BAB II
Permasalahan Nafkah Dan Nusyuz
A.
Nafkah
1.
Pengertian
Nafkah
Nafkah dalam Bahasa
Arab berasal dari perkataan (نفق - ينفق –
نفقة) artinya perbelanjaan. Dan tidak digunakan
kecuali untuk hal-hal yang baik saja.[1]
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa nafkah itu hendaklah terdiri dari suatu yang
halal, sedangkan benda yang haram tidak termasuk dalam kategori ini.
Dalam ta’rif yang lain, nafkah bermaksud untuk
dibelanjakan oleh seseorang tertentu yang terdiri dari kaum kerabat dan isteri.[2]
Menurut Subhi al-Mahsani nafkah meliputi makanan, pakaian dan tempat tinggal.
Sebab yang mewajibkan nafkah adalah karena perkawinan atau keturunan.
Jika dilihat dari
istilah umum, nafkah ialah sesuatu yang dibelanjakan oleh seseorang kepada
orang lain baik berupa uang, makanan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya
berdasarkan uruf sesuatu tempat. Menurut fuqaha, nafkah yang dikehendaki
hanyalah makanan semata. Walau bagaimanapun apa yang dimaksudkan dengan nafkah
di sini ialah sesuatu yang diperlukan oleh isteri seperti makanan, pakaian,
tempat tinggal dan perkhidmatan lain yang menjadi kebiasaan mengikut masyarakat
setempat.[3]
Menurut Wahbah Adz
Zuhaily, bahwa nafkah dapat dibagi kepada dua macam, yaitu:
- Nafkah yang wajib ke atas diri sendiri apabila ia mampu, wajib ia mendahului dirinya atas orang lain.
- Nafkah yang wajib ke atas orang lain dan sebab kewajibannya adalah isteri, kerabat dan orang yang dimiliki.[4]
Dalam buku Syari’at Islam, kata nafkah mempunyai makna
segala biaya hidup yang merupakan hak isteri dan anak-anak dalam hal makanan,
pakaian dan tempat kediaman serta beberapa kebutuhan pokok lainnya, bahkan
sekalipun si isteri itu seorang wanita yang kaya.[5]
Ibn Hazm tidak memberikan pengertian nafkah itu secara
definitif, tetapi dari ungkapan-ungkapannya dipahami apa yang dimaksud dengan
nafkah. Dia menyatakan dalam kitabnya al-Muhalla:
وينفق
الرجل على امرأته من حين يعقد نكاحها فالموسر، خبز الحوارى واللحم, وفاكهة الوقت
على حسب مقداره والمتوسط على قدر طاقته والمقل أيضا على حسب طاقته.[6]
Artinya: “Dan seorang laki-laki menafkahi
isterinya dari semenjak ia menikahinya, maka bagi orang yang mampu memberikan
roti yang patut, daging dan buah-buahan musim sesuai dengan kemampuannya dan
orang yang sederhana sesuai dengan kesanggupannya dan orang-orang yang kurang
mampu sesuai dengan kesanggupannya”.
Kemudian dijelaskan
lagi:
Artinya: “Dan semestinya dia
menempatkannya (isterinya) sesuai dengan kemampuannya”.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
kewajiban seseorang untuk mengeluarkan nafkah kepada siapa yang berhak
menerimanya, seperti suami berhak memberi nafkah kepada isterinya, anak-anaknya
bahkan untuk kedua orang tuanya apabila mereka sudah lemah dan tidak mempunyai
harta, serta kepada kerabat yang tidak mampu. Kewajiban memberi nafkah tersebut
diberikan menurut kesanggupannya. Hal ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan
dan kemampuannya agar selaras dengan keadaan dan standar kehidupan mereka.
2.
Sebab-Sebab
Wajibnya Nafkah
Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap isteri. Firman
Allah SWT. dalam surat
al-Thalaq ayat 6:
أسكنوهن
من حيث سكنتم من وجدكم ولا تضاروهن لتضيقوا عليهن وإن كن أو لات حمل فأنفقوا عليهن
حتى يضعن حملهن .... (الطلاق: ٦)
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di
mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan
jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka melahirkan....”. (Q.S: al-Thalaq: 6)
Allah SWT. berfirman dalam surat
al-Thalaq ayat 7:
لينفق
ذوسعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما آتاه الله لا يكلف الله نفسا إلا ما
آتاها سيجعل الله بعد عسر يسرا. (الطلاق: ٧)
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi
nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya maka
hendaklah ia memberi nafkah dari apa yang diberikan Allah SWT. kepadanya
(sekadar yang mampu). Allah SWT. tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan”. (Q.S: al-Thalaq: 7)
Menurut Imam al-Syaukani, ayat tersebut menunjukkan
bahwa suami wajib memberi nafkah kepada isteri begitu juga kepada anak-anaknya.
Rasulullah SAW. bersabda:
عن
عائشة قالت: دخلت هند بنت عتبة امرأة أبي سفيان على رسول الله صلى الله عليه وسلم
فقالت: يا رسول الله إن أبا سفيان رجل شحيح لا يعطيني من النفقة ما يكفينى ويكفى
بنى إلاما أخذت من ماله بغيرعلمه فهل على في ذلك من جناح فقال رسول الله صلى الله
عليه وسلم خذى من ماله بالمعروف ما يكفيك ويكقى بنيك. (متفق عليه)[8]
Artinya: “Dari Aisyah r.a. berkata: Bahwa Hindun
binti Utbah isteri Abu Sufyan telah menghadap kepada Rasulullah SAW. dan ia
berkata. wahai Rasulullah SAW., sesungguhnya Abu Sufyan itu adalah seorang yang
kikir, ia tidak mahu memberi belanja yang cukup buatku dan anak-anakku,
melainkan dengan hartanya yang aku ambil tanpa sepengetahuan dia. Apakah itu
dosa ku? Maka baginda bersabda: Ambillah dari hartanya yang cukup buatmu dan
anak-anakmu dengan cara yang baik”. (H.R:
Muttafaqun Alaihi)
Imam Syafi’i menyebutkan, dengan itu menunjukkan bahwa
laki-laki berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Kewajiban memberi
nafkah menurut adat adalah wajib terhadap laki-laki, karena kalau dilihat
kepada nash, kebanyakkannya lebih cenderung kepada pihak laki-laki. Ibnu
Qudamah berkata, bahwa para ahli ilmu sepakat tentang kewajiban suami
membelanjai isteri-isterinya bila sudah baligh.[9]
Seorang ayah berkewajiban untuk menjaga dan memenuhi
kebutuhan pokok kepada anak dan isterinya karena mereka adalah orang-orang yang
diwajibkan oleh Allah SWT. nafkah ke atasnya. Dengan adanya ikatan pernikahan
yang sah, maka menjadi kewajiban bagi suami memberi nafkah kepada isterinya.
