Sistem Pendidikan Pada Zaman Kesultanan Di Aceh
BAB III
Sistem Pendidikan Pada Zaman Kesultanan Di Aceh
A.
Sistem Pendidikan Zaman Kesultanan Aceh
Lahirnya agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, pada abad ke-7 M,
menimbulkan suatu tenaga penggerak yang luar biasa, yang pernah dialami oleh
umat manusia. Islam merupakan gerakan raksasa yang telah berjalan sepanjang
zaman dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Masuk dan berkembangnya Islam ke
Indonesia dipandang dari segi historis dan sosiologis sangat kompleks dan
terdapat banyak masalah, terutama tentang sejarah perkembangan awal Islam. Ada
perbedaan antara pendapat lama dan pendapat baru. Pendapat lama sepakat bahwa
Islam masuk ke Indonesia abad ke-13 M dan pendapat baru menyatakan bahwa Islam
masuk pertama kali ke Indonesia pada abad ke-7 M[1].
Namun yang pasti, hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia
yang mula-mula dimasuki Islam adalah daerah Aceh[2].
Datangnya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai, dapat dilihat melalui
jalur perdagangan, dakwah, perkawinan, ajaran tasawuf dan tarekat, serta jalur
kesenian dan pendidikan, yang semuanya mendukung proses cepatnya Islam masuk
dan berkembang di Indonesia. Kegiatan pendidikan Islam di Aceh lahir, tumbuh
dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya Islam di Aceh. Konversi massal
masyarakat kepada Islam pada masa perdagangan disebabkan oleh Islam merupakan
agama yang siap pakai, asosiasi Islam dengan kejayaan, kejayaan militer Islam,
mengajarkan tulisan dan hapalan, kepandaian dalam penyembuhan dan pengajaran
tentang moral[3].
Konversi massal masyarakat kepada Islam pada masa kerajaan Islam di Aceh
tidak lepas dari pengaruh penguasa kerajaan serta peran ulama dan pujangga.
Aceh menjadi pusat pengkajian Islam sejak zaman Sultan Malik Az-Zahir berkuasa,
dengan adanya sistem pendidikan informal berupa halaqah. Yang pada
kelanjutannya menjadi sistem pendidikan formal. Dalam konteks inilah, pemakalah
akan membahas tentang pusat pengkajian Islam pada masa Kerajaan Islam dengan
membatasi wilayah bahasan di daerah Aceh, dengan batasan masalah, pengertian
pendidikan Islam, masuk dan berkembangnya Islam di Aceh, dan pusat pengkajian
Islam pada masa tiga kerajaan besar Islam di Aceh.
1.
Zaman
Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Islam Samudera Pasai berdiri tidak ada suatu kepastian tahun yang
didapat. Para peminat dan ahli sejarah masih belum bisa memperoleh suatu
kesepakatan mengenai hal ini. Menurut tradisi dan berdasarkan penyelidikan atas
beberapa sumber sementara, terutama yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat
khususnya para sarjana Belanda sebelum perang seperti Snouck Hurgronye, J.P.
Moquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan
lain-lain, menyebutkan, bahwa Kerajaan Islam Samudera Pasai baru berdiri pada
pertengahan abad ke XIII. Dan sebagai pendiri kerajaan ini adalah Sultan Malik
As Salih yang meninggal pada tahun 1297[4].
Menurut sumber yang lain, Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan
Samudra Pasai, yang didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik
Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir
bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H). Pada tahun 1345, Ibnu
Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan
Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i,
mengadakan pengajian sampai waktu shalat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta
mempraktekkan pola hidup yang sederhana[5].
Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang
berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut:
a.
Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang
syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i
b.
Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis
ta’lim dan halaqoh
c.
Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama
d.
Biaya pendidikan bersumber dari negara[6].
Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M,
maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome
Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana
antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan”[7].
Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat
studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari
negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah
orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba,
Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang
mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir
Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara
diskusi disebut Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid
mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid
dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru.
2.
Kerajaan Perlak
Kesultanan Perlak berdiri pada tahun 840 dan berakhir pada tahun 1292.
Proses berdirinya tidak terlepas dari pengaruh Islam di wilayah Sumatera.
