Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Permasalahan Nafkah Dan Nusyuz


BAB II
Permasalahan Nafkah Dan Nusyuz



A.    Nafkah
1.     Pengertian Nafkah
            Nafkah dalam Bahasa Arab berasal dari perkataan (نفق -  ينفق – نفقة) artinya perbelanjaan. Dan tidak digunakan kecuali untuk hal-hal yang baik saja.[1] Ketentuan ini dimaksudkan bahwa nafkah itu hendaklah terdiri dari suatu yang halal, sedangkan benda yang haram tidak termasuk dalam kategori ini.
            Dalam ta’rif  yang lain, nafkah bermaksud untuk dibelanjakan oleh seseorang tertentu yang terdiri dari kaum kerabat dan isteri.[2] Menurut Subhi al-Mahsani nafkah meliputi makanan, pakaian dan tempat tinggal. Sebab yang mewajibkan nafkah adalah karena perkawinan atau keturunan.
            Jika dilihat dari istilah umum, nafkah ialah sesuatu yang dibelanjakan oleh seseorang kepada orang lain baik berupa uang, makanan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya berdasarkan uruf sesuatu tempat. Menurut fuqaha, nafkah yang dikehendaki hanyalah makanan semata. Walau bagaimanapun apa yang dimaksudkan dengan nafkah di sini ialah sesuatu yang diperlukan oleh isteri seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan perkhidmatan lain yang menjadi kebiasaan mengikut masyarakat setempat.[3] 
            Menurut Wahbah Adz Zuhaily, bahwa nafkah dapat dibagi kepada dua macam, yaitu:
  1. Nafkah yang wajib ke atas diri sendiri apabila ia mampu, wajib ia mendahului dirinya atas orang lain.
  2. Nafkah yang wajib ke atas orang lain dan sebab kewajibannya adalah isteri, kerabat dan orang yang dimiliki.[4]
Dalam buku Syari’at Islam, kata nafkah mempunyai makna segala biaya hidup yang merupakan hak isteri dan anak-anak dalam hal makanan, pakaian dan tempat kediaman serta beberapa kebutuhan pokok lainnya, bahkan sekalipun si isteri itu seorang wanita yang kaya.[5]
Ibn Hazm tidak memberikan pengertian nafkah itu secara definitif, tetapi dari ungkapan-ungkapannya dipahami apa yang dimaksud dengan nafkah. Dia menyatakan dalam kitabnya al-Muhalla:
وينفق الرجل على امرأته من حين يعقد نكاحها فالموسر، خبز الحوارى واللحم, وفاكهة الوقت على حسب مقداره والمتوسط على قدر طاقته والمقل أيضا على حسب طاقته.[6]
Artinya: “Dan seorang laki-laki menafkahi isterinya dari semenjak ia menikahinya, maka bagi orang yang mampu memberikan roti yang patut, daging dan buah-buahan musim sesuai dengan kemampuannya dan orang yang sederhana sesuai dengan kesanggupannya dan orang-orang yang kurang mampu sesuai dengan kesanggupannya”.

            Kemudian dijelaskan lagi:
ويكسو الرجل إمرأته.[7]
Artinya: “Dan semestinya dia menempatkannya (isterinya) sesuai dengan kemampuannya”.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban seseorang untuk mengeluarkan nafkah kepada siapa yang berhak menerimanya, seperti suami berhak memberi nafkah kepada isterinya, anak-anaknya bahkan untuk kedua orang tuanya apabila mereka sudah lemah dan tidak mempunyai harta, serta kepada kerabat yang tidak mampu. Kewajiban memberi nafkah tersebut diberikan menurut kesanggupannya. Hal ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuannya agar selaras dengan keadaan dan standar kehidupan mereka.

2.     Sebab-Sebab Wajibnya Nafkah
Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap isteri. Firman Allah SWT. dalam surat al-Thalaq ayat 6:
أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم ولا تضاروهن لتضيقوا عليهن وإن كن أو لات حمل فأنفقوا عليهن حتى يضعن حملهن .... (الطلاق: ٦)
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka melahirkan....”.  (Q.S: al-Thalaq: 6)

Allah SWT. berfirman dalam surat al-Thalaq ayat 7:
لينفق ذوسعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما آتاه الله لا يكلف الله نفسا إلا ما آتاها سيجعل الله بعد عسر يسرا. (الطلاق: ٧)
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari apa yang diberikan Allah SWT. kepadanya (sekadar yang mampu). Allah SWT. tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (Q.S: al-Thalaq: 7)

