Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Tinjauan Psikologis dan Sosiologis Pemberian Hukuman Terhadap Anak


A.      Tinjauan Psikologis dan Sosiologis Pemberian Hukuman Terhadap Anak
Tinjauan Psikologis dan Sosiologis Pemberian Hukuman Terhadap Anak

1.   Tinjauan Psikologis tentang Pemberian Hukuman Terhadap Anak
Berbagai macam teori belajar yang diterapkan dalam proses belajar mengajar di sekolah, salah satunya adalah teori belajar tentang ganjaran berupa imbalan dan hukuman yang merupakan suatu hal yang perlu dikaji secara psikologi,[1] teori belajar imbalan dan hukuman adalah teori belajar yang membantu teori lain dalam proses pembelajaran untuk memberikan kematangan, dorongan, pengalaman dan latihan terhadap anak didik.
Imbalan merupakan usaha untuk menumbuhkan minat, bakat, keinginan dan kemauan anak agar terus meningkatkan kretifitas belajar mereka. Sedangkan hukuman adalah suatu usaha mengarahkan atau mengingatkan anak agar mampu menjadikan dan mengaplikasikan etika yang baik, akhlak yang mulia, serta bertingkah laku dengan benar di dalam kehidupannya. Dampak hukuman tidak hanya terbatas pada respons anak yang menerima hukuman tersebut, tetapi berpengaruh pula pada kepribadian anak secara umum.[2] Karena, pembentukan pribadi anak dibentuk dari kebiasaannya, karakteristiknya, dan pola sikapnya yang dibentuk secara menyeluruh, sehingga nilai atau hasilnya akan nampak di kemudian hari.
Menurut Piaget, Pada tahap awal yaitu periode sensorimotor[3] (dari lahir sampai usia 2 tahun), anak belum memiliki beban atau tanggung jawab apapun, anak pada tahap ini hanya memiliki kebutuhan dasar untuk mendapatkan cinta, kasih sayang, perhatian dan kebutuhan dasar lainnya untuk bertahan hidup. Dengan demikian, fase ini anak tidak boleh diberi hukuman karena sebab apapun dan dalam bentuk apapun karena anak baru mulai memfungsikan organ-organ tubuh mereka dan itupun hanya sebatas reflek saja.
Tahap kedua adalah periode Pra-operasional[4] (2 sampai 7 tahun), anak masih juga belum boleh diberikan beban dan tanggung jawab apapun, akan tetapi anak pada masa ini mulai mencoba dan berusaha sendiri untuk mengembangkan rasa yakin akan kemampuannya serta akan mendapatkan rasa kepuasan tersendiri ketika ia berhasil mendapatkan atau melakukan sesuatu yang diinginkannya. Pada usia ini adalah usia bermain bagi anak-anak dan usia “menjadi raja” bagi setiap apa yang dikehendakinya. Dengan demikian, pada usia ini anak hanya terus dibimbing dan terus diberi perhatian yang cukup tapi belum layak diberi hukuman untuk tiap kesalahannya, karena setiap kesalahannya pada tahap ini adalah usaha anak yang terus berimajinasi terhadap hal-hal yang baru ditemuinya.
Tahap ketiga adalah periode operasional konkret[5] (7 sanpai 11 tahun). Pada tahap ini, anak sudah mulai manunjukkan minat dan keinginannnya untuk bermain dengan teman sebaya, anak juga mulai mampu menggunakan logikanya dalam beberapa masalah yang mereka temui walaupun belum sempurna, oleh karena itu, jangan heran ketika anak mulai terus banyak bertanya dan ingin jawabnnya mampu mereka pahami menurut tingkat akalnya. Pada tahap ini adalah tahap awal anak mulai diberi bimbingan dan pembiasaan yang kental dengan kebaikan-kebaikan, karena mereka akan mampu menerimanya. Pada tahap ini menurut penulis, anak sudah bisa diberi hukuman tetapi hanya sebatas pelukan, nasehat, peringatan dan bermuka masam saja.
