Sumber Pendidikan Islam
BAB IV
SUMBER
PENDIDIKAN ISLAM
A.
Pengertian Sumber Pendidikan Islam
Sumber
adalah sesuatu yang menjadi sandaran semua dasar dalam suatu bangunan,
sedangkan dasar adalah fundamen yang menegakkan suatu bangunan, sehingga
menjadi kuat dan kokoh dalam pengembangan pendidikan Islam. Dalam usaha,
kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan harus
mempunyai sumber yang tepat sebagai tempat berpijak yang baik dan kuat. Oleh
karena itu, “pendidikan Islam sebagai suatu usaha dalam membentuk manusia dan
peradabannya harus mempunyai sumber yang kuat ke mana semua kegiatan itu
dihubungkan atau disandarkan,”[1] baik
sebagai sumber maupun dasar yang menjadi pedoman penerapan dan pengembangannya.
Sumber itu terdiri dari “Alquran dan sunnah Nabi Muhammad Saw”.[2]
Dengan
demikian, fungsi dari suatu sumber pendidikan Islam adalah di samping tegaknya
suatu bangunan dalam dunia pendidikan Islam, juga agar bangunan itu tidak akan
terombang-ambing oleh berbagai “persoalan” yang mempengaruhinya dan bahkan dia
akan semakin kuat dan tegar di dalam menghadapinya. “Dasar dan fundamen dari
suatu bangunan adalah bagian dari bangunan yang menjadi sumber kekuatan dan
keteguhan yang menjadikan tetap berdiri tegaknya bangunan itu”.[3]
Dasar-dasar
pendidikan Islam secara prinsipil diletakkan pada dasar-dasar ajaran Islam dan
seluruh perangkat kebudayaannya. Dasar-dasar pembentukan dan pengembangan
pendidikan Islam yang pertama dan utama tentu saja Alquran dan sunnah. Alquran
misalnya memberikan prinsip penghormatan kepada akal, bimbingan ilmiah, tidak
menentang fitrah manusia dan memelihara kebutuhan sosial yang hal ini sangat
penting bagi pendidikan. “Dasar pendidikan Islam selanjutnya adalah nilai-nilai
sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan Alquran dan as-sunnah atas
prinsip mendatangkan kemaslahatan dan menjauhkan kemudzaratan bagi manusia. Kemudian
warisan pemikiran para ulama dan cendekiawan muslim yang merupakan dasar
penting dalam pendidikan Islam”.[4]
Di
samping itu, di bagian lain Azyumardi Azra juga mengemukakan mengenai sumber
dan dasar pendidikan Islam adalah “Alquran dan as-sunnah serta nilai-nilai,
norma dan tradisi sosial yang memberi corak keislaman dan dapat mengikuti perkembangannya”.[5] Pendidikan
Islam berpangkal dari ajaran Ilahiyah, maka tentu harus bersumber dari
kebenaran dan kebesaran Ilahi. Bagi kita sumber kebenaran Ilahi telah
diperkenalkan kepada manusia melalui para nabi berupa kitab suci. “Dari empat
kitab suci yang pernah diturunkan sebagai petunjuk umat manusia, maka sejak
kehadiran Rasulullah saw. di muka bumi ini satu yang harus ditegakkokohkan
yakni Alquran. Di samping itu ketetapan-ketetapan Rasul juga merupakan sumber
utama pendidikan Islam”.[6]
Menurut
Afifuddin dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam “merupakan sumber
nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan pada aktifitas yang
dicita-citakan. Nilai yang terkandung didalamnya menjadi penting diperhatikan
hal-hal yang dapat mencerminkan nilai universal yang dapat dikonsumsi oleh
seluruh umat manusia”.[7]
Sumber pendidikan Islam tentu saja didasarkan kepada falsafah hidup umat
Islam dan tidak didasarkan kepada falsafah hidup suatu negara, sistem
pendidikan islam tersebut dapat dilaksanakan dimana saja dan kapan saja tanpa
dibatasi oleh ruang dan waktu.
B.
Alquran
Pendidikan
agama Islam mempunyai dasar sebagai penegak agar tidak terombang-ambing oleh
pengaruh luar yang mau merobohkan ataupun mempengaruhinya. “Alquran ialah firman Allah berupa wahyu yang
disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad saw. Di dalamnya terkandung ajaran
pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui
ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam Alquran itu terdiri dari dua prinsip
besar, yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut Aqidah, dan
yang berhubungan dengan amal yang disebut Syari’ah”.[8]
Pendidikan, karena termasuk ke dalam usaha atau tindakan untuk membentuk
manusia, termasuk ke dalam ruang lingkup mu’amalah. Pendidikan sangat penting
karena ia ikut menentukan corak dan bentuk amal dan kehidupan manusia, baik
pribadi maupun masyarakat.
