BAB II
SIKAP QANA’AH DALAM TASAWUF ISLAM
A. Pengertian Qana’ah
Selain zuhud, qana’ah juga merupakan sifat yang
harus dimiliki orang-orang mukmin. Sifat qana’ah ini ampuh juga untuk
membentengi diri dari pengaruh dan godaan materi yang semakin menggiurkan, menggelitik
setiap insan yang lemah iman. Dengan sifat qana’ah pula orang tidak akan ragu
dan resah menghadapi kehidupan yang serba menyusahkan. Segala tantangan hidup
dihadapinya dengan tahapan penuh harapan tanpa menyesali apa yang telah menimpa
dirinya dari berbagai cobaan hidup.
Qana’ah adalah menerima apa yang ada atau
menerima cukup semua pemberian Allah. Jadi orang yang bersifat qana’ah berarti
selalu menerima pemberian Allah SWT dengan tangan terbuka dan senang hati,
tidak menggerutu atau mengeluh meskipun pemberian itu tidak sesuai dengan jerih
payah yang telah dilakukan. Menurut HAMKA, qana’ah mengandung lima tuntutan, yaitu:
1. Menerima dengan rela apa yang
ada.
2. Memohon kepada Allah tambahan
yang pantas dan berusaha.
3. Menerima dengan sabar akan
ketentuan Allah.
4. Bertawakkal kepada Allah.
5. Tidak tertarik oleh tipu daya
dunia.[1]
Orang yang mempunyai sifat qana’ah telah
memagar hartanya sekedar apa yang dalam tangannya dan tidak menjalar pikirannya
kepada yang lain. Sebenarnya apa yang ada sama kita, yang kita miliki, yang
kita terima setiap hari itu sudah menjadi ketentuan Allah. Kaya dan miskin,
bahagia dan susah sehat dan sakit, dan semua yang terjadi pada diri kita atau
yang kita alami setiap hari merupakan ketentuan dari Allah. Allah telah
memilihkan kepada kita apa yang pantas, yang cocok dan sesuai sehingga kita
harus menerimanya dengan rasa puas dan percaya bahwa semua itu pasti ada hikmah
dan faedahnya.
Menurut kebiasaan orang yang mau menerima
dengan perasaan puas dan gembira bila yang diterima itu sesuai dengan yang
diangan-angankan. Misalnya cepat kaya, lancer rezekinya, mendapat laba yang
banyak dengan mudah, sehat wal afi’at dan selalu terhindari dari segala macam
malapetaka. Tetapi bila yang diterima itu kebalikannya, orang lalu menggerutu,
hatinya sedih merasa tidak puas, bahkan kadang-kadang dalam hatinya terbetik
suatu anggapan bahwa itu tidak adil. Lalu dalam keadaan seperti itu, timbul
emosi yang ingin mengejar apa-apa yang tercapai hingga lupa segalanya, lupa
shalat, lupa anak dan isteri, lupa sanak saudaranya, dan lupa kewajiban sosial
dan lain-lain.
Demikian itulah kalau sifat qana’ah belum
berakar dalam jiwa seseorang. Hatinya kosong lagi gersang yang pada akhirnya
akan timbul rasa putus asa. Itulah sebabnya Rasulullah saw menganggap bahwa sifat
qana’ah adalah suatu kekayaan yang tidak pernah hilang dan sebagai simpanan
yang tak akan lenyap.
Adapun salah satu ciri orang yang bersifat
qana’ah ialah tidak terpengaruh oleh pasang surutnya keadaan dirinya. Waktu
kaya dan sehat mengucap syukur. Waktu jatuh miskin atau tertimpa musibah tidak
mengeluh. Bila ikhtiarnya meleset tidak bersusah payah mengejarnya, karena
semuanya diterima dengan senang hati dan penuh keyakinan akan kemurahan sifat
Allah.[2]
Agar bisa memiliki sifat qana’ah, maka orang
hendaknya melihat kepada yang lebih rendah daripadanya dalam masalah dunia.
Tetapi dalam masalah akhlak dan ketaatan kepada Allah SWT, hendaknya dia mau
melihat kepada orang yang lebih berbudi dan lebih taat daripadanya.