Sebelum Kesultanan Perlak berdiri, di wilayah Perlak sebenarnya sudah berdiri
Negeri Perlak yang raja dan rakyatnya merupakan keturunan dari Maharaja Pho He
La (Meurah Perlak Syahir Nuwi) serta keturunan dari pasukan-pasukan pengikutnya[8].
Pada tahun 840 ini, rombongan berjumlah 100 orang dari Timur Tengah menuju
pantai Sumatera yang dipimpin oleh Nakhoda Khilafah. Rombongan ini bertujuan
untuk berdagang sekaligus membawa sejumlah da'i yang bertugas untuk membawa dan
menyebarkan Islam ke Perlak. Dalam waktu kurang dari setengah abad, raja dan
rakyat Perlak meninggalkan agama lama mereka (Hindu dan Buddha), yang kemudian
secara sukarela berbondong-bondong memeluk Islam[9].
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa salah seorang anak buah dari Nakhoda
Khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dikawinkan dengan Makhdum
Tansyuri, yang merupakan adik dari Syahir Nuwi, Raja Negeri Perlak yang
berketurunan Parsi. Dari buah perkawinan mereka lahirlah Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz
Shah, yang menjadi sultan pertama di Kesultanan Perlak sejak tahun 840. Ibu
kotanya Perlak yang semula bernama Bandar Perlak kemudian diubah menjadi Bandar
Khalifah sebagai bentuk perhargaan terhadap jasa Nakhoda Khalifah. Kerajaan
Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan
Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja
sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak.
Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka,
dan bebas dari pengaruh Hindu[10].
Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala.
Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa
Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah
dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat
Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada
akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama. Rajanya yang ke
enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun
1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim.
Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu
Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga
tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot
pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i[11].
Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan
cukup baik.
3.
Kerajaan Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan dari Samudera Pasai
yang pada tahun 1360 ditaklukkan oleh Majapahit hingga kemundurannya di abad
ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota
Kutaraja (Banda Aceh) dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah
yang dinobatkan pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8
September 1507[12]. Dalam
sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya
dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam
mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang
imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik,
mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam
menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam
Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra
Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali
Mughayat Syah (1507-1522 M). Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan
pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh
seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan dan
yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di sebuah masjid
merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang memegang peranan
pimpinan mukim disebut Imeum mukim[13].
Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan
terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah,
terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
a.
Sebagai tempat belajar Al-Qur’an
b.
Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang
diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu,
akhlak dan sejarah Islam.
Fungsi lainnya adalah sebagai berikut:
a.
Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk
kampung itu.
b.
Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca
Al-Qur’an di bulan puasa.
c.
Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.
d.
Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari
menjelang Idhul Fitri atau bulan puasa
e.
Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi
sengketa antara anggota kampung.
f.
Tempat bermusyawarah dalam segala urusan
g.
Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah,
supaya orang segera dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan
mengetahui arah kiblat sholat[14].
Selanjutnya sistem pendidikan di Dayah (Pesantren) seperti di Meunasah
tetapi materi yang diajarkan adalah kitab Nahu, yang diartikan kitab yang dalam
Bahasa Arab, meskipun arti Nahu sendiri adalah tata bahasa (Arab). Dayah
biasanya dekat masjid, meskipun ada juga di dekat Teungku yang memiliki dayah
itu sendiri, terutama dayah yang tingkat pelajarannya sudah tinggi. Oleh karena
itu orang yang ingin belajar nahu itu tidak dapat belajar sambilan, untuk itu
mereka harus memilih dayah yang agak jauh sedikit dari kampungnya dan tinggal
di dayah tersebut yang disebut Meudagang. Di dayah telah disediakan
pondok-pondok kecil mamuat dua orang tiap rumah. Dalam buku karangan Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, istilah Rangkang merupakan madrasah
seringkat Tsanawiyah, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, ilmu bumi,
sejarah, berhitung, dan akhlak. Rangkang juga diselenggarakan disetiap mukim[15].
Bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi
perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam
bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan yaitu:
a.
Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu
pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk
membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
b.
Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan
yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
c.
Balai Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok
studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar fikiran membahas
persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.
Aceh pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan
sarjana-sarjanaya yang terkenal di dalam dan luar negeri. Sehingga banyak orang
luar datang ke Aceh untuk menuntut ilmu, bahkan ibukota Aceh Darussalam
berkembang menjadi kota Internasional dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan.
