Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Tanggung Jawab Pendidikan Kejiwaan / Rohani


A.    Tanggung Jawab Pendidikan Kejiwaan / Rohani      
Tanggung Jawab Pendidikan Kejiwaan / Rohani
               
Pendidikan kejiwaan bagi anak dimaksudkan untuk mendidik anak semenjak mulai mengerti supaya bersikap berani terbuka, mandiri, suka menolong, bisa mengendalikan amarah dan senang kepada seluruh bentuk keutamaan jiwa dan moral secara mutlak.[1] Tujuannya adalah membentuk, membina, dan menyeimbangkan kepribadian anak. Sehingga ketika anak sudah mencapai usia taklif (dewasa), ia dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan pada dirinya secara baik dan sempurna. Sejak anak dilahirkan Islam telah memerintahkan kepada orang tua dan pendidik untuk mengajari dasar-dasar ilmu jiwa yang memungkinkan ia menjadi manusia yang berakal, berpikir sehat dan bertindak penuh pertimbangan dan berkemauan tinggi.
Pendidikan psikis (jiwa) dimaksudkan untuk membentuk, menyempurnakan, dan menyeimbangkan kepribadian anak dengan melatih anak supaya bersikap berani, merasa percaya diri, suka berbuat baik kepada orang lain, mampu menahan diri ketika marah, dan senang kepada akhlak mulia. Orang tua ber-kewajiban untuk menghindarkan anak-anak dari sifat minder, penakut, merasa rendah diri, hasud, pemarah, masa bodoh, dan sifat-sifat buruk lainnya, dengan terus mendidik dan menanamkan kepada anak din Islam sebagai pedoman hidupnya. Rasulullah Saw. dan para sahabat memperlakukan anak-anak. Mereka memberi semangat agar anak-anak berani berbicara, dan memberi kesempatan untuk mengambil sebuah keputusan. Yang dengan demikian, akan membangkitkan rasa percaya diri anak, terhindar dari rasa takut dan minder, walau di hadapan orang dewasa sekalipun.[2]
B.    Tanggung Jawab Pendidikan Sosial                                          
Yang dimaksud dengan pendidikan sosial adalah mendidik anak sejak kecil agar terbiasa menjalankan perilaku sosial yang utama, dasar-dasar kejiwaan yang mulia yang bersumber pada aqidah islamiyyah yang kekal dan kesadaran iman yang mendalam, agar di tengah-tengah masyarakat nanti ia mampu bergaul dan berperilaku sosial yang baik, memiliki keseimbangan akal yang matang dan tindakan yang bijaksana.[3] “Membentuk jiwa sosial kemasyarakatan adalah interaksi anak dengan masyarakat disekitarnya, baik dengan orang dewasa maupun dengan anak-anak lain yang sebaya, agar anak dapat bersikap aktif yang positif, jauh dari malu dan sungkan yang tercela”.[4] “Manusia menurut pembawaannya adalah makhluk sosial. Sejak dilahirkan bayi sudah termasuk ke dalam suatu masyarakat kecil yang disebut keluarga”.[5]
 Tidak disangsikan lagi, bahwa tanggung jawab ini merupakan tanggung jawab terpenting bagi para pendidik dan orang tua di dalam
mempersiapkan anak, baik pendidikan keimanan, moral maupun kejiwaan. Sebab, pendidikan sosial ini merupakan manifestasi perilaku dan watak yang mendidik anak untuk menjalankan kewajiban, tata krama, kritik sosial, keseimbangan intelektual, politik dan pergaulan yang baik bersama orang lain.[6]
Anak-anak perlu dilatih bermasyarakat. Dikenalkan dengan orang-orang di sekitarnya, dilatih bagaimana cara bergaul yang benar, dan selalu berlaku baik kepada siapapun, menyayangi sesama, termasuk kepada makhluk-makhluk Allah yang lain di muka bumi ini. Menghormati yang lebih tua, membimbing yang lebih muda, dan memelihara hak orang lain, serta melaksanakan adab-adab sosial yang
mulia.



               [1] Ibid., hal. 324.
               [2] Ibid., hal. 324..
               [3] Ibid., hal. 391.
               [4] Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, Prophetic Parenting, Cara Nabi, hal. 380.
               [5] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan, hal. 170.

               [6] Ibid, hal. 391.