Sedangkan fungsi qana’ah bertujuan keselamatan
jika Allah mencintai seorang hamba dan menginginkan kebaikannya, maka ia akan
mengilhamkan ketaatan kepadanya menanamkan sifat qana’ah. Jika Allah
menghendaki keburukan seorang hamba, dia menjadikan seorang yang mencintai
kepada harta, panjang angan-angannya ikut dalam kerusakan dan zalim pada sesama
hambanya.
Siapa yang merasa puas dengan yang sedikit, ia
tidak membutuhkan banyak makhluk, siapa yang ridha terhadap yang ditakdirkan,
dia akan merasa puas terhadap yang dimudahkan jika kamu mencari Tuhanmu, maka
carilah dengan ketaatan. Jika kamu menginginkan kekayaan maka pegang teguhlah
sifat qana’ah. Barang siapa yang taat kepada Allah pasti menolongnya, barang
siapa yang senantiasa qana’ah akan hilang kefakirannya.[3]
Salah seorang dari mereka berkata jika kamu
tidak memiliki daging maka cukup bagimu roti dan minyak atau kamu tidak
memiliki semuanya cukuplah potong kayu dan rumah untuk berlindung dan bernaung
di dalamnya hingga dating kepadamu kematian ini adalah kecukupan dan rasa aman
dan jangan tertipu angan-angan. Jadikanlah sifat qana’ah sebagai harta
simpanan, jangan terburu-buru memetik buah yang belum matang, jika kamu petik
pada waktunya, ia akan terasa lezat yang mengatur untukmu lebih mengetahui
tentang waktu yang cocok untuk diharapkan. Percayalah akan kebaikannya untukmu
dalam segala urusanmu.
Sesungguhnya indah yang dikatakan Imam Nawawi
“aku dapat qana’ah sebagai kekayaan aku berpegang teguh dngan tambahannya maka
tidak ada melihatku di pintunya dan tidak juga melihatku sangat berlebihan dan
aku hidup kaya dirham.[4]
Adapun ikhlas menuntut seseorang untuk bersabar
mau memaafkan orang lain, qana’ah semua itu menjadikan bathin tenang, tidak
menganggap kehidupan ini tidaklah menjadi prioritas mutlak atau mencintai dunia
dengan berlebihan, pangkat, harta dan tidak menjaminnya masuk surga, hati yang
bersih, qana’ah dan ikhlas serta ridha Allah yang menolong manusia tatkala
menjumpai Tuhannya.
B. Sejarah Qana'ah dalam Tasawuf Islam
Seperti halnya Al-Qur'an, sebagai salah satu sumber tasawuf dalam Islam,
begitu juga halnya dengan kehidupoan dan sabda Rasulullah SAW dan juga ada
sumber tasawuf.
Kehidupan Rasulullah SAW dapat dibagi kedua fase, yaitu fase kehidupan
beliau sebelum diangkat menjadi Rasul dan fase kehidupan beliau setelah
diangkat menjadi rasul. Dalam setiap fase ini, para sufi mendapatkan adanya
suatu sumber yang kaya dengan berbagai ilmu dan amal.