Kerajaan Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam
terkemuka di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula ulama
dan pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para
ulama dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan
berbagai ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam kitab berisi ajaran
agama. Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi penting dan Aceh
menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama dan pijangga
yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang mengajar
ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang pogmatic
dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh Muhammad
Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika[16].
Tokoh pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah
Hamzah Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal
dengan ajaran tasawuf yang beraliran wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah
Fansuri adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin.
Sebagai seorang pujangga ia menghasilkan karya-karya, Syair si burung pungguk,
syair perahu.
Ulama penting lainnnya adalah Syamsuddin As-Samathrani atau lebih dikenal
dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan
paham wujudiyah di Aceh. Kitab yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin
dan lainnya. Ulama dan pujangga lain yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah
Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Ia menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab
mengenai agama Islam dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang
terbesar dan tertinggi mutu dalam kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang
sejarah kerajaan Aceh adalah kitab Bustanul Salatin.
Pada masa kejayaan kerajaan Aceh,
masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid
sebagai tempat beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid
Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17
daars (fakultas). Dengan melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke
Aceh, serta adanya Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh
menjadi pusat studi Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu
faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode
berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam[17].
B.
Peranan Ulama dalam Pendidikan Zaman
Kesultanan Aceh
Pada masa Sultan Iskandar Muda memerintah di Kerajaan Aceh, ulama mempunyai
kedudukan dan peran yang sangat penting di dalam menyertai perjalanan panjang
seorang sultan di dalam menjalankan pemerintahannnya. Adat bak Poteu Meureuhom,
hukom bak Syiah Kuala (adat pada poteu Meurohom, hukum pada Syiah Kuala) yang
sering terdengar di Aceh kiranya dapat menjadi pertanda bahwa pada zaman
kesultanan Aceh ulama berperan sebagai pemberi fatwa (keputusan hukum). Peranan
itu pada zaman kesultanan demikian besar sehingga pada setiap periode ada ulama
yang mendampingi pemerintahan. Sultan Iskandar Muda didampingi oleh Hamzah
al-Fansury dan Syams al-Din al Sumatrani selama menjalankan pemerintahannya.
Ketika itu, kedua ulama ini mempengaruhi mazhab yang dipakai di Aceh, yaitu
aliran wahdat al wujud, sebagai mahzab resmi negara.
Selain itu, melalui karya Hamzah Fansuri, umat Islam telah terbuka
pemikiran dan wawasannya karena apabila sebelumnya umat Islam belajar Islam
dari bahasa Arab dan Parsi di bawah bayang-bayang otoritas seseorang. Hamzah
Fansuri telah berusaha mengungkapkan semua ajaran itu melalui karya sastra dan mistis
Islami dengan kedalaman isi dan pesan yang sangat mengagumkan. Kepeloporan
Hamzah Fansuri di bidang sastra ini diakui oleh pakar Belanda Valentijn yang
pernah datang ke Aceh dimana ia menyatakan bahwa Hamzah Fansuri telah berhasil
dengan sukses menggambarkan kebesaran Aceh masa lampau melalui syair-syairnya[18].
Kalau Sultan adalah raja pertama, ulama dapat dikatakan ulama adalah raja
“kedua”. Ulama merupakan warasatul anbiya atau pewaris nabi, akan apa yang
disuruhnya mestilah dipatuhi sebab mereka yang tidak mematuhinya akan ditimpa
malapetaka. Di Aceh dikenal konsep-konsep darohaka dan teumeureuka. Seorang
ulama besar, Teungku Chik Kutakarang pernah mengatakan bahwa “Bermula agama
Allah dan raja-raja sama kembar keduanya yakni seperti tali berputar sama dua,
maka tiadalah berkata salah satu dari keduanya jauh daripada satu sama lain”.
