang paling terakhir diturunkan Allah, yang sisinya mencakup segala pokok-pokok syariat yang terdapat dalam kitab-kitab suci yang diturunkan sebelumnya. Setiap orang yang mempercayai Al-Qur’an akan bertambah cinta kepada-Nya, untuk mempelajari dan memahaminya serta untuk mengamalkan dan memahaminya dan mengajarkannya sampai merata rahmat-Nya dirasai dan dikecap oleh penghuni alam semesta.[9]
Setiap mukmin yakin, bahwa membaca Al-Qur’an saja sudah termasuk amal yang sangat mulia dan akan mendapat pahala yang terlipat ganda, sebab yang dibacanya itu adalah kitab-kitab suci ilahi. Al-Qur’an adalah sebaik-baik bacaan bagi orang mu’min,  baik ketika senang maupun ketika susah, ketika gembira atau ketika sedih. Malahan membaca Al-Qur’an itu bukan saja menjadi amal dan ibadah, tetapi juga menjadi obat dan penawar bagi orang yang gelisah jiwanya, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 2 dan surat Yunus ayat 57 yang berbunyi:
إنما المؤمنون الذين إذا ذكر الله وجلت قلوبهم وإذا تليت عليهم ءاياته زادتهم إيمانا وعلى ربهم يتوكلون (الأنفال (8):2)

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah kuat iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (Q.S. Al-Anfal (8):2).
ياأيها الناس قد جاءتكم موعظة من ربكم وشفاء لما في الصدور وهدى ورحمة للمؤمنين (يونس (10):57)

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Q.S. Yunus (10):57).
Pada suatu ketika datanglah seseorang kepada sahabat Rasulullah SAW, yang bernama Ibnu Mas’ud untuk meminta nasehat-nasehatnya ”Wahai Ibnu Mas’ud, berilah nasehat yang dapat kujadikan obat bagi jiwaku yang sedang gelisah. Dalam beberapa hari ini aku merasa tidak tentram, jiwaku gelisah dan pikiranku kusut, makan tidak enak dan tidurpun tidak nyenyak”. Maka Ibnu Mas’ud menasehatinya, katanya ”Kalau penyakit itu menimpamu maka bawalah hatimu mengunjungi kepada tiga tempat, yaitu ke tempat orang-orang yang membaca Al-Qur’an, engkau baca Al-Qur’an atau mendengar baik-baik orang yang membacanya, atau engkau ke majlis pengajian yang mengingatkan hati kepada Allah, atau engkau cari waktu dan tempat yang sunyi, di sana engkau berkhalwat menyembah Allah, umpamanya di waktu tengah malam buta, di saat orang sedang tidur nyenyak, engkau bangun mengerjakan shalat malam, meminta dan memohon kepada Allah SWT ketenangan jiwa, ketentraman pikiran dan kemurnian hati. Seandainya engkau shalat jiwa engkau belum juga terobati dengan cara ini, engkau minta kepada Allah SWT, agar diberi-Nya yang lain, sebab hati yang kamu pakai itu, bukan lagi hatimu”.[10]
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa membaca Al-Qur’an merupakan salah satu obat yang dapat menyembuh penyakit jiwa, artinya dengan membaca Al-Qur’an dapat menyenangkan dan menentramkan jiwa yang sedang dilanda kegelisahan. Bahkan di sisi lain Al-Qur’an juga dapat menjadi obat penyakit yang dialami manusia secara nyata, seperti kerasukan setan dan lain sebagainya. Setelah orang itu kembali kerumahnya diamalkannya nasehat Ibnu Mas’ud itu. Dia pergi mengambil wudhu’ kemudian diambilnya Al-Qur’an, berobahlah kembali jiwanya, menjadi jiwa yang aman dan tentram, pikirannya tenang, kegelisahannya hilang sama sekali.
Tentang keutamaan dan kelebihan membaca Al-Qur’an, Rasulullah SAW telah menyatakan dalam banyak Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, sebagai berikut:
عن إبن عمر رضي الله عنها: عن النبي صلى الله عليه وسلم لاحسدالافى اثنتين رجل أتاه الله القران فهويقوم به أناءالليل وأناءالنهار ورجل أتاه الله مالافهو ينفقه أناءالليل وأناءالنهار (روه البخارى) [11]

Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a., berkata Nabi SAW bersabda: Tidak boleh mendengki kecuali terhadap dua hal, yaitu seseorang yang diberi oleh Allah SWT (penguasaan yang baik) tentang Al-Qur’an kemudian ia membaca (mengamalkannya) siang dan malam hari, dan seseorang yang diberi oleh Allah kekayaan (harta) kemudian ia menginfaqkannya siang dan malam hari”. (H.R. Bukhari).