Menurut Imam al-Syaukani, ayat tersebut menunjukkan bahwa suami wajib memberi nafkah kepada isteri begitu juga kepada anak-anaknya. Rasulullah SAW. bersabda:
عن عائشة قالت: دخلت هند بنت عتبة امرأة أبي سفيان على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله إن أبا سفيان رجل شحيح لا يعطيني من النفقة ما يكفينى ويكفى بنى إلاما أخذت من ماله بغيرعلمه فهل على في ذلك من جناح فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم خذى من ماله بالمعروف ما يكفيك ويكقى بنيك. (متفق عليه)[8]
Artinya: “Dari Aisyah r.a. berkata: Bahwa Hindun binti Utbah isteri Abu Sufyan telah menghadap kepada Rasulullah SAW. dan ia berkata. wahai Rasulullah SAW., sesungguhnya Abu Sufyan itu adalah seorang yang kikir, ia tidak mahu memberi belanja yang cukup buatku dan anak-anakku, melainkan dengan hartanya yang aku ambil tanpa sepengetahuan dia. Apakah itu dosa ku? Maka baginda bersabda: Ambillah dari hartanya yang cukup buatmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik”. (H.R: Muttafaqun Alaihi)
Imam Syafi’i menyebutkan, dengan itu menunjukkan bahwa laki-laki berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Kewajiban memberi nafkah menurut adat adalah wajib terhadap laki-laki, karena kalau dilihat kepada nash, kebanyakkannya lebih cenderung kepada pihak laki-laki. Ibnu Qudamah berkata, bahwa para ahli ilmu sepakat tentang kewajiban suami membelanjai isteri-isterinya bila sudah baligh.[9]
Seorang ayah berkewajiban untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan pokok kepada anak dan isterinya karena mereka adalah orang-orang yang diwajibkan oleh Allah SWT. nafkah ke atasnya. Dengan adanya ikatan pernikahan yang sah, maka menjadi kewajiban bagi suami memberi nafkah kepada isterinya. Dengan perkawinan yang sah itu isteri menjadi terikat kepada suaminya, isteri wajib taat kepada suami, harus menjaga kehormatan diri dan juga suami.
Sebab-sebab wajibnya memberikan nafkah dapat digolongkan kepada tiga sebab, yaitu:
  1. Sebab perkawinan.
  2. Sebab masih ada hubungan kerabat/keturunan.
  3. Sebab pemilikan.[10]
ad. 1. Sebab Perkawinan
            Perkawinan adalah merupakan salah satu kebutuhan naluri manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam melakukan hubungan biologis dan hidup berkeluarga. Islam sangat menyukai perkawinan, hal ini terlihat dengan banyak sekali ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi yang menjelaskan tentang anjuran untuk berkawin, diantaranya sabda Rasulullah SAW:
عن أبى عبد الرحمن قال: قال لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء. (رواه مسلم)[11]
Artinya: “Dari Abdurrahman, Rasulullah SAW. bersabda: Wahai para pemuda, barang siapa yang telah mampu hendaklah ia kawin, sebab perkawinan akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan, kalau belum mampu maka berpuasalah karena puasa akan menjadi perisai baginya”. (H.R: Muslim)
            Perkawinan merupakan salah satu sebab wajibnya nafkah, karena adanya aqad nikah. Semua kebutuhan isteri menjadi tanggungan suaminya. Sabda Rasulullah SAW:
عن جابر رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم فى حديث الحج بطوله قال فى ذكر النساء ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف. (رواه مسلم)[12]
Artinya: “Dari Jabir r.a. dari Nabi SAW. dalam hadits haji yang panjang, Beliau bersabda tentang wanita (isteri): Kalian wajib memberi nafkah pada mereka dan memberi pakaian dengan cara yang baik”. (Dikeluarkan oleh Muslim).
            Jadi berdasarkan hadits tersebut, jelaslah bahwa seorang suami berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya, memenuhi kebutuhan hidupnya selama ikatan suami isteri (perkawinan) masih berjalan, si isteri tidak nusyuz dan tidak ada sebab lain yang akan menyebabkan terhalangnya nafkah. Begitu pula sebaliknya si isteri wajib mematuhi perintah suaminya dan taat kepadanya. Aqad nikah itulah yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara mereka (suami isteri).
ad. 2. Sebab Masih Ada Hubungan Kerabat/Keturunan
            Dalam agama Islam, hubungan nasab atau keturunan merupakan hubungan vertikal yang dapat menguasai, artinya dengan adanya hubungan nasab seseorang dapat menerima harta warisan. Karena hubungan keluarga sangatlah dekat maka timbullah hak dan kewajban. Seperti halnya dalam kewajiban memberi nafkah, baik kepada isteri, anak-anak maupun kepada kedua orang tua.
            Ahli fiqih menetapkan bahwa hubungan kekeluargaan yang menyebabkan nafkah adalah keluarga dekat yang membutuhkan pertolongan.[13] Imam Hanafi berpendapat wajib nafkah kepada kaum kerabat oleh kerabat yang lain adalah hendaknya hubungan kekerabatan antara mereka itu merupakan hubungan yang menyebabkan keharaman nikah.[14]    
            Setiap hubungan yang baik itu disifatkan dengan persaudaraan, dan setiap yang berkasih sayang itu dimisalkan sebagai orang yang bersaudara. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
.... واذكروا نعمة الله عليكم إذكنتم اعداء فالف بين قلوبكم فأصبحتم بنعمته إخوانا.... (ال عمران: ١٠٣)
Artinya: “.... Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu, ketika kamu bermusuh-musuh, maka dipersatukan-Nya hati kamu (dalam agama Allah) sehingga dengan karunia-Nya itu kamu menjadi bersaudara....” (al-Imran: 103)
            Selanjutnya Allah berfirman:
إنماالمؤمنون إخوة.... (الحجرات: ١٠)
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah bersaudara.... (al-Hujrat: 10)
            Dari ayat-ayat di atas jelas bahwa Allah SWT. memandang tinggi hubungan persaudaraan dan kemesraan senantiasa mengikat jiwa mereka untuk dijauhkan dari rasa hasad dan dengki. Sesungguhnya perbuatan ini merupakan perbuatan amar ma’ruf dan dapat mencegah diri dari dari perbuatan-perbuatan yang mungkar.
ad. 3. Sebab Pemilikan
Pemberian nafkah kepada hamba, baik laki-laki atau perempuan. Wajib ke atas mereka diberi makan dan minum. Mereka tidak boleh diberati dalam pekerjaan, malainkan sesuai dengan kemampuannya sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
عن أبى هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم قال: للمملوك طعامه وكسوته ولا يكلف من العمل ما لا يطيق. (رواه ومسلم)[15]
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Hak bagi hamba (berhak memperoleh) makanannya, yang memiliki memberi makanannya dan pakaiannya dan ia tidak boleh diberati bekerja, melainkan sekadar kemampuannya”. (H.R: Ahmad dan Muslim)
            Setelah zaman berkembang dari zaman ke zaman sampailah sekarang ini, pemilikan hamba tidak lagi berlaku di dunia ini. Pada masa sekarang status hamba telah berubah seiring dengan perkembangan zaman yang serba modern ini. Perbudakan tidak lagi berlaku di zaman ini. Sekarang hanya ada majikan dan pekerja, maka setiap pekerja harus mendapatkan hak dari majikannya berupa upah atas segala pekerjaan yang dilakukan olehnya.
            Dalam hal keadaan sekarang masih juga berlaku ketidakadilan bagi pekerja yang keringatnya dikuras habis-habisan tanpa diberi upah malahan dianiaya seperti yang banyak terjadi di dalam kasus-kasus pekerja pembantu rumah tangga yang dianiaya dan tidak diberi upah yang selayaknya. Seorang pembantu atau pekerja tentu mempunyai hak dalam menjamin nafkahnya dan untuk menafkahi keluarganya supaya hidup mereka aman dan tenang. Rasulullah SAW. juga mempertegas masalah ini sepertimana dalam sabda Baginda:
عن عبدالله بن عمر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أعطوا الأجير أجره قبل أن يجف عرقه. (رواه إبن ماجه)[16]
Artinya: “Daripada Abdullah bin Umar berkata: Telah berkata Rasulullah SAW. berikanlah upah seseorang buruh itu sebelum kering keringatnya”. (H.R. Ibnu Majah)
            Oleh karena itu, tidak ada bedanya zaman lampau atau zaman sekarang, kewajiban memberikan nafkah kepada hamba yang dimiliki atau pekerja di bawah majikan haruslah sesuai menurut kebutuhan dan dilarang sama sekali oleh syara’ memberati pekerjaannya di luar batas kemampuannya.