Dengan perkawinan yang sah itu isteri menjadi terikat kepada suaminya, isteri
wajib taat kepada suami, harus menjaga kehormatan diri dan juga suami.
Sebab-sebab wajibnya memberikan nafkah dapat digolongkan
kepada tiga sebab, yaitu:
- Sebab perkawinan.
- Sebab masih ada hubungan kerabat/keturunan.
- Sebab pemilikan.[10]
ad. 1. Sebab Perkawinan
Perkawinan adalah
merupakan salah satu kebutuhan naluri manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
dalam melakukan hubungan biologis dan hidup berkeluarga. Islam sangat menyukai
perkawinan, hal ini terlihat dengan banyak sekali ayat-ayat al-Quran dan
hadits-hadits Nabi yang menjelaskan tentang anjuran untuk berkawin, diantaranya
sabda Rasulullah SAW:
عن
أبى عبد الرحمن قال: قال لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: يا معشر الشباب من
استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم
فإنه له وجاء. (رواه مسلم)[11]
Artinya: “Dari Abdurrahman, Rasulullah SAW.
bersabda: Wahai para pemuda, barang siapa yang telah mampu hendaklah ia kawin,
sebab perkawinan akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan,
kalau belum mampu maka berpuasalah karena puasa akan menjadi perisai baginya”. (H.R: Muslim)
Perkawinan
merupakan salah satu sebab wajibnya nafkah, karena adanya aqad nikah. Semua
kebutuhan isteri menjadi tanggungan suaminya. Sabda Rasulullah SAW:
عن
جابر رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم فى حديث الحج بطوله قال فى ذكر
النساء ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف. (رواه مسلم)[12]
Artinya: “Dari Jabir r.a. dari
Nabi SAW. dalam hadits haji yang panjang, Beliau bersabda tentang wanita
(isteri): Kalian wajib memberi nafkah pada mereka dan memberi pakaian dengan
cara yang baik”. (Dikeluarkan oleh Muslim).
Jadi berdasarkan
hadits tersebut, jelaslah bahwa seorang suami berkewajiban memberi nafkah
kepada isterinya, memenuhi kebutuhan hidupnya selama ikatan suami isteri
(perkawinan) masih berjalan, si isteri tidak nusyuz dan tidak ada sebab lain
yang akan menyebabkan terhalangnya nafkah. Begitu pula sebaliknya si isteri
wajib mematuhi perintah suaminya dan taat kepadanya. Aqad nikah itulah yang
menimbulkan hak dan kewajiban di antara mereka (suami isteri).
ad. 2. Sebab Masih Ada
Hubungan Kerabat/Keturunan
Dalam agama Islam,
hubungan nasab atau keturunan merupakan hubungan vertikal yang dapat menguasai,
artinya dengan adanya hubungan nasab seseorang dapat menerima harta warisan.
Karena hubungan keluarga sangatlah dekat maka timbullah hak dan kewajban.
Seperti halnya dalam kewajiban memberi nafkah, baik kepada isteri, anak-anak
maupun kepada kedua orang tua.
Ahli fiqih
menetapkan bahwa hubungan kekeluargaan yang menyebabkan nafkah adalah keluarga
dekat yang membutuhkan pertolongan.[13]
Imam Hanafi berpendapat wajib nafkah kepada kaum kerabat oleh kerabat yang lain
adalah hendaknya hubungan kekerabatan antara mereka itu merupakan hubungan yang
menyebabkan keharaman nikah.[14]
Setiap hubungan
yang baik itu disifatkan dengan persaudaraan, dan setiap yang berkasih sayang
itu dimisalkan sebagai orang yang bersaudara. Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT:
.... واذكروا نعمة الله عليكم إذكنتم اعداء فالف بين قلوبكم
فأصبحتم بنعمته إخوانا.... (ال عمران: ١٠٣)
Artinya: “.... Dan ingatlah akan
nikmat Allah kepadamu, ketika kamu bermusuh-musuh, maka dipersatukan-Nya hati
kamu (dalam agama Allah) sehingga dengan karunia-Nya itu kamu menjadi
bersaudara....” (al-Imran: 103)
Selanjutnya Allah
berfirman:
إنماالمؤمنون
إخوة.... (الحجرات: ١٠)
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah bersaudara.... (al-Hujrat: 10)
Dari ayat-ayat di
atas jelas bahwa Allah SWT. memandang tinggi hubungan persaudaraan dan
kemesraan senantiasa mengikat jiwa mereka untuk dijauhkan dari rasa hasad dan
dengki. Sesungguhnya perbuatan ini merupakan perbuatan amar ma’ruf dan dapat
mencegah diri dari dari perbuatan-perbuatan yang mungkar.
ad. 3. Sebab Pemilikan
Pemberian nafkah kepada hamba, baik laki-laki atau
perempuan. Wajib ke atas mereka diberi makan dan minum. Mereka tidak boleh
diberati dalam pekerjaan, malainkan sesuai dengan kemampuannya sesuai dengan
sabda Rasulullah SAW:
عن
أبى هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم قال: للمملوك طعامه وكسوته ولا يكلف من
العمل ما لا يطيق. (رواه ومسلم)[15]
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a.,
ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Hak bagi hamba (berhak memperoleh)
makanannya, yang memiliki memberi makanannya dan pakaiannya dan ia tidak boleh
diberati bekerja, melainkan sekadar kemampuannya”.