عن أبن أمامةرضى الله عنه قال: سمعت رسول الله صل الله عليه وسلّم يقول إقرأوالقرأن فانه يأتى يوم القيامة شفيعالاصحابه (رواه مسلم) [12]

Artinya: “Dari Umamah ra. ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaa’at bagi orang-orang yang membacanya”. (H.R. Muslim).
Di dalam Hadits lain, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Rasulullah SAW, meyatakan tentang kelebihan martabat dan keutamaan orang yang membaca Al-Qur’an, adalah sebagai berikut:
عن ابن عباس رضي الله عنهمافى قوله عز وجل ولا تجهربصلا تك ولاتخافت بِها: قال نزلت ورسول الله صلى الله عليه وسلم متواربمكة فكان اذ اضلى باصحابه رفع صوته بالقرأن فاذسمع ذلك المشركون سبواالقرأن ومن أنزله ومن جاءبه فقال الله تعالى لنبيه صلى الله عليه وسلم ولا تجهر بصلا تك فيسمع المشركون قرأتك ولاتخافت بهاعن اصحابك أسمعهم القرأن ولا تجهر ذلك الجهر وبتغ بين ذلك سبيلا يقول بين الجهر والمخافتة (رواه البخارى ومسلم) [13]

Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a. Tentang firman Allah yang bermaksud. Dan janganlah kamu meninggikan suaramu dalam sembahayang dan jangan pula memperlahankannya. Katanya, ayat ini diturunkan ketika Rasulullah SAW sedang bersembunyi di Mekkah. Oleh karena itu, apabila baginda sembahyang bersama para sahabat, baginda meninggikan suaranya semasa membaca Al-Qur’an. Apabila orang-oang musyrik mendengarnya, mereka memaki Al-Qur’an. Zat yang menurunkannya dan orang yang membacanya. Maka Allah SWT berfirman kepada Nabi Nya SAW yang bermaksud: Janganlah kamu meninggikan suaramu di dalam sembahyangmu, sehingga sahabatmu tidak mendengarnya. Perdengarkanlah Al-Qur’an kepada mereka, tetapi jangan terlalu tinggi, sebaliknya carilah cara yang sederhana di antara keduanya. Jadi baginda membaca sederhana antara tinggi dan perlahan. (HR. Bukhari Muslim).
Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa Rasulullah SAW melarang membaca Al-Qur’an dengan nada tinggi ketika dalam shalat. Tetapi beliau menganjurkan membaca Al-Qur’an dengan suara tinggi ketika di luar shalat yang bertujuan untuk mengingatkan orang yang lupa membaca Al-Qur’an, sebab jika Al-Qur’an jarang dibacakan maka akan sangat mudah lupa.
Karena itu, mengutip Hadits Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib r.a. mengatakan:
عن عبدالله بن مسعوقال: قال رسول الله صل الله عليه وسلم, بئسمالأحدهم يقول نسيت آية كيت وكيت هونسي استذ كرواالقرآن فهواشد تفصيامن صدورالرجال من النعم بعقلها (روه امسلم) [14]

Artinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud raa. berkata: Rasulullah SAW bersabda: sangat buruk sekali apabila seseorang dari pada kmu mengatakan aku lupa ayat ini, ayai iti, tetapi sebenarnya dia lupakan. Senantiasalah membaca Al-Qur’an karena sesungguhnya Al-Qur’an itu, lebih mudah hilang dari dada manusia, dibandingkan dengan unta yang tersebut tali ikatan dari sendi kakinya (bahasa Arab biasanya mengikat sendi unta sewaktu unta duduk supaya unta tersebut tidak lari. (H.R.Muslim).
Dari keterangan Hadits diatas dapat dipahami bahwa membaca Al-Qur’an akan sangat mudah lupa apabila jarang dibacakan. Oleh karena itu, untuk menghindari kelupaan tersebut, semestinya membaca Al-Qur’an dilakukan sesering mungkin, sehingga bacaan itu dapat dihafal dengan baik.
