Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pentingnya Pendidikan Agama Non formal Bagi Masyarakat


BAB II
LANDASAN TEORITIS

A.    Pentingnya Pendidikan Agama Non formal Bagi Masyarakat
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.
Pendidikan nonformal dilakukan di dalam lingkungan keluarga (istana, bangsawan), pendidikan nonformal dilakukan oleh masyarakat dan melibatkan masyarakat. Pendidikan nonformal dalam pelaksanaannya senantiasa berkaitan dengan pandangan masyarakat serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan warganya. Oleh karena itu sesuai dengan masyarakat jawa, isi pendidikan tersebut dititik beratkan kepada pendidikan rohani/kegamaan (khususnya agama Islam).
Di dalam Al-Qur'an terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan itu. Sebagai contoh dapat dibaca dalam kisah Luqman mengajari anaknya dalam surat Luqman ayat 12 sampai 19 sebagai berikut:
َولَقَدْ أَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ ِللهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَبْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ (١٢) وَاِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِإَبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللهِ اِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ (١٣) وَوَصَيْنَا اْلِإنْسِانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلْتَهُ أُمُّهُ وَهْنً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِى عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْلِى وَلِوَالِدَيْكَ اِلَي الْمَصِيْرُ (١٤) وَاِنْ جِاهَدَكَ عَلَى اَنْ تُشْركَ بِى مَالًيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطَعْمُهَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا وَاتَّبِعْ سَبِيْلَا مَنْ اَنَابَ اِلَيَّ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعْكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ (١٥) يَابُنَيَّ اِنَّهَا ِانْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلِ فَتَكُنْ فِى صَخْرَةٍ اَوْفِى السَّمَاوَاتِ اَوْ فِى الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَااللهُ اِنَّ اللهَ لَطِيْفٌ الْخَبِيْرٌ (١٦) يَابُنَيَّ اَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَاَنْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْعَلَى مَااَصَابَكَ اِنَّ ذَلِكَ مِنْ عُزْمِ الْاُمُوْرِ (١٧) وَلاَ تُصَعَّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحَا اِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ كُلُّ مُخْتَالٍ فُخُوْرٍ (١٨) وَاقْصِدْ فِى مَشْيِكَ وِاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ اَنْكَرَ الْاَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيْرِ. (١٩) (لقمان: ١٢-١۹)

Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Qs. Luqman: 12-19)

Cerita ini menggariskan prinsip materi pendidikan yang terdiri dari masalah iman, akhlak ibadah, sosial dan ilmu pengetahuan. Ayat lain menceritakan tujuan hidup dan nilai tentang sesuatu kegiatan dan amal saleh. Itu berarti bahwa kegiatan pendidikan harus mendukung tujuan hidup tersebut. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus mengunakan Al-Qur'an sebagai sumber utama dalam merumuskan berbagai materi tentang pendidikan Islam.[1] Dengan kata lain, pendidikan Islam harus berlandaskan ayat-ayat Al-Qur'an yang penafsirannya dapat dilakukan berdasarkan ijtihad disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan zaman.
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan suatu bangsa, termasuk Indonesia. Pendidikan di Indonesia pada masa Penjajahan Belanda mengalami perkembangan yang sangat lambat, hal tersebut karena adanya kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang sangat menekan laju perkembangan pendidikan Bumi putra. Seiring dengan perkembangan jaman dan kebutuhan pemerintahan Hindia-Belanda terhadap pegawai administrasi pemerintah, maka lambat laun pendidikan bagi bumi putra mengalami perkembangan yang baik.