3.     Kadar Nafkah Yang Wajib Diberikan
            Pengaturan mengenai kadar nafkah yang harus dipenuhi oleh seorang suami atau ayah, baik dalam al-Quran maupun dalam hadits, tidak pernah disebutkan secara tegas mengenai kadar atau jumlah nafkah yang wajib diberikan. Al-Quran dan hadits hanya memberikan gambaran umum seperti firman Allah SWT:
لينفق ذو سعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما آتاه الله لا يكلف الله نفسا إلا ماآتاها سيجعل الله بعد عسر يسرا. (الطلاق: ٧)
Artinya:“Hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberikan nafkah dari harta yang diberikan Allah SWT. kepadanya. Allah SWT. tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah SWT. berikan kepadanya. Allah SWT. kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (Q.S: al-Thalaq: 7)

            Abu as-Su’ud memberikan penafsiran terhadap ayat tersebut bahwa setiap orang, baik ia orang yang mampu atau ia orang yang tidak mampu, supaya menafkahkan apa yang telah diusahakannya, besar atau kecil, karena Allah SWT. tidak memberatkan seseorang kecuali dengan apa yang diusahakannya, dan pada ayat tersebut terdapat kebaikan untuk mengangkat orang yang sulit dan meringankannya untuk memberikan apa yang telah diupayakannya.[17]
            Kesimpulan dari penafsiran ayat di atas dapatlah dipahami bahwa Allah SWT. tetap memberlakukan kewajiban nafkah kepada setiap orang tetapi berdasarkan kesanggupannya. Hal ini menunjukkan adanya kemudahan yang diberikan oleh Allah SWT. dengan mempertimbangkan kondisi seseorang itu tanpa memberatkannya dengan bebanan yang tidak sanggup dipikul olehnya.
            Apabila suami tinggal bersama isterinya dan memberikan nafkah dengan mencukupi akan segala kebutuhannya seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal maka si isteri tidak berhak menuntut ditentukan jumlah nafkahnya. Namun sebaliknya jika si suami itu seorang yang kikir serta tidak memenuhi kebutuhan hidupnya atau meninggalkannya tanpa pemberian nafkah, maka si isteri boleh mengajukan jumlah nafkah untuk dirinya. Hakim pula berkewajiban untuk memutuskan kadar nafkah dan suami pula wajib memenuhinya bila mana dakwaan isterinya itu benar. Isteri dibenarkan mengambil kekayaan suaminya untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara yang baik, sekalipun suaminya tidak mengetahui karena dianggap tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami merangkap pemimpin rumah tangga sebagaimana diterangkan dalam hadits Nabi SAW:
عن عإشة أن هند بنت عتبة قالت يارسول الله أن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطينى مايكفينى وولدى إلا ماأخذت منه وهو لا يعلم فقال خذى ما يكفيك وولدك بالمعروف. (رواه البخارى)[18]
Artinya: “Dari Aisyah, ia berkata: Sesungguhnya Hindun putri Utbah pernah berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang sangat kikir. Dia memberi selalu tidak mencukupi kebutuhanku dan anakku, kecuali kalau aku mengambil miliknya tanpa sepengetahuannya. Baginda bersabda: Ambillah sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf”. (HR: al-Bukhari)
            Para ulama mazhab sepakat bahwa nafkah untuk isteri itu wajib, yang meliputi tiga hal yaitu pangan, sandang dan papan. Mereka juga sepakat besar kecilnya nafkah tergantung pada keadaan kedua belah pihak. Kalau suami isteri orang berada maka nafkah yang wajib diberikan adalah nafkah orang berada, kalau mereka tidak mampu maka nafkah disesuaikan dengan keadaan tersebut.
            Imam Syafi’i berpendapat, bahwa nafkah diukur berdasar kaya dan miskinnya suami tanpa melihat keadaan isteri, yang demikian itu bila dikaitkan dengan persoalan sandang, pangan, sedangkan dalam hal papan disesuaikan dengan apa yang patut baginya menurut kebiasaan yang berlaku dan tidak pada kondisi suami.[19]  
Menurut imam Syafi’i, yang kaya wajib memberikan nafkah untuk seorang isteri dua cupak beras tiap-tiap hari, suami yang miskin secupak beras dan suami yang menengah secupak setengah. Ukuran satu cupak beras kira-kira sekati atau enam ons. Dan menurut mazhab yang lain nafkah itu tidak ditentukan kadarnya melainkan sekadar mencukupi untuk isteri.
Ibn Hazm berpendapat, bahwa kemampuan seseorang menyebabkan relatifnya jumlah nafkah yang harus diterima isteri, dia tidak membuat suatu ketetapan jumlah ataupun ukuran yang harus diberikan. Semuanya diserahkan kepada kemampuan yang ada pada suami. Hal tersebut sepertimana diungkapkannya:
وينفق الرجل على امرأته من حين يعقد نكاحها دعى الى البناء او لم يدع، فالموسر خبز الحوارى واللحم وفاكهة الوقت على حسب مقداره والمتوسط على قدر طاقته والمقل أيضا حسب طاقته.[20]
Artinya: “Dan seorang laki-laki menafkahi isterinya dari semenjak ia menikahinya, baik ia mengajak kepada bina (berkumpul) atau tidak, maka bagi orang yang mampu memberikan roti yang baik, daging dan buah-buahan yang sedang musim dengan memadai ukurannya dan orang yang sedang kemampuannya memberikan sesuai dengan kemampuannya”.