Bahkan Rasulullah mengibaratkan bahwa menjaga bacaan Al-Qur’an lebih sulit dari menjaga kuda terikat dengan tali tambatan. Ini menunjukkan bahwa membaca Al-Qur’an akan cepat lupa apabila tidak dilakukan dengan sering.


C.   Pendidikan Membaca Al-Qur’an
Sangat dianjurkan bagi setiap muslim untuk membaca dan wajib memahami kandungan  Al-Qur’an. Allah SWT memuji dan menyanjung orang yang mempunyai kebiasan seperti itu.
Berdasarkan sifat, corak dan pendekatannya, pendidikan Al-Qur’an dapat dibagi kepada empat bagian. Pertama, pendidikan yang bercorak normatif perenialis (Islamic education in normatif dan perenealis persepective). Kedua, pendidikan yang brcorak filosofis (Islamic education in filosofis persepective). Ketiga, pendidikan yang bercorak sejarah (Islamic education in historial persepective). Keempat, pendidikan yang bercorak aplikatif (Islamic education in applicative persepective).[15]
Pendidikan yang bercorak normatif perenealis adalah pendidikan yang memfokuskan kajian pada penggalian ajaran Al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan pendidikan Islam yang diyakini sebagai ajaran yang pasti benar, harus diamalkan dan dinilai lebih unggul dibandingkan konsep pendidikan yang berasal dari sumber agama lain.[16] Pendidikan semacam ini dapat dilakukan pada lembaga pengajian yang berbentuk pesantren dan dayah.
Pendidikan yang bercorak filosofis adalah pendidikan yang memfokus-kan kajiannya pada pemikiran filsafah Islam yang berkaitan dengan pendidikan Islam. Dengan sifatnya yang mendalam, radikal, universal dan sistematis, filsafah Al-Qur’an berupaya menjelaskan konsep-konsep yang mendasar tentang berbagai hal yang ada hubungannya dengan berbagai aspek pendidikan Islam, yaitu visi, misi, tujuan, kurikulum, bahan pelajaran, guru, murid hubungan guru dengan murid, proses belajar mengajar, dan aspek pendidikan lainnya dikaji secara mendalam untuk ditentukan inti gagasan yang terdapat di dalamnya.[17] Pendidikan ini dapat ditemukan pada lembaga pendidikan agama yang bersifat formal seperti MIN, MTsN, MAN dan IAIN.
Pendidikan yang bercorak historis adalah pendidikan yang memfokuskan kajiannya pada data-data empiris yang dapat dilacak dalam sejarah, baik yang berupa karya tulis, peninggalan berupa lembaga maupun pendidikan dengan berbagai aspeknya.[18] Model pendidikan seperti ini dapat dilihat pada lembaga pendidikan IAIN jurusan sejarah dan kebudayaan.
Adapun pendidikan Al-Qur’an yang bercorak aplikatif adalah pendidikan yang memfokuskan kajiannya pada upaya menerapkan konsep-konsep kegiatan yang lebih konkret dan dapat diukur serta dilihat hasilnya. Corak pendidikan semacam ini mengajarkan santrinya untuk mengaplikasikan norma-norma yang terkadung di dalam Al-Qur’an.
Secara umum prinsip pendidikan mempunyai pengertian suatu haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan, dihubungkan dengan pendidikan Al-Qur’an, strategi dapat diartikan sebagai pola-pola kegiatan anak-anak dalam perwujudan pendidikan Al-Qu’an untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[19]
Belajar mengajar Al-Qur’an merupakan suatu proses untuk membimbing anak menjadi orang yang mampu membaca Al-Qur’an dengan baik. Oleh karena itu, anak membutuhkan arahan secara optimal agar mampu mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Akan tetapi kegiatan pendidikan tersebut mempunyai prinsip tersendiri dalam usaha mencapai tujuan. Namun demikian, prinsip-prinsip pendidikan Al-Qur’an tidak sama dengan prinsip pendidikan lainnya.
Hal tersebut dikarenakan pendidikan Al-Qur’an adalah suatu kondisi yang dengan sengaja diciptakan. Orang tua yang menciptakan guna membelajarkan Al-Qur’an anaknya. Orang tua yang mengajarakan anaknya Al-Qur’an kepada anaknya yang berkeinginan untuk belajar ilmu Al-Qur’an. Namun demikian, orang tua tentunya sudah menyadari apa yang sebaiknya dilakukan untuk mencapai kondisi belajar yang dapat menghantarkan anak-anak kepada kemampuan membaca Al-Qur’an. Di sini tentu saja tugas orang tua berusaha menciptakan suasana yang menggairahkan dan menyenangkan bagi anaknya, yang mendorong anaknya untuk bisa belajar Al-Qur’an dengan baik.