(H.R: Ahmad dan Muslim)
Setelah zaman
berkembang dari zaman ke zaman sampailah sekarang ini, pemilikan hamba tidak
lagi berlaku di dunia ini. Pada masa sekarang status hamba telah berubah
seiring dengan perkembangan zaman yang serba modern ini. Perbudakan tidak lagi
berlaku di zaman ini. Sekarang hanya ada majikan dan pekerja, maka setiap
pekerja harus mendapatkan hak dari majikannya berupa upah atas segala pekerjaan
yang dilakukan olehnya.
Dalam hal keadaan
sekarang masih juga berlaku ketidakadilan bagi pekerja yang keringatnya dikuras
habis-habisan tanpa diberi upah malahan dianiaya seperti yang banyak terjadi di
dalam kasus-kasus pekerja pembantu rumah tangga yang dianiaya dan tidak diberi
upah yang selayaknya. Seorang pembantu atau pekerja tentu mempunyai hak dalam
menjamin nafkahnya dan untuk menafkahi keluarganya supaya hidup mereka aman dan
tenang. Rasulullah SAW. juga mempertegas masalah ini sepertimana dalam sabda
Baginda:
عن
عبدالله بن عمر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أعطوا الأجير أجره قبل أن
يجف عرقه. (رواه إبن ماجه)[16]
Artinya: “Daripada Abdullah bin
Umar berkata: Telah berkata Rasulullah SAW. berikanlah upah seseorang buruh itu
sebelum kering keringatnya”. (H.R. Ibnu Majah)
Oleh karena itu,
tidak ada bedanya zaman lampau atau zaman sekarang, kewajiban memberikan nafkah
kepada hamba yang dimiliki atau pekerja di bawah majikan haruslah sesuai
menurut kebutuhan dan dilarang sama sekali oleh syara’ memberati pekerjaannya
di luar batas kemampuannya.
3.
Kadar
Nafkah Yang Wajib Diberikan
Pengaturan mengenai
kadar nafkah yang harus dipenuhi oleh seorang suami atau ayah, baik dalam
al-Quran maupun dalam hadits, tidak pernah disebutkan secara tegas mengenai kadar
atau jumlah nafkah yang wajib diberikan. Al-Quran dan hadits hanya memberikan
gambaran umum seperti firman Allah SWT:
لينفق ذو سعة من سعته ومن قدر
عليه رزقه فلينفق مما آتاه الله لا يكلف الله نفسا إلا ماآتاها سيجعل الله بعد عسر
يسرا. (الطلاق: ٧)
Artinya:“Hendaklah orang yang mampu memberikan
nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah
memberikan nafkah dari harta yang diberikan Allah SWT. kepadanya. Allah SWT. tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah SWT. berikan
kepadanya. Allah SWT. kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (Q.S: al-Thalaq: 7)
Abu as-Su’ud
memberikan penafsiran terhadap ayat tersebut bahwa setiap orang, baik ia orang
yang mampu atau ia orang yang tidak mampu, supaya menafkahkan apa yang telah
diusahakannya, besar atau kecil, karena Allah SWT. tidak memberatkan seseorang
kecuali dengan apa yang diusahakannya, dan pada ayat tersebut terdapat kebaikan
untuk mengangkat orang yang sulit dan meringankannya untuk memberikan apa yang
telah diupayakannya.[17]
Kesimpulan dari
penafsiran ayat di atas dapatlah dipahami bahwa Allah SWT. tetap memberlakukan
kewajiban nafkah kepada setiap orang tetapi berdasarkan kesanggupannya. Hal ini
menunjukkan adanya kemudahan yang diberikan oleh Allah SWT. dengan
mempertimbangkan kondisi seseorang itu tanpa memberatkannya dengan bebanan yang
tidak sanggup dipikul olehnya.
Apabila suami
tinggal bersama isterinya dan memberikan nafkah dengan mencukupi akan segala
kebutuhannya seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal maka si isteri tidak
berhak menuntut ditentukan jumlah nafkahnya. Namun sebaliknya jika si suami itu
seorang yang kikir serta tidak memenuhi kebutuhan hidupnya atau meninggalkannya
tanpa pemberian nafkah, maka si isteri boleh mengajukan jumlah nafkah untuk
dirinya. Hakim pula berkewajiban untuk memutuskan kadar nafkah dan suami pula
wajib memenuhinya bila mana dakwaan isterinya itu benar. Isteri dibenarkan
mengambil kekayaan suaminya untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
cara yang baik, sekalipun suaminya tidak mengetahui karena dianggap tidak
menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami merangkap pemimpin rumah tangga
sebagaimana diterangkan dalam hadits Nabi SAW:
عن
عإشة أن هند بنت عتبة قالت يارسول الله أن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطينى
مايكفينى وولدى إلا ماأخذت منه وهو لا يعلم فقال خذى ما يكفيك وولدك بالمعروف.
(رواه البخارى)[18]
Artinya: “Dari
Aisyah , ia berkata:
Sesungguhnya Hindun putri Utbah pernah berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya
Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang sangat kikir. Dia memberi selalu tidak
mencukupi kebutuhanku dan anakku, kecuali kalau aku mengambil miliknya tanpa
sepengetahuannya. Baginda bersabda: Ambillah sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhanmu
dan anakmu dengan cara yang ma’ruf”. (HR:
al-Bukhari)
Imam Syafi’i
berpendapat, bahwa nafkah diukur berdasar kaya dan miskinnya suami tanpa
melihat keadaan isteri, yang demikian itu bila dikaitkan dengan persoalan
sandang, pangan, sedangkan dalam hal papan disesuaikan dengan apa yang patut
baginya menurut kebiasaan yang berlaku dan tidak pada kondisi suami.[19]
Menurut imam Syafi’i, yang kaya wajib memberikan nafkah
untuk seorang isteri dua cupak beras tiap-tiap hari, suami yang miskin secupak
beras dan suami yang menengah secupak setengah. Ukuran satu cupak beras
kira-kira sekati atau enam ons. Dan menurut mazhab yang lain nafkah itu tidak
ditentukan kadarnya melainkan sekadar mencukupi untuk isteri.