Politik etis yang dianut dan dijalankan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda mengakibatkan pembukaan sekolah-sekolah menurut sistem barat di wilayah Hindia Belanda. Pembukaan sekolah-sekolah ala Barat itu diperluas sampai teruntuk segenap kalangan masyarakat. Munculnya politik asosiasi yang dilaksanakan pemerintahan Hindia-Belanda, pengetahuan dan kebudayaan barat diperkenalkan disekolah-sekolah lebih luas. Politik asosiasi merupakan kebijakan yang menghendaki rakyat Bumi putra dibina menjadi berpengaruh kebudayaan barat. Pada tingkat dan kalangan tertentu, politik etika dan politik asosiasi yang dilaksanakan pemerintah kolonial Belanda itu berhasil. Sejumlah pengetahuan dan budaya barat diterima dan dimiliki rakyat Bumiputra.[2]
Dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin tinggi serta semakin luas dan deras arus globalisasi yang memungkinkan berdampak positif bagi pendidikan anak, maka semakin terasa kebutuhan masyarakat untuk mengatur atau mengorganisasikan pelimpahan nilai-nilai dan warisan-warisan religius, sosial budaya secara lebih efesien, efektif dan relevan. Maka lahirlah usaha pendidikan yang makin diformalisir, meskipun belum formal benar disertai persyaratan-persyaratan tertentu meskipun belum ketat benar. Produk pendidikan nonformal sangat diperlukan dan lebih banyak manfaatnya serta sangat membantu baik orang tua mapun sekolah dalam bidang pendidikan agama, karena pendidikan agama merupakan bahagian dari kurikulum di sekolah yang belum dapat memperoleh hasil yang maksimal. Oleh rena itu selain di sekolah atau madrasah para orang tua merasa sangat butuh terhadap pendidikan agama non-formal bagi anak-anaknya.
            Semakin merasa penting bagi orang tua terhadap pendidikan agama anak, semakin besar pula akan usaha-usaha yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan agama bagi anak-anak. Salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan dimaksud dapat dilakukan lewat pendidikan agama non formal yang memiliki tenaga pendidikan berkualitas. Masyarakat tidak hanya memerlukan orang yang pandai dalam produksi barang dan jasa, tetapi juga orang-orang yang pandai dalam melatih orang lain untuk pandai.[3]
            Maka pelaksanaan pendidikan agama non formal dalam masyarakat sangat penting kedudukan diterapkan karena pendidikan agama non formal merupakan suatu wadah pembinaan terutama bagi anak-anak di sekitar kita, karena anak dewasa ini sangat memerlukan suatu wadah untuk membina berbagai keterampilan yang tidak didapat melalui pendidikan formal, sehingga sampai pada suatu saat tersebut dapat hidup secara mandiri tanpa merasa ketergantungan terhadap orang lain (bukan dalan arti sebagai makhluk sosial). Pada hakikatnya, penyelenggara pendidikan agama non-formal dalam masyarakat merupakan salah satu usaha baik dari pemerintah maupun swasta kepada masyarakat, terutama bagi masyarakat yang ekonominya tidak memungkinkan. Dengan adanya pendidikan agama non formal yang dilaksanakan secara bebas dan gratis serta tidak terikat oleh sesuatu syarat apapun, dapat dengan mudah menampung melaksanakan pendidikan anak secara merata dalam masyarakat.
            Dari satu sisi penyelenggaraan pendidikan agama non formal, bukan saja untuk menampung anak-anak yang putus sekolah dan membantu pendidikan anak yang keadaan ekonominya lemah. Disamping itu menurut Mulianto Sumardi pendidikan (agama) non formal menjadi salah satu usaha untuk memberantas buta aksara (termasuk buta tulis baca al-Quran) dalam masyarakat yang menjadi salah satu sarana pembinaan berbagai keterampilan, (seperti keterampilan tulis baca al-Quran, keterampilan praktik berbagai ibadah, Aqidah dan Akhlak) di samping juga berbagai keterampilan praktik umum, seperti kursus-kursus menjahit, memasak, peternakan, pertanian, reperasi radio dan TV serta kursus-kursus lainnya.[4]
            Kesemua bentuk keterampilan tersebut sangat memberi arti dalam kehidupan masyarakat, sehingga selesai dari pendidikan tersebut anak dapat hidup dengan kepercayaan pada diri sendiri dan merasa wiraswasta dalam berbagai hal, baik menyangkut keagamaan maupun hal-hal yang bersifat umum.
            Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan agama non formal sangat penting bagi anak, karena pendidikan agama non-formal merupakan suatu pembinaan bagi anak untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan yang praktis, dapat membina dan mengembangkan bakat yang dimilikinya serta dapat menjauhkan anak-anak dari hal-hal yang tidak dinginkan.
            Sedangkan manfaat bagi masyarakat yaitu dapat meningkatkan kesejahteraan mengimbangi kemajuan zaman dan dapat membebaskan masyarakat dari buta aksara (termasuk baca tulis huruf ijaiyah) serta dapat memanfaatkan waktu luangnya dalam mengikuti berbagai aktivitas. Jadi jelas bahwa pendidikan agama non formal sangat besar manfaatnya baik bagi anak-anak dalam suatu masyarakat sekitarnya. Pendidikan non formal adalah pendidikan yang teratur yang sadar melakukan, tetapi tidak selalu mengikuti peraturan-peraturan tetap dan ketat. Pendidikan relatif sama dengan pendidikan formal, dalam arti berlangsungnya program belajar mengajar antara pendidik dan anak direncanakan dan diselenggarakan pada suatu tempat. Secara umum dapat dipahami bahwa pendidikan non formal penyelenggaraannya relatif berjangka pendek dibandingkan dengan pendidikan formal. Contohnya melalui pendidikan kursus-kursus, penataran-penataran umum dan keagamaan, seperti kegiatan dalam lembaga pesantren,  dan lain-lain.
B.    Tujuan Pelaksanaan Pendidikan Agama Non Formal
Dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin tinggi serta semakin luas dan deras arus globalisasi yang memungkinkan berdampak positif bagi pendidikan anak, maka semakin terasa kebutuhan masyarakat untuk mengatur atau mengorganisasikan pelimpahan nilai-nilai dan warisan-warisan religius, sosial budaya secara lebih efesien, efektif dan relevan. Maka lahirlah usaha pendidikan yang makin diformalisir, meskipun belum formal benar disertai persyaratan-persyaratan tertentu meskipun belum ketat benar. Produk pendidikan nonformal sangat diperlukan dan lebih banyak manfaatnya serta sangat membantu baik orang tua mapun sekolah dalam bidang pendidikan agama, karena pendidikan agama merupakan bahagian dari kurikulum di sekolah yang belum dapat memperoleh hasil yang maksimal. Oleh rena itu selain di sekolah atau madrasah para orang tua merasa sangat butuh terhadap pendidikan agama non-formal bagi anak-anaknya.
            Semakin merasa penting bagi orang tua terhadap pendidikan agama anak, semakin besar pula akan usaha-usaha yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan agama bagi anak-anak. Salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan dimaksud dapat dilakukan lewat pendidikan agama non formal yang memiliki tenaga pendidikan berkualitas. “Masyarakat tidak hanya memerlukan orang yang pandai dalam produksi barang dan jasa, tetapi juga orang-orang yang pandai dalam melatih orang lain untuk pandai.”[5]
            Maka pelaksanaan pendidikan agama non formal dalam masyarakat sangat penting kedudukan diterapkan karena pendidikan agama non formal merupakan suatu wadah pembinaan terutama bagi anak-anak di sekitar kita, karena anak dewasa ini sangat memerlukan suatu wadah untuk membina berbagai keterampilan yang tidak didapat melalui pendidikan formal, sehingga sampai pada suatu saat tersebut dapat hidup secara mandiri tanpa merasa ketergantungan terhadap orang lain (bukan dalan arti sebagai makhluk sosial). Pada hakikatnya, penyelenggara pendidikan agama non-formal dalam masyarakat merupakan salah satu usaha baik dari pemerintah maupun swasta kepada masyarakat, terutama bagi masyarakat yang ekonominya tidak memungkinkan. Dengan adanya pendidikan agama non formal yang dilaksanakan secara bebas dan gratis serta tidak terikat oleh sesuatu syarat apapun, dapat dengan mudah menampung melaksanakan pendidikan anak secara merata dalam masyarakat.