            Berikutnya Ibn Hazm menyatakan:
ويكسو الرجل امرأته على قدر ماله فالموسر يؤمر بأن يكسوها الخز وماأشبهه والمتوسط جيد الكتان والقطن والمقل على قدره.[21]
Artinya: “Dan seorang laki-laki memberi pakaian isterinya sesuai dengan kemampuan hartanya, maka orang yang mampu diperintahkan memberi pakaian isterinya berupa kain sutera dan sejenisnya. Orang yang sederhana dengan kain katun atau linen yang baik, orang yang kurang mampu sesuai dengan kesanggupannya”.

            Tidak ada batasan jumlah nafkah yang harus diberikan seorang suami kepada isterinya menurut Ibn Hazm, di samping berbedanya kondisi seorang suami dan dikarenakan berbedanya kebiasaan suatu daerah. Apa yang harus diberikan dan berapa ukurannya disesuaikan menurut kebutuhan suami isteri. Pamahaman ini diambil dari apa yang diungkapkan  Ibn Hazm sebagai berikut:
فإن كان فى بلد لايأكلون فيه إلا التمر أو التين أو بعض الثمار, أو اللبن, أو السمك, قضى لهابها يفقانه أهل بلدها كما ذكرنا وأكثر النفقة عندنا رطلان بالبغدادى.[22]
Artinya: “Maka andaikan dalam negeri tersebut orang-orang tidak memakan kecuali tamar atau buah tin atau sebagian buah-buahan, susu, ikan, ditetapkan baginya apa yang dimakan oleh penduduk  negerinya sebagaimana yang kami sebutkan dan sebanyak-banyak nafkah bagi kami di Baghdad adalah dua Rattal (8 ons)”.

B.     Nusyuz
1.     Pengertian Nusyuz
Kata nusyuz berasal dari Bahasa Arab nasyaza yang berarti tempat yang tinggi dari bumi atau berarti tempat yang tinggi dari lembah ke bumi dan merupakan masdar dari nasyaza, yansyuzu, nusyuzan yang berarti melihat dengan jelas dari tempat bagian bumi yang tinggi.[23]
Dalam Fath ar-Rahman, kata nasyaza disebutkan dalam al-Quran sebanyak lima kali pada tiga tempat, yakni an-syuzu dalam surat al-Mujadalah ayat 11 sebanyak dua kali dengan arti berdiri, kemudian satu kali dalam surat al-Baqarah ayat 259 nusyuzuha dengan arti menyusun kembali, dan dua kali dalam suarat al-Nisa’ yakni nusyuzuhunna pada ayat 34 dan dan nusyuzan pada ayat 128 yang kedua-duanya berarti nusyuz.[24]
            Nusyuz merupakan istilah al-Quran, para ahli menafsirkan pengertian globalnya sebagai pembangkangan suami atau isteri atau salah satu pihak telah meninggalkan kewajibannya. Salah satu bentuk nusyuz isteri adalah meninggalkan rumah tanpa izin suami, melanggar perintahnya atau membencinya dan bersikap sombong terhadapnya, sedangkan nusyuz suami yaitu ia bersikap kasar terhadap isteri, tidak menggauli atau tidak memberikan nafkah kepada isteri.
            Farid Wajdy mengartikan nusyuz sebagai berikut:
نشزالرجل ينشز و ينشز ارتفع ونشزت المرأة من زوجها ارتفعت عليه.[25]
Artinya: “Nusyuz laki-laki yaitu timbulnya gejolak durhaka mendurhakai dan nusyuz perempuan terhadap suaminya adalah ia durhaka atasnya dan mencari-cari kemarahannya”.
            Menurut Zainuddin bin Abdul Aziz, nusyuz itu adalah:
ويحصل النشوز بمنع الزوجة الزوج من تمتع ولو بنحو لمس أو بموضوع عينه.[26]
Artinya: “Pengertian nusyuz adalah penolakan si isteri terhadap suami bila diajak untuk bersenang-senang sekalipun bersenang-senang dalam bentuk bersentuhan atau pada salah satu anggota tubuh si isteri yang dikehendaki oleh suaminya”.
            Ibn Hazm tidak mengemukakan definisi nusyuz secara jelas, hanya dapat dipahami dari ungkapannya sebagai berikut ini:
والعدل بين الزوجات فرض فإن عصته حل له هجرانها حتى تطيعه وضربها.[27]
Artinya: “Dan hendaklah berlaku adil di antara para isteri karena itu adalah fardu, halal bagi suami memisahkan diri darinya sehingga isteri tersebut mentaatinya dan suami boleh memukulnya”.
            Dari beberapa kutipan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa nusyuz itu merupakan suatu tindakan isteri yang dapat diartikan menentang kehendak suami dengan tidak berdasarkan syara’ sehingga meninggalkan hak dan kewajiban. Apabila suami telah melihat adanya gejala-gejala nusyuz pada isterinya, maka suami wajib menempuh jalan kebijaksanaan untuk mengembalikan isterinya kepada kedudukannya semula dengan tindakan yang bersifat mendidik.
            Dengan ini juga dapat diambil kesimpulan bahwa seorang isteri yang berbuat nusyuz, maka tindakan suami adalah menasihatinya, memisahkannya dari tempat tidur dan dapat memukulnya. Kebolehan memisahkan diri dari tempat tidur dan memukulnya ketika mana ia berbuat nusyuz telah diatur dalam al-Quran melalui surat al-Nisa’ pada ayat 34 yaitu:
.... والتى تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن فى المضاجع واضربوهن....
Artinya: “....Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka....”.
Adapun bentuk-bentuk tindakan isteri yang dapat dikategorikan nusyuz antara lain ialah isteri membangkang terhadap suami, tidak mematuhi ajakan atau perintahnya, menolak berhubungan suami isteri tanpa ada alasan yang jelas dan sah atau isteri keluar meninggalkan rumah tanpa persetujuan atau seizin suami.[28]
Dalam kontek sekarang ini, izin suami harus dipahami secara profesional, ini karena izin secara langsung untuk setiap tindakan isteri tentu suami tidak selalu dapat melaksanakannya. Misalnya karena suami selalu tidak dapat berada di rumah setiap masa. Untuk itu perlu dilihat macam-macam tindakannya sepanjang perbuatan itu positif dan tidak mengundang kemungkinan timbulnya fitnah, maka dengan izin suami memperbolehkannya, dapat diketahui oleh si isteri tersebut. Meskipun demikian al-Quran telah memberi peringatan bahwa wanita-wanita yang shaleh ialah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta memelihara diri di belakang suaminya.