Oleh karena itu, pada tingkatan makro, ulama pada zaman Sultan Iskandar
Muda mendapat jabatan yang cukup penting, yaitu kadli (kadli malikul adil di
tingkat kerajaan/Istana dan kadli uleebalang di tingkat nanggroe. Dengan
kedudukan tersebut ulama dapat menjadi bagian dan mempunyai bargaining power di
dalam pengambilan keputusan di istana, baik yang menyangkut keduniawian dan
kerohanian. Pada masa ini pemerintah Sultan Iskandar Muda, Aceh berhasil
memperluas wilayah kekuasaannya seperti ke Aru, Pahang dan Malaka. Pasa masa
ini Aceh menjadi pusat perdagangan yang maju Sistem perundang-undangan yang
disebut dengan Adat Mahkota Alam juga disusun. Undang-undang ini di samping
berlaku untuk kesultanan Aceh ternyata juga menjadi acuan dalam penyusunan
sistem perundang-undangan beberarapa kerajaan tetangga. Islam juga memperoleh
perhatian utama sultan.
Kemajuan di berbagai bidang kehidupan seperti politik, militer dan ekonomi
menjadi Aceh pada masa Kesultanan Iskandar Muda sebagai kesultanan yang besar
dan kuat serta pengaruhnya sangat dirasakan di kawasan Asia Tenggara dan dunia
internasional. Selain peranan ulama pada tingkatan makro (negara) seperti
dibahas di atas, pada tingkatan teritorial terkecil, wujud dari bentuk hubungan
antarkeduanya dapat dilihat di gampong. Teungku meunasah adalah pejabat yang
mengurus segala sesuatu yang bertalian dengan soal-soal keagamaan (hukom),
sedangkan keuchiek adalah orang yang orang yang mewakili adat. Keucheik adalah
“ayah” atau embah, sedangkan teungku meunasah adalah “ibu” kepada gampong itu.
Dengan demikian, dapat dikatakan ulama mempunyai kedudukan dan fungsi yang
penting di dalam pengaturan dan interaksi budayapada masyarakat Aceh. Mereka
tidak hanya menjadi bagian dari peran yang harus dijalankan, tetapi juga
mempengaruhi baik di dalam sistem ide, sistem sosial dan hasil karya budaya
masyarakat Aceh. Ulama menjadi salah satu decision maker, yang terlibat di
dalam pengambilan sebuah keputusan yang amat penting sehingga dapat
mempengaruhi ketiga aspek budaya itu, baik pada tingkat mikro maupun makro.
Dalam kehidupan sehari-hari, pada tingkat mikro, di kampung orang gemar
akan mupakat atau duekpakat yaitu pertukaran pikiran untuk mencapai kebulatan
pendapat dalam mendukung serta melaksanakan sesuatu urusan. Dalam mufakat ini
diundang juga orang-orang yang dituakan serta tokoh terpandang lainnya yang
dapat mewakili pendapat segenap penduduk gampong itu. Segala sesuatu mengenai
kepentingan umum senantiasa diurus bersama antara geuchik dengan teungku
meunasah, sebagai perlambang antara adat dengan syara’. suatu keputusan yang
diambil oleh keuchiek tanpa persetujuan teungku meunasah akan mengalami
berbagai hambatan di dalam penerapannya. Setiap keputusan yang disetujui oleh
teungku meunasah, masyarakat akan mematuhinya dengan penuh keikhlasan sebab
keputusan itu telah disandarkan kepada syariat Islam.
Pada tingkat makro ulama dapat dianggap sebagai teknokrat Aceh pada zaman
Sultan Iskandar Muda memerintah Aceh. Mereka memiliki ilmu dalam berbagai
disiplin dan memanfaatkannya untuk kepentingan pendidikan, kebudayaan, politik,
sosial, ekonomi, pertanian dan lain-lain. Pada saat itu, ulama adalah
satu-satunya korp ilmuwan dan pendidik. Pusat-pusat pendidikan sejak dari
tingkat meunasah (pendidikan rendah di surau), rangkang (pendidikan menengah)
dan balee (pendidikan tinggi) mereka dirikan di seluruh Aceh. Sebagian besar
daripadanya adalah dengan usaha mereka sendiri dan kadang-kadang juga dengan
bantuan penguasa. Sejak zaman Kesultanan Aceh para ulama lah yang sering pula
mengepalai pembukaan areal tanah persawahan baru, pembangunan irigasi,
penyusunan kampung, jalan-jalan dan sebagainya.