Ibn Hazm berpendapat, bahwa kemampuan seseorang
menyebabkan relatifnya jumlah nafkah yang harus diterima isteri, dia tidak
membuat suatu ketetapan jumlah ataupun ukuran yang harus diberikan. Semuanya
diserahkan kepada kemampuan yang ada pada suami. Hal tersebut sepertimana
diungkapkannya:
وينفق
الرجل على امرأته من حين يعقد نكاحها دعى الى البناء او لم يدع، فالموسر خبز
الحوارى واللحم وفاكهة الوقت على حسب مقداره والمتوسط على قدر طاقته والمقل أيضا
حسب طاقته.[20]
Artinya: “Dan seorang laki-laki menafkahi
isterinya dari semenjak ia menikahinya, baik ia mengajak kepada bina
(berkumpul) atau tidak, maka bagi orang yang mampu memberikan roti yang baik,
daging dan buah-buahan yang sedang musim dengan memadai ukurannya dan orang
yang sedang kemampuannya memberikan sesuai dengan kemampuannya”.
Berikutnya Ibn Hazm
menyatakan:
ويكسو
الرجل امرأته على قدر ماله فالموسر يؤمر بأن يكسوها الخز وماأشبهه والمتوسط جيد
الكتان والقطن والمقل على قدره.[21]
Artinya: “Dan seorang laki-laki memberi pakaian
isterinya sesuai dengan kemampuan hartanya, maka orang yang mampu diperintahkan
memberi pakaian isterinya berupa kain sutera dan sejenisnya. Orang yang
sederhana dengan kain katun atau linen yang baik, orang yang kurang mampu
sesuai dengan kesanggupannya”.
Tidak ada batasan
jumlah nafkah yang harus diberikan seorang suami kepada isterinya menurut Ibn
Hazm, di samping berbedanya kondisi seorang suami dan dikarenakan berbedanya
kebiasaan suatu daerah. Apa yang harus diberikan dan berapa ukurannya
disesuaikan menurut kebutuhan suami isteri. Pamahaman ini diambil dari apa yang
diungkapkan Ibn Hazm sebagai berikut:
فإن
كان فى بلد لايأكلون فيه إلا التمر أو التين أو بعض الثمار, أو اللبن, أو السمك,
قضى لهابها يفقانه أهل بلدها كما ذكرنا وأكثر النفقة عندنا رطلان بالبغدادى.[22]
Artinya: “Maka andaikan dalam negeri tersebut
orang-orang tidak memakan kecuali tamar atau buah tin atau sebagian
buah-buahan, susu, ikan, ditetapkan baginya apa yang dimakan oleh penduduk negerinya sebagaimana yang kami sebutkan dan
sebanyak-banyak nafkah bagi kami di Baghdad
adalah dua Rattal (8 ons)”.
B.
Nusyuz
1.
Pengertian
Nusyuz
Kata nusyuz berasal dari Bahasa Arab nasyaza yang
berarti tempat yang tinggi dari bumi atau berarti tempat yang tinggi dari
lembah ke bumi dan merupakan masdar dari nasyaza, yansyuzu, nusyuzan
yang berarti melihat dengan jelas dari tempat bagian bumi yang tinggi.[23]
Dalam Fath ar-Rahman, kata nasyaza disebutkan
dalam al-Quran sebanyak lima kali pada tiga tempat, yakni an-syuzu dalam
surat al-Mujadalah ayat 11 sebanyak dua kali dengan arti berdiri, kemudian satu
kali dalam surat al-Baqarah ayat 259 nusyuzuha dengan arti menyusun
kembali, dan dua kali dalam suarat al-Nisa’ yakni nusyuzuhunna pada ayat
34 dan dan nusyuzan pada ayat 128 yang kedua-duanya berarti nusyuz.[24]
Nusyuz merupakan
istilah al-Quran, para ahli menafsirkan pengertian globalnya sebagai
pembangkangan suami atau isteri atau salah satu pihak telah meninggalkan
kewajibannya. Salah satu bentuk nusyuz isteri adalah meninggalkan rumah tanpa
izin suami, melanggar perintahnya atau membencinya dan bersikap sombong
terhadapnya, sedangkan nusyuz suami yaitu ia bersikap kasar terhadap isteri,
tidak menggauli atau tidak memberikan nafkah kepada isteri.
Farid Wajdy
mengartikan nusyuz sebagai berikut:
Artinya: “Nusyuz laki-laki yaitu
timbulnya gejolak durhaka mendurhakai dan nusyuz perempuan terhadap suaminya
adalah ia durhaka atasnya dan mencari-cari kemarahannya”.
Menurut Zainuddin
bin Abdul Aziz, nusyuz itu adalah:
Artinya: “Pengertian nusyuz
adalah penolakan si isteri terhadap suami bila diajak untuk bersenang-senang
sekalipun bersenang-senang dalam bentuk bersentuhan atau pada salah satu
anggota tubuh si isteri yang dikehendaki oleh suaminya”.
Ibn Hazm tidak
mengemukakan definisi nusyuz secara jelas, hanya dapat dipahami dari
ungkapannya sebagai berikut ini:
Artinya: “Dan hendaklah berlaku
adil di antara para isteri karena itu adalah fardu, halal bagi suami memisahkan
diri darinya sehingga isteri tersebut mentaatinya dan suami boleh memukulnya”.
Dari beberapa
kutipan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa nusyuz itu merupakan suatu
tindakan isteri yang dapat diartikan menentang kehendak suami dengan tidak
berdasarkan syara’ sehingga meninggalkan hak dan kewajiban. Apabila suami telah
melihat adanya gejala-gejala nusyuz pada isterinya, maka suami wajib menempuh
jalan kebijaksanaan untuk mengembalikan isterinya kepada kedudukannya semula
dengan tindakan yang bersifat mendidik.
Dengan ini juga
dapat diambil kesimpulan bahwa seorang isteri yang berbuat nusyuz, maka
tindakan suami adalah menasihatinya, memisahkannya dari tempat tidur dan dapat
memukulnya. Kebolehan memisahkan diri dari tempat tidur dan memukulnya ketika
mana ia berbuat nusyuz telah diatur dalam al-Quran melalui surat al-Nisa’ pada ayat 34 yaitu:
.... والتى تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن فى المضاجع واضربوهن....