2.     Batasan-batasan yang Dikatakan Nusyuz
            Dalam al-Quran surat al-Nisa’ ayat 34 disebutkan ada dua jenis wanita yaitu wanita yang solehah dan wanita yang nusyuz. Wanita yang solehah ialah yang taat kepada Allah SWT. dan menjaga kehormatan diri disaat suaminya tidak ada di rumah. Isteri yang menjaga kehormatan diri disaat suaminya tidak di rumah adalah menjaga segala sesuatu yang mesti dipelihara, baik berkenaan dengan kehormatan diri maupun harta benda. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi SAW. sebagai berikut:

 عن سعيد المقبرى عن أبى هريرة قال قيل لرسول الله صلعم أي النساء خير؟ قال التى تسره اذا نظر وتطيعه اذا أمر ولا تخالفه في نفسها ومالها بمايكره. (رواه النسائى)[29]
Artinya: “Dari Sa’id al-Muqbiry dari Abu Hurairah r.a. berkata: ketika Rasulullah SAW. ditanya, wanita bagaimana yang baik? Jawab beliau: wanita yang menyenangkan suaminya, bila dilihat, dan mentaatinya bila disuruh, serta yang tidak mengerjakan sesuatu yang dibenci suaminya, baik yang menyenangkan dirinya maupun hartanya”. (H.R: An-Nasa’i)

            Wanita yang nusyuz adalah wanita yang keluar dari ketaatan terhadap suaminya, seharusnya tidak dilakukan oleh wanita yang solehah terhadap suaminya. Menurut Imam Syafi’i, secara garis besar memberikan kriteria isteri yang nusyuz kepada dua yaitu: isteri nusyuz bil qauli dan isteri nusyuz bil fi’li.[30]
            Pengertian isteri nusyuz bil qauli adalah isteri yang nusyuz dengan perkataannya, kebiasaan suami memanggilnya, ia datang dan menjawab dengan baik, bila suami suami berbicara dengannya dijawab dengan perkataan atau kalimat yang baik dan bagus, bila isteri nusyuz adalah melakukan sikap yang berbeda dari sikap-sikap di atas. Jadi isteri yang nusyuz bil qauli ialah apabila suami memanggilnya dia tidak menjawab panggilan dengan jawaban yang baik, dan bila suaminya berbicara dia menjawab dengan perkataan yang kasar.[31] Tetapi berbeda halnya jika berprilaku kasar yang sudah menjadi watak si isteri, maka sesungguhnya itu tidak dikatakan nusyuz.[32]
            Isteri nusyuz bil fi’li adalah isteri yang nusyuz dengan perbuatannya, biasanya ketika suami mengajak ke tempat tidur (firasy) maka disambutnya dengan muka yang manis atau biasanya bila suaminya masuk ke rumahnya dia berdiri untuk menyambutnya. Bila isteri nusyuz melakukan hal-hal yang berbeda dari perlakuan-perlakuan seperti di atas,bila suaminya mengajak kepada firasy (tempat tidur) maka dia memandang dengan muka masam dan dengan rasa benci, dan jika suaminya masuk dia tidak berdiri untuk menyambutnya dan melayaninya.[33]
            Perlakuan-perlakuan isteri yang dikatakan sebagai nusyuz antara lain adalah:
1.      Apabila seorang isteri keluar dari rumah tanpa izin dari suami, baik sepengetahuan suami ataupun tanpa sepengetahuannya dan kepergiannya itu tidak ada keuzuran seperti menjenguk orang yang sakit atau meninggal sebagaimana kebiasaannya yang berlaku atau kepergiannya karena menuntut ilmu atau meminta fatwa yang suaminya tidak mengajarkannya atau untuk menjenguk orang tuanya sebelum ada larangan dari suaminya atau keluar untuk mencari nafkah yang suaminya sulit untuk mendapatkannya.[34]
2.      Isteri tidak membukakan pintu untuk membolehkan suaminya masuk atau sebaliknya yaitu isteri tidak mengizinkan suaminya keluar dari rumahnya pada yang bukan haknya atau gilirannya.[35]
3.      Isteri tidak membiarkan suaminya untuk menguasainya meskipun bukan untuk jimak dengan tidak ada keuzuran padanya.
Perbuatan-perbuatan isteri sebagaimana yang diuraikan di atas dapat dikatakan nusyuz. Oleh karena isteri telah menghilangkan hak suami atas dirinya, sehingga suami tidak memiliki kehalalan terhadap isterinya, atau dengan kata lain tidak ada tamkin atas suaminya.
Menurut Ibn Hazm, seorang isteri boleh dikatakan nusyuz apabila isteri tersebut menolak atau tidak mentaati suaminya bila ia diajak untuk jimak. Karena pengertian mentaati suami adalah bila ia mengajak kepada jimak saja.[36] Hal tersebut di pahami oleh Ibn Hazm berdasarkan firman Allah SWT.
فإن اطعنكم فلاتبغوا عليهن سبيلا. (سورة النساء: ٣٤)
Artinya: Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya. (an-Nisa’: 34)
                        Adanya kata mentaati itu  karena ada nusyuz yang dinyatakan pada ayat lain:
والتى تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن فى المضاجع واضربوهن.
Artinya: Wanita-wanita yang kamu khawatir berbuat nusyuz, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka.
                        Dengan demikian jelaslah, bahwa pengertian taat dalam ayat tersebut termask memenuhi hajat suami bila mengajak kepada jimak. Dalam penjelasan selanjutnya Ibn Hazm mengemukakan suatu riwayat sebagaimana berikut:
ومن طريق شعبة سألت الحكم بن عطيبة عن إمرأة خرجت من بيت زوجها غاضبة هل لها نفقة؟ قال: نعم.[37]
Artinya: Dari Thariq Syu’bah aku bertanya kepada Hakam bin Utaibah tentang seorang perempuan yang keluar dari rumah, dalam keadaan marah, adakah baginya nafkah? Dia berkata: Ya, ada.
                        Kondisi isteri yang keluar dari rumah suaminya dalam keadaan marah, menurut pendapat Ibn Hazm  sebagai isteri yang nusyuz terhadap suaminya. Jika dilihat dari pernyataan sebelumnya, bahwa seorang isteri dikatakan telah nusyuz bila tidak memenuhi ajakan atau tidak mentaati suaminya untuk jimak, maka boleh jadi keluarnya isteri dari rumah suaminya dalam keadaaan marah tersebut adalah suatu sikap penolakkan atau tidak patuh terhadap ajakan suami kepada jimak.
                        Selanjutnya Ibn Hazmberpendapat, bahwa jika seorang isteri tidak mahu membantu suami, yaitu tidak memasak, tidak menyapu rumah dan lain-lainnya maka hal tersebut tidaklah dikatakan nusyuz, karena hal itu tidaklah harus dilakukan oleh isteri akan tetapi jika dilakukan lebih baik baginya. Demikian halnya seorang isteri tidak boleh berpuasa sunat bila suaminya ada, kecuali dengan izinnya, tidak memasukkan orang yang dibenci suaminya ke dalam rumah, tidak menghalangi suami atas dirinya  kapan diinginkannya dan menjaga harta suaminya. Kesemuannya ini tidak menjadi sesuatu yang haram  ditaati oleh isteri terhadap suami.
                        Dengan demikian dapat dipahami, bahwa dalam al-Quran dan as-Sunnah tidak dijelaskan secara rinci terhadap isteri nusyuz. Namun Ibn Hazm telah menemukan batas tersendiri berdasarkan pemahaman ayat dan hadits secara zahir, yaitu isteri nusyuz adalah isteri yang menolak diajak oleh suami untuk jimak, tetapi jika isteri melakukan perbuatan lain selain penolakan jimak, isteri tersebut tidak dikatakan nusyuz.