Sebelum suatu gampong dibangun mereka lebih dulu mendirikan meunasah
(walaupun pada mulanya secara darurat), tempat beribadat dan sementara waktu
untuk memondok bersama. Kemudian setelah perkampungan siap dibangun, meunasah
tetap sebagai tempat beribadat, pendidikan anak-anak, pengajian agama untuk
orang tua-tua, merundingkan kepentingan gampong dan sebagainya. Beberapa lama
kemudian, jika keadaan mengizinkan mereka dirikan pula rangkang untuk anak-anak
yang ingin dan sanggup melanjutkan pelajaran setelah tamat pendidikan meunasah.
Apabila ulamanya cukup besar dan berilmu rangkang itu, biasanya seperti terjadi
pada beberapa gampong- ditingkatkan menjadi dayah sehingga merupakan sebuah
kompleks yang di dalamnya tergabung rangkang dalam jumlah yang cukup dan sebuah
atau beberapa buah balee. Dayah-dayah yang didirikan oleh mereka itulah
melahirkan ulama yang tersebar di dan bahkan keluar Aceh. Merekalah bekerja
sebagai pendidik dan pemimpin yang mempengaruhi interaksi budaya di suatu
daerah, di berbagai tempat di Kesultanan Aceh[19].
Hubungan yang erat antara sultan, ulama dan rakyat pada masa kesultanan
tampak dari rasa ketergantungan rakyat terhadap keberadaan ulama di
tengah-tengah masyarakat. Rakyat merasa sebagai menggantungkan nasib kepada
ulama karena daripadanyalah rakyat mengharapkan bimbingan rohaniah dan
jasmaniah, perbaikan di bidang fisik meterial dan mental-spritual. Ajaran ulama
karena kadang-kadang ia dianggap keramat merupakan sesuatu yang dirasakan tidak
boleh dibantah dan karenanya rakyat wajib taat dan setia kepadanya. Sultan atau
penguasa setempat bilamana ingin melaksananakan suatu pembangunan ataupun
lainnya merasa senantiasa sukses jika disalurkan melalui ulama setempat.
Hal ini kiranya dapat
dimengerti karena ulama sendiri selain daripada mempunyai hubungan religi yang
cukup ketat dan sumber legitimasi yang cukup mengikat juga turut bekerja sama
dengan rakyat secara ikhlas. Kerja sama yang demikian, menurut mereka, adalah
ibadat yang akan mendapat balasan yang dari Allah.
C.
Peranan Pendidikan dalam
Pembangunan Aceh pada Zaman Kesultanan
Hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa dearah Indonesia yang mula-mula
di masuki Islam ialah daerah Aceh. Berdasarkan kesimpulan seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia
yang berlangsung di Medan pada tanggal 17 – 20 Maret 1963, yaitu:
Pertama, Islam
untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, dan langsung
dari Arab. Kedua, Daerah yang pertama kali didatangi oleh Islam
adalah pesisir Sumatera, adapun kerajaan Islam yang pertama adalah di Pasai. Ketiga, Dalam
proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Islam Indonesia ikut aktif
mengambil peranan dan proses penyiaran Islam dilakukan secara damai. Keempat, Keterangan
Islam di Indonesia, ikut mencerdaskan rakyat dan membawa peradaban yang tinggi
dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia[20].
Masuknya
Islam ke Indonesia ada yang mengatakan dari India, dari Persia, atau dari Arab.
Dan jalur yang digunakan adalah:
Pertama, Perdagangan,
yang mempergunakan sarana pelayaran. Kedua, Dakwah,
yang dilakukan oleh mubaligh yang berdatangan bersama para pedagang, para
mubaligh itu bisa dikatakan sebagai sufi pengembara. Ketiga, Perkawinan,
yaitu perkawinan antara pedagang muslim, mubaligh dengan anak bangsawan
Indonesia, yang menyebabkan terbentuknya inti sosial yaitu keluarga muslim dan
masyarakat muslim. Keempat, Pendidikan.
Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran
Islam. Kelima, Kesenian.
Jalur yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah
seni[21].
Bentuk agama Islam itu sendiri mempercepat penyebaran Islam, apalagi
sebelum masuk ke Indonesia telah tersebar terlebih dahulu ke daerah-daerah
Persia dan India, dimana kedua daerah ini banyak memberi pengaruh kepada
perkembangan kebudayaan Indonesia. Dalam perkembangan agama Islam di daerah Aceh, peranan mubaligh sangat
besar, karena mubaligh tersebut tidak hanya berasal dari Arab, tetapi juga
Persia, India, juga dari Negeri sendiri.