Menurut
Abdul Mujib, “Alquran dijadikan sebagai sumber pendidikan Islam yang pertama
dan utama karena ia memiliki nilai absolute yang diturunkan dari Tuhan. Allah Swt
menciptakan manusia dan Dia pula yang mendidik manusia, yang mana isi
pendidikan itu telah termaktub dalam wahyunya”.[9] Alquran
sebagai kalamullah yang mencakup segala aspek persoalan kehidupan manusia dalam
berinteraksi dengan pencipta-Nya, sesama manusia dan alam semesta yang
merupakan persoalan mendasar dalam setiap kehidupan manusia. Alquran memiliki
gagasan mendasar yang amat luas dalam berbagai bidang kehidupan manusia yang
semuanya dapat dan harus dijadikan sebagai sumber dasar utama dalam
pengembangan Pendidikan Islam. Kedudukan Alquran dalam kerangka Pendidikan
Islam bukan saja sebagai dasar bahkan menjadi sumber yang sangat berharga untuk
terus digali, dipahami dan diambil intisarinya untuk senantiasa
diaktualisasikan dalam hidup dan kehidupan manusia.
Di
dalam Alquran terdapat banyak ajaran yang berisi tentang prinsip-prinsip yang
berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan itu. Sebagai contoh kisah
Lukman mengajari anaknya dalam surat Lukman ayat 12 s/d 19 sebagai berikut:
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ
لِلَّهِ وَمَن يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ, وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ
أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
إِلَيَّ الْمَصِيرُ, وَإِن جَاهَدَاكَ عَلى أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ
لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفاً وَاتَّبِعْ
سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ
تَعْمَلُونَ, يَا
بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ
أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ
خَبِيرٌ ,يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ
عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ
الْأُمُورِ, وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا
تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ, وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ
مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ) لقمان:- ١٢-١٩(
Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat
kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang
bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri;
dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi
Maha Terpuji". Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Dan
Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Qs. Luqman: 12-19).[10]
Ayat-ayat diatas,
menggariskan prinsip materi pendidikan yang terdiri dari masalah iman, akhlak,
ibadah, sosial dan ilmu pengetahuan. Ayat lain menceritakan tujuan hidup dan
tentang nilai sesuatu kegiatan dan amal saleh. Itu berarti bahwa kegiatan
pendidikan harus mendukung tujuan hidup tersebut. “Oleh karena itu pendidikan
Islam harus menggunakan Alquran sebagai sumber utama dalam merumuskan berbagai
teori tentang Pendidikan Islam”.[11]
Dengan kata lain, pendidikan Islam harus berlandaskan ayatayat Alquran yang
penafsirannya dapat dilakukan berdasarkan ijtihad disesuaikan dengan perubahan
dan pembaharuan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 31
sebagai berikut:
وَعَلَّمَ
آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ
أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَـؤُلاء إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ) البقرة: ٣١(
Artinya: Dan Dia mengajarkan kepada
Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar!(Qs. Al-Baqarah: 31).[12]
Ayat
ini menjelaskan bahwa “untuk memahami segala sesuatu belum cukup kalau hanya
memahami apa, bagaimana serta manfaat benda itu tetapi harus memahami sampai ke
hakikat dari benda itu”.[13] Dengan
penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa Islam menegaskan supaya manusia itu
menemukan jati dirinya sebagai insan yang bermartabat maka harus
menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran.
C.