            Dari satu sisi penyelenggaraan pendidikan agama non formal, bukan saja untuk menampung anak-anak yang putus sekolah dan membantu pendidikan anak yang keadaan ekonominya lemah. Disamping itu menurut Mulianto Sumardi pendidikan (agama) non formal menjadi salah satu usaha untuk memberantas buta aksara (termasuk buta tulis baca al-Quran) dalam masyarakat yang menjadi salah satu sarana pembinaan berbagai keterampilan, (seperti keterampilan tulis baca al-Quran, keterampilan praktik berbagai ibadah, Aqidah dan Akhlak) di samping juga berbagai keterampilan praktik umum, seperti kursus-kursus menjahit, memasak, peternakan, pertanian, reperasi radio dan TV serta kursus-kursus lainnya.[6]
            Kesemua bentuk keterampilan tersebut sangat memberi arti dalam kehidupan masyarakat, sehingga selesai dari pendidikan tersebut anak dapat hidup dengan kepercayaan pada diri sendiri dan merasa wiraswasta dalam berbagai hal, baik menyangkut keagamaan maupun hal-hal yang bersifat umum.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan agama non formal sangat penting bagi anak, karena pendidikan agama non-formal merupakan suatu pembinaan bagi anak untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan yang praktis, dapat membina dan mengembangkan bakat yang dimilikinya serta dapat menjauhkan anak-anak dari hal-hal yang tidak dinginkan. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok manusia mempunyai tujuan yang hendak di capai, demikian pula dengan pelaksanaan pendidikan agama, baik pada sekolah formal maupun non formal mempunyai tujuan tersendiri yang sesuai dengan konsep-konsep pendidikan agama Islam agar kegiatan tersebut dapat terarah dengan baik.
Bila pendidikan dipandang sebagai suatu proses, maka proses tersebut akan berakhir dengan tercapainya tujuan pendidikan. Suatu tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan pada hakikatnya adalah suatu wujud dan nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia.[7] Tujuan merupakan sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau kelompok orang yang melakukan kegiatan. Tujuan pendidikan adalah tujuan yang ingin dicapai oleh suatu kegiatan lembaga pendidikan, pada garis besarnya tujuan pendidikan itu dapat dibedakan kepada dua macam, Yaitu :
a.   Tujuan umum
Tujuan umum merupakan tujuan akhir yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan ini meliputi aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan. Tujuan dalam pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian seseorang sesuai dengan pandangan hidup masyarakat dimana anak itu dididik. Tujuan atau cita-cita pendidikan harus ditentukan lebih dahulu sebelum pelaksanaan pendidikan dimulai.
Tujuan umum merupakan tujuan tertinggi dalam pendidikan, tujuan umum tidak mungkin dapat dicapai sekaligus dan langsung tapi harus melalui tujuan-tujuan khusus  lainnya. Menurut Hery Noer Aly, dan H. Munzier, S.MA menyatakan bahwa : Tujuan pendidikan Islam sejalan dengan tujuan agama Islam yaitu berusaha mendidik individu mukmin agar tunduk, bertakwa dan beribadah dengan baik kepada Allah, sehingga memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.[8]
Indonesia sebagai negara berfalsafah pancasila menetapkan tujuan pendidikan nasional yang berbunyi sebagai berikut : Meningkatkan kualitas manusia Indonesia yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian mandiri, maju, tanggung jawab, produktif, sehat jasmani dan rohani.[9] Pada sisi lain pendidikan agama nonformal bertujuan mendidik pribadi muslim kearah kesempurnaan sebagai salah satu upaya mengoptimalkan pengabdian kepada Allah, pendidikan lebih ditekankan pada pendidikan moral atau akhlak untuk mengwujudkan pribadi muslim yang sempurna.