Artinya: “....Wanita-wanita yang
kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari
tempat tidur mereka, dan pukullah mereka....”.
Adapun bentuk-bentuk tindakan isteri yang dapat
dikategorikan nusyuz antara lain ialah isteri membangkang terhadap suami, tidak
mematuhi ajakan atau perintahnya, menolak berhubungan suami isteri tanpa ada
alasan yang jelas dan sah atau isteri keluar meninggalkan rumah tanpa
persetujuan atau seizin suami.[28]
Dalam kontek sekarang ini, izin suami harus dipahami
secara profesional, ini karena izin secara langsung untuk setiap tindakan
isteri tentu suami tidak selalu dapat melaksanakannya. Misalnya karena suami
selalu tidak dapat berada di rumah setiap masa. Untuk itu perlu dilihat macam-macam
tindakannya sepanjang perbuatan itu positif dan tidak mengundang kemungkinan
timbulnya fitnah, maka dengan izin suami memperbolehkannya, dapat diketahui
oleh si isteri tersebut. Meskipun demikian al-Quran telah memberi peringatan
bahwa wanita-wanita yang shaleh ialah wanita yang taat kepada Allah dan
Rasul-Nya serta memelihara diri di belakang suaminya.
2.
Batasan-batasan
yang Dikatakan Nusyuz
Dalam al-Quran surat al-Nisa’ ayat 34
disebutkan ada dua jenis wanita yaitu wanita yang solehah dan wanita yang
nusyuz. Wanita yang solehah ialah yang taat kepada Allah SWT. dan menjaga
kehormatan diri disaat suaminya tidak ada di rumah. Isteri yang menjaga
kehormatan diri disaat suaminya tidak di rumah adalah menjaga segala sesuatu
yang mesti dipelihara, baik berkenaan dengan kehormatan diri maupun harta
benda. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi SAW. sebagai berikut:
عن سعيد المقبرى عن أبى
هريرة قال قيل لرسول الله صلعم أي النساء خير؟ قال التى تسره اذا نظر وتطيعه اذا
أمر ولا تخالفه في نفسها ومالها بمايكره. (رواه النسائى)[29]
Artinya: “Dari Sa’id al-Muqbiry dari Abu Hurairah
r.a. berkata: ketika Rasulullah SAW. ditanya, wanita bagaimana yang baik? Jawab
beliau: wanita yang menyenangkan suaminya, bila dilihat, dan mentaatinya bila
disuruh, serta yang tidak mengerjakan sesuatu yang dibenci suaminya, baik yang
menyenangkan dirinya maupun hartanya”. (H.R:
An-Nasa’i)
Wanita yang nusyuz
adalah wanita yang keluar dari ketaatan terhadap suaminya, seharusnya tidak
dilakukan oleh wanita yang solehah terhadap suaminya. Menurut Imam Syafi’i,
secara garis besar memberikan kriteria isteri yang nusyuz kepada dua yaitu:
isteri nusyuz bil qauli dan isteri nusyuz bil fi’li.[30]
Pengertian isteri
nusyuz bil qauli adalah isteri yang nusyuz dengan perkataannya,
kebiasaan suami memanggilnya, ia datang dan menjawab dengan baik, bila suami
suami berbicara dengannya dijawab dengan perkataan atau kalimat yang baik dan
bagus, bila isteri nusyuz adalah melakukan sikap yang berbeda dari sikap-sikap
di atas. Jadi isteri yang nusyuz bil qauli ialah apabila suami
memanggilnya dia tidak menjawab panggilan dengan jawaban yang baik, dan bila
suaminya berbicara dia menjawab dengan perkataan yang kasar.[31]
Tetapi berbeda halnya jika berprilaku kasar yang sudah menjadi watak si isteri,
maka sesungguhnya itu tidak dikatakan nusyuz.[32]
Isteri nusyuz bil
fi’li adalah isteri yang nusyuz dengan perbuatannya, biasanya ketika suami
mengajak ke tempat tidur (firasy) maka disambutnya dengan muka yang manis atau
biasanya bila suaminya masuk ke rumahnya dia berdiri untuk menyambutnya. Bila
isteri nusyuz melakukan hal-hal yang berbeda dari perlakuan-perlakuan seperti
di atas,bila suaminya mengajak kepada firasy (tempat tidur) maka dia
memandang dengan muka masam dan dengan rasa benci, dan jika suaminya masuk dia
tidak berdiri untuk menyambutnya dan melayaninya.[33]
Perlakuan-perlakuan
isteri yang dikatakan sebagai nusyuz antara lain adalah:
1.
Apabila
seorang isteri keluar dari rumah tanpa izin dari suami, baik sepengetahuan
suami ataupun tanpa sepengetahuannya dan kepergiannya itu tidak ada keuzuran
seperti menjenguk orang yang sakit atau meninggal sebagaimana kebiasaannya yang
berlaku atau kepergiannya karena menuntut ilmu atau meminta fatwa yang suaminya
tidak mengajarkannya atau untuk menjenguk orang tuanya sebelum ada larangan
dari suaminya atau keluar untuk mencari nafkah yang suaminya sulit untuk
mendapatkannya.[34]
2.
Isteri
tidak membukakan pintu untuk membolehkan suaminya masuk atau sebaliknya yaitu
isteri tidak mengizinkan suaminya keluar dari rumahnya pada yang bukan haknya
atau gilirannya.[35]
3.
Isteri
tidak membiarkan suaminya untuk menguasainya meskipun bukan untuk jimak dengan
tidak ada keuzuran padanya.
Perbuatan-perbuatan isteri sebagaimana yang diuraikan di
atas dapat dikatakan nusyuz. Oleh karena isteri telah menghilangkan hak suami
atas dirinya, sehingga suami tidak memiliki kehalalan terhadap isterinya, atau
dengan kata lain tidak ada tamkin atas suaminya.
Menurut Ibn Hazm, seorang isteri boleh dikatakan nusyuz
apabila isteri tersebut menolak atau tidak mentaati suaminya bila ia diajak
untuk jimak. Karena pengertian mentaati suami adalah bila ia mengajak kepada
jimak saja.[36]
Hal tersebut di pahami oleh Ibn Hazm berdasarkan firman Allah SWT.
