Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Peranan Ulama Dayah dalam Mengembangkan Pendidikan Agama Islam di Aceh


A.    Peranan Ulama Dayah dalam Mengembangkan Pendidikan Agama Islam di Aceh
              
Peranan Ulama Dayah dalam Mengembangkan Pendidikan Agama Islam di Aceh
                                                   
Sejak Islam pertama kali sampai ke Aceh, ulama telah memainkan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan rakyat Aceh. Dalam hal ini, sejumlah ahli memandang bahwa faktor jaringan ulama Haramain telah memberikan warna intelektual di Aceh. Kehadiran mereka saat itu juga sangat diharapkan oleh masyarakat guna mengajar mereka ajaran-ajaran Islam. Di samping itu, para ulama juga menjadi penasehat para raja. Dengan begitu, segala keputusan mereka akhirnya menjadi kebijakan kerajaan dalam bidang agama. Hingga saat sebelum kedatangan penjajah dari  benua Eropa, ulama di Aceh telah dijadikan sebagai panutan dalam pengembangan tradisi keilmuan Islam. Karena itu, tidak sedikit dari mereka yang kemudian menyebarkan ajaran Islam ke daerah lain seperti Sumatera Barat dan pulau Jawa. Diaspora ini tentu saja kemudian mengakibatkan Aceh semakin dikenal luas oleh masyarakat Nusantara. Bukan hanya disitu, karya-karya ulama yang tinggal di Aceh dijadikan bahan rujukan dalam tradisi keilmuan Islam di Nusantara.[1]
Istilah “Ulama” adalah jamak dari ‘alim sebagai sighah mubalaghah, yang berarti orang yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang sesuatu. Kata ulama menunjukkan kepada keahlian dan spesifikasi. Dengan demikian kata ‘alim berbeda dengan kata ‘alim yang berarti orang yang tahu tetapi belum tentu mendalam.[2]
Di Nanggroe Aceh Darussalam, ulama memiliki posisi khusus di tengah-tengah masyarakat. Mereka bukan hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai otoritas yang menjadi rujukan masyarakat dalam berbagai persoalan sosial budaya dan persoalan-persoalan keseharian. Karena itu ulama dayah tersebut menjadi panutan rakyat dan memiliki kharisma yang tinggi di mata masyarakat. Lebih dari itu, di era perjuangan, ulama dayah adalah sebagai kekuatan dalam melawan penjajah. Oleh karena itu, Snouck Hurgronje, seorang advisor pemerintah kolonial Belanda, menyarankan kepada pemerintahannya untuk menekan para ulama dan membatasi ruang gerak mereka hanya dalam bidang keagamaan dan seremonial ibadat saja.[3] Orang Aceh saat itu dianggap sebagai penjahat dan pembunuh oleh Belanda, karena melawan pemerintahannya, meskipun bagi orang Aceh hal tersebut adalah bagian dari perjuangan keagamaan mereka.[4] Semua gerakan ini dimotori oleh para ulama, dan dayah adalah pusat kekuatan dan sumber inspirasi bagi berbagai gagasan ke arah perjuangan dan perubahan.
Lembaga pendidikan khas Aceh yang selanjutnya disebut Dayah merupakan sebuah lembaga yang pada awalnya memposisikan dirinya sebagai pusat pendidikan pengkaderan ulama. Kehadirannya sebagai sebuah institusi pendidikan Islam di Aceh bisa diperkirakan hampir bersamaan tuanya dengan Islam di Nusantara. Kata Dayah berasal dari bahasa Arab, yakni zawiyah, yang berarti pojok.[5] Istilah zawiyah, yang secara literal bermakna sudut, diyakini oleh masyarakat Aceh pertama kali digunakan sudut mesjid Madinah ketika Nabi Muhammad saw berdakwah pada masa awal Islam. Pada abad pertengahan, kata zawiyah difahami sebagai pusat agama dan kehidupan mistik dari penganut tasawuf, karena itu, didominasi hanya oleh ulama perantau, yang telah dibawa ke tangah-tengah masyarakat. Kadang-kadang lembaga ini dibangun menjadi sekolah agama dan pada saat tertentu juga zawiyah dijadikan sebagai pondok bagi pencari kehidupan spiritual. Dhus, sangat mungkin bahwa disebarkan ajaran Islam di Aceh oleh para pendakwah tradisional Arab dan sufi; Ini mengidentifikasikan bagaimana zawiyah diperkenalkan di Aceh.[6]  Di samping itu, nama lain dari dayah adalah rangkang. Perbedaannya, eksistensi dan peran rangkang dalam kancah pembelajaran lebih kecil dibandingkan dengan dayah.