Sebenarnya semua hal itu menyangkut dengan memberikan pendidikan Al-Qur’an kepada anak. Pada hakikatnya merupakan suatu proses, yaitu mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar anak-anak, sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong anak-anak untuk belajar. Oleh karena itu, Nana Sudjana menerangkan bahwa ”Pada tahap berikutnya mengajar adalah proses memberikan bimbingan/bantuan kepada anak dalam melakukan proses belajar.”[20]
Oleh karena itu, sebagai upaya pengaturan kegiatan belajar mengajar Al-Qur’an anak, maka Adi Suardi sebagaimana yang dikutip oleh Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zein menerangkan ciri-ciri pembelajaran sebagai berikut:
  1. Pembelajaran memiliki tujuan, yaitu untuk membentuk anak dalam suatu perkembangan tertentu.
  2. Ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncanakan, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
  3. Kegiatan pendidikan ditandai dengan penggarapan metode yang khusus
  4. Ditandai denga aktivitas anak sebagai konsekwensi, bahwa anak merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya kegiatan belajar.
  5. Dalam kegiatan balajar orang tua harus berperan sebagai pembimbing.
  6. Dalam kegiatan belajar sangat membutuhkan kedisiplinan.[21]
Melihat realitas tersebut di atas, maka di sini penulis merumuskan prinsip-prinsip pendidikan Al-Qur’an sebagai berikut:
1.    Memelihara dan membesarkan anak. Inilah prinsip sederhana dan merupakan dorongan alami untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia.
2.    Melindungi dan menjamin kesamaan, baik jasmani maupun rohani dari berbagai penyakit dan penyelewengan kehidupan dan dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafah hidup dan agama yang dianutnya.
3.    Membrikan pengajaran dalam arti yang luas, sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan yang luas dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya.
4.    Membahagiakan anak baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan pandangan tujuan hidup muslim.[22]

Dari keterangan di atas, maka dapat digambarkan bahwa dalam menerapkan pendidikan anak juga harus menggunakan prinsip yang sama dengan pendidikan lainnya, karena pada dasarnya para ahli pendidikan belum merumuskan prinsip yang khusus untuk masing-masing model pendidikan.
Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pendidikan, maka digunakan prinsip pendidikan yang berlaku secara umum guna terciptanya tujuan pendidikan tersebut.
Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan tersebut, maka anak-anak juga dianjurkan di berbagai lambaga pendidikan Al-Qur’an seperti TPA, TPQ. Bahkan lembaga non formal seperti dayah dan pesantren juga memberikan pengajaran Al-Qur’an kepada santrinya, agar mereka dapat memahami tentang tata cara membaca Al-Qur’an dengan qiraah-qiraah tertentu yang telah ditetapkan menurut hukumnya bacaannya.

D.   Kewajiban Mengajarkan Al-Qur’an Kepada Anak
Setiap mu’min yang percaya Al-Qur’an mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap kitab sucinya itu. Diantara kewajiban dan tanggung jawab itu ialah mempelajari dan mengajarkannya. Belajar dan mengajarakanya Al-Qur’an itu adalah kewajiban suci dan mulia. Sebagaimana telah digambarkan dalam Hadits Rasulullah SAW telah bersabda:
عن عثمان رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: خيركم من تعلم القران وعلمه (رواه البخارى)[23]

Artinya: “Dari Utsman ra. dari Nabi SAW bersabda: “Sebaik-baiknya orang di antara kamu adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya”. (HR. Bukhari).
Dalam Hadits lain Rasulullah SAW menjelaskan: ”Sesungguhnya seseorang yang berbagi bagi mempelajari ayat-ayat yang ada dalam Kitabullah lebih baik yang seperti itu dari pada mengerjakan sembahyang sunat seratus rakaat”. Dalam Hadits lain yang diriwayatkan Ibnu Abbas Rasulullah SAW bersabda: ”Siapa-siapa yang mempelajari Kitabullah kemudian diamalkannya isi yang terkandung di dalamnya. Allah akan menjauhi dari kesesatan dan akan dipeliharanya pada Hari Kiamat dari siksaan yang berat.”