Assunnah
AsSunnah
merupakan sumber ajaran kedua sesudah Alquran. Seperti Alquran, Sunnah juga
berisi aqidah dan syariah. “Sunnah berisi petunjuk (pedoman) untuk kemaslahatan
hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia
seutuhnya atau muslim yang bertakwa. Untuk itu Rasulullah menjadi guru dan
pendidik utama. “Beliau sendiri mendidik, pertama dengan menggunakan rumah
Al-Arqam ibn Abi Al-Arqam, kedua dengan memanfaatkan tawanan perang untuk
mengajar baca tulis, ketiga dengan mengirim para sahabat ke daerah-daerah yang
baru masuk Islam. Semua itu adalah pendidikan dalam rangka pembentukan manusia
muslim dan masyarakat Islam”.[14]
As-sunnah
didefenisikan sebagai sesuatu yang didapatkan dari Nabi Muhammad s.a.w. yang
terdiri dari ucapan, perbuatan,persetujuan, sifat fisik atau budi, atau
biografi, baik pada masa sebelum kenabian ataupun sesudahnya. Didalam dunia
pendidikan, As-Sunnah memiliki dua manfaat pokok. Manfaat pertama, As-sunnah
mampu menjelaskan konsep dan kesempurnaan pendidikan islam sesuai dengan konsep
Alquran, serta lebih merinci penjelasan Alquran. Kedua, As-Sunnah dapat menjadi
contoh yang tepat dalam penentuan metode pendidikan.[15]
Sunnah
merupakan sumber ajaran Islam yang kedua, termasuk pendidikan. Sunnah juga
berisi petunjuk dan pedoman demi kemaslahatan hidup manusia dalam segala
aspeknya, untuk membina umat Islam menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang
beriman dan bertaqwa. Rasulullah sendiri adalah guru dan pendidik utama yang
menjadi profil setiap guru muslim. Beliau tidak hanya mengajar, mendidik, tapi
juga menunjukkan jalan. Hal ini tidak hanya diakui oleh sarjana muslim, akan
tetapi juga non muslim.
Begitu
pula halnya dalam hadits-hadits Nabi Saw, banyak kita temukan perintah yang
mewajibkan kita mengikuti Nabi Saw dalam segala perkara. Di antaranya adalah:
عن أبى
هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال
: كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ
اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ
أَبَى ، (رواه البخارى(
Artinya: Dari Abi Hurairah,
bahwa rasulullah Saw. bersabda: Setiap umatku pasti akan masuk surga, kecuali
yang enggan. Sahabat bertanya: Siapa yang enggan itu wahai Rasulullah? Beliau
menjawab: siapa saja yang menta’atiku pasti akan masuk surga, dan siapa yang
mendurhakaiku, sungguh ia telah enggan. (H.R Bukhari)[16]
Proses
pendidikan Islam yang ditunjukkan Nabi Muhammad SAW. Merupakan bentuk
pelaksanaan pendidikan yang bersifat fleksibel dan universal, sesuai dengan
potensi yang dimiliki peserta didik, kebiasaan (adat istiadat) masyarakat,
setiap kondisi alam di mana proses pendidikan tersebut berlangsung dengan
dibalut pilar-pilar aqidah Islamiah.
Dalam
konteks ini, pendidikan Islam yang dilakukan Nabi dapat dibagi kepada dua
bentuk yaitu: pertama, pola pendidikan Nabi di Mekkah yang terkenal cerdas,
dengan mengajarkannya membaca, memperhatikan dan memikirkan kekuasaan Allah
Swt, baik yang ada di alam semesta maupun yang ada di dalam dirinya.
Melanjutkan pembuatan syair-syair yang indah dengan nuansa Islami, serta
pembacaan ayat-ayat Alquran merubah kebiasaan masyarakat Mekkah yang selama ini
memulai suatu pekerjaan menyebut nama-nama berhala, dengan nama Allah (Basmalah),
dan sebagainya. “Secara kongkrit, pemetaan pendidikan Islam pada periode ini
dapat dibagi pada empat aspek utama, yaitu: pendidikan akhlak budi pekerti, dan
pendidikan jasmani (kesehatan, seperti menunggang kuda, memanah dan menjaga
kebersihan”.[17]
Kedua,
pola pendidikan pada saat Nabi di Madinah secara geografis Madinah merupakan
daerah agraris. Sedangkan Mekkah merupakan daerah pusat perdagangan. Ini
membedakan kebiasaan dan sikap masyarakat di kedua daerah tersebut. Masyarakat
Madinah merupakan masyarakat petani yang saling membantu antara satu dengan
yang lain. Mereka hidup rukun dan jarang sekali terjadi persengketaan, melihat
kondisi ini, pola pendidikan yang diterapkan Nabi Saw lebih berorientasi pada
pemantapan nilai-nilai persaudaraan antara kaum muhajirin dan anshar pada satu
ikatan. Untuk mewujudkan ini, pertama-tama Nabi lakukan dengan mendirikan
Masjid sebagai sarana yang pendidikan yang efektif.
