A.
Tanggung Jawab Pendidikan Moral
Secara
etimologis, moral adalah “adab seorang dalam dirinya, sebab menjadi semacam
anggota tubuhnya, sedangkan pembawaan dalam diri dinamakan sifat atau tabiat”[1]. Yang
dimaksud pendidikan moral adalah serangkaian prinsip dasar moral dan keutamaan
sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh
anak sejak dini hingga ia menjadi seorang mukallaf, yakni siap mengarungi
lautan kehidupan. Termasuk persoalan yang tidak diragukan lagi, bahwa moral, sikap
dan tabiat merupakan salah satu buah Iman yang kuat dan pertumbuhan sikap keberagaman
seseorang yang benar.[2] Orang
tua bertanggung jawab menanamkan dan melatih anak-anaknya untuk berperilaku
mulia dalam kehidupannya.
Jika sejak masa
kanak-kanak ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada
Allah dan terdidik untuk selalu takut, ingat, pasrah, berserah diri kepada Allah,
ia akan memiliki kemamapuan dan pengetahuan didalam menerima setiap keutamaan
dan kemuliaan, disamping terbiasa dengan sikap akhlak mulia. Sebab benteng
pertahanan religius yang berakar pada hati nuraninya, kebiasaan mengingat Allah
yang telah dihayati dalam dirinya dan instropeksi diri yang telah menguasai
seluruh pikiran dan perasaan, telah memisahkan anak dari sifat jelek, kebiasaan
dosa, dan tradisi jahiliyah yang rusak. Bahkan setiap kebaikan akan diterima menjadi salah satu kebiasaan
dan kesenangan, dan kemuliaan akan menjadi akhlak dan sifat yang paling utama.
Pendidik maupun orang tua bertanggung jawab untuk membiasakan anak-anak
dengan prikemanusiaan yang mulia, seperti berbuat baik kepada anak yatim, kaum
fakir, dan mengasihani para janda dan kaum miskin. Jadi, apabila pendidikan
utama pada tahapan pertama menurut pandangan Islam adalah bergantung pada
kekuatan perhatian dan pengawasan, maka selayaknyalah bagi para ayah, ibu,
pengajar dan orang yang bertanggung jawab terhadap masalah
pendidikan dn moral untuk menghindarkan anak-anak dari empat fenomena berikut
ini, yaitu :
a) Suka Berbohong
Fenomena berbohong adalah fenomena yang terburuk menurut pandangan
Islam. Oleh karena itu, para pendidik wajib mencurahkan perhatian dan upaya
terhadap fenomena ini, sehingga anak-anak terhindar dari fenomena tersebut dan
menjauhi sifat munafik.[3]
Jika para pendidik berpendapat, bahwa pendidikan utama itu tergantung pada
pemberian teladan yang baik, maka selayaknyalah setiap pendidik dan orang yang
bertanggung jawab untuk tidak mendustai anak-anaknya dengan alasan agar mereka
berhenti menangis, membujuk mereka agar menyukai sesuatu atau menenangkan
mereka dari kemarahan. Jika hal ini dilakukan, berarti telah membiasakan anak
untuk melakukan kebiasaan paling buruk dan moral paling hina. Untuk itu, kita
lihat pendidik pertama, Nabi Muhammad Saw, telah memperingatkan para wali dan
pendidik supaya tidak berdusta di hadapan anak-anak, meski hal itu hanya
sebagai bujukan atau gurauan, agar ia tidak dicatat oleh Allah sebagai pendusta.
b) Suka Mencuri
Adapun kebiasaan suka mencuri , tidak kurang bahayanya
dari fenomena suka berbohong, fenomena ini tersebar luas di berbagai lapisan
masyarakat yang belum memiliki moralitas Islam, dan belum terdidik dengan dasar-dasar
pendidikan dan iman.[4] Sangat
disayangkan dan memprihatinkan, bahwa banyak diantara para ibu dan bapak yang
tidak mau memperhatikan secara cermat barang-barang atau uang yang dibawa oleh
anak-anak mereka. Mereka cukup membenarkan alasan bahwa anak-anak itu menemukan
barang dan uang tersebut dijalan atau sebagai hadiah dari teman mereka. Kemudian para orang tua langsung mempercayai
pengakuan anak-anak mereka yang dusta, tanpa melakukan penelitian secara
seksama lebih dahulu. Situasi ini akan lebih buruk lagi jika anak menemukan
salah satu dari kedua orang tuanya yang mendorong untuk melakukan pencurian.
Sehingga tidak diragukan lagi bila anak kelak akan menjadi penjahat dan
perampok.
c) Suka Mencela
dan Mencemooh
Ada dua faktor yang
menimbulkan fenomena buruk ini sebagai berikut:
1)
Karena teladan yang buruk. Apabila anak selalu mendengar kalimat- kalimat
yang buruk, celaan dan kata-kata yang munkar, maka sudah barang tentu anak itu
akan mudah meniru kalimat itu dan membiasakan diri berkata kotor dengan kalimat
tersebut.
2)
Karena
pergaulannya rusak. Apabila anak dibiarkan bermain dijalanan dan bergaul dengan
teman-teman yang nakal dan rusak, sangatlah mungkin anak akan mempelajari
bahasa cacian dan celaan. Oleh karenanya, wajib bagi para ibu dan bapak,
pendidik untuk memberikan teladan yang baik kepada anak-anak, baik dalam
keindahan bahasa maupun melunakkan lisannya. Disamping
itu juga, wajib mencegah kepada anak-anak untuk tidak bermain jalanan dan
bergaul dengan teman-teman yang nakal, agar mereka tidak terpengaruh oleh
kenakalan dan kebiasaan buruk mereka.[5]
d) Kenakalan dan
Penyimpangan
Adapun fenomena kenakalan dan penyimpangan, maka masalah ini
merupakan fenomena terburuk yang tersebar dikalangan muda-mudi muslim pada apa
yang disebut abad XX ini.[6]
Ada sementara orang yang tak berakal sehat mengira bahwa diantara tanda kemajuan
jaman ini adalah tarian erotis dan pergaulan bebas. Sedangkan tolak
ukur pembauran dan pembangunan adalah taklid buta. Rasulullah Saw telah
mencontohkan kepada orang tua dan para pendidik berbagai cara ilmiah dan
dasar-dasar pendidikan akhlak yang lurus, benar dan berkepribadian
islami kepada anak-anak.
Diantara cara dan dasar pendidikan itu adalah: “1.
Menghindari peniruan dan taklid buta 2. Tidak terlalu larut dalam kesenangan dan
kemewahan 3. Tidak mendengarkan musik dan lagu-lagu porno 4. Tidak bersikap dan
bergaya menyerupai wanita 5. Larangan bepergian, pamer diri, pergaulan bebas,
dan memandang hal-hal yang diharamkan”[7].
0 Comments
Post a Comment