3.     Tindakan Suami Terhadap Isteri Nusyuz
Kewajiban utama seorang isteri adalah patuh dan taat terhadap suaminya, karena suami adalah pemimoin terhadap isterinya, sebagaimana firman Allah SWT:
االرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض.... (النساء: ٣٤)
Artinya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah SWT. telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain.... (al-Nisa’: 34)
                        Dalam suatu hadits Rasulullah SAW. diterangkan:
حدثنا أبو بكر بن أبى شيبة، ثنا عفان، ثنا حماد بن سلمة, عن على إبن زيد بن حدعان, عن سعيد بن المسيب, عن عائشة أن رسول الله صلعم قال: لو أمرت أحدا أن يسجد لأحد لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها. (رواه إبن ماجه)[38]
Atinya: Telah berkata Abu Bakar bin Abi Shaibah, dan Affan dan Hamad bin Salamah, daripada Ali Ibn Zaid bin Had’ani, daripada Said bin Musayyab, dari Aisyah, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: Kalau sekiranya aku memerintahkan seseorang supaya bersujud kepada seseorang tentu aku peintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya. (H.R: Ibn Majah)
                        Dari ayat dan hadist di atas jelaslah, bahwa wanita (isteri) diperintahkan untuk patuh kepada suaminya. Jika kemudian isteri itu nusyuz maka al-Quran memeberi petunjuk pada suami dalam menghadapinya, sebagaimana firman Allah SWT:
والتى تخافون نشوزهن فعظوهن وهجروهن فى المضاجع واضربوهن.
Artinya: Wanita-wanita yang khawatir nusyuznya, maka nasihatilah mereka, dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka.
                        Mujahid menafsirkan ayat tersebut, bahwa apabila seseorang isteri nusyuz dari tempat tidur suaminya dikatakan kepadanya: Bertaqwalah kamu kepada Allah SWT. dan kembalilah kamu ketempat tidurmu, maka jika dia telah mentaatimu, maka tidak ada jalan lain baginya.[39]
                        Penafsiran mujahid merupakan tindakan nasihat terhadap isteri yang nusyuz, sebagaimana yang telah disebutkan oleh al-Quran, bila isteri telah mentaati suaminya itu sudah cukup. Sebaliknya bila isteri tidak mentaati, maka suami berkewajiban mengambil tindakan selanjutnya, seperti yang diperintahkan oleh Allah berdasarkan ayat di atas, yakni memisahkan isterinya dari tempat tidurnya. Apabila tindakan suami tersebut tidak merubah perilaku isteri, maka suami harus melakukan cara yang terakhir yaitu memukulnya.
                        Dalam pelaksanaan pukulan itu hendaknya tidak pada suatu tempat dan dihindari memukul wajah, sebab wajah merupakan pusat kecantikan seseorang wanita itu. Jangan memukul dengan cemeti atau tongkat, tapi harus diperhatikan dengan cara kelembutan dalam usaha menyedarkan isteri.[40] 
                        Hakikat memukul isteri tidak boleh menyebabkan terjadinya kekerasan atau perkelahian antara pasangannya, karena tindakan itu sama sekali tidak Islami. Dalam suatu hadits diterangkan, bahwa Rasulullah SAW. memukul hamba Allah dengan kekerasan:
عن إياس بن عبدالله بن أبى ذباب قال: قال رسول الله صلعم لا تضربوا إماءالله فجاء عمر الى رسول الله صلعم فقال ذئرن النساء على أزواجهن فرخص فى ضربهن فاطاف بال رسول الله صلعم نساء كثير يشكون أزواجهن فقال النبى صلعم لقد طاف بال محمد نساء كثير يشكون أزواجهن ليس أولئك بخياركم. (رواه أبو داود) [41]
Artinya: Dari Iyas bin Abdillah bin Abi Zubab r.a. dia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Janganlah kalian memukul hamba-hamba wanita Allah. Maka Umar datang mengadap Rasulullah SAW. dan berkata: Bagaimana para isteri yang berani terhadap suami mereka. Maka beliau memberi hukum keringanan untuk memukul mereka. Kemudian berdatanganlah kaum wanita di malam hari kepada keluarga Rasulullah SAW. mengadukan perihal suami mereka, lalu Nabi SAW. bersabda: Sungguh telah berdatangan banyak wanita kepada keluarga Muhammad mengadukan hal suami mereka. Para suami yang memukul siteri-isteri mereka itu, bukanlah sebaik-baik suami di antara kalian. (H.R: Abu Daud)
                        Menurut Ibn Hazm, jika didapati seorang isteri yang nusyuz, maka tindakan suami terhadapnya ialah memisahkan dirinya dari tempat tidur sehingga isteri tersebut taat, kemudian memukulnya dengan pukulan mendidik yang tidak membuat cedera dan tidak menimbulkan bekas. Untuk lebih jelas hal ini dinyatakan sebagai berikut:
فان عصته حل له هجرتها حتى تطيعه وضربها بمالم يؤلم ولا يخرج ولا يكسر، ولا يعفن فان ضربها بغير ذنب اقيدت منه. [42]