Ada dua
faktor penting yang menyebabkan masyarakat Islam mudah berkembang di Aceh,
yaitu: Pertama, Letaknya sangat strategis dalam hubungannya dengan jalur Timur Tengah
dan Tiongkok. Kedua, Pengaruh Hindu-Budha dari Kerajaan Sriwijaya di Palembang tidak begitu berakar kuat
dikalangan rakyat Aceh, karena jarak antara Palembang dan Aceh cukup jauh[22].
Sedangkan Hasbullah mengutip pendapat Prof. Mahmud Yunus, memperinci
faktor-faktor yang menyebabkan Islam dapat cepat tersebar di seluruh Indonesia,
antara lain:
Pertama, Agama Islam tidak sempit dan berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah
ditiru oleh segala golongan umat manusia, bahkan untuk masuk agama Islam saja
cukup dengan mengucap dua kalimah syahadat saja. Kedua, Sedikit
tugas dan kewajiban Islam. Ketiga, Penyiaran Islam itu dilakukan dengan cara
berangsur-angsur sedikit demi sedikit. Keempat,
Penyiaran Islam dilakukan dengan cara bijaksana. Kelima, Penyiaran
Islam dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami umum, dapat dimengerti
oleh golongan bawah dan golongan atas[23].
Konversi
massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena
beberapa sebab, yaitu:
Pertama, Portilitas
(siap pakai) sistem keimanan Islam. Kedua, Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika
penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan orang muslim
pendatang di pelabuhan, mereka adalah pedagang yang kaya raya. Karena kekayaan
dan kekuatan ekonomi, mereka bisa memainkan peranan penting dalam bidang
politik dan diplomatik. Ketiga, Kejayaan militer. Orang muslim dipandang
perkasa dan tangguh dalam peperangan. Keempat, Memperkenalkan
tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara
yang sebagian besar belum mengenal tulisan. Kelima, Mengajarkan
penghapalan Al-Qur’an. Hapalan menjadi sangat penting bagi penganut baru,
khususnya untuk kepentingan ibadah, seperti sholat. Keenam, Kepandaian
dalam penyembuhan. Tradisi tentang konversi kepada Islam berhubungan dengan
kepercayaan bahwa tokoh-tokoh Islam pandai menyembuhkan. Sebagai contoh, Raja
Patani menjadi muslim setelah disembuhkan dari penyakitnya oleh seorang Syaikh
dari Pasai. Ketujuh, Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari berbagai
kekuatan jahat dan kebahagiaan di akhirat kelak[24].
Melalui faktor-faktor dan sebab-sebab tersebut, Islam cepat tersebar di
seluruh Nusantara sehingga pada gilirannya nanti, menjadi agama utama dan
mayoritas negeri ini.
D.
Keberhasilan Pendidikan pada Zaman Kesultanan di Aceh
Pendidikan merupakan suatu proses
belajar mengajar yang membiasakan kepada warga masyarakat sedini mungkin untuk
menggali, memahami dan mengamalkan semua nilai yang disepakati sebagai nilai
yang terpujikan dan dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan
ciri pribadi, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan Islam sendiri adalah
proses bimbingan terhadap peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim
yang baik (insan kamil).
Di antara sejumlah Kesultanan di
Indonesia yang pada abad ke-17 M. Mencapai keemasan dilihat dari berbagai aspek
kehidupan: politik, ekonomi-perdagangan, keagamaan dan kebudayaan: ialah
Kesultanan Aceh Darussalam semasa Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Mataram
semasa Sultan Agung Hanyakrasusumo, Kesultanan Banten semasa Sultan Ageng
Tirtayasa, Kesultanan Gowa semasa Sultan Hasan Uddin. Dapat kita catat tentang
kemajuan keagamaan terutama yang memberikan warisan kesasteraan agama Islam
mengenai berbagai hal: Taugid, Tasawuf dan Tarekatnya, Fikh, Musyah Al- Qur’an,
dan lainnya ialah Kesultanan Aceh Darussalam, kemudian Kesultanan Banaten.