Tahap keempat adalah periode operasional formal[6] (11 sampai 15 tahun). Pada tahap ini anak mulai mencari jati dirinya, sehingga tidak heran jika pada periode ini anak sering berubah-rubah sikapnya dan sangat mudah terpengaruh dengan apa yang menurut fikirannya benar dan tepat. Oleh sebab itu, masa ini adalah masa yang paling penting bagi orang tua untuk tahap pembinaan, pengarahan, pilihan dan bahkan penegasan terhadap anak, agar ia tidak terpengaruh dengan hal-hal yang tidak baik. Selain fisiknya yang sudah kuat, reproduksinya sudah berfungsi, dan logika berfikir anak pada masa ini juga sudah menuju ke arah pendewasaan, maka ketegasan terhadap perilakunya yang benar dan yang salah harus lebih jelas dan benar-benar mampu diterapkan ke dalam diri anak, sehingga pada masa ini, tahapan hukuman fisik yang diterapkan sudah selayaknya sesuai dengan tingkat kesalahnnya, apabila kesalahannya itu memang sudah dia pahami bahwa itu salah.
Hukuman fisik hanya sebagai alat pilihan pendidik ketika sudah tidak memiliki cara lain yang lebih baik lagi terhadap anak yang biasa berlaku kasar. Hukuman fisik memang tidak pernah diharuskan untuk digunakan dan tidak membutuhkan pemikiran dan latihan, akan tetapi pelaksanaan hukuman fisik yang digunakan harus benar-benar difahami dengan baik oleh pendidik agar hukuman fisik yang diberikan terhadap anak didik tidak berlebihan atau bahkan menjadi tindak kekerasan. Kekerasan di sekolah merujuk pada pemberian hukuman atau sanksi terhadap peserta didik, yang dilakukan oleh pendidik, peserta didik, kepala sekolah, administrasi, orang tua ataupun penerapan tipe-tipe disiplin lainnya yang memberi dampak yang cukup nyata bedanya. Pengaruh penerapan disiplin ini pada anak, meliputi beberapa aspek.
Dari aspek perilaku, pengaruh pada perilaku Anak yang mengalami disiplin yang keras, otoriter, biasanya akan sangat patuh bila dihadapan orang-orang dewasa, namun sangat agresif terhadap teman sebayanya. Sedangkan anak yang orang tuanya lemah akan cenderung mementingkan diri sendiri, tidak menghiraukan hak orang lain, agresif dan tidak sosial. Anak yang dibesarkan dengan disiplin yang baik akan lebih mampu belajar mengendalikan perilaku yang salah dan mempertimbangkan hak-hak orang lain.
 Pengaruh pada sikap baik anak yang dibesarkan dengan cara disiplin otoriter maupun dengan cara yang lemah, memiliki kecenderungan untuk membenci orang yang berkuasa. Anak yang diperlakukan dengan cara otoriter merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Sedangkan anak yang orang tuanya lemah merasa bahwa apapun yang dilakukannya benar sehingga anak akan sesuka hati dalam bersikap dan egois dalam berperilaku. Disiplin yang demokratis akan menyebabkan kemarahan sementara, tetapi kemarahan ini bukanlah kebencian. Sikap-sikap yang terbentuk sebagai akibat dari metode pendidikan anak cenderung menetap dalam dirinya dan menjadi kebiasaan dalam kehidupannya.
Pengaruh pada kepribadian anak yang terlalu banyak atau teralu sering diberikan hukuman fisik, maka anak akan semakin menjadi keras kepala dan negativistik. Ini memberi dampak yang buruk dalam penyesuaian pribadi dalam lingkungan sosialnya, yang juga memberi ciri khas yang egois dari anak yang dibesarkan dengan disiplin yang lemah. Bila anak dibesarkan dengan disiplin yang baik dan seimbang, ia akan mampu memiliki penyesuaian diri dan penyesuaian sosial yang baik. Pelanggaran yang dilakukan anak berupa bentuk ringan dari ketidaktaatan pada aturan atau perbuatan yang keliru sangat sering terjadi di sekolah. Pelanggaran ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu:
Pertama, ketidaktahuan anak bahwa perilakunya itu tidak baik atau tidak dibenarkan. Anak mungkin saja sudah diberi tahu berulang kali dan ia pun hafal kata-kata aturannya itu, tetapi ia tidak mengerti konsep yang dikandung dari aturan itu, dan kapan ia harus menerapkannya. Sebagai contoh, anak bisa mengerti bahwa mencuri adalah tidak boleh, tetapi ia belum tentu tahu bahwa mencontek juga termasuk mencuri. Oleh karena itu, jika anak melakukan kesalahan maka hukuman yang diberikan adalah berupa pemberian nasehat, penjelasan dan pemahaman kembali pada anak tentang perilakunya yang salah tersebut.