Tujuan pendidikan agama nonformal adalah terbentuknya seorang hamba Allah yang bertakwa memiliki multi pendidikan, kemudian merealisasikan segala perintah Allah serta bertanggung jawab dalam melaksanakan seluruh aktivitasnya dengan tujuan untuk tercapainya kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Tujuan umum dalam agama nonformal sesuai dengan al-Qur’an dan hadits misalnya membentuk insan kamil yang diridhai oleh Allah Swt. Bentuk insan kamil dengan pola taqwa harus dapat tergambar pada pribadi seseorang yang sudah dididik, walaupun dalam ukuran kecil dan mutu yang rendah sesuai dengan tingkat tersebut. Pola manusia yang bertakwa dengan sifat-sifat ketakwaannya sudah tercermin pada diri manusia tersebut sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Furqan ayat 63 :
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْناً وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَاماً) الفرقان: ٦٣(
Artinya:   Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.(Qs. Al-furqan:63)

Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa hamba-hamba Allah yang mendapat kemuliaan dari Allah yaitu hamba-hamba yang bertaqwa, Allah sudah menganugerahkan kepada mereka sifat–sifat  yang mulia  sehingga mereka mencapai ketakwaan kepada Allah, diantara sifat-sifatnya adalah :
1.     Orang yang rendah hati dan selalu berkata baik
2.     Orang yang melakukan shalat tahajjud karena Allah Swt
3.     Orang yang senantiasa takut terhadap azab jahannam
4.     Orang yang sederhana dalam mengelola harta/kekayaannya
5.     Orang yang tidak menyekutukan Allah Swt
6.     Orang yang tidak membunuh jiwa selain yang haq
7.     Orang yang tidak melakukan zina
8.     Orang yang bertaubat dengan taubat nashuha
9.     Orang yang selalu berbuat baik
10.  Orang yang tidak memberikan kesaksian palsu
11.  Orang yang menjaga kehormatan dirinya
12.  Orang yang tidak melecehkan peringatan-peringatan Allah
13.  Orang yang berdoa: Ya Allah, anugerahkan kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.
Orang yang sudah bertakwa berarti orang yang mulia disisi Allah SWT, karena mereka mampu melakukan segala perintah Allah dan mampu menjauhi dari perbuatan maksiat dan perbuatan sia-sia serta menempatkan mereka pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan manusia yang lain. Tujuan umum ini hanya dapat dicapai setelah melalui proses pengajaran, pengalaman, pembiasaan, pengahayatan dan keyakinan akan kebenarannya. Tahapan dalam mencapai tujuan ini pada pendidikan formal (Sekolah/Madrasah) dirumuskan dalam bentuk tujuan kurikuler yang selanjutnya dikembangkan dalam tujuan intruksional. Tujuan umum adalah cermin kehidupan manusia menjalankan kehidupan hingga akhir hidupnya.[10]
Tujuan umum atau adalah tujuan tertinggi hubungannya dengan pandangan hidup masyarakat dimana anak diberikan pendidikan. Jadi tujuan umum adalah menerima, menghayati dan menggembangkan pandangan hidup yang dianut oleh masyarakat dan pendidikan.
b.   Tujuan Khusus
Tujuan khusus adalah tujuan yang sifatnya khusus bagi suatu macam atau tingkat perkembangan jiwa raga anak. Timbulnya tujuan khusus hubungannya dengan anak didik yaitu tergantung pada kemampuan dan keinginan anak didik, tergantung pada kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam keluarga dan lingkungan pendidikan anak, tergantung pada kesanggupan yang ada pada pendidik dan tergantung pada tugas lembaga pendidikan.[11] Berikut dipaparkan contoh-contoh tujuan khusus dalam pendidikan antara lain :
1)   Mendidik tenaga profesional dalam bidang kependidikan untuk menjadi guru yang bertakwa
2)   Mempersiapkan sejarawan, budayawan, seniman Islam yang tekun dalam mengaplikasikan aturan agama Islam
3)   Mencetak ahli bahasa arab profesional yang mempunyai jiwa muttaqin
4)   Menyiapkan calon guru kelas pada Madrasah Ibtidaiyah yang mampu mengasuh semua bidang studi
5)   Membina ahli hukum yang mempunyai jiwa bijaksana dan adil yang sesuai dengan undang-undang Islam
6)   Mendidik tenaga ahli yang memahami dan mendalami dalam bidang filsafat, baik filsafat Islam maupun filsafat umum
7)   Mendidik tenaga ahli yang mampu memahami hukum Islam dan sistem hukum nasional
8)   Membina tenaga ahli komputer yang mampu mengaplikasikan komputer dengan benar.