فإن اطعنكم فلاتبغوا عليهن سبيلا. (سورة النساء: ٣٤)
Artinya: Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah
kamu mencari jalan untuk menyusahkannya. (an-Nisa’: 34)
Adanya
kata mentaati itu karena ada nusyuz yang
dinyatakan pada ayat lain:
والتى تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن فى المضاجع
واضربوهن.
Artinya: Wanita-wanita yang kamu
khawatir berbuat nusyuz, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari
tempat tidur mereka dan pukullah mereka.
Dengan demikian jelaslah, bahwa
pengertian taat dalam ayat tersebut termask memenuhi hajat suami bila mengajak
kepada jimak. Dalam penjelasan selanjutnya Ibn Hazm mengemukakan suatu riwayat
sebagaimana berikut:
Artinya: Dari Thariq Syu’bah aku bertanya kepada Hakam
bin Utaibah tentang seorang perempuan yang keluar dari rumah, dalam keadaan
marah, adakah baginya nafkah? Dia berkata: Ya, ada.
Kondisi
isteri yang keluar dari rumah suaminya dalam keadaan marah, menurut pendapat
Ibn Hazm sebagai isteri yang nusyuz
terhadap suaminya. Jika dilihat dari pernyataan sebelumnya, bahwa seorang
isteri dikatakan telah nusyuz bila tidak memenuhi ajakan atau tidak mentaati
suaminya untuk jimak, maka boleh jadi keluarnya isteri dari rumah suaminya
dalam keadaaan marah tersebut adalah suatu sikap penolakkan atau tidak patuh
terhadap ajakan suami kepada jimak.
Selanjutnya
Ibn Hazmberpendapat, bahwa jika seorang isteri tidak mahu membantu suami, yaitu
tidak memasak, tidak menyapu rumah dan lain-lainnya maka hal tersebut tidaklah
dikatakan nusyuz, karena hal itu tidaklah harus dilakukan oleh isteri akan
tetapi jika dilakukan lebih baik baginya. Demikian halnya seorang isteri tidak
boleh berpuasa sunat bila suaminya ada, kecuali dengan izinnya, tidak
memasukkan orang yang dibenci suaminya ke dalam rumah, tidak menghalangi suami
atas dirinya kapan diinginkannya dan
menjaga harta suaminya. Kesemuannya ini tidak menjadi sesuatu yang haram ditaati oleh isteri terhadap suami.
Dengan
demikian dapat dipahami, bahwa dalam al-Quran dan as-Sunnah tidak dijelaskan
secara rinci terhadap isteri nusyuz. Namun Ibn Hazm telah menemukan batas
tersendiri berdasarkan pemahaman ayat dan hadits secara zahir, yaitu isteri
nusyuz adalah isteri yang menolak diajak oleh suami untuk jimak, tetapi jika
isteri melakukan perbuatan lain selain penolakan jimak, isteri tersebut tidak
dikatakan nusyuz.
3.
Tindakan
Suami Terhadap Isteri Nusyuz
Kewajiban utama seorang isteri adalah patuh dan taat
terhadap suaminya, karena suami adalah pemimoin terhadap isterinya, sebagaimana
firman Allah SWT:
االرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على
بعض.... (النساء: ٣٤)
Artinya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita
oleh karena Allah SWT. telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang
lain.... (al-Nisa’: 34)
Dalam
suatu hadits Rasulullah SAW. diterangkan:
حدثنا أبو بكر بن أبى شيبة، ثنا عفان، ثنا حماد بن
سلمة, عن على إبن زيد بن حدعان, عن سعيد بن المسيب, عن عائشة أن رسول الله صلعم
قال: لو أمرت أحدا أن يسجد لأحد لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها. (رواه إبن ماجه)[38]
Atinya: Telah berkata Abu Bakar bin Abi Shaibah, dan
Affan dan Hamad bin Salamah, daripada Ali Ibn Zaid bin Had’ani, daripada Said
bin Musayyab, dari Aisyah, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: Kalau sekiranya
aku memerintahkan seseorang supaya bersujud kepada seseorang tentu aku
peintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya. (H.R: Ibn Majah)
Dari
ayat dan hadist di atas jelaslah, bahwa wanita (isteri) diperintahkan untuk
patuh kepada suaminya. Jika kemudian isteri itu nusyuz maka al-Quran memeberi
petunjuk pada suami dalam menghadapinya, sebagaimana firman Allah SWT:
والتى تخافون نشوزهن فعظوهن وهجروهن فى المضاجع
واضربوهن.
Artinya: Wanita-wanita yang khawatir nusyuznya, maka
nasihatilah mereka, dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukullah
mereka.
Mujahid
menafsirkan ayat tersebut, bahwa apabila seseorang isteri nusyuz dari tempat
tidur suaminya dikatakan kepadanya: Bertaqwalah kamu kepada Allah SWT. dan
kembalilah kamu ketempat tidurmu, maka jika dia telah mentaatimu, maka tidak
ada jalan lain baginya.[39]
Penafsiran
mujahid merupakan tindakan nasihat terhadap isteri yang nusyuz, sebagaimana
yang telah disebutkan oleh al-Quran, bila isteri telah mentaati suaminya itu
sudah cukup. Sebaliknya bila isteri tidak mentaati, maka suami berkewajiban
mengambil tindakan selanjutnya, seperti yang diperintahkan oleh Allah
berdasarkan ayat di atas, yakni memisahkan isterinya dari tempat tidurnya.
Apabila tindakan suami tersebut tidak merubah perilaku isteri, maka suami harus
melakukan cara yang terakhir yaitu memukulnya.