Maka
dari pada itu Sunnah merupakan landasan kedua bagi cara pembinaan pribadi
manusia muslim dan selalu membuka kemungkinan penafsiran berkembang. Itulah
sebab mengapa ijtihad perlu ditingkatkan dalam memahami termasuk yg
berkaitan dgn pendidikan. As-Sunnah juga berfungsi sebagai penjelasan terhadap
beberapa pembenaran dan mendesak utk segara ditampilkan yaitu :Menerangkan
ayat-ayat Alquran yg bersifat umumSunnah mengkhitmati Alquran.
D.
Ijtihad Para Ulama Pendidikan
Sumber
berikutnya yang lebih bersifat praktis dan aplikatif adalah ijtihad para ulama.
Dalam hal ini hasil ijtihad para pakar pendidikan Islam. Ijtihad itu sendiri
dalam pemahaman umum adalah berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu dan
kemampuan yang dimiliki oleh ilmuwan tertentu untuk menentukan sesuatu hukum
yang ternyata belum ditegaskan hukumnya dalam Alquran dan Sunnah.
Dalam
meletakkan itjihad sebagai sumber dasar pendidikan Islam, ada dua pendapat
pertama, tidak menjadikannya sebagai sumber dasar pendidikan Islam. Kelompok
ini, hanya menempatkan Alquran dan hadits sebagai bahan rujukan. Sementara
ijtihad hanya sebagai upaya memahami makna ayat Alquran dan hadits sesuai
dengan konteksnya. Kedua, meletakkan ijtihad sebagai sumber dsar pendidikan
Islam. Menurut kelompok ini, meskipun ijtihad merupaka salah satu metode
istinbath hukum, akan tetapi pendapat para ulama akan hal ini, perlu dijadikan
sumber rujukan untuk membangun paradigm pendidikan Islam. Dalam hal ini,
penulis cenderung pada pandangan kelompok keuda, tanpa bermaksud menyalahkan
atau mengingkari pendapat pertama.
Ijtihad
adalah istilah para fuqaha, “yaitu berpikir dengan menggunakan seluruh ilmu
yang dimiliki oleh ilmuwan syari’at Islam untuk menetapkan/menentukan sesuatu
hukum tertentu dalam syari’at Islam yang ternyata belum ditegaskan hukumnya
oleh Alquran dan Sunnah”.[18]
Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk
aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada Alquran dan Sunnah. Namun
demikian, ijtihad harus mengikuti kaidah-kaidah yang diatur oleh para mujtahid
tidak boleh bertentangan dengan isi Alquran dan Sunnah tersebut. Karena itu “ijtihad
dipandang sebagai salah satu sumber hukum Islam yang sangat dibutuhkan
sepanjang masa setelah Rasulullah wafat. Sasaran ijtihad ialah segala sesuatu
yang diperlukan dalam kehidupan, yang senantiasa berkembang”.[19]
Kegiatan
pendidikan dan pengajaran yang merupakan tugas setiap warga Negara dan
pemerintah, harus berlandaskan filsafat dan pandangan hidup bangsa ini, dan
harus dapat membina warga negara yang berfilsafat dan berpandangan hidup yang
sama. Oleh karena itu sumber
pendidikannya harus sesuai dengan filsafat dan pandangan hidup itu. Dan sebagai
penganut suatu agama yang taat, seluruh aspek kehidupannya harus disesuaikan
dengan ajaran agamanya. Maka warga negara yang setia pada bangsa dan taat pada
agama, harus dapat menyesuaikan filsafat dan pandangan hidup pribadinya dengan
ajaran agama serta filsafat dan pandangan hidup bangsanya. Bila ternyata ada
ketidaksesuaian atau pertentangan, maka para mujtahid di bidang pendidikan
harus berusaha mencari jalan keluarnya dengan menggunakan ijtihad yang
digariskan oleh agama, dengan ketentuan bahwa ajaran agama yang prinsip tidak
boleh dilanggar atau ditinggalkan.
Filsafat
dan pandangan hidup bangsa Indonesia adalah “Pancasila yang digali dan diramu
dari berbagai filsafat dan pandangan hidup yang terdapat dalam
kelompok-kelompok masyarakat yang bergabung dalam masyarakat besar bangsa
Indonesia”[20].