Dari contoh-contoh tujuan khusus diatas akan membawa peserta didik untuk mencapai tujuan akhir pendidikan Islam yaitu menjadi manusia insan kamil, yang dengan keahliannya mampu mengaplikasikan dalam menjalankan ibadah dalam agama. Pencapaian tujuan umum yaitu menjadi manusia yang mencapai kebahagian dunia dan akhirat haruslah melalui fase-fase pencapaian tujuan khusus. Pendidikan agama tidak hanya mengajarkan pengetahuan agama dan melatih ketrampilan dalam melaksanakan ibadah, akan tetapi jauh lebih luas dari pada itu, agama Islam bertujuan membentuk kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran agama.
 Tujuan khusus merupakan alat untuk mencapai tujuan umum dan berbeda pada setiap tingkat perkembangan manusia. Tiap-tiap orang mempunyai kesempatan untuk berkembang dan mendapat kemajuan sendiri sesuai dengan kemampuan dan keinginannya masing-masing. Karena manusia itu berbeda-beda dan tidak mempunyai kesamaan yang merata, maka masing-masing manusia mempunyai tujuan khusus yang berbeda-beda pula. Misalnya seorang anak yang linglung harus dididik kearah yang memusatkan perhatiannya untuk lebih terpusat pada suatu permasalahan, begitu juga dengan seorang anak yang penakut haruslah banyak diberikan pendidikan kearah percaya pada diri sendiri.[12]
Tujuan khusus merupakan tujuan yang akan dicapai untuk tercapainya tujuan umum, dimana pencapaian tujuan umum atau tujuan tertinggi melalui fase-fase tujuan khusus, intinya tanpa tujuan khusus tujuan umum tidak akan tercapai. Tujuan khusus berbeda pada setiap tingkat umur anak dan tingkat perkembangan pengetahuan anak, sehingga dalam pencapaian tujuan khusus setiap manusia mempunyai tingkatan masing-masing.


           
C.    Peranan Pendidikan Agama Non formal Bagi Masyarakat
Berdasarkan pada tantangan yang dihadapi pendidikan agama dan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tersebut di atas, maka bentuk-bentuk peranan masyarakat dalam meningkatkan pendidikan agama adalah sebagai berikut:
1.     Revitalisasi dan reorientasi pendidikan agama di keluarga
Anggota keluarga yang terdiri dari individu-individu masyarakat, memiliki peranan yang strategis dalam memberikan penguatan terhadap pendidikan agama. Tanggung jawab orang tua dalam memberikan pendidikan agama terhadap anggota keluarga akan memberi dampak yang paling nyata dalam peningkatan pendidikan agama. Dengan contoh suri teladan yang baik dalam perilaku keagamaan keluarga, akan lebih efektif dalam proses pencapaian tujuan pendidikan agama, yaitu menjadikan peribadi yang sempurna (berkeperibadian islami).[13]
Di tengah-tengah terjadinya disfungsi keluarga sebagai lingkungan pendidikan partama dan utama, adalah peranan nyata anggota masyarakat saat ini untuk mengembalikan fungsinya sebagai “Madrasatul Ula”. Fungsi-fungsi anggota keluarga harus kembali mendapat penguatan, apakah itu sebagai ayah, ibu maupun anak, yang merupakan lingkungan terkecil dari suatu masyarakat.
