Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Perbedaan Tasawuf Klasik dengan Tasawuf Modern


A.    Perbedaan Tasawuf Klasik dengan Tasawuf Modern


Sufi (pengamal ajaran tasawuf) adalah orang yang berusaha membersihkan diri dari sesuatu yang hina dan menghiasi dirinya dengan sesuatu yang baik, yaitu akhlak rabbaniyah, atau sampai pada maqam tertinggi.[1]  Dan jika seseorang telah dekat dengan Allah dan meraih cinta-Nya, karena kemuliaan akhlaknya, maka secara otomatis ia pun akan dekat dan dicintai oleh sesama manusia. Pemahaman itu tetap dipedomani sampai sekarang. Tasawuf kontemporer tidak terlepas dari kontek ajaran tasawuf klasik. Tetapi tidak memiliki silsilah secara langsung terhadap tasawuf klasik. Kalau masih ada silsilah, tentu saja ia masih masuk kategori tasawuf klasik.
Tasawuf kontemporer terdapat di wilayah masyarakat kota mengambil ajaran tasawuf dan mengemasnya menjadi industri baru berbasis agama karena dibutuhkan oleh masyarakat kota. Kejenuhan masyarakat kota terhadap persaingan hidup membuat pasar tasawuf tumbuh dan masuk wilayah komunikasi massa dan teknologi. Tasawuf kontemporer adalah penamaan yang pada dasarnya berakar dan berada pada barisan neo-sufisme Rahman.[2] dan tasawuf modern, yang diusung Hamka. Menurut Hamka, tasawuf modern adalah penghayatan keagamaan esoteris yang mendalam tetapi tidak dengan serta merta melakukan pengasingan diri (‘uzlah). Neo-sufism menekankan perlunya keterlibatan diri dalam masyarakat secara lebih dari pada sufisme terdahulu. Neo Sufism cenderung menghidupkan kembali aktifitas salafi dan menanamkan  kembali sikap positif terhadap kehidupan.[3]
Pemahaman ini bisa memberi bukti konkrit ketika melihat fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kota saat ini. Terdapat lembaga-lembaga tasawuf yang tidak memiliki akar langsung kepada tarekat dan digelar massal juga komersial. Sekedar misal, Indonesian Islamic Media Network (IMAN), Kelompok Kajian Islam Paramadina, Yayasan Takia, Tasauf Islamic Centre Indonesia (TICI). Kelompok ini mencoba menelaah dan mengaplikasikan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari secara massal. Misalnya dzikir bersama, taubat, Terapi Dzikir. Wajah tasawuf dalam bentuk lain dilakukan dan sangat laku Emotional Spritual Question (ESQ) di bawah pimpinan Ari Ginanjar. Konon, konsep awal ESQ ini, dilakukan oleh kaum nashrani di Eropa dan Amerika dalam mengantisipasi kebutuhan jiwa masyarakat kota setempat.
Selain bentuk lembaga, dalam pengembangannya melibatkan komunikasi massa. Misalnya, promosi dalam bentuk buku, pamflet, iklan, adventorial, program audio visual CD, VCD, Siaran Televisi, hingga internet.  Siaran televisi yang sehari-hari dapat ditonton, memperlihatkan kecenderungan yang sama besarnya dengan booming sinetron misteri dengan tayangan dzikir bersama dan ceramah agama.   Karena masuk pada ranah industri dan bersentuhan dengan komersialisme, tasawuf terkesan menjadi alat untuk mengedepankan perilaku keagamaan yang katarsis. Bersedih dan disedih-sedihkan. Taubat, sebuah jendela masuk tasawuf menjadi arena penyesalan yang dipertontonkan. Dzikir  dilapadzkan secara bersama-sama dan dipandu,  yang dipaksa-paksa menjadi seolah-olah  khusyu’, dan, doapun    disandiwarakan dengan tetes air mata. Jika tidak hati-hati, pola seperti ini akan terjerumus dalam pseudo tasawuf. Tasawuf yang hanya mengedepankan tontonan daripada substansi penghayatan dan internalisasi dalam keseharian.
Karena ia masuk dalam wadah publikasi, maka ongkos yang harus dibayar adalah tumbuhnya idola baru yang menjadi pujaan. Berbeda dengan tasawuf klasik dan tarekat yang memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap guru spiritual, Tasawuf kontemporer adalah pemujaan idola yang tiada berbeda dengan pemujaan manusia sekuler terhadap Madonna. Maka, tidaklah  heran, jika hari lebaran, salah satu baju “wajib” dibeli kaum muslim adalah baju (simbol) yang dipakai sang idola. Suasana religius yang terpaksa hadir itu juga dibayar mahal jika akan menghadirkan sang idola ke sebuah majelis. Sungguh naif, bila dipandang dari segi ajaran tasawuf itu sendiri. Selain bentuk-bentuk di atas, tanpa mengurangi kehadiran tasawuf klasik yang masih berkembang bersamaan juga dengan tarekat yang sudah pula masuk ke kota besar, tasawuf kontemporer juga ditunjukkan dalam bentuk terapi pengobatan. Pengamalan ibadah mahdhah yang lengkap dan metode tasawuf  yang dijalankan selama 24 jam dengan paket pengobatan yang mahal pula.[4]
Agaknya, inilah yang lebih spesifik dalam tasawuf kontemporer. Sebuah bentuk baru yang terjadi di tengah masyarakat kota. Jika masa modern banyak dihadapkan pada semangat untuk kembali kepada bentuk lebih positif dan kemurnian ajaran agama, maka pada tasawuf kontemporer adalah beralihnya model dari sifat tasawuf individual kepada wilayah massa. Hal ini berangkat dari kegagalan dalam pencitraan dan kekosongan jiwa, setidaknya pada massa terdapat pengakuan terhadap diri individu yang masuk kelompok ibadah tersebut. Wilayah massa itu adalah  masyarakat yang memiliki wadah komunikasi massa dan teknologi informasi. Tasawuf masuk menjadi bagian dari perangkat hidup dengan wajah baru yang sesuai pada selera zamannya.


[1] Abu  Bakar Aceh, Pengantar...,hal. 19.
[2] Nasirudin,Pendidikan...,hal. 23.

[3] Muhammad Sholikhin,  Tasawuf Aktual menuju Insan Kamil, (Semarang: Pustaka Nun, 2004), hal. 38.
[4] Said dkk.,Usman, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama: Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, t. k., 1981/1982), hal. 27.