Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Sketsa Kehidupan Muhammad Al-Ghazali


BAB II
Sketsa Kehidupan Muhammad Al-Ghazali


A.    Riwayat Hidup dan Pendidikannya
Gaya bicaranya yang santun, lugas dengan bahasa yang mudah dicerna. Bahasa rakyat yang digunakannya menjadikan ceramah dan dakwahnya mudah ditangkap kaum muslimin, tak hanya di negeri leluhurnya, Mesir, tetapi juga di Negara-negera belahan dunia lainnya. Melalui buku-bukunya, yang hingga meninggal menulis sedikitnya 60 lebih buku, dia disampaikan risalah dakwah kepada kaum muslimin di berbagai tempat.
Siapa sebenarnya ulama dan pakar tafsir yang memiliki pemikiran moderat dan banyak menjadi rujukan para pemikir muslim modern ini? Melihat kiprahnya, berbagai kalangan pemerhati gerakan Islam dan perjalanan umat pada abad ke-14 Hijrah mencatat Syeikh Muhammad al-Ghazali sebagai pilar utama pembaharuan Islam kontemporer. Sekalipun tidak ada hubungan kekeluargaan, nama besarnya mengingatkan kita kepada sosok hujjatul Islam, Abu Hamid al-Ghazali, penulis kitab Ihya Ulumuddin.
Jika Abu Hamid al-Ghazali dikenal sebagai faqih, mutakallimin, dan filosof yang telah menggemparkan dunia intelektual di Barat maupun Timur, maka sosok yang disebut pertama adalah figure da’I, mufakkir dan mujaddin yang menghidupkan dan memperbarui pemahaman keagamaan, menularkan kesadaran dalam diri umat Islam yang tengah lelap. Tak heran jika Yusuf Qardhawi, ulama tersohor yang menetap di Qatar, menyebutnya sebagai pembawa roh al-Ghazali abad ke V Hijrah.[1]
Kiprah Syeikh Muhammad al-Ghazali bukan hanya di Mesir, negeri yang pertama menikmati pemikiran dan perhatiannya. Lebih dari itu peran dan aktiftas dakwahnya juga mencakup berbagai kawasan, dari berbagai Negara dan benua, Amerika hingga Asia Tenggara dan Australia. Perhatian Syeikh al-Ghazali terhadap situasi dan kondisi buruk yang menimpa umat Islam di kawasan Arab, Afrika sampai Asia, tidak diragukan lagi. Seluruh hidupnya, bahkan dia abdikan untuk kepentingan bagaimana memberikan jalan terbaik dan memperbaharui berbagai kerusakan umat Islam; dari kerusakan pemikiran, akhlak, hingga masalah materi dan spirit yang salah arah, baik pada tingkat individu maupun kelompok.[2]
Ulama yang disebut banyak kalangan sebagai salah satu tokoh Ikhwan al-Muslimin moderat ini dilahirkan di desa Nakhla al-‘Inab, al-Bahirah, Mesir pada tanggal 22 September 1917 M. Figur Kharismatik yang sangat disegani ini meniti pendidikan dasar hingga perguruan tingginya di lingkungan pendidikan al-Azhar, di Alexandria Kairo. Pada tahun 1941 M Syeikh Muhammad al-Ghazali berhasil meraih gelar syahadah ‘Alimiyah (doctor) dari Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar Kairo.[3]
Semasa kuliah, dia direkrut oleh Imam Hasan al-Banna hingga menjadi salah seorang anggota, tokoh, dan juru bicara Ikhwan al-Muslimin yang paling jujur. Semasa hayatnya pernah menjadi penasehat dan pembimbing di kementerian wakaf, Ketua Dewan Kontrol Mesjid, Ketua Dewan Dakwah, dan terakhir menjadi wakil kementerian Waqaf dan Urusan Dakwah Mesir. Selain itu, Syeikh Muhammad al-Ghazali juga menjadi guru besar diberbagai Negara Islam, seperti Universitas al-Azhar (Mesir), Ummul Qura (Mekah), King Abdul Aziz (Jedah), Qathar, dan Aljazair. Karya tulis yang dihasilkannya lebih dari 60 buku, yang berisi pencerahan Nur Ilahi yang memoles kehidupan dari sudut pemikiran, syari'at, dan akhlak.[4]
Sebagai seorang ulama Al-Azhar yang sangat berkompeten dengan ilmu-ilmu keagamaan, Syeikh Muhammad al-Ghazali mengukuhkan semua proyek pemikirannya untuk menggugah dan menyadarkan umat dari terlelap dalam kejumudan, keterbelakangan dan ketertindasan. Semua proyek pemikirannya diikat dalam bingkai “rasionalisme” dan kesadaran akan hukum sunnatullah, baik sunah yang berkaitan dengan tatanan kemasyaratan, hegemini kekuasaan, kausalitas, sampai sunah jatuh bangunnya suatu peradaban.
Pemikiran-pemikiran segar dan jernih dituangkannya dalam buku-buku, makalah, khutbah-khutbah dan ceramahnya di berbagai forum, baik local maupun internasional. Beberapa pemikirannya, bahkan terasa up to date dan cocok untuk iklim dan situasi keindonesiaan. Di antara pemikirannya tersebut adalah mengenai pensucian jiwa (tazkiyyah al-nafs) sebagai basic segenap aktivitas, perlawanan terhadap kezaliman social-politik, rasionalisasi hadits nabawiah, pembebasan wanita dan lain-lain.[5]
Sayang, pengabdian panjangnya di jalan dakwah Islam ini berakhir pada tahun 1998, ketika Sang Khalik memanggilnya kembali. Penulis sendiri menyaksikan langsung puluhan ribu kaum muslimin mengantarkan Syeikh ke peristirahatan terakhir, membuktikan peran dan kiprahnya Syeikh Muhammad al-Ghazali sangat membekas di hati kaum muslimin. Betapapun, Syeikh al-Ghazali meninggalkan jejak berharga, yang terpenting adalah warisan intelektualisme melalui karya-karyanya.[6]