Artinya: Maka jika dia (isteri) bermaksiat kepada suami, dihalalkan baginya untuk memisahkan diri darinya sehingga ia mentaatinya dan memukulnya selama tidak menyakiti, tidak melukai, tidak memecahkan dan tidak membuat menjadi koyak, maka jika memukulnya tanpa ada salah maka dia terikat karenanya.
                        Pendapat ini didasarkan kepada suarat an-Nisa’ ayat 34, sebab terdapat hukum kebolehan melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan oleh Allah SWT., karena adanya suatu sebab, yaitu kebolehan memisahkan diri dari isteri dan kebolehan memukulnya, oleh karena khawatir akan nusyuznya.[43]
                        Dari pernyataan Ibn Hazm tersebut dapat dipahami bahwa tindakan yang harus dilakukan oleh suami sebagai tindakan terhadap isteri yang nusyuz yaitu memisahkan dirinya dari tempat tidur sampai isterinya taat kepadanya. Selama berpisah diharapkan isteri tersebut akan berubah pikirannya dan kembali taat kepada suaminya, dan suami akan reda emosinya. Namun bila tindakan ini tidak merubah perilaku isterinya, maka suami boleh melakukan tindakan selanjutnya dengan memukul isterinya yang nusyuz itu selama tidak membuat cedera atau meninggalkan bekas luka. Jika si isteri telah sadar dan mula taat kembali kepadanya, maka suami dilarang mencari-cari kesalahannyya lagi. Sehubungan dengan keterangan di atas, sabda Rasulullah SAW:
عن حكيم بن معاوية القشيرى عن ابيه قال: قلت يا رسول الله ما حق زوجة احدنا عليه؟ قال تطعمها اذا طعمت وتكسوها اذا اكتسيت او اكتسبت ولا تضرب الوجه ولا تقبح ولا تظهرالا فى البيت. (رواه أبو داود)[44]
Artinya: Dari Hakim bin Mu’awiyah al-Qasyiri dari ayahnya dia berkata: Pernah aku bertanya ya Rasulullah, apakah kewajiban suami terhadap isterinya? Beliau menjawab: Hendaklah kamu memberi ia makan dan memberinya pakaian apabila kamu berpakaian. Dan jaganlah kamu memukul wajahnya, jangan mencelanya dan jangan memisahkan dirinya kecuali di dalam rumah. (H.R: Abu Daud)
                        Dalam hadits yang lain baginda Rasulullah SAW. menjelaskan sebagai berikut:
عن سليمان ابن عمر إبن الاحوص حدثنى أبى أنه شهد حجة الودع مع رسول الله صلعم فحمد الله واثنى عليه وذكروا وعظ ثم قال: استوصوا بالنساء خير فانهن عندكم عوان ليس تملكون منهن شياغير ذلك الا ان يأتين بفاحشة مبينة فان فعلن فاهجروهن فى المضاجع واضربوهن ضربا غير مبرج فان اطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا ان لكم من نسائكم حقا ولنسائكم عليكم حقا فاما حقكم على نسائكم فلا يوطئن فرشكم من تكرهون ولا يأذن فى بيتكم لمن تكرهون الا وحقهن عليكم ان تحسنوا اليهن فى كسوتهن وطعامهن. (رواه إبن ماجة) [45]
Artinya: Dari Sulaiman bin Amar bin al-Ahwas, bahwa ayahku telah mengkhabarkan kepadaku, bahwasanya ia menghadiri Haji Wada’ bersama Rasulullah SAW. maka Rasul memuji dan menyanjung Allah SWT., berzikir dan memberi wasiat. Kemudian Rasulullah SAW. bersabda: Berwasiatlah kamu sekalian kepada wanita dengan baik, karena mereka adalah sebagai penolong untuk kamu. Dan kalian tidak memiliki apa-apa selain yang demikian itu. Kecuali kalau mereka melakukan kejahatan secara terang-terangan. Bila mereka melakukannya, maka pisahkan diri mereka  dalam urusan tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Kemudian jika mereka mentaatinya, maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya kamu sekalian mempunyai hak terhadap isteri kamu, dan isteri kamu mempunyai hak terhadap kamu, ada pun hak kamu terhadap isteri kamu adalah tidak memasukkan orang yang kamu benci ke dalam rumahmu. Ingatlah dan kewajiban kamu terhadap mereka adalah membaguskan mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka. (H.R: Ibn Majah)
                        Dari beberapa kutipan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa nusyuz itu merupakan suatu tindakan isteri yang dapat diartikan menentang kehendak suami dengan tidak berdasarkan syara’ sehingga meninggalkan hak dan kewajiban. Apabila suami telah melihat adanya gejala-gejala nusyuz pada isteri, misalnya isteri meninggalkan rumah tanpa izin suami, isteri enggan melaksanakan kewajiban selaku isteri, isteri membangkang menolak berhubungan suami isteri tanpa alasannya, maka Allah SWT. memberi jalan kepada suami agar menghadapi hal demikian dengan menempuh jalan kebijaksanaan untuk mengembalikan isteri kepada kedudukannya semula dengan tindakan yang bersifat mendidik. Janganlah suami menjadikan nusyuz isteri sebagai alasan untuk menghukum isteri seenaknya saja. Untuk itu sebelum mengambil sesuatu tindakan, perlu diteliti secara cermat, karena bisa jadi penyebab utama isteri nusyuz adalah sebagai akibat dari tingkah laku dan watak suami yang tidak berkenan di hati isteri atau tindakan suami yang mengabaikan kewajibannya. 



[1]Basri Ibrahim, Perkawinan dan Perceraian Serta Kesan-kesannya, Kuala Lumpur: Darul Nu’man, 1997, hlm. 278.

[2]Ahmad Al-Kubaisi, Al-Ahwal Al-Syaksiyah Fi Al-Fiqh Wa Al-Qada Wa Al-Qanun, Juz I, Baghdad: Maktabah Irshad, hlm. 135.

[3]Basri Ibrahim, Op. Cit., hlm. 279.
[4]Wahbah Adz Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, Beirut: Darul Fikri. T.t., hlm. 765.

[5]Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 121.

[6]Ibn Hazm, al-Muhalla, Juz IX, Beirut, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.t., hlm. 249.
[7]Ibid., hlm. 253
[8]Shahih Muslim, Kitab Shahih Muslim, Juz. II, Bandung: Dahlan, t.t., hlm. 60.

[9]Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz. VII, Beirut: Alim Al-Kutub, t.t., hlm. 564.

[10]Imron Abu Amar, Fath al-Qharib, Menara Kudus, t.t., hlm. 96.

[11]Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz I, Bandung: Al-Ma’arif, t.t., hlm. 583.

[12]Ibid., hlm. 250.
[13]Imron Abu Abu Amar, Fath al-Qharib, Menara Kudus, t.t., hlm. 96.

[14]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Cet. I, Jakarta: Basrie Press, 1994, hlm. 150.
[15] Imam Muslim, Op. cit, Juz. VI, hlm. 340.
[16]Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Jilid II, Beirut: Darul Fikri, 1995, hlm. 20.
[17]Abi as-Su’ud Muhammad al-Amadi, Tafsir Abi as-Su’ud, Juz. V, Riyadh: Maktabah ar-Riyad al-Hadis, t.t., hlm. 347.
[18]Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz. VII, Semarang: Asy Syifa’, 1993, hlm. 263.

[19]Muhammad Jawab Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: Lentera Basritama, 1996, hlm.402.

[20]Ibn Hazm, Al-Muhalla, Juz IX, Beirut Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, t.t. hlm. 249.

[21]Ibid., hlm. 249.
[22]Ibid., hlm. 251.

[23]Ibn Manzur Jamaluddin Muhammad, Lisan Al-Arab, Juz VII, Dar Al-Misyiyah, t.t., hlm. 284.

[24]Al-Husni al-Muqaddis, Fath ar-Rahman, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t., hlm. 435.

[25]Muhammad Farid Wajdy, Dairatul Ma’arif Fi’il Quran, Kairo, 1964, hlm. 236.

[26]Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibari Al Fannani, Fathul Mu’in, Juz II, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994, hlm. 1462.
[27]Ibn Hazm, Al-Muhalla, Juz IX, Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.t., hlm. 175.
[28]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Juz VII, Kairo: Maktabah Al-Adab, 1966, hlm. 175.
[29]Al-Hafiz Jalaluddin as-Sayuti, Sunan an-Nasa’i,Juz V, Beirut, Libanon: Dar al-Ma’rifah, 1991, hlm. 377. 

[30]Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, Juz V, Mesir: Dar as-Sya’bi, t.t., hlm. 176.

[31] Muhammad Najib al-Muti’i, Kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Juz XV, Arab Saudi: Maktabah al-Irshad, t.t., hlm. 233.

[32]Ibrahim al-Bajuriy ‘Ala ibn Qasim al-Qazily, Juz II, Semarang: Toha Putra, t.t., hlm. 111.

[33]Muhammad Najib Al-Muti’i, Op. cit., hlm. 124.

[34]Syihabuddin al-Qalyubi, Qalyubi wa’ Amirah, juz IV, Semarang: Toha Putra, t.t, hlm. 78.

[35]Ibid., Juz III, hlm. 300.

[36]Ibn Hazm, Op. cit., hlm. 228.
[37]Ibn Hazm, Op. cit., hlm. 250.
[38]Al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qadhwiyani, Sunan Ibn Majah, Juz I, Semarang: Toha Putra, t.t., hlm. 595.

[39]Abi Ja’far Muhammad bin Jarir at-Tabari, Op. cit., hlm. 65.
[40]Alauddin Abi Bakar bin Mas’ud, Badai’u as-Sana’i, Juz II, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, t.t., hlm. 114.

[41]Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz II, Semarang: Toha Putra, hlm. 492.

[42]Ibn Hazm, Loc. Cit.
[43]Ibid., hlm. 176.

[44]Imam Daud Sulaiman, Op. cit., hlm. 606.
[45]Al-Hafiz Abi Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qadhwiyani, Op. cit., hlm. 594.