Kedua, penyebab anak melakukan pelanggaran adalah anak terkadang sengaja tidak patuh dan tidak mau melaksanakan peraturan agar mendapatkan perhatian yang lebih besar dari pada berperilaku baik. Dengan demikian, terkadang anak yang merasa diabaikan atau tidak diperhatikan, sehingga demi menarik perhatian guru atau orang tuanya anak sengaja berbuat salah dengan harapan akan memperoleh perhatian lebih. Jika hal ini yang dilakukan oleh anak, maka hukuman yang diberikan kepada anak adalah dengan memeluknya, memegang tangannya atau membelai kepalanya bahkan kalau bisa pendidik mengatakan kepada anak didiknya tersebut kalimat yang sedikit mengandung ancaman tapi dengan tutur kata yang lembut, misalnya “Ibu sayang sama rahmat, dan ibu akan makin sayang kalau Rahmat tidak melakukan lagi hal yang barusan tadi ya,” atau “Anak ibu sayang, jangan lakukan lagi hal yang barusan tadi ya, atau kalau tidak ibu nanti jadi ngak sayang lagi sama Rahmat.”
Ketiga, pelanggaran dapat disebabkan oleh kebosanan. Bila anak tidak memiliki kegiatan untuk mengisi waktu luang atau terlalu lama dan jenuh dalam suatu keadaan, maka kadangkala anak ingin membuat kehebohan untuk menghilangkan rasa bosannya tersebut, jika hal ini yang dilakukan anak, maka yang perlu dilakukan oleh pendidik adalah mengubah metode pembelajaran dengan cara yang lebih santai dan menyenangkan sehingga hal itu dapat menghilangkan kejenuhan anak dalam ruangan belajar. Menurut penulis, hal ini perlu dipahami oleh setiap pendidik karena terkadang bisa juga anak hendak melihat seberapa jauh pendidik dapat melakukan sesuatu dengan tanpa menggunakan hukuman.
Bagi anak yang lebih besar atau sudah masuk usia sekolah, disiplin berperan penting dalam perkembangan moral, karena bagi anak yang sudah usia sekolah, disiplin yang diterapkan juga harus disesuaikan dengan tingkat perkembangannya. Hal yang perlu lebih diperhatikan oleh pendidik antara lain adalah, bahwa anak yang lebih dewasa, semakin lama semakin membutuhkan penjelasan mengenai mengapa hal tertentu tidak boleh dilakukan, dan mengapa hal lain baik untuk dilakukan. Anak semakin mampu memahami konsep tentang perilaku yang baik, dan wawasannya juga semakin meluas. Pada tahap ini, pemberian hukuman juga harus dilakukan sesuai dengan tingkat perkembangannya anak yaitu hukuman harus bersifat lebih mendidik, bukan malah menimbulkan kebencian dan rasa dipermalukan. Hukuman yang diberikan harus proporsional dengan tingkat pelanggaran, dan anak harus dibuat mengerti mengapa hal yang dilakukan itu salah. Konsistensi dalam memberikan hukuman pun sangat penting, untuk kesalahan yang sama berikan hukuman yang sama, walaupun pada anak yang berbeda. Apa yang salah hari ini, akan tetap salah selanjutnya, jangan apa yang hari ini salah, besoknya menjadi hal yang dianggap benar, sehingga anak tidak merasa di “anak tirikan” atau merasa tidak adil terhadap hukuman yang diterimanya.
Keadaan anak yang tadinya belum dewasa kemudian menjadi dewasa berarti mengalami perubahan yang baik, karena selalu dibimbing dengan cara membangun interaksi dan komunikasi yang baik antara pendidik dengan anak didiknya. Perubahan fisik anak didik dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya juga berbarengan dengan perubahan psikis atau psikologisnya, oleh karena itu, pendidik harus mampu memahami perubahan yang terjadi pada diri individu tersebut, baik perkembangan psikisnya maupun pertumbuhan fisiknya. Atas dasar itu pula pendidik perlu memahami landasan pendidikan dari sudut psikologis sebagai salah satu landasan pendidikan yang penting untuk memahami jiwa, bakat dan minat anak.