B.     Kondisi Sosial Keagamaan Muhammad Al-Ghazali
Sebagai seorang mujaddid (pembaharu), Syeikh Muhammad al-Ghazali sadar betul kesalahan pemahaman dan “nihilnya” kaum muslimin terhadap ajaran-ajaran agamanya yang menjadi penting dicari solusinya. Bagi Syeikh Muhammad al-Ghazali, dari sinilah sebenarnya akar kemunduran kaum muslimin.  Karena itu, Syeikh Muhammad al-Ghazali melihat pentingnya pencucian hati/jiwa yang menjadi akar penting dari lahirnya pemahaman terhadap agama, sekaligus starting point bagi berhasilnya sebuah gerakan pembaharuan yang hakiki dan menjadi tujuan utama agama Islam dari segala segi.
Dalam muqaddimah bukunya Ilal wa Adwiyyah (penyakit dan obat), Syeikh Muhammad al-Ghazali menukilkan ayat sebagai berikut:
... واتقوا اللّه واعلموا أنكم ملاقوه وبشر المؤمنين (البقراة: ٢٢٣)
Artinya: Dan bertakwalah kalian kepada Allah dan ketahuilah bahwa kalian kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman (Q. S. al-Baqarah: 223)[7]
Ayat di atas menjadi titik pijak bagi upaya pembaharuan umat Islam karena mengandung makna yang sangat mulia, yakni meluruskan tujuan dan langkah manusia serta menghindarkannya dari kesesatan dan ketergelinciran.
Berdasarkan pada ayat tersebut, Syeikh Muhammad al-Ghazali berpendapat bahwa penegasan syari’at yang akan melindungi umat dari berbagai kejahatan dan membuat takut para penjahat, terlebih dahulu harus didasarkan kepada fondasi aqidah. Fondasi ini diyakini akan mengikat manusia dengan Allah SWT sehingga segala bentuk pergaulan manusia selalu terikat dengan-Nya, rasa takut mereka bersumber pada-Nya, dan harapan disandarkan kepada-Nya.[8]
Apa yang sementara ini kita saksikan dari berbagai prilaku sewenang-wenang para penguasa, persekongkolan, kongkalikong, kolusi, kerupsi, menipu ketika jual beli, sombong ketika merasa cukup, berpongah-pongah dalam harta dan kedudukan, egoisme serta gila popularitas, tidak lain disebabkan oleh hati yang kosong dari dzikrullah dan merasa tidak diawasi oleh-Nya. Karena itu, tazkiyyah al-nafs harus dimiliki setiap muslim dan harus didahulukan atas lainnya.
Soal keadilan sosial tidak terlepas dari sorotan Syeikh Muhammad al-Ghazali. Fenomena kezaliman sosial dan politik yang terjadi di Mesir dan Negara-negara berkembang lainnya mengusik hatinya untuk bergerak mengakhiri perlakuan tak manusiawi tersebut. Sikap kritisnya ini tumbuh dari kesadaran ideologisnya sebagai pemeluk agama wasathiyyah (keadilan). Melalui karya-karyanya seperti Al-Islam wa Al-Andha’ Al-Iqtishadiyyah(Islam dan kondisi-kondisi ekonomi), Al-Islam wa Al-Manahij Al-Isytirakiyyah (Islam dan konsep-konsep sosialisme), dan Al-Islam Al-Muftara Alayh bayna Al-Syuyu’iyyin wa Al-Rasmaliyyin (Islam yang ternoda, antara kaum komunis dan kapitalis), Syeikh Muhammad al-Ghazali menyeru terhadap pembela kaum tertindas.
Seruan terhadap pembelaan kelompok tertindas dibarengi dengan tindakan perlawanan terhadap tirani politik. Buku berjudul Al-Islam wa Al-Istibdad Al-Siyasi (Islam dan tirani politik) adalah karya yang mengupas perlawanan terhadap tindakan despotik para penguasa. Kerusakan politik, kata Syeikh Muhammad al-Ghazali, merupakan penyakit lama dalam sejarah umat Islam. Para penguasa menggali parit pembatas antara mereka dengan rakyatnya sendiri karena hawa nafsu dan syahwat kekuasaan mereka. Sistem demokrasi yang menjadi penawar prilaku despotis oun diabaikan. Praktis keadaan ini menyebabkan rakyat menjadi tumbal ambisi para taghut, penguasa zalim yang berkeliaran di hampir semua negera miskin dan berkembang.[9]