Ulama Dayah merupakan suatu komunitas khusus di antara ulama Aceh. Mereka adalah alumni dari dayah. Oleh karena itu mereka dianggap lebih terhormat dibandingkan dengan orang yang menuntut ilmu di tempat/lembaga pendidikan lain, seperti lulusan madrasah atau sekolah. Orang-orang yang belajar di tempat kecuali dayah dan mampu menguasai ilmu agama secara mendalam disebut sebagai “ulama modern”, walaupun perbedaannya tidak begitu jelas.[7]
Fungsi pendidikan yang dilakukan oleh ulama Aceh sudah terlihat semenjak Islam diperkenalkan kepada masyarakat. Penyebaran dan pengenalan Islam kepada masyarakat pada waktu itu juga dilakukan melalui pendidikan. Lembaga pendidikan Zawiyah (sekarang dikenal dengan nama dayah) adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat Aceh pada masa itu. Ulama melalui lembaga pendidikan dayah telah sangat berjasa mengajarkan pendidikan agama sampai sekarang ini. Berkat jasa para ulama itu juga sekarang ini lembaga pendidikan dayah dan balai-balai pengajian sudah tersebar di semua pelosok Aceh. Kewujudan lembaga pendidikan inilah yang menjadi benteng utama pertahanan syiar Islam di bumi Aceh walaupun selalu dihantam oleh berbagai gerakan pemudaran syariat dengan berbagai bingkai seperti pluralisme, leberalisme, sekulerisme dan berbagai isme-isme yang sesat lainnya. Saya yakin bahwa jika Aceh tidak memiliki jaringan lembaga dayah yang mengakar ke dalam masyarakat seperti sekarang ini, niscaya Aceh akan terbenam ke dalam kubangan kejahilan, kemungkaran bahkan kemurtadan.
Dalam menjalankan fungsi dakwah menghasruskan para ulama untuk terlibat dalam berbagai ranah kehidupan ummat, tidak hanya dalam persoalan agama saja namun juga termasuk dalam ranah sosial. Fungsi ini pula yang menyebabkan ulama berkerja keras terlibat dalam permasalahan masyarakat. Dengan tanpa mengharapkan imbalan apapun para ulama selalu siap menampung berbagai keluhan yang disampaikan kepada mereka sehingga menjadikan mereka sebagai pemimpin kultural (kharismatik) dalam kehidupan masyarakat Aceh. Sebenarnya apabila merujuk kepada sejarah awal Islam, baik yang  dipraktekkan oleh Rasulullah maupun Khulafaur Rasyidin, maka tidak ditemukan adanya pemisahan antara ranah agama dengan dan ranah sosial, tetapi keduanya memiliki hubungan yang saling melengkapi dalam mengantarkan ummat untuk menggapai kehidupan yang sejahtera.          



               [1] Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Membangun Kembali Jati Diri Ulama Aceh (Pengantar Penerjemah),” dalam M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah: Pengawal Agama Masyarakat Aceh, (Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003), hal. xi-xii.
               [2] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam, (Bandung: Citapustaka Media, 2004), hal. 29.
              
               [3] Muntasir, Dayah Dan Ulama Dalam Masyarakat Aceh, dalam Sarwah, vol II, hal. 43.

               [4] Amiruddin, Ulama Dayah, Pengawal Agama Masyarakat Aceh, (Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003), hal. 1.
               [5] Ibid., hal. 2.

               [6] Amiruddin, Ulama Dayah...., hal. 33.

               [7]M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah: Peran dan Responnya terhadap Pembaruan Hukum Islam, dalam Dody S.Truna dan Ismatu Ropi (ed.), Pranata Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 119.