Pancasila adalah rumusan manusia, hasil kombinasi yang diserasikan dari
berbagai unsur tradisi dan kebudayaan daerah. Pekerjaan ini merupakan ijtihad
manusia, ijtihad para pemimpin bangsa dalam menciptakan prinsip idea kesatuan
seluruh rakyat Indonesia. Semua ajaran yang terdapat dalam negara Indonesia
tidak boleh bertentangan dengan Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup
bangsa dalam bernegara. Di lain pihak ajaran Islam juga harus diamalkan oleh
penganutnya dalam kehidupan bernegara dengan cara yang tidak dipertentangkan
dengan Pancasila.
Sejalan
dengan semua itu maka pendidikan agama (Islam) sebagai suatu tugas dan kewajiban
pemerintah dalam mengemban aspirasi rakya, harus mencerminkan dan menuju ke
arah tercapainya masyarakat Pancasila dengan warga agama. Dalam kegiatan
pendidikan, agama dan Pancasila harus dapat saling isi mengisi dan saling
menunjang serta saling melengkapi. Pancasila harus dapat meningkatkan dan
mengembangkan kehidupan beragama, termasuk pendidikan agama. Ini berarti bahwa
pendidikan Islam itu, selain berlandaskan Alquran dan Sunnah, juga berlandaskan
ijtihad dalam menyesuaikan kebutuhan bangsa yang selalu berubah dan berkembang.
Dengan ijtihad itu ditemukan persesuaian antara Pancasila dengan ajaran agama
yang secara bersamaan dijadikan sumber pendidikan, termasuk pendidikan agama.
Eksistensi
ijtihad sebagai salah satu sumber ajaran Islam setelah Alquran dan Hadits,
merupakan dasar hukum yang sangat dibutuhkan terutama pasca Nabi Muhammad Saw
setiap waktu guna, mengantar manusia dalam menjawab berbagai tantangan zaman
yang semakin mengglobal dan mendunia. Oleh karena, perkembangan zaman yang
bersifat dinamis dan senantiasa berubah maka eksistensi ijtihad harus
senantiasa diperbaharui, seirama dengan tuntutan perkembangan zaman selama
tidak bertentangan dengan prinsip Alquran dan hadits. Dengan proses ini
diharapkan akan diperoleh suatu dimensi kehidupan umat yang ummatik, dinamis
dan dialektis, perlunya melakukan ijtihad secara dinamis dan senantiasa
diperbaharui serta ditindaklanjuti oleh para mujtahid muslim sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan manusia, merupakan hal yang mutlak harus dilakukan.
Proses
pemikiran ini berupaya menetapkan hukum Islami yang masih global. Hal ini
disebabkan karena tidak semua dimensi kehidupan manusia ini normative hukumnya
secara terperinci dalam Alquran dan Hadits. Sebagian besar hanya bersifat
normatif hukum yang bersifat mutasyabihat. Untuk proses tersebut, menurut
al-Suyuthi, diperlukan setiap periode (‘ashr) diperlukan seorang atau
sekelompok orang yang mampu berperan sebagai mujtahid. Pemikiran pendidikan islam para tokoh
pendidikan Islam sebagai berikut:
1.
Ibnu
Khaldun
Pendidikan
menurut Ibnu Khaldun adalah mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari
pengalaman untuk dapat mempertahankan eksistensi manusia dalam peradaban
masyarakat. Pendidikan adalah upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai
yang ada dalam masyarakat agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis. Pemikiran
Ibnu Khaldun dalam hal pendidikan ia tuangkan dalam karya monumentalnya yang
dikenal dengan sebutan Muqaddimah. Menurut pemikiran Ibnu Khaldun, “Alquran
adalah ilmu yang pertama kali harus diajarkan kepada anak. Alquran mengajarkan
kepada anak tentang syariat Islam yang dipegang teguh oleh para ahli agama dan
dijunjung tinggi oleh setiap umat Islam”.[21]
2.
Ibnu
Maskawaih
“Ibnu
Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak.
Karena dasar pendidikan Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep
pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak”.[22]
Menurut Ibnu Miskawaih dasar pendidikan Pertama, syariat, Ibnu Miskawaih tidak
menjelaskan secara pasti tentang dasar pendidikan. Namun secara tegas ia
menyatakan bahwa syari’at agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter
manusia, yang menjadikan manusia terbiasa melakukan perbuatan terpuji, yang
menjadikan jiwa mereka siap menerima kearifan (hikmah), dan keutamaan (fadhilah),
sehingga dapat memperoleh kebahagiaan berdasarkan penalaran yang akurat. Dengan
demikian syariat agama merupakan sumber pokok bagi pelaksanaan pendidikan yang
merujuk kepada Alquran dan Sunnah.