Jadi belajar Al-Qur’an merupakan kewajiban yang utama bagi setiap mukmin, begitu juga mengajarkannya. Belajar Al-Qur’an dapat dibagi kepada beberapa tingkatan, yaitu belajar membacanya sampai lancar dan baik, menurut kaidah-kaidah yang berlaku dalam qiraat dan tajwid, belajar arti dan maksudnya sampai mengerti akan maksud-maksud yang terkandung di dalamnya, dan terakhir menghafalnya di luar kepala, sebagaimana yang dikerjakan oleh para sahabat pada masa Rasulullah SAW, demikian pula di masa sekarang di beberapa negeri Islam.
Belajar Al-Qur’an hendaklah dari semenjak kecil, sebaiknya dari semenjak umur 5 tahun, sebab umur 7 tahun sudah disuruh mengerjakan sembahyang. Rasulullah SAW sudah mengatakan: ”Suruhlah anak-anakmu mengerjakan sembahyang bila sudah berumur 7 tahun, maka pukullah (marahilah), bila dia tidak mengerjakan sembahyang kalau sudah berumur 10 tahun”.[24] Di sini tugas orang tua menyuruh anaknya untuk mengerjakan sembahyang dan apabila dia tidak mau mengerjakan maka pukullah mereka karena itu sudah menjadi kewajiban atau hak bagi mereka.
Menjadikan anak-anak dapat belajar Al-Qur’an mulai dari usia kecil itu, adalah kewajiban orang tuanya masing-masing. Berdosalah orang tua yang mempunyai anak-anak, tetapi anak-anaknya tidak pandai membaca Al-Qur’an. Rasa malu yang paling besar di hadapan Allah SWT nantinya, bila anak-anaknya tidak pandai membaca Al-Qur’an. Padahal dengan membaca Al-Qur’an akan mendapatkan beberapa kemuliaan sebagaimana digambarkan dalam Hadits Rasulullah SAW telah bersabda:
عن ابي موسي الأ شعري رض الله عنه قالت:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مثل مؤمن الذى يقرأ القرأن مثل الأترجه ريحها طيب، طعلمها طيب، ومثل المؤمن الذى لا يقرأ القران مثل التمرة طعمها طيب لاريح لها وطعمها حلو ومثل المنافق الذى يقرأالقران مثل الريحانة رعها طيب وطعمهامر ولارح لهل المثل المنافق الذى لايقرأ القران كمثل الخنطلة ليس لها ريح وطعمهامر (رواه:مسلم) [25]
Artinya:”Dari Abu Musa Al-Asy’ari ra berkata Rasulullah SAW pernah bersabda: perumpamaan orang mu’min yang membaca Al-Qur’an ialah seperti perumpamaan buah utrujah yaitu buah yang bau harum dan rasanya enak, manakala perumpamaan orang mu’min yang tidak membaca A;-Qur’an ialah seperti buah kurma, tidak ada baunya akan tetapi rasanya manis. Adapun perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Qur’an ialah seperti buah Raihan yaitu buah yang berbau harum tapi rasanya pahit. Sedangkan perumpamaan orang munafikyang tidak membaca Al-Qur’an ialah seperti buah Hanzhalah (peria) yaitu buah yang tidak ada bau sama sekali dan ditambah pula oleh rasa yang nya yang pahit sekali.” (HR. Muslim)
Pada tingkat pertama ini, yaitu tingkat mempelajari Al-Qur’an dengan baik, hendaknya sudah mereka laksanakan, sehingga tidak ada lagi orang yang buta huruf Al-Qur’an di kalangan masyarakat Islam. Pada tiap-tiap rumah tangga orang Islam hendaknya diaktifkan benar-benar pemberantasan buta huruf Al-Qur’an, sehingga setiap muslim yang menjadikan anggota keluarga itu sudah pandai semuanya membaca Al-Qur’an dengan baik. Batas akhir untuk mempelajari Al-Qur’an itu hanya apabila yang sudah dimasukkan ke lubang kubur.
Jadi tidak ada alasan untuk tidak mempelejarinya, misalnya saja karena tua, karena sudah dewasa dan sebagainya. Dalam tingkatan pertama sekedar pandai membaca Al-Qur’an dengan baik, hal ini berlaku bagi anak-anak, orang dewasa maupun orang tua, pria ataupun wanita, semuanya berkewajiban untuk mempelajarinya.