Memahami dan mendidik anak bukanlah suatu yang mudah dan dapat dilakukan dengan cara yang instan. Orang tua dan juga pendidik diharapkan agar benar-benar memahami secara psikologis sehingga mampu menyeimbangkan dan menyesuaikan pemberian pengetahuan dengan tingkat kemampuan intelegensi anak serta dengan tingkat perkembangan kejiwaan anak. Meski memiliki sejumlah teori dalam mendidik anak, tidak jarang pendidik lebih memilih menggunakan pemberian hukuman yang tidak realistis di dalam menyadarkan prilaku anak yang menyimpang, sehingga kemudian menjadi tindak kekerasan. Hasilnya adalah anak memang menjadi patuh, penurut, dan tidak menyulitkan. Akan tetapi di balik semua itu, anak menjadi diri penakut, stress, depresi,[7] cemas, tidak percaya diri, tertekan, trauma, tidak konsentrasi dalam belajar. Selain itu, setiap hukuman pukulan berat yang diberikan pada anak akan meninggalkan memar bahkan cacat pada fisiknya, yang ternyata berdampak juga pada menurunnya kondisi psikologis dan tingkat intelegensinya. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Murray Strauss dkk dari Universitas New Hampshire,[8] Amerika Serikat menunjukkan bahwa sebagian besar anak yang sering mendapat perlakuan keras dari orang tua dan pendidik mereka memiliki tingkat intelegensi (IQ) yang rendah, bahkan dikatakan pula bahwa mereka akan mengalami kesulitan untuk mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dari penelitian tersebut juga ditemukan bahwa semakin sering anak mendapat kekerasan, maka semakin lambat perkembangan kemampuan mental mereka.
Jika hukuman terhadap anak tidak sesuai dengan tingkat kesalahannya dan menjadikan anak merasa tidak adil atau bahkan tidak menerima terhadap hukuman yang diterimanya, maka bisa dikatakan bahwa hukuman sebagai sebuah cara untuk meluruskan perilaku anak telah gagal. Hal itu disebabkan karena, ketika hukuman dirasakan oleh anak tidak sepadan dengan kesalahan yang dilakukannya, maka anak bukan merasa bersalah dan berubah untuk memperbaiki kesalahannya akan tetapi anak semakin menyengajai dan menambah-nambah tingkat perilaku salahnya ke arah yang lebih buruk lagi.
Proses mendidik anak adalah suatu proses yang melibatkan seluruh elemen dan melibatkan seluruh perkembangan anak, baik perkembangan secara fisik maupun perkembangan secara psikis. Dalam mendidik anak, perubahan anak dari satu tahap ke tahap pendewasaan yang lebih baik adalah suatu bukti keberhasilan dari proses pendidikan tersebut, dan hal ini tidak akan tercapai jika pendidikan hanya mementingkan nilai-nilai kognitif atau sekedar mendapatkan angka-angka yang tinggi di rapor saja. Jika pendidikan yang diharapkan adalah pendidikan yang menghasilkan perubahan etika, moral dan akhlak anak ke arah yang labih baik, maka pendidikan tidak boleh mengenyampingkan kepentingan dan kepuasan jiwa, akal dan emosi anak.
Dalam interaksi edukatif di dalam proses belajar mengajar, pendidik diharapkan agar mampu menyentuh dan merangsang jiwa, akal dan emosi anak agar pendidikan benar-benar mampu membawa perubahan perilaku anak ke arah yang lebih sempurna. Motivasi adalah salah satu rangsangan jiwa, semangat, keinginan dan mampu meningkatkan tingkat kecerdasan anak berbarengan dengan meningkatnya kepercayaan diri anak, oleh karena itu, motivasi penting
Proses pendisiplinan yang terlalu keras dapat menghalangi anak untuk berpikir bebas dan berkreasi sehingga ia tidak terlatih untuk mengeluarkan kemampuannya. Jadi, sebagian besar tindakan yang mereka lakukan adalah karena senantiasa teringat akan pukulan yang mungkin mereka terima dari orangtua mereka, bukan karena inisiatif mereka sendiri.
Tentunya tidak ada orang tua atau pendidik yang tidak menginginkan anak mereka untuk terus berkembang menjadi pintar dan membanggakan. Untuk itu diperlukan komitmen dari setiap orang tua dan pendidik agar menghindari segala tindak kekerasan dalam mendidik anak, sehingga anak dapat senantiasa mengembangkan kemampuan mereka secara optimal. Hal ini perlu dipahami dan dapat lebih meyakinkan serta menyadarkan setiap orang tua dan para praktisi pendidikan yang masih menerapkan metoda kekerasan dalam mendidik anak untuk merubah pola pendidikan anak mereka menjadi lebih baik.