3.
Az-Zarnuji
Pendidikan
dalam Islam memiliki makna sentral dan berarti proses pencerdasan secara utuh, as
a whole, dalam rangka mencapai Sa’adatuddarain, kebagiaan dunia
akhirat, atau keimbangan meteri dan religiuous-spiritual. Salah satu
ajaran dasar Nabi adalah intelektualisasi total, yakni proses penyadaran kepada
umat dalam berbagai dimensi kehidupan. “Konsep pendidikan yang dikemukakan oleh
Az-zarnuji secara monumental dituangkan dalam karyanya Ta’lim al-Muta’alim
thuruq al-Ta’allum”.[23]
4.
Al-Qabisi
Intisari
buah pemikiran al-Qabisi tentang pendidikan Islam antara lain adalah tentang
lembaga pendidikan anak-anak, tujuan pendidikan Islam, Kurikulum pendidikan
Islam, kurikulum pendidikan Islam al-Qabisi (meliputi kurikulum Ijbari dan
kurikulum ikhtiyari), metode pembelajaran. Selain beberapa diktum tersebut
al-Qabisi juga menyoroti tentang dunia pendidik, mu'allim pemisahan murid
laki-laki dan perempuan, larangan belajar non-muslim di kuttab milik orang
Islam dan yang lainnya. Secara implisit beliau memiliki konsep evaluasi,
walaupun tidak seperti konsep dan sistem evaluasi sekarang.
Sedangkan
Abudin Nata memahami “tujuan pendidikan Islam al-Qabisy bercorak normatif,
yaitu mendidik anak menjadi seorang muslim yang mengetahui ilmu agama,
sekaligus mengamalkan agamanya dengan menerapkan akhlak mulia”.[24] Dengan
demikian, dipahami bahwa pandangan intisari pendidikan al-Qabisy menurut Abudin
Nata bukan hanya pada ranah pengetahuan kognitif, namun sekaligus pada ranah
afektif dan psikomotorik.
5.
Imam
Zarkasyi
Untuk
itu, K.H. Imam Zarkasyi menghendaki agar pendidikan melahirkan sosok yang
memiliki kemampuan intelektual yang baik, skill yang baik, serta sikap dan
perilaku yang baik pula. Khusus untuk perilaku juga penting untuk dicermati.
Sungguh banyak jebolan perguruan tinggi atau lembaga pendidikan tertentu yang
“hebat” secara kognitif dan psikomotorik, tetapi tidak didukung dengan afektif
yang sama hebatnya. Konsekuensinya, pengetahuan dan keahliannya tidak
difungsikan untuk membantu orang lain, tetapi malah merugikan orang lain.
Makanya mereka seringkali disebut dengan the
white collar crime, penjahat kerah putih. Tentu, tanpa kemampuan dan skill
yang baik, mereka tidak akan bisa atau setidak-tidaknya tidak ahli dalam
korupsi. Justru karena mereka memiliki ilmu pengetahuan dan skill-lah, mereka
canggih dalam melakukan korupsi. Ini terjadi, sekali lagi, karena dalam diri
mereka tidak tertanam sikap dan perilaku yang baik. “Secara garis besar konsep pembaharuan pemikiran
Imam Zarkasyi dapat dibagi kedalam empat bidang, yaitu pembaharuan dalam bidang
metode dan sistem pendidikan, kurikulum pesantren, struktur dan sistem
manajemen pesantren serta pola pikir santri dan kebebasan pesantren”.[25]
Selain
gagasan modernisasinya terhadap pendidikan pesantren, kita tidak boleh
melupakan jasa K.H. Imam Zarkasyi dalam mempertahankan pendidikan madrasah dan
pesantren agar tetap berada di bawah naungan Departemen Agama. K.H. Imam
Zarkasyi berpandangan bahwa tanggung jawab pembinaan dan pengelolaan pendidikan
madrasah harus diserahkan pada ahlinya, dalam hal ini Departemen Agama. Begitu
juga dengan pendidikan SD sampai Perguruan Tinggi, juga wajib dikelola oleh
yang ahli, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kalaupun ada perbedaan
kualitas antara madrasah dan sekolah umum, gagasan Pendidikan Satu Atap tidak
perlu dilakukan.