Muhammad, demikian nama Rasulullah SAW, putra Abdullah dan Aminah, dari
keluarga bangsawan suku Quraisy, dilahirkan di Mekkah pada 571 tahun gajah,
demikian menurut kebanyakan ahli sejarah Arab. Kedua orang tuanya, meski
miskin, tapi terhormat. Sang ayah wafat ketika bayi Muhammad belum lahir, dan
ibundanya pun menyusul ketika dia berumur sekitar enam tahun. Beliau tumbuh dewasa
dalam naungan kakeknya, Abdul Muthalib. Kemudian setelah kakeknya wafat, beliau
ikut pamannya Abu Thalib, seorang pedagang. Sebagai anak laki-laki Muhammad
menjelajah bukit-bukit di Mekkah, mengembala kambing-kambing keluarganya. Jadi
semenjak kecil beliau telah terbiasa dengan kesepian hati sebagai seorang anak
yatim piatu, kesusahan hidup dan kegersangan gurun pasir tandus jazirah Arabia . Pada usia
25 tahun beliau menikahi Khadijah. Seorang wanita kaya, yang 15 tahun lebih
tua. Selama istrinya masih hidup, Muhammad tak beristri lagi pada saat itulah
beliau dapat memperbaiki ekonomi hidupnya. Setiap bulan Ramadhan, demikian
diriwayatkan, Muhammad selalu menyendiri di gua Hira’, menjauh keramaian hidup,
menghindari kelezatan dan kemewahan duniawi, menghindari makan dan minum yang
berlebihan dan mengurangi tidur serta merenungi alam semesta. Ini semua membuat
kalbu beliau bersih, yang merupakan pemancar kenabian beliau.[5]
Kehidupan Muhammad di Gua Hira' merupakan cikal bakal kehidupan yang
nantinya akan dihayati para zahid (asketis) maupun sufi, mereka menempatkan
dirinya di bawah berbagai latihan rohani hingga fana di dalam munajat
(audiensi) dengan Tuhan sebagai buah dari khalwah. Imam al-Ghazali dalam
komentarnya tentang penisbahan jalan yang ditempuh para sufi pada kehidupan Nabi
SAW ketika beliau menyendiri di Gua Hira’, berkata:
Manfaat pertama (dari
mengisolasi diri) ialah pemusatan diri dalam ibadah, berpikir, mengakrabkan
diri dalam munajat dengan Allah, dengan menghindari hubungan dengan makhluk,
serta menyibukkan diri dengan menyingkap rahasia-rahasia Allah tentang
persoalan dunia dan akhirat maupun kerajaan langit dan bumi. [6]
Dengan demikian, berarti bahwa di Gua Hira' itu dimulainya pengesahan dan
penempahan ratna mutu manikam yang dimiliki Muhammad sejak lama, dibenak sampai
menjadi cahaya berkilauan dan cemerlang, yang dapat menembus jagat raya serta
membuka buhul-buhul hijab alam kegelapan, sehingga beliau memperoleh ilmu dan
wawasan yang sangat berguna untuk masa depan umat manusia.
Mengenai kehidupan Nabi SAW setelah turunnya wahyu, ditandai dengan sikap
qana'ah dan pengendalian diri dalam makan dan minum. Pengisian jiwa dengan amal-amal
shalih yang merupakan sumber kekayaan bagi para sufi. Rasulullah SAW pada
periode ini selalu mewajibkan diri tetap dalam keadaan sederhana, kesederhanaan
atau ketidakinginannya terhadap dunia ini bukanlah kesederhanaan demi
kesederhanaan. Bahkan keduanya bukanlah semacam kewajiban agama, sebab dalam
Al-Qur'an Allah berfirman yang artinya: Manakah di antara rezeki baik yang
telah kami berikan padamu.
Kemudian dalam sebuah hadits Rasulullah saw juga dinyatakan “Berbuatlah
untuk duniamu seakan-akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu
seakan-akan kamu mati besok hari”[7]
Berdasarkan keterangan ayat dan hadits di atas, dapat dipahami bahwa Nabi
saw bermaksud memberikan contoh teladan untuk manusia tentang ketangguhan yang
tidak mengenal lelah. Selain itu, dimaksudkan pula agar orang membuat
kepribadian seperti itu tidak diperbudak kekayaan, kekuasaan, atau yang lainnya
yang membuat hal-hal selain Allah yang berkuasa.
Qana'ah, tentang hidup Nabi saw hampir semua pengarang yang menulis
tentang sejarah hidupnya menceritakan bagaimana kesederhanaan rumah tangganya
sehari-hari. Bukan saja tidak terdapat perabot-perabot rumah tangga, keperluan
sehari-hari pun jarang terdapat, dan jangankan makanan yang lezat, makanan yang
biasa sehari-haripun belum tentu terdapat tiap waktu makan. Bahkan beliau
sering tidur di atas sepotong tikar sampai berbekas pada pipinya. Sebagai makanan
yang terutama di rumahnya, yang dapat disaji oleh isterinya, roti kering yang
terbuat dari tepung kasar dengan segelas air minum, sebutir atau dua butir
kurma.
Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah pernah mengeluh kepada keponakan Urwah,
katanya: lihatlah Urwah, kadang-kadang berhari-hari dapurku tidak menyala dan
aku jadi bingung olehnya. “Urwah bertanya: apa yang menjadi makananmu
sehari-hari? Aisyah menjawab: paling untung, yang pokok kurma dan air, kecuali
jika ada tetangga Anshar mengantar sesuatu kepada Rasulullah saw, maka dapatlah
kami merasakan seteguk susu. Rasulullah saw pernah menegaskan kami adalah
golongan orang yang tidak makan kecuali lapar; dan kami makan tidak
kekenyangan.[8]
Hamid al-Laffaf berkata “orang kaya sejati mencari kekayaan dngan qana’ah
(sikap menerima)orang miskin mencari kekayaan dengan kerakusan. Adapun Sofyan
ats-Tsauri berkata: “orang tidak merasa cukup dengan sekarat roti pada zaman
sekarang akan ditimpa kehinaan dan kerendahan “suatu hari, seseorang mendatangi
ats-Tsauri untuk meminta doa darinya agar ia mudah mencari kekayaan. Dia
berkata: “ingatlah orang yang senang menumpuk harta akan ditimpa lima penyakit di antaranya
panjang angan-angan, rakus, pelit, lupa akhirat dan sedikit wara’.[9]
Syeikh Taj al-Din al-Dzakir berkata: “tidak disebut qana’ah orang yang
rakus dalam makanan, orang yang qana’ah memiliki cukup harta, tetapi hemat
dalam belanja dan makannya sedikit”.[10]
Dalam hal ini dinyatakan bahwa:
Abu Mana’in pernah
tidak menemukan makanan selama tiga hari dan hanya makan daun-daunan, suatu
ketika, orang-orang berkata kepadanya “mengapa engkau tidak datang ke tempatku,
di rumah ku ada makanan yang layak engkau makan”. Mendengar perkataan
orang-orang Abu Mada’in menjawab “menjadi peminta-minta lebih kutakuti daripada
makan daun-daunan ini, bahaya yang timbul dari daun daunan lebih rendah
daripada bahaya meminta-minta. Daun ini hanya mengancam kesehatan badanku,
sedangkan meminta-minta mengancam keselamatanku di akhirat. Aku tidak ingin
menjual keselamatan di akhirat untuk mengejar keselamatan dunia, lapar aku tiga
hari tidak bernilai apa-apa dibandingkan dengan keadaan diriku yang mendapat
siksaan Allah selamanya.[11]
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami, bahwa penganut ajaran sufi
pada masa lalu sangat menjaga makanan yang dimakannya. Bahkan mereka
beranggapan bahwa lebih baik berpuasa dari pada harus meminta-minta. Hal ini
membuktikan bahwa sikap qana’ah yang dilaksanakan para sufi sudah mencapai
tingkat kezuhudan yang tinggi.
C. Kedudukan Qana’ah dalam Tasawuf
Qana’ah dalam istilah tasawuf adalah salah satu
jalan spiritual atau tahapan-tahapan spiritual (maqamat) yang harus didahului
oleh seorang sufi. Seorang yang melakukan perjalanan spiritual untuk
mendekatkan dirinya kepada Allah, dia harus melalui tahapan-tahapan spiritual
antara lain sikap qana’ah.
Qana’ah adalah kepuasan jiwa terhadap apa yang
telah diberikan oleh Allah kepadanya dalam kitab risalah Qusyairiyah dikatakan
qana’ah artinya merasa cukup terhadap apa yang ada dan menginginkan apa yang
tidak ada.[12]
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Thabrani dari Jubir ra Nabi bersabda “qana’ah adalah harta yang tidak pernah
sirna (al-qana’atu kanzun la yafna).[13]
Oleh karena itu, ajaran yang dibawakan oleh
nabi-nabi sejak awal sampai yang dibawa Nabi Muhammad saw, selalu menjaga martabat
kemanusiaan agar tidak mengalami penurunan yang mengakibatkan menyamai martabat
binatang. Tetapi apa yang dikhawatirkan oleh nabi-nabi, betul-betul terjadi di
kalangan manusia, di mana mereka saling merusak dirinya dengan berbagai macam
kedhaliman bahkan nabinya juga dimusuhi, dengan alasan bahwa dialah yang
menghalang-halangi kebebasan mereka melakukan hal-hal yang dikehendakinya.