2.   Tinjauan Sosiologis[9] tentang Pemberian Hukuman Terhadap Anak
Tindak kekerasan, memang tidak penulis pungkiri terkadang terjadi di dalam dunia pendidikan dan hal tersebut pun terjadi dengan dalih sebagai “cover” pemberian hukuman terhadap kesalahan anak yang dilakukan oleh pendidik, kepala sekolah, teman sebaya, dan praktisi pendidikan lainnya. Hal tersebut terjadi disebabkan karena minimnya wawasan, pengetahuan dan kesadaran para pendidik terhadap hakikat dan proses pendidikan yang benar dan efektif sebenarnya. Sehingga hukuman fisik yang berlebihan terhadap anak terkadang bukan unsur kesengajaan dari pendidik akan tetapi suatu hal yang belum dipahami secara benar oleh pendidik.
Ditinjau dari segi Sosiologi, hukuman fisik yang tidak terkendali akan menyebabkan tindak kekerasan di dalam dunia pendidikan. Hal ini akan mendatangkan banyak bencana atau persoalan baru yang menjadi sumber bagi munculnya sebagian problem sosial yang dirasakan sangat menyakitkan kehidupan manusia.[10] Mudah dan seringnya hukuman fisik yang berlebihan terhadap anak, akan membuat anak menjadi manusia yang berjiwa beku, tidak punya semangat hidup, memiliki emosi yang labil, berkarakter keras, dan menjadikan anak tidak memiliki rasa kasih sayang terhadap yang lain.
Hukuman fisik yang berlebihan akan menghilangkan nilai-nilai kasih sayang dan perhatian antara guru dan anak didik. Jika hubungan antara anak dan pendidik telah renggang, maka anak didik akan memilih untuk tidak lagi membangun hubungan sosial yang baik dengan para civitas di sekolah.[11] Hal inilah yang kemudian membuat anak mencari tempat lain atau orang lain yang dianggap olehnya bisa untuk tempat berbagi dan paling mengerti dirinya.
Jika dalam pelariannya tersebut anak mendapatkan teman yang tidak baik, maka anak akan mengikuti sikap dan karakter teman-temannya tersebut yang dianggap oleh anak sebagai kawan yang senasib dan sepenanggungan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Travis Mhirschi dalam Muhammad Nabil Kazhim bahwa: “Seseorang yang ditolak dari suatu masyarakat, maka ia akan mencari komunitas di masyarakat lain. Ketika hubungan orang tua/pendidik dengan anak melemah, kemungkinan akan terjadinya tindak kejahatan oleh anak akan menjadi besar.”[12]
Anak yang terlalu dikeraskan dan terlalu sering mendapatkan hukuman fisik yang tidak sewajarnya di rumah dan sekolah, akan membuat ketidaknyamanan sekolah dan rumah bagi anak. Hal yang selanjutnya terjadi adalah anak akan mengalami stres, tidak terbuka, merasa didhalimi, merasa tidak dicintai, merasa selalu disalahkan dan merasa dibenci, anak berusaha untuk terlepas dari perilaku dan dugaan-dugaan itu semua dan jalan yang diambilnya adalah dengan mengekspresikan dirinya ke tempat-tempat hiburan, jalan, dan perkumpulan-perkumpulan yang bisa membuat dirinya merasa bebas dari segala aturan.