Sesudah itu, barulah menginjak ke tingkat yang kedua, yaitu mempelajari arti dan maksud yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, Al-Qur’an itu betul-betul menjadi pelajaran, petunjuk dan peraturan bagi setiap muslim dalam mencapai kebahagiaan hidup yang diridhai oleh Allah SWT.
Selain mempelajari cara membaca Al-Qur’an serta mendalami arti dan maksud yang terkandung di dalam Al-Qur’an, yang terpenting adalah meng-ajarkannya. Jadi belajar dan mengajar Al-Qur’an merupakan dua tugas yang mulia lagi suci, yang tidak dapat dipisahkan-pisahkan. Sedapat mungkin terus dipelajari dan terus diajarkan pula, dengan demikian seterusnya berlaku demikian. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, beliau menerima wahyu, wahyu itu juga terus diajarkannya kepada para sahabat, seketika selesai menerima wahyu itu turun, para sahabatpun berbuat demikian. Seterusnya orang yang mendapat pelajaran dari para sahabat itu juga melanjutkannya kepada orang yang lain. Demikian secara sambung-menyambung seperti rantai yang tidak putus-putusnya.
Pekerjaan mengajarkan Al-Qur’an merupakan tugas yang sangat mulia di sisi Allah. Di dalam tugas mengajarkan Al-Qur’an itu terkandung tiga kemuliaan, yaitu kemuliaan mengejarkan yang merupakan warisan dari Nabi; kemuliaan. Membaca Al-Qur’an sementara mengajarkannya, dan kemuliaan memperdalam maksud yang terkandung di dalamnya. Dengan mengajar terus-menerus, ia akan menjadi orang yang mahir memahami dalam memabaca Al-Qur’an.[26]
Dalam Hadits lain Rasulullah bersabda, sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
عن ابن عباس رضي الله عنه قال: قال رسول الله عليه وسلم: الماهر القران مع السفرة الكرام البررة، والّذى يقرأن القرآن ويتتعتع فيه وهو عليه شاق له اجران. (رواه البخارى ومسلم) [27]

Artinya: “dari Ibnu Abbas ra Rasulullah SAW bersabda: orang yang membaca Al-Qur’an pula ia mahir, kelak mendapat tempat dalam syurga bersama-sama dengan arsul-rasul yang mulia lagi baik, dan orang yang membaca Al-Qur’an, tampak agak berat lidhnya (belum lancar), ia akan mendapat dua pahala”. (H R. Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan keterangan Hadits di atas, maka dapat dipahami bahwa mangajarkan Al-Qur’an merupakan perbuatan yang sangat mulia. Bahkan karena kemulian mengajarkan Al-Qur’an diberikan imbalan berganda oleh Allah SWT kepada orang yang mengajarkan Al-Qur’an tersebut. Oleh karena itu, mengajarkan Al-Qur’an adalah kewajiban yang mesti dijalankan oleh setiap umat Islam terutama mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak benar-benar mampu memahami isi kandungan Al-Qur’an merupakan kewajiban setiap orang tua.



E.   Kualifikasi Kemampuan Anak Membaca Al-Qur’an
Membaca merupakan perintah yang paling penting dan berharga dapat diberikan kepada umat manusia sebagai homoeducandum (makhluk yang mendapat dan harus dididik).[28]
Bagi seorang mu’min membaca Al-Qur’an telah menjadi kecintaannya. Pada waktu membaca Al-Qur’an ia sudah merasa seolah-olah jiwanya mengahadap kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, menerima amanat dan hikmat suci, memohon limpahan karunia serta rahmat dan pertolongan-Nya. Membaca Al-Qur’an telah menjadi wiridnya (kebiasaannya) yang tertentu, baik siang maupun malam. Membacanya sehalaman demi sehalaman, surat demi surat, juz demi juz sampai khatam. Tidak ada suatu kebahagian di dalam hati seoarang mu’min melainkan bila membaca Al-Qur’an sampai khatam.