6.
Al-Ghazali
Pandangan
Al-Ghazali mengenai pendidikan Islam masih relevan dengan pendidikan Islam saat
ini. Dan seharusnya pemikiran-pemikiran yang masih relevan tersebut dapat
dipergunakan dalam pendidikan sekarang ini. Al-Ghazali tidak semata-mata
menempatkan pendidikannya berpusat hanya pada ilmu dunia saja akan tetapi
berkesinambungan dengan ilmu akhirat. Karena pemikiran-pemikirannya tersebut Al-Ghazali
sangat disegani dalam dunia pendidikan Islam.
Menurut
Al-Ghazali pendidikan Islam secara umum mempunyai corak yang spesifik, yaitu
adaya cap (stempel) agama dan etika yang kelihatan nyata pada sasaran-sasaran dan sarananya, dengan tidak mengabaikan
masalah-masalah keduniaan. Dan pendapat Al-Ghazali tentang pendidikan pada
umumnya sejalan dengan tren-tren agama dan etika.[26]
Dalam masalah pendidikan Al-Ghazali lebih cenderung berpaham
empirisme. Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh
pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya seorang anak tergantung kepada orang
tua dan anaknya yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni, laksana
permata yang amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun. Tujuan
ijtihad dalam pendidikan adalah untuk dinamisasi, inovasi dan modernisasi
pendidikan agar diperoleh masa depan pendidikan yang lebih berkualitas. Ijtihad
tidak berarti merombak tatanan yang lama secara besar-besaran dan membuang
begitu saja apa yang selama ini dirintis, tetapi memelihara tatanan lama yang
baik dan mengambil tatanan baru yang lebih baik.
E.
Tradisi Umat Islam Yang Baik
Yang dimaksud dengan tradisi ('uruf/’adat/tradisi) adalah “kebiasaan
masyarakat, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang dilakukan secara
kontinu dan seakan-akan merupakan hukum tersendiri, sehingga jiwa merasa tenang
dalam melakukanya karena sejalan dengan akal dan diterima oleh tabiat yang
sejahtera”.[27]
Nilai tradisi setiap masyarakat merupakan realitas yang multikompleks dan
dialektis. Nilai-nilai itu mencerminkan kekhasan masyarakat sekaligus sebagai
pengejawantahan nilai-nilai universal manusia. “Nilai-nilai tradisi dapat
mempertahankan diri sejauh di dalam diri mereka terdapat nilai-nilai
kemanusiaan. Bila nilai-nilai tradisi tidak lagi mencerminkan nilai-nilai
kemanusiaan, maka manusia akan kehilangan martabatnya”.[28]
Dalam konteks tradisi ini, masing-masing masyarakat Muslim memiliki
corak tradisi yang unik, yang berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat
yang lain. Sekalipun memiliki kesamaan agama, tetapi dalam hidup berbangsa dan
bernegara mereka akan membentuk ciri unik. Karena alasan seperti ini, maka ada
sebutan Islam universal dan Islam lokal. Islam universal adalah Islam yang
diajarkan oleh Allah dan rasul-Nya sebagaimana adanya, yang memiliki nilai
esensial dan diberlakukan untuk semua lapisan, misalnya menutup aurat bagi
muslim dan muslaimah. Sedangkan Islam lokal adalah Islam adaptif terhadap
tradisi dan budaya masyarakat setempat, sebagai hasil interpretasi terhadap
Islam universal, seperti bagaimana bentuk menutup aurat itu, apa memakai
celana, kebaya, jubah, atau lain sebagainya.
Kesepakatan
bersama dalam tradisi dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pendidikan Islam.
Penerimaan tradisi ini tentunya memiliki syarat: Pertama, tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik
Alquran maupun As-Sunnah; Kedua, tradisi yang berlaku tidak bertentangan
dengan akal sehat dan tabiat yang sejahtera, serta tidak mengakibatkan
kedurhakaan, kerusakan dan kemudaratan.[29]
Tradisi (uruff adat) adalah kebiasaan masyarakat, baik
berupa perkataan maupun perbuatan yang dilakukan secara kontinu dan seakan-akan
merupakan hukum tersendiri, sehingga jiwa merasa tenang dalam melakukannya
karena sejalan dengan akal dan diterimah oleh tabiat yang sejahtera.
[4]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium
Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 9.
(Jakarta: Gema Insani Press, 1998),
hal. 90.