وما خلقت الجن والإنسان الا
ليعبدون (الذرية: ٥٦)
Artinya: Dan
tidak Aku menciptakan jin dan manusia melainkan mereka hanyalah untuk
menyembah-Ku (adz-Dzariyat: 56)
Dilihat dari seruan nabi dalam Al-Qur'an yang
selalu mengajak umatnya menyembah Allah, karena keadaannya manusia saat itu
sudah terlalu sesat dalam kemusyrikan, bahkan sudah terlampau jauh dari
kedudukan manusia sebagai hamba Allah, sehingga makin bergeser dari
kedudukannya sebagai khalifah di bumi ini, yang seharusnya bertugas untuk
menyembah-Nya, serta untuk memakmurkan dunia beserta seluruh penghuninya.
Oleh karena itu, untuk mengetahui kedudukan
qana’ah dalam Islam, maka perlu diuraikan bahwa ada tiga macam sendi Islam yang
tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya sehingga kualitas seorang
muslim selalu dapat diukur dengan pelaksanaannya terhadap ketiga macam sendi
tersebut, yang mencakup:
Masalah aqidah, yang meliputi enam macam rukun
iman, dengan kewajiban beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat-Nya, dan qadar baik serta qadar
buruk yang telah ditentukan-Nya.
Masalah syari’ah, yang meliputi pengabdian
hamba terhadap Tuhan-Nya, yang dapat dilihat pada rukun Islam yang lima, dengan
kewajiban mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan
zakat, berpuasa di bulan ramadhan, dan menunaikan ibadah haji di Baitullah. Dan
muamalah juga termasuk masalah syari’ah yang meliputi perkawinan, pewarisan,
hubungan perkonomian, masalah ketatanegaraan, perlindungan hak-hak dan
kewajiban manusia dan sebagainya.
Masalah ihsan, yang meliputi “hubungan baik
terhadap Allah SWT, terhadap sesama manusia serta terhadap seluruh makhluk di
dunia ini”.[14]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat pahami
bahwa qana’ah merupakan suatu hal yang sentral dalam kehidupan manusia yang
diajarkan oleh Rasulullah saw. Hanya manusialah yang dituntut untuk berlaku
qana’ah di antara makhluk ciptaan Allah SWT lainnya. Hal ini dituntut dari
manusia, karena ia di samping diciptakan dalam bentuk dan rupanya yang
terindah, juga diberikan akal untuk memilih, menilai dan membandingkan
melakukan tindakan yang berhubungan langsung dengan Allah SWT, sehingga
tercapainya kebahagiaan dalam kehidupan di dunia ini.
Karena itu, hal tersebut sering dijumpai dalam
kitab yang membahas masalah tasawuf, sebagaimana diungkapkan Ibnu Maskawaih,
yaitu: qana’ah
yang berkaitan dengan shalat, istilahqana’ah yang berkaitan dengan perkawinan,
istilah qana’ah yang berkaitan dengan ketenaga-kerjaan dan perekonomian[15]
Istilah-istilah tersebut di atas, memberikan
gambaran kepada kita bahwa betapa pentingnya bersikap qana’ah dalam kehidupan
umat Islam, di mana dalam ibadah dan muamalah pun selalu ada ketentuan untuk
berlaku qana’ah juga diperlukan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa kedudukan qana’ah dalam kehidupan umat manusia sangat
penting, karena qana’ah merupakan salah satu pengetahuan yang mengatur secara
langsung hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia dan
hubungan dengan alam sekitarnya.
Para ahli tasawuf berkeyakinan
bahwa upaya untuk hidup qana’ah dalam kehidupan umat Islam akan berhasil dengan
tidak menghilangkan sikap fanatik terhadap agama. Mereka menyarankan
dipersatukannya berbagai kelompok masyarakat untuk melawan golongan yang
mengedepankan kesombongan. Cara ini akan menyulut perpecahan yang akhirnya akan
menghancurkan umat itu sendiri.