Aceh terkenal dengan para ulama
besarnya dan tempat berguru para kiai sebelum pergi menenuaikan ibadah haj,
karena itu sering digelari Aceh Serambi Mekkah. Di Aceh hidup Hamzah Fansuri
(w. 1527 M.), Syamsuddin As-Sumaatrani (abad 17 M.), Nuruddin Ar-Raniri (
abd-17 M.), Abdurrauf As-Singkili (abd 17 M.) dan lainnya[25].
Dari Aceh mulai sastra keagamaaan Islam yang ditulis dalam huruf Jawi berbagasa
Melayu dan tersebar ke berbagai daerah Indonesia: di Sumatara, di Bima, Maluku,
Sulawesi- Buton, Kalimantan. Demikian pula pengaruhnya ke Banten , Cirebon dan
lainnya. Pada abad 17 dan 18 Masehi hubungan atau jaringan kuat antara
ulama-ulama Timur Tengah dan Melayu-Indonesia. Kitab-kitab Fikh yang tersebar
sejak masa lampau di Indonesia telah banyak dibicarakan dan dapat kami catatan
pada umumnya di Kesulatanan-Kesultanan di Indonesia menerapkan Syari’ah
terutama di bidang Ubudiyah, Muamalah dan Hudud, tetapi dalam bidang Jinayah
tidak kecuali satu masa di Kesultanan Aceh Darussalam semasa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Keberhasilan dan kemajuan pendidikan di
masa kerajaan Islam di Aceh, tidak terlepas dari pengaruh Sultan yang berkuasa
dan peran para ulama serta pujangga, baik dari luar maupun setempat, seperti
peran Tokoh pendidikan Hazah Fansuri, Syamsudin As-Sumatrani, dan Syaeh
Nuruddin A-Raniri, yang menghasilkan karya-karya besar sehingga menjadikan Aceh
sebagai pusat pengkajian Islam.
Tokoh pendidikan agama Islam lainnya
yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah Fansuri. Ia merupakan seorang
pujangga dan guru agama yang terkenal dengan ajaran tasawuf yang beraliran
wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri adalah Asrar Al-Aufin, Syarab
Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai seorang pujangga ia menghasilkan
karya-karya, Syair si burung pungguk, syair perahu. Ulama penting lainnnya adalah
Syamsuddin As-Samathrani atau lebih dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah
murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan paham wujudiyah di Aceh. Kitab
yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin dan lainnya[26].
Ulama dan pujangga lain yang pernah
datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Ia menentang paham
wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam dalam bahasa Arab
maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu dalam kesustraan
Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah kitab Bustanul
Salatin. Pada masa
kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan
Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat
beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman,
yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daars (fakultas)[27].
Dengan melihat banyak para ulama dan
pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya Perguruan Tinggi, maka dapat
dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat studi Islam. Karena faktor agama
Islam merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat
Aceh pada periode berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang Aceh adalah
seorang Islam[28].
[1]
Mustofa Aly Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 23.
[2]
Taufik Abdullah,. Ed. Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1983), hal. 29.
[3]
Musrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 20.
[6] Ibid., hal. 136.
[7] M
Ibrahim, et.al., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Cet. II, (Jakarta: Tumaritis, 1991), hal. 61.
[8]
Andri Nirwana, et.al., Riak-riak Sejarah Aceh: Mengungkap Perjuangan
Masyarakat Mempertahankan Jati Diri, cet.1,(
Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry Press, 2007 ), hal. 67.
[9]
Rusdi Sufi, dan Budi Wibowo, Tokoh Pendidikan di Aceh Awal Abad 19, (Banda Aceh: Badan Perpustakaan Propinsi Aceh), hal. 39.
[10]
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia ,Cet. IV, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 29.
[12]
Denys. Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), (Jakarta: Kepustakan Populer Gramedia, 2006), hal. 67.
[13]
Ibrahim, M, et.al., Sejarah..., hal. 75.
[18]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1993), hal. 55.
[23]
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. IV, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 19-20.
[25]
Denys Lombard: Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Diterjemahkan oleh Winarsih Arifin. KPG, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia- Forum
Jakar ta- Paris-EFEO, 2006), hal. 56.
[26]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 55.
[28]
Ibrahim dkk, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Cet. II, (Jakarta: Tumaritis, 1991), hal. 89.