Di dalam Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mencatat beberapa Hadits yang diriwayatkan mengenai pembacaan Al-Qur’an. Digambarkan bahwa para sahabat dengan keimanan dan keikhlasan hati, berlomba-lomba membaca Al-Qur’an. Namun demikian, dalam membaca Al-Qur’an mempunyai adab-adab tersendiri antara lain sebagaimana yang disebukan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin yang menjelaskan bahwa adab membaca Al-Qur’an itu ada berbentuk adab lahir dan adab bathin. Adab yang mengenai bathin itu diperincikan menjadi arti pemahaman asal kalimat, cara hati membacakan kalimat Allah. Menghadirkan hati di kala membaca sampai ketingkat memperluas, memperhalus perasaan dan membersihkan jiwa. Dengan demikian, kandungan AlQur’an yang dibaca melalui lidah, dapat bersemi dalam jiwa dan meresap ke dalam hati sanubarinya.[29]
Membaca Al-Qur’an merupakan keharusan mutlak untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Namun orang tua merupakan lembaga pendidikan pertama yang harus mengajarkan anaknya untuk membaca Al-Qur’an secara baik dan benar.[30]
Membaca Al-Qur’an merupakan suatu proses untuk membimbing anak untuk menjadi orang tua yang berguna bagi agama. Oleh kerna itu, manusia perlu mambaca secara optimal agar mampu mencapai kebahagian di dunia dan di akhirat. Akan tetapi kegiatan mambaca Al-Qur’an tersebut mempunyai prinsip tersendiri dalam usaha mencapai kebahagian. Namun demikian, prinsip-prinsip tersendiri termasuk dalam prinsip membaca Al-Qur’an anak.
Hal tersebut dikarenakan membaca Al-Qur’an adalah suatu kondisi yang dengan sengaja diciptakan. Orang tualah yang berkewajiban mengajar anak didik untuk membaca Al-Qur’an. Perpaduan dari kedua unsur manusiawi ini lahirlah interaksi edukatif dengan memanfaatkan keluarga sebagai mediumnya. Sebagai orang tua tentunya sudah menyadari apa yang sebaiknya dilakukan untuk mencapai kondisi membaca Al-Qur’an anak, yang dapat mengantarkan anak-anak kepada kebaikan. Disini tentu saja tugas orang tua berusaha menciptakan suasana yang menggairahkan dan menyenangkan bagi anaknya.
Oleh karena itu, memberikan pengetahuan A-Qur’an bagi seorang anak menghendaki hadirnya sejumlah prinsip pendidikan, sebab belajar tidak selamanya memerlukan seorang guru. Cukup banyak aktivitas yan dilakukan seseorang anak diluar dari keterlibatan guru. Belajar di rumah cendrung menyendiri dan tidak perlu banyak mengaharakan bantuan dari orang lain, apalagi aktivitas itu berkenaan dengan kegiatan membaca Al-Qur’an.
Sebenarnya, semua hal yang menyangkut dengan mengajarkan membaca Al-Qur’an kepada anak pada hakikatnya merupakan suatu proses, yaitu mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar anak-anak, sehingga dapat menumbuhkan dan medorong anak-anak melakukan belajar Al-Qur’an. Oleh karena itu, Nana Sudjana menerangkan bahwa ”Pada tahap berikutnya mengajar adalah proses memberikan bimbingan/bantuan kepada anak didik dalam proses belajar.”[31]
Dari keterangan di atas, maka dapat digambarkan, bahwa dalam menerapkan pendidikan membaca Al-Qur’an juga harus menggunakan prinsip yang sama dengan pendidikan lainnya, karena pada dasarnya para ahli pendidikan belum merumuskan prinsip yang khusus untuk masing-masing model pendidikan. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pendidikan, maka digunakan prinsip pendidikan yang berlaku secara umum guna tercapainya tujuan pendidikan tersebut.
Namun demikian, apabila menyikapi kemampuan membaca Al-Qur’an anak dapat dikatagorikan kepada tiga kelompok, yaitu:
1.    Membaca Al-Qur’an dalam bentuk mengejakan setiap hurufnya.
2.    Membaca Al-Qur’an dengan tartil.
3.    Membaca Al-Qur’an dengan cara melagukannya.[32]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa kemampuan membaca Al-Qur’an anak terdiri atas tiga tingkatan yang berbeda. Pendapat ini terjadi karena adanya perbedaan anak dalam membaca Al-Qur’an, sehingga terlihat bahwa ada anak-anak yang mampu membaca Al-Qur’an sebagaimana orang dewasa membacanya dan begitu juga sebaliknya.
