Peran Orang Tua dalam Membentuk Karakter Anak
A.
Peran Orang Tua dalam Membentuk Karakter Anak
Anak merupakan tumpuan masa depan, dan juga sebagai
generasi penerus bangsa. Setiap anak memiliki hak untuk kelangsungan hidup; hak
perlindungan dari pengabaian, penelantaran, perlakuan salah, penganiayaan, eksploitasi;
hak mendapatkan kebutuhan dasar untuk tumbuh kembang optimal jasmani, rohani
dan sosial; hak untuk berpartisipasi dan berkembang demi mencapai masa depan
yang lebih baik. Pola asuh atau parenting style adalah salah satu faktor
penting yang turut membentuk karakter anak. Seperti pepatah “Buah tidak akan
jatuh jauh dari pohonnya” dalam hal ini karakter yang ada pada seorang anak
tidak akan jauh berbeda dengan karakter orang tuanya. Karena sejak lahir
lingkungan terdekat anak adalah lingkungan keluarga. Apabila orang tua terbiasa
mengasuh anak dengan penuh kasih sayang, dan kelembutan maka akan terbentuk
karakter anak yang penuh kasih terhadap sesama. Namun sebaliknya, jika anak
terbiasa diasuh dalam kekerasan, maka anak akan tumbuh menjadi seorang yang
temperamental, dan cenderung akan memiliki kesempatan untuk tumbuh menjadi anak
yang keras pula.
Peran orang tua sangat lah penting dalam membentuk
kepribadian seorang anak, karena dari didikan orangtua lah yang membuat kita
bisa menjadi seperti ini. Orang tua juga sangatlah penting dalam membentuk
pondasi dari kepribadian seorang anak, saya sebagai seorang anak pun sangatlah
merasakan peranan dari orang tua dalam membentuk kepribadian diri saya, apa
saja yang saya lakukan baik sikap maupun kepribadian saya, sedikit banyak
mengikuti sifat dari orangtua saya, terutama hal yang sangat mereka tekankan pada
saya, sejak saya kecil hingga sekarang ini. Sejak kecil, orang tua saya sudah
menanamkan nilai-nilai moral, keagamaan, tata krama, sopan santun, dan lain-lain.
Di dalam materi kali ini saya akan menceritakan beberapa hal peranan orang tua yang saya rasakan selama
ini.
Membangun karakter berarti mendidik. Untuk berpikir
tentang pendidikan dapat kita mudahkan dengan membuat analogi sebagaimana
seorang petani yang hendak bertanam di ladang. Anak yang akan dididik dapat
diibaratkan sebagai tanah, isi pendidiklah sebagai bibit atau benih yang hendak
ditaburkan, sedangkan pendidik diibaratkan sebagai petani. Untuk mendapatkan
tanaman yang bagus, seorang petani harus jeli menentukan jenis dan kondisi
lahan, kemudian menentukan jenis bibit yang tepat, serta cara yang tepat,
setelah mempertimbangkan saat yang tepat pula untuk menaburkan bibit. Setelah
selesai menabur, petani tidak boleh diam, tetapi harus memelihara,
danmerawatnya jangan sampai kena hama pengganggu.[1]
Membangun karakter anak, yang tidak lain adalah mendidik
kejiwaan anak, tidak semudah dan sesederhana menanam bibit. Anak adalah aset
keluarga, yang sekaligus aset bagsa. Membesarkan fisik anak, masih dapat
dikatakan jauh lebih mudah dengan mendidik ajiwa karena pertumbuhanya dapat
dengan langsung diamati, sedangkan perkembangan jiwa hanya diamati melalui
pantulannya.
Menurut Suharsimi Arikunto karakter atau watak seseorang
dapat diamati dalam dua hal, yaitu sikap (attitude) dan perilaku (behavior).