Kelompok ini tidak hanya puas
dengan penghancuran umat Islam dan merampas hak-hak umat Islam. Mereka pun
menentang prinsip hak dan kewajiban, khususnya terhadap hak dan kewajiban
terhadap berhubungan dengan Allah.
Mustafa Zuhri mengatakan
“pengertian qana’ah sama dengan pengertian zuhud. Qana’ah yang ikhlash pada
akhirnya berakhir pada pengabdian. Tidak ada perbedaan di antara keduanya
kecuali dalam hal-hal nonprinsipil..[16]
Berdasarkan keterangan di atas,
maka dapat dipahami bahwa kita tidak bermaksud terlibat jauh dalam diskusi ini.
Persoalan tersebut bukanlah persoalan baru, seperti yang dicatat oleh ahli
tasawuf. Dalam buku kunci memahami ilmu tasawuf, Mustafa Zuhri berkeyakinan,
“qana’ah merupakan perilaku utama bagi manusia, sehingga tindakan seseorang
dikatakan sebagai tindakan manusia. Qana’ah merupakan proses pembentukan watak
manusia ke arah keutamaan, perbaikan terhadap yang jelek, dan peningkatan
terhadap yang baik.[17] Menurut al-Ghazali qana’ah
sangat berbeda dengan konsep zuhud dalam tasawuf. Kedua bentuk maqam tasawuf
ini juga sejalan dengan konsep konsep tasawuf Al-Ghazali. Cabang dan aliran
tasawuf ini tidak bertentangan satu sama lain. Karena semua maqam tasawuf,
memiliki tujuan tunggal, yaitu menghambakan diri kepada Allah secara langsung.
Berdasarkan keterangan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa konsep qana’ah pada hakikatnya sesuai dengan
perkembangan zaman. Hal ini dibuktikan dengan adanya pernyataan sebagian orang
yang masih mengamalkan hidup qana’ah walaupun proses globalisasi terlah
mempengaruhi kehidupan manusia. Sebenarnya qana’ah merupakan salah satu syarat
untuk membentuk watak manusia ke arah keutamaan, perbaikan terhadap yang jelek,
dan peningkatan terhadap yang baik, sehingga pada akhirnya berlaku pada setiap
dimensi kehidupan manusia.
[1]HAMKA, Tasawuf Modern, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1990, hal. 219
[2]Fazlur Rahman, Al-Islam, Bandung : Mizan, 1993, hal.
213
[3]Jalaluddin Rakhmat, Islam
Sebagai Alternatif, Bandung :
Mizan, 1985, hal. 222
[4]Syeikh M. Abdul Athi Buhairi, Jangan Bersedih (Sesudah Kesulitan Ada Kemudahan), Jakarta :
Pustaka al-Kautsar, 2004, hal. 56
[5]M. Amin Syukur, Kehidupan
Zuhud di Era Kontemporer, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hal. 115
[6]M. Amin Syukur, Menggugat
Tasawuf, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, hal. 98
[7]Imam Bukhari, Terjemahan
Shahih Bukhari, Bandung :
al-Ma’arif, t.t., hal. 115
[9]M. Amin Syukur, Op . cit., hal. 115
[11]Abd al-Wahhab al-Sya’rani, 99 Akhlak Sufi Meniti Jalan Surga Bersama
Orang-Orang Suci, Bandung :
Mizan, 2004, hal. 122
[12]Imam al-Qusyairi, Risalah Qusyairiah, Semarang : Risalah Gusti, 1993, hal. 517
[13]M. Amin Syukur, Tasawuf Kontektual (Solusi Problem Manusia Modern), Jakarta : Pustaka Pelajar,
2003, hal. 42
[14]Mahmud Syaltut, Aqidah dan Syari’ah, Terj. KH. Ali Yafie,
(Jakarta: Pustaka al-Husna, 1990), hal. 55
[15]Ibnu Maskawaih, , Tahzibul Akhlaq wa Thathirul A’raq,
(Beirut Libanon: Dar al-Fikri, t.t.) hal. 25
0 Comments
Post a Comment