Tetapi di sisi lain, pembacaan Al-Qur’an juga dianjurkan untuk membaca sesuai dengan makhrijul hurufnya, karena apabila huruf-huruf yang dibacakan tidak sahih, sudah barang tentu makna yang terkandung di dalamnya pun akan keluar dari yang dimaksudkan Al-Qur’an.
Pendidikan Al-Qur’an yang diajarkan ditingkat menengah dapat dikatagorikan kepada tiga kelompok, yaitu:
1.    Bagus sekali, yaitu kelompok membaca Al-Qur’an dengan memenuhi kriteria pembacaan yang sesuai dengan aturan tajwid. Biasanya mereka membaca Al-Qur’an dengan menganut konsep melagukan dalam melantunkannya.
2.    Baik, yaitu kelompok yang membaca Al-Qur’an dengan memahami kaidah-kaidah pembacaan. Tetapi tidak mampu melagukannya sebagaimana yang dibacakan oleh qari-qariah.
3.    Kurang baik, kelompok ini termasuk kelompok yang tidak bisa mambaca Al-Qur’an sama sekali, walaupun mereka bisa membaca dapat digolongkan dalam bentuk mengejakannya.
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa membaca Al-Qur’an terbagi kepada tiga tingkatan, yakni tingkat bagus sekali bacaanya, tingkat baik bacaannya, kurang baik bacaannya dan apabila semua tingkatan ini di bacakan secara ikhlas akan mendapatkan imbalan yang sesuai pula dari Allah SWT.


[1] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2005), hal. 3.
[2] Mukhtar Yahya, Fachrurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, Cet. IV, (Bandung: Al-Ma’arif, 1997), hal. 31.
[3] Muhammad Quthb, Manhaj At-Tarbiyah, Al-Islamiyyah, Cet. IV, Jilid I, (Kairo: Dar Al-Syuruq, 1400 H), hal. 13.
[4] Moh. Matsna, Qur’an Hadist, (Semarang:  PT. Karya Toha Putra, 2004), hal. 40.
[5] Ibid., hal. 43.
[6] Ibid., hal. 45.
[7] Ahmad Munir dan Sudarsono, SH, Ilmu dan Seni Baca Al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 10.
[8] M.H. Thabatahab’i, Mengungkapkan Rahasia Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 113 – 114.
[9] Mansyur Djalal, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 2000), hal. 111.
[10] Zainal Abidin, Seluk Beluk Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), hal. 153.
[11] Imam Bukhari , Shahih Bukhari, (Beirut Libanon: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 189.
[12] Zainal Abidin, Seluk Beluk Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), hal. 14.
[13] Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut Libanon: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 178.
[14] Imam Muslim, Shahih….hal. 179.
[15] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam; Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 1.
[16] Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal 6.
[17] Majid Fakhri, Sejarah Filsafah Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hal. 29.
[18] Ahmad Salabi, Asy Syajaratu Al-Tarbiyatu Al-Islam, Terjemahan Munawar Khalil, “Sejarah Pendidikan Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hal. 12.
[19] Syaiful Bahri dan Aswan Zein, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 54.
[20] Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Cet. II, (Bandung: Sinar Baru, 1991), hal. 29.
[21] Syaiful Bahri dan Aswan Zein, Strategi Belajar Mengaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 45 – 46.
[22] Hasan Langgugulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Raja Garafindo Persada, 1996), hal. 38.
[23] Ahmad Sunarto, Terjemahan Shahih Bukhari, Jilid VI, (Semarang: Asy-Syifa’, 1992), hal. 619.
[24] Zainal Abidin, Seluk Beluk Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), hal. 149-150.
[25] Imam Muslim, Shahih Muslim, (Mesir: Dar-Al Kutub, t.t.), hal. 96.
[26] Ibid., hal. 152.
[27] Imam Bukhari , Shahih Bukhari, (Mesir: Dar-Al Kutub;t.t), hal. 233.
[28] Nanang Gajali, M.Ag, Manusia, Pendidikan dan Sains, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), hal. 135.
[29] Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ukumuddin, (Beirut Libanon: Dar Al-Fikr, t.t.), hal. 172.
[30] Ari Furgan, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hal. 65.
[31] Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Cet. II, (Bandung: Sinar Baru, 1991), hal. 29.
[32] Manna’ Khalil Al-Qattan, At-Ta’ilmu ‘Ulumul Al-Qur’an, Terj. Mudzakkir AS, “Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an”, (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2000), hal. 231.