Jadi sikap sesorang termasuk anak-anak, tidak dapat diketahui apabila tidak ada
rangsangan dari luar. Rangsangan itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor
anatara lain cara menyampaikan, waktu terjadinya, pemberian rangsangan dan cara
memberikan rangsangan. Dengan demikian maka pemebntukan sikap yang selanjutnya
merupakan pembetuk karekter atau watak anak, juga sangat tergantung dari
rangsangan pendidikan yang diberikan oleh pendidik.[2]
Banyaknya anak yang terlibat dalam tindak kenakalan nak
baik berupa tindak kekerasan, penipuan, pemerkosaan/pelecehan seksual,
pencurian, perampokan hingga pembunuhan serta tindakan/perilaku yang negatif
lainnya seperti mabuk-mabukan, merokok atau penyalahgunakan narkoba, merupakan
salah satu bentuk gagalnya pendidikan terhadap anak.
Era globalisasi memang telah mengubah segalanya. Beratnya
persaingan hidup telah menyebabkan orang lupa memperhatikan kebutuhn anak
karena sibuk mencari nafkah. Sementara perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi telah menyebabkan budaya luar baik atau buruk mengalir bagitu
derasnya. Dampaknya bila tidak ada pengawasan dan bimbingan yang cukup buruk
dari luar. Oleh karenanya, sejak dini pada anak perlu ditanamkan nailai-nilai
moral sebagai pengatur sikap dan perilaku individu dalam melakukan interaksi
sosial di lingkungan keluarga, masyarakat maupun bangsa[3].
Terdapat tiga teori perkembangan yang diyakini menentukan
hasil jadi seorang anak. Pertama, teori tabula rasa, yakni teori yang
menyatakan bahwa hasil jadi seorang anak sangat ditentukan seperti apa dia
dididik. Teori ini mengibaratkan anak sebagai kertas putih yang kosong,
tergantung siapa yang menulis dan melukisnya. Menulis dengan rapi atau dengan
mencoret-coret bahkan diremas hingga kumal. Semua tergantung yang memegang
kandali atas kertas putih tersebut.
Kedua, teori genotype, yang menyatakan bahwa hasil
akhir seorang anak sangat ditentukan oleh gen (sifat, karakter,
biologis) orang tuanya. Pepatah sering mendukung teori ini dengan
perumpamanaan: air hujan mengalir tak jauh dari atapnya. Sifat kareakter,
hingga yang lebih ekstrim lagi nasib anak-anak dianggap tidak akan jauh dari
situasi orang tuanya. Penganut paham ini sangat kenatar jika sampai pada keputusan
menentukan jodoh anak-anaknya. Orang tuanya cocok, maka hubungan anaknya boleh
berlanjut, namun jika tidak cocok maka biasanya orang tua tidak akan memberi
restu hubungan anaknya.
Ketiga, teori gabungan yang menggabungkan 2 karakter di
atas di tambah denagn faktor mileu (lingkungan). Teori ini banyak
dipakai oleh para psikolog maupun pengembang pendidikan. Teori ini meyakini
bahwa hasil akhir seorang anak ditentukan oleh tiga hal: faktor orang tua,
faktor pendidkan dan faktor lingkungan. Banyak faktor lingkungan yakni dengan
siapa dia bergaul, bergaul, pengaruh orang-orang dekat, paling diyakini sangat
efektif mempengaruhi perkembangan anak.
Membangun karakter anak dengan demikian dibutuhkan upaya
serius dari berbagai pihak terutama keluarga untuk mengkondidikan ketiga faktor
di atas agar kondusif untuk tumbuh kembang anak. Pendidikan karakter pada anak
harus siarahkan agar anak memiliki jiwa mandiri, bertanggung jawab dan mengenal
sejak dini untuk dapat membedakan hal yang baik dan buruk, benar-salah,
hak-batil, angkara murka-bijaksana, perilaku hewani dan manusiawi.[4]
Berdasarkan pendapat diatas, maka penulis berkesimpulan bahwa
seseorang memiliki sifat dan karakter
berdasarkan didikannya dan pondasi yang didirikan oleh orang tuanya
masing-masing. Dan tergantung bagai mana cara orang tua mereka mengarahkan
anaknya. Dan agar generasi penerus bangsa ini, menjadi lebih baik, harus di
mulai dari orangtua yang cerdas, dan memiliki pengetahuan yang luas, memiliki
nilai moral, dan senantiasa selalu berpedoman kepada al-quran dan sunnah
rasulullah. Sehingga generasi yang akan datang menjadi generasi yang dapat
memimpin negeri ini dengan baik.