Sebagimana menurut Travis Mhirschi dalam Muhammad Nabil Kazhim juga mengungkapkan bahwa: “Ketika anak-anak merasakan suatu pertentangan nilai-nilai (buruk) yang ada di masyarakat, maka perasaan itu akan mendorong mereka untuk melakukan tindakan yang salah, yang mana akibatnya mereka akan mendapatkan celaan, hinaan dan hukuman. Kondisi itulah yang menyebabkan adanya perasaan ketidaknyamanan dalam diri mereka, bahkan lebih dari itu akan menanamkan dalam diri mereka rasa marah, perasaan selalu didhalimi, dan pergaulan mereka dengan orang-orang menjadi buruk. Oleh karena itu mereka kemudian menempuh jalan keluar yaitu dengan cara lari dari keluarga dan sekolah menuju jalanan untuk mengekspresikan diri sehingga mampu meredakan kebingungan dan keresahan yang mereka hadapi.”[13]
Dengan berkumpulnya anak di jalanan, kesempatan mendapatkan pendidikan yang baik dan benar bagi mereka menjadi hilang, dan kata sukses adalah kata yang jauh dari hidup mereka. Jika hal ini yang tejadi terhadap anak, maka akan bertambah angka kebodohan dan angka pengangguran di dalam masyarakat tersebut, efeknya adalah angka ekonomi suatu masyarakat tersebut menjadi rendah sehingga memicu pada tingkat kejahatan yang semakin tinggi. Tidak diragukan lagi, jika angka kejahatan semakin tinggi di dalam suatu masyarakat, maka nilai-nilai akhlak mulia dan norma-norma yang baik sebagai ciri khas dalam peradaban masyarakat menjadi tidak berlaku lagi.
Oleh kerana itu, hal yang perlu dilakukan yaitu mencoba membangun generasi yang proaktif dan optimis, dan hal itu tidak akan pernah efektif mencapai tujuannya apabila sistem hukuman fisik secara berlebihan dan tidak terkontrol masih diimplementasikan dalam dunia pendidikan. Untuk itu ada solusi yang akan ditawarkan, yakni adanya reposisi orang tua dalam mendidik anak dalam keluarga dan guru dalam mendidik murid di sekolah. Reposisi ini berupa perubahan signifikan pada paradigma masyarakat yang masih sering menggunakan hukuman fisik secara gampang dan spontan dalam mendidik anak. Selain itu juga perubahan untuk mulai menempatkan guru ataupun orang tua dalan posisi setara dengan pribadi seorang anak. Dengan membiarkan anak melakukan ekspresi dan melakukan keunikan-keunikannya sendiri maka akan membentuk mental yang bagus dan tidak apatis, keunikan anak disini tidak harus dipahami sebagai suatu kesalahan, melainkan suatu perkembangan anak itu sendiri. Kesadaran anak juga harus dibangun dengan sering mengajak berdialog dan menciptakan komunikasi yang hangat, dan bukan memberikan perintah-perintah dan larangan. Yang terpenting adalah membangun kepribadian untuk sering berpendapat dan mendengarkan pendapat-pendapat mereka. Hal yang perlu kita sadarilah bahwa masa depan agama dan bangsa ini ada ditangan generasi kita dan oleh karena itu peran orang tua dan guru sangat besar dalam menciptakan kepribadian seorang anak.
Mengingat bahwa pendidikan adalah ilmu normatif, maka fungsi institusi pendidikan adalah menumbuhkan akhlak, etika dan moral subjek didik ke tingkat yang lebih baik dengan cara atau proses yang baik pula serta dalam konteks positif. Adanya beberapa bentuk kekerasan dalam pendidikan yang masih merajalela merupakan indikator bahwa kegiatan pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah urgensi humanisasi pendidikan,[14] humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi bangsa yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan malah menciptakan individu-individu yang berwawasan sempit, tradisional, pasif, dan tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi.
Selain menjadi seorang pengajar, seorang guru juga berperan sebagai pendidik dan motivator bagi siswa-siswinya. Sebagai seorang pengajar, guru dituntut berkerja cerdas dan kreatif dalam mentranformasikan ilmu atau materi kepada siswa dan berusaha sebaik mungkin dalam menjelaskan suatu materi sehingga materi tersebut bisa diaplikasikan dalam keseharian siswa itu sendiri. Tugas sebagai mendidik adalah tugas yang sangat berat bagi seorang guru. Guru dituntut mampu menanamkan nilai-nilai akhlak yang mulia, moral, kedisiplinan, sopan santun, dan ketertiban sesuai dengan peraturan atau tata tertib yang berlaku di dalam agama, masyarakat dan sekolah masing-masing. Dengan demikian, diharapkan siswa tumbuh menjadi peribadi yang sigap, mandiri, dan disiplin.
Sebagai seorang motivator terhadap anak didiknya, guru harus mampu menjadi pemicu semangat siswanya dalam belajar dan meraih prestasi. Oleh karena itu, yang terpenting untuk menanggulangi munculnya praktik bullying di sekolah adalah ketegasan praktisi sekolah