2.     Pembiayaan, Pemberian bahan dan sarana pendidikan agama
Salah satu peluang untuk peran serta masyarakat dalam meningkatkan pendidikan agama dan keagamaan adalah dalam hal pembiayaan pendidikannya. Sebagaimana dimaklumi bahwa terutama pendidikan formal yang bercorak keislaman yang dibawah naungan Kementerian Agama RI, seperti: RA, MI, M.Ts, MA atau sejenisnya masih cukup memperihatinkan, apabila dibandingkan dengan pendidikan umum di bawah naungan kemendiknas RI, rata-rata pembiayaan satuan pendidikan agama (unit cost) tersebut, hanya 38 % yang ditanggung pemerintah, selebihnya (62 %) masih ditanggung anggota masyarakat (orang tua) . Hal tersebut menunjukkan contoh konkret peran serta masyarakat sekaligus kemandirian madrasah yang harus dipertahankan, sekaligus ditingkatkan. Sementara itu mayoritas madrasah (91 %) dikelola oleh swasta dengan jumlah keseluruhan satuan pendidikan madrasah sebanyak 40.258 buah.
Peran serta masyarakat juga dapat berupa wakaf tanah untuk penambahan bangunan madrasah, sarana penunjang pendidikan agama, seperti masjid Madrasah, dan saran penunjang lainnya. Sebagaimana pernah dilakukan pula oleh masyarakat pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, dimana sarjana Baitul Hikmah melakukan gerakan wakaf tanah untuk fasilitas pendidikan, seperti perpustakaan, dll. Wakaf pada asalnya adalah bertujuan mengekalkan yang asal dan memanfaatkannya untuk kebaikan, atau harta yang dapat digunakan hasilnya tetapi asalnya kekal.[14]

3.     Penguatan Learning Society dalam Pendidikan Agama
Salah satu sarana potensial dalam penguatan learning society adalah Masjid, Musholla, Langgar dan sejenisnya. Dapat dipastikan hampir tiap RW memiliki Masjid atau Musholla, yang secara umum mempunyai jama’ah masing-masing (yang terdiri dari anggota masyarakat). Dalam kontek ini Masjid telah berfungsi sebagai tempat belajar masyarakat untuk meningkatkan wawasan keagamaan/keislaman. Pusat-pusat pembelajaran masyarakat tentang agama telah berdiri di Masjid selama berabad-abad sehingga sampai sekarang. Namun di era teknologi informasi-globalisasi ini yang meng-hegemony hampir seluruh lapisan kehidupan, maka tradisi mengaji di masjid, mushalla dan langgar pada saat ini berkurang. Jutaan mata masyarakat muslim yang biasa belajar agama selepas shalat magrib sambil menunggu shalat Isya. Sekarang telah beralih di depan televisi, menonton sinetron dan atau jalan-jalan ke Mall.
Dalam kondisi yang seperti tersebut di atas, maka peran serta masyarakat dalam mengembalikan kualitas pendidikan agama dengan penguatan learning society melalui pengajian-pengajian di musholla, masjid, langgar dll., menjadi sangat penting untuk dilakukan secara terprogram, aktif dan kreatif. Selain itu untuk meminimalistir distorsi pemahaman agama masyarakat, dapat dipelopori juga gerakan TV dan internet sehat, dll.
4.     Berpartsipasi aktif dalam Komite Madrasah/Sekolah
Salah satu sarana untuk berperan serta dalam meningkatkan kualitas pendidikan agama adalah masyarakat dapat berperan aktif di Komite Sekolah/Madrasah sebagaimana diatur dalam pasal 56 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, bahwa masyarakat dapat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Termasuk di dalamnya bidang pendidikan agama.
5.     Mendorong dan mendukung semua program Pendidikan Agama di madrasah/sekolah;
Peran serta masyarakat untuk meningkatkan pendidikan agama juga dapat dilakukan dengan mendorong dan mendukung semua kebijakan Sekolah/madrasah yang terkait peningkatan mutu pendidikan agama, baik melalui program kurikuler, misalnya, dengan adanya jam tambahan khusus jam pelajaran agama (Membaca Alqur’an setiap hari pada awal pembelajaran, seperti di Al-Azhar, dan Islamic Fullday School, atau beberapa sekolah umum lainnya, membiasakan berbusana Muslim di Sekolah umum. Dan juga dapat mendukung dalam program ekstrakurikuler, seperti Studi Islam Intensif, Kuliah Dluha, Pesantren Kilat, dll.