Dalam
pelaksanaan pukulan itu hendaknya tidak pada suatu tempat dan dihindari memukul
wajah, sebab wajah merupakan pusat kecantikan seseorang wanita itu. Jangan
memukul dengan cemeti atau tongkat, tapi harus diperhatikan dengan cara
kelembutan dalam usaha menyedarkan isteri.[40]
Hakikat
memukul isteri tidak boleh menyebabkan terjadinya kekerasan atau perkelahian
antara pasangannya, karena tindakan itu sama sekali tidak Islami. Dalam suatu
hadits diterangkan, bahwa Rasulullah SAW. memukul hamba Allah dengan kekerasan:
عن إياس بن عبدالله بن أبى ذباب قال: قال رسول الله
صلعم لا تضربوا إماءالله فجاء عمر الى رسول الله صلعم فقال ذئرن النساء على
أزواجهن فرخص فى ضربهن فاطاف بال رسول الله صلعم نساء كثير يشكون أزواجهن فقال
النبى صلعم لقد طاف بال محمد نساء كثير يشكون أزواجهن ليس أولئك بخياركم. (رواه
أبو داود) [41]
Artinya: Dari Iyas bin Abdillah bin Abi Zubab r.a. dia
berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Janganlah kalian memukul hamba-hamba wanita
Allah. Maka Umar datang mengadap Rasulullah SAW. dan berkata: Bagaimana para
isteri yang berani terhadap suami mereka. Maka beliau memberi hukum keringanan
untuk memukul mereka. Kemudian berdatanganlah kaum wanita di malam hari kepada
keluarga Rasulullah SAW. mengadukan perihal suami mereka, lalu Nabi SAW.
bersabda: Sungguh telah berdatangan banyak wanita kepada keluarga Muhammad mengadukan
hal suami mereka. Para suami yang memukul
siteri-isteri mereka itu, bukanlah sebaik-baik suami di antara kalian. (H.R:
Abu Daud)
Menurut
Ibn Hazm, jika didapati seorang isteri yang nusyuz, maka tindakan suami
terhadapnya ialah memisahkan dirinya dari tempat tidur sehingga isteri tersebut
taat, kemudian memukulnya dengan pukulan mendidik yang tidak membuat cedera dan
tidak menimbulkan bekas. Untuk lebih jelas hal ini dinyatakan sebagai berikut:
فان عصته حل له هجرتها حتى تطيعه وضربها بمالم يؤلم
ولا يخرج ولا يكسر، ولا يعفن فان ضربها بغير ذنب اقيدت منه. [42]
Artinya: Maka jika dia (isteri) bermaksiat kepada suami,
dihalalkan baginya untuk memisahkan diri darinya sehingga ia mentaatinya dan
memukulnya selama tidak menyakiti, tidak melukai, tidak memecahkan dan tidak
membuat menjadi koyak, maka jika memukulnya tanpa ada salah maka dia terikat
karenanya.
Pendapat
ini didasarkan kepada suarat an-Nisa’ ayat 34, sebab terdapat hukum kebolehan
melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan oleh Allah SWT., karena adanya suatu
sebab, yaitu kebolehan memisahkan diri dari isteri dan kebolehan memukulnya,
oleh karena khawatir akan nusyuznya.[43]
Dari
pernyataan Ibn Hazm tersebut dapat dipahami bahwa tindakan yang harus dilakukan
oleh suami sebagai tindakan terhadap isteri yang nusyuz yaitu memisahkan
dirinya dari tempat tidur sampai isterinya taat kepadanya. Selama berpisah
diharapkan isteri tersebut akan berubah pikirannya dan kembali taat kepada
suaminya, dan suami akan reda emosinya. Namun bila tindakan ini tidak merubah
perilaku isterinya, maka suami boleh melakukan tindakan selanjutnya dengan
memukul isterinya yang nusyuz itu selama tidak membuat cedera atau meninggalkan
bekas luka. Jika si isteri telah sadar dan mula taat kembali kepadanya, maka
suami dilarang mencari-cari kesalahannyya lagi. Sehubungan dengan keterangan di
atas, sabda Rasulullah SAW:
عن حكيم بن معاوية القشيرى عن ابيه قال: قلت يا
رسول الله ما حق زوجة احدنا عليه؟ قال تطعمها اذا طعمت وتكسوها اذا اكتسيت او
اكتسبت ولا تضرب الوجه ولا تقبح ولا تظهرالا فى البيت. (رواه أبو داود)[44]
Artinya: Dari Hakim bin Mu’awiyah
al-Qasyiri dari ayahnya dia berkata: Pernah aku bertanya ya Rasulullah, apakah
kewajiban suami terhadap isterinya? Beliau menjawab: Hendaklah kamu memberi ia
makan dan memberinya pakaian apabila kamu berpakaian. Dan jaganlah kamu memukul
wajahnya, jangan mencelanya dan jangan memisahkan dirinya kecuali di dalam
rumah. (H.R: Abu Daud)
Dalam
hadits yang lain baginda Rasulullah SAW. menjelaskan sebagai berikut:
عن سليمان ابن عمر إبن الاحوص حدثنى أبى أنه شهد
حجة الودع مع رسول الله صلعم فحمد الله واثنى عليه وذكروا وعظ ثم قال: استوصوا
بالنساء خير فانهن عندكم عوان ليس تملكون منهن شياغير ذلك الا ان يأتين بفاحشة
مبينة فان فعلن فاهجروهن فى المضاجع واضربوهن ضربا غير مبرج فان اطعنكم فلا تبغوا
عليهن سبيلا ان لكم من نسائكم حقا ولنسائكم عليكم حقا فاما حقكم على نسائكم فلا
يوطئن فرشكم من تكرهون ولا يأذن فى بيتكم لمن تكرهون الا وحقهن عليكم ان تحسنوا
اليهن فى كسوتهن وطعامهن. (رواه إبن ماجة)
[45]
Artinya: Dari Sulaiman bin Amar bin
al-Ahwas, bahwa ayahku telah mengkhabarkan kepadaku, bahwasanya ia menghadiri
Haji Wada’ bersama Rasulullah SAW. maka Rasul memuji dan menyanjung Allah SWT.,
berzikir dan memberi wasiat. Kemudian Rasulullah SAW. bersabda: Berwasiatlah
kamu sekalian kepada wanita dengan baik, karena mereka adalah sebagai penolong
untuk kamu. Dan kalian tidak memiliki apa-apa selain yang demikian itu. Kecuali
kalau mereka melakukan kejahatan secara terang-terangan. Bila mereka
melakukannya, maka pisahkan diri mereka
dalam urusan tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak
menyakitkan. Kemudian jika mereka mentaatinya, maka janganlah kamu mencari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya kamu sekalian mempunyai hak terhadap
isteri kamu, dan isteri kamu mempunyai hak terhadap kamu, ada pun hak kamu
terhadap isteri kamu adalah tidak memasukkan orang yang kamu benci ke dalam
rumahmu. Ingatlah dan kewajiban kamu terhadap mereka adalah membaguskan mereka
dalam hal pakaian dan makanan mereka. (H.R: Ibn Majah)
Dari
beberapa kutipan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa nusyuz itu merupakan
suatu tindakan isteri yang dapat diartikan menentang kehendak suami dengan
tidak berdasarkan syara’ sehingga meninggalkan hak dan kewajiban. Apabila suami
telah melihat adanya gejala-gejala nusyuz pada isteri, misalnya isteri
meninggalkan rumah tanpa izin suami, isteri enggan melaksanakan kewajiban
selaku isteri, isteri membangkang menolak berhubungan suami isteri tanpa
alasannya, maka Allah SWT. memberi jalan kepada suami agar menghadapi hal
demikian dengan menempuh jalan kebijaksanaan untuk mengembalikan isteri kepada
kedudukannya semula dengan tindakan yang bersifat mendidik. Janganlah suami
menjadikan nusyuz isteri sebagai alasan untuk menghukum isteri seenaknya saja.