Sementara itu, dibidang pembaharuan keagamaan, pemikiran Syeikh Muhammad al-Ghazali tidak sedikit mengundang kritik, khususnya terhadap pemahaman hadis-hadis nabawiah. Bagi Syeikh Muhammad al-Ghazali, hadits tetap merupakan sumber  kedua setelah Al-Qur'an. Kendati demiikian, hadits tidak serta merta dapat dijadikan hujjah sekalipun sahih. Dalam hal ini hadits harus dibedakan dalam kedudukan, legalitas, dan kekuatan hukumnya. Hadits ahad yang sahih, misalnya, harus diuji kelayakannya secara rasional. Sehingga siapapun yang menolak hadits yang tidak rasional tidaklah membahayakan status keagamaannya. Banyak ulama-ulama yang menolak hadits-hadits yang menurut orang lain sahih, tapi tidak baginya. Pertimbangannya, sejauhmana hadits sahih tersebut tidak bertentangan dengan nash Al-Qur'an atau prinsip-prinsip akal.[10]
Syeikh Muhammad al-Ghazali mencontohkan, Sayyidah Aisyah ra, yang keberatan terhadap hadits, “sesungguhnya orang yang meninggal akan disiksa karena tangisan keluarganya”.  Ketika Aisyah mendengar hadits ini, serta merta mengingkarinya dan bersumpah bahwa Rasulullah saw tidak pernah mengatakannya. Sebagai penolakannya Aisyah berkata “Dimana kalian posisikan firman Allah, satu jiwa tidak akan memikul  dosa jiwa lain (Q. S. Al-Anfal: 164).
Begitu juga hadits-hadits sahih yang bertentangan dengan prinsip-prinsip nalar. Terhadap hadits-hadits demikian, hendaknya kita bersikap kritis dan tidak menerima apa adanya. Sebab tidak mungkin suatu nash (Al-Qur'an atau as-Sunnah) bertentangan dengan nalar. Contoh hadits yang mengisahkan tentang Siti Hawa “kalau bukan karena Hawa niscaya isteri tidak akan berkhianat terhadap suaminya”. Terhadap hadits-hadits ini bagaimana akan mencernanya? Pada titik inilah umat Islam harus mengkritisi sanad, sekaligus matan-nya. Soal ini, dapat kita temui dalam karyanya, Kayfa nata’amul maal-Sunnah (Bagaimana kita berinteraksi dengan Sunnah), yang telah diindonesiakan.
Syeikh al-Ghazali, juga tidak mengesampingkan masalah wanita. Menurutnya, sekarang ini banyak menzalimin kaum wanita sehingga mereka terkikis, tertindas, dan terbelakang. Kaum wanita dikungkung oleh pemahaman-pemahaman keliru atau kondisi-kondisi kacaupada masa-masa kemunduran sejarah. Pemahaman keliru ini misalnya pada kelompok yang mewajibkan hijab atau cadar bagi wanita. Hija adalah benteng kokoh tempat wanita berlindung dari hantaman keragu-raguan, dan berada di dalam rumah adalah lebih baik bagi mereka. Pemahaman ini, katanya, tidak lebih bualan belaka dan tidak pantas dinisbahkan kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Ungkapan itu bertentangan dengan hadits mutawatir yang menceritakan, wanita-wanita pergi ke mesjid Nabi sejak subuh hingga waktu isya. Mereka melihat laki-laki dan laki-lakipun melihat mereka, tapi mereka tetap menundukkan pandangannya.[11]
Selintas pemikiran-pemikiran Syeikh al-Ghazali, kita mendapatkan pencerahan baru dalam aplikasi sunah nabawiyah, yakni sunah yang hidup dan tidak kaku. Dalam konteks kekinian, Syeikh al-Ghazali, pantas menyandang gelar pembela sunah Nabi yang paling orisinil, tajam, dan rasional, walaupun untuk menuju ke arah itu, Syeikh al-Ghazali banyak mendapatkan tantangan.


[1]Herry Sucipto, Ensiklopedi Tokoh-Tokoh Islam, Bandung: Mizan, 2003, hal. 338

[2]Ibid., hal. 339
[3]Hasan Shadily, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1983, hal. 1017

[4]Ibid., hal. 1018
[5]Syeikh Muhammad al-Ghazali, Bukan Dari Ajaran, Surabaya: Bina Ilmu, 1982, hal. 9
[6]Ibid., hal. 10
[7]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur'an, 1990, hal.

[8]Syeikh Muhammad al-Ghazali, Studi Kritik Hadits, Terj. Abdul Hayyie al-Katanie, Jakarta: Reineka Cipta, 2000, hal. 65
[9]Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Jakarta: Intermedia, 2000, hal. 23
[10]Syeikh Muhammad al-Ghazali, Op. cit, hal. 72
[11]Hasun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, hal. 88