6.     Mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan agama yang berbasis mutu
Diakui atau tidak, lembaga pendidikan agama (Islam), secara umum masih dianggap lembaga pendidikan nomor dua jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum lainnya. Dan hal ini pula yang menjadi keprihatinan para pengamat pendidikan Islam. Maka salah satu peran serta aktif masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan agama adalah dengan mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan agama yang berbasis mutu.
7.     Penguatan Manajemen Pendidikan Agama
Salah satu titik kelemahan lembaga pendidikan agama/keagamaan yang mayoritas dikelola swasta, antara lain masih kuatnya manajemen patriarki-ashabiyah. Maksudnya bahwa para pengelola biasanya terdiri dari keluarga, dari mulai ketua Yayasan, Pembina, Pengawas, Pengurus, Kepala Sekolah, Guru, dan lainnya adalah mayoritas terdiri dari unsur keluarga, sehingga yang didahulukan adalah unsur kebersamaan, dan terkadang mengabaikan mutu dan profesionalitas. Misalnya yang banyak terjadi adalah antara Kepala Madrasah/Sekolah dengan Bendahara sekolah adalah suami isteri, gurunya juga adalah anak dari kepala Madrasah/Sekolah tersebut, dan kerabat lainnya.
Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kurang berfungsi-nya unsur-unsur manajemen secara baik, dan memungkinkan akan terhambatnya akselerasi pencapaian program-progam sekolah yang ada, termasuk dalam bidang pendidikan agama. Karena akuntabilitas dan realibilitas unsur-unsur yang ada sulit ditegakkan secara ideal. Maka dalam konteks inilah peran serta masyarakat dapat saling mengawasi terhadap manajemen lembaga pendidikan agama yang ada. Kalaupun ada unsur kekeluargaan sebaiknya tetap memperhatikan profesionalitas.
Adapun manfaat yang lain bagi masyarakat yaitu dapat meningkatkan kesejahteraan mengimbangi kemajuan zaman dan dapat membebaskan masyarakat dari buta aksara (termasuk baca tulis huruf ijaiyah) serta dapat memanfaatkan waktu luangnya dalam mengikuti berbagai aktivitas. Jadi jelas bahwa pendidikan agama non formal sangat besar manfaatnya baik bagi anak-anak dalam suatu masyarakat sekitarnya.
D.    Pendidikan Agama Non Formal Dalam Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Atas dasar amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahan Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa strategi pertama dalam melaksanakan pembaruan sistem pendidikan nasional adalah “pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia”.
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Dalam bab IV pasal (26) Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa:
1.     Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
2.     Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
3.     Pendidikan nonformal meliputi: Pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
4.     Satuan pendidikan nonformal terdiri atas: lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
5.     Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
6.     Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.[15]


[1]Ibid., hal. 20.
[2] Robert Van Niel, Munculnya Elite Modern di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983),hal. 31.
[3] Mulianto Sumardi dan Hans-Dieter Evers, ed. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, Cet. III, Jakarta: Rajawali,1985) ,hal. 305.
[4] Sumardi,  Kemiskinan…., hal. 307.
[5] Sumardi, Kemiskinan ..., hal. 305.
[6] Sumardi., Kemiskinan…., hal. 307.
[7]M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hal. 119.
[8]Hery Noer Aly dan Munzier, Watak Pendidikan Islam, Cet.I, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000), hal. 142.

[9]Departemen Agama RI, Petunjuk pelaksana Kurikulum/GBPP Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Umum, (Jakarta : Dirjen Bimbingan Islam, 1955/1956), hal. 1.
[10]Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 31.
               [11] Ibid., hal. 32.
               [12] Ibid., hal. 34.
[13] Tirtarahardja, Umar dan S.L.La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 28
[14] Nizar, Samsul, Filsafat pendidikan Islam,Pendekatan Historis dan Praktis, Cet.1, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 32.
[15] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Guru dan Dosen, (Jakarta: Tim Pustaka Merah Putih, 2003), hal. 23.