Untuk itu sebelum mengambil sesuatu tindakan, perlu diteliti secara cermat,
karena bisa jadi penyebab utama isteri nusyuz adalah sebagai akibat dari
tingkah laku dan watak suami yang tidak berkenan di hati isteri atau tindakan
suami yang mengabaikan kewajibannya.
[1]Basri Ibrahim, Perkawinan dan Perceraian Serta Kesan-kesannya,
Kuala Lumpur :
Darul Nu’man, 1997, hlm. 278.
[2]Ahmad Al-Kubaisi, Al-Ahwal Al-Syaksiyah Fi Al-Fiqh Wa Al-Qada Wa
Al-Qanun, Juz I, Baghdad: Maktabah Irshad, hlm. 135.
[3]Basri Ibrahim, Op. Cit., hlm. 279.
[4]Wahbah Adz Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, Beirut : Darul Fikri.
T.t., hlm. 765.
[5]Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, Jakarta : Rineka Cipta,
1992, hlm. 121.
[6]Ibn Hazm, al-Muhalla, Juz IX, Beirut , Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah,
t.t., hlm. 249.
[8]Shahih Muslim, Kitab Shahih Muslim, Juz. II, Bandung : Dahlan, t.t., hlm. 60.
[9]Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz. VII, Beirut : Alim Al-Kutub, t.t., hlm. 564.
[10]Imron Abu Amar, Fath al-Qharib, Menara Kudus, t.t., hlm. 96.
[11]Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz I, Bandung : Al-Ma’arif, t.t., hlm. 583.
[13]Imron Abu Abu Amar, Fath al-Qharib, Menara Kudus, t.t., hlm.
96.
[14]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Cet. I, Jakarta : Basrie Press,
1994, hlm. 150.
[16]Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Jilid II, Beirut : Darul Fikri, 1995, hlm. 20.
[17]Abi as-Su’ud Muhammad al-Amadi, Tafsir Abi as-Su’ud, Juz. V, Riyadh : Maktabah ar-Riyad
al-Hadis, t.t., hlm. 347.
[18]Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,
Juz. VII, Semarang :
Asy Syifa’, 1993, hlm. 263.
[19]Muhammad Jawab Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta : Lentera Basritama, 1996, hlm.402.
[20]Ibn Hazm, Al-Muhalla, Juz IX, Beirut Libanon: Dar Al-Kutub
Al-Ilmiah, t.t. hlm. 249.
[23]Ibn Manzur Jamaluddin Muhammad, Lisan Al-Arab, Juz VII, Dar
Al-Misyiyah, t.t., hlm. 284.
[24]Al-Husni al-Muqaddis, Fath ar-Rahman, Indonesia :
Maktabah Dahlan, t.t., hlm. 435.
[25]Muhammad Farid Wajdy, Dairatul Ma’arif Fi’il Quran, Kairo,
1964, hlm. 236.
[26]Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibari Al Fannani, Fathul Mu’in,
Juz II, Bandung :
Sinar Baru Algensindo, 1994, hlm. 1462.
[27]Ibn Hazm, Al-Muhalla, Juz IX, Beirut Libanon: Dar al-Kutub
al-Ilmiah, t.t., hlm. 175.
[28]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Juz VII, Kairo: Maktabah Al-Adab,
1966, hlm. 175.
[29]Al-Hafiz Jalaluddin as-Sayuti, Sunan an-Nasa’i,Juz V, Beirut , Libanon: Dar
al-Ma’rifah, 1991, hlm. 377.
[30]Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, Juz V,
Mesir: Dar as-Sya’bi, t.t., hlm. 176.
[31] Muhammad Najib al-Muti’i, Kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab,
Juz XV, Arab Saudi: Maktabah al-Irshad, t.t., hlm. 233.
[32]Ibrahim al-Bajuriy ‘Ala ibn Qasim al-Qazily, Juz II, Semarang : Toha Putra,
t.t., hlm. 111.
[33]Muhammad Najib Al-Muti’i, Op. cit., hlm. 124.
[34]Syihabuddin al-Qalyubi, Qalyubi wa’ Amirah, juz IV, Semarang : Toha Putra,
t.t, hlm. 78.
[36]Ibn Hazm, Op. cit., hlm. 228.
[37]Ibn Hazm, Op. cit., hlm. 250.
[38]Al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qadhwiyani, Sunan Ibn
Majah, Juz I, Semarang :
Toha Putra, t.t., hlm. 595.
[39]Abi Ja’far Muhammad bin Jarir at-Tabari, Op. cit., hlm. 65.
[40]Alauddin Abi Bakar bin Mas’ud, Badai’u as-Sana’i, Juz II, Beirut : Dar Al-Kutub
Al-Ilmiah, t.t., hlm. 114.
[41]Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz II, Semarang : Toha Putra, hlm. 492.
[45]Al-Hafiz Abi Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qadhwiyani, Op. cit.,
hlm. 594.
0 Comments
Post a Comment