A.
Sifat-sifat
Agama pada Anak
Sesuai dengan yang dimiliki maka sifat agama
yang tumbuh mengikuti pola ideas concept on authority. Ide agama anak
hampir semuanya autoritas yaitu konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi
oleh faktor dari luar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa-apa
yang dikerjakan oleh orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu yang
berhubungan dengan kemaslahatan agama. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima
ajaran dari orang dewasa mereka walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat
ajaran tersebut.
Mansur membagi bentuk dan sifat agama pada
diri anak menjadi :
Pertama, Unreflektif
(tidak mendalam), mempunyai anggapan atau menerima terhadap ajaran agama
dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam
sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan
yang kadang-kadang tidak masuk akal. Kedua, Egosentris, anak
memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya
dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamanya, semakin bertumbuh
semakin meningkat pula egoisnya. Ketiga, Anthropomorphis, konsep
ketuhanan pada diri anak menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan, melalui konsep
yang terbentuk dalam pikiran, mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu
sama dengan manusia. Keempat, Verbalis
dan ritualis, kehidupan agama dimulai secara verbal (ucapan). Mereka
menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan, selain itu melalui amaliah
yang mereka laksanakan berdasar pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan. Kelima,
Imitatif, tindak keagamaan yang dilakukan pada dasarnya diperoleh dari
meniru. Keenam, Rasa heran dan kagum, merupakan tanda dan sifat
keagamaan terakhir anak. Rasa kagum pada anak belum bersifat kritis dan
kreatif, hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan
dorongan untuk mengenal pengalaman baru (nem experience). Rasa kagum
mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub pada
anak-anak, dengan demikian kompetensi dan hasil belajar yang perlu dicapai pada
aspek pengembangan moral dan nilai-nilai agama adalah kemampuan melakukan
ibadah, mengenal dan percaya akan ciptaan Tuhan dan mencintai sesama manusia.[1]
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari
kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima
secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing
dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian
terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman
yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang
menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya
yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas,
maka mulailah perhatiannya terhadap kata tuhan itu tumbuh. Perasaan si anak terhadap
orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam-
macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu
umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan
bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu
menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung
rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
Menurut Zakiah Daradjat, sebelum
usia 7 tahun perasaan anak terhadap tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha
menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan tuhan. Sedang gambaran
mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus
tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi
didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak
mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada
masa kedua (27 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif
(cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.[2]
Perkembangan agama pada masa anak terjadi melalui
pengalaman hidupnya sejak kecil dalam keluarga, disekolah dan dalam masyarakat.
Lingkungan banyak membentuk pengalaman yang bersifat religius, (sesuai dengan
ajaran agama) karena semakin banyak unsur agama maka sikap, tindakan dan
kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajarana agama. Setiap
orang tua dan semua guru ingin membina anak agar menjadi orang yang baik,
mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat dan yang terpuji.
Semua itu dapat diusahakan melalui pendidikan, baik yang formal maupun yang non
formal. Setiap pengalaman yang dilalui anak baik melalui penglihatan, pendengaran,
maupun prilaku yang diterimanya akan ikut menentukan pembinaan pribadnya.
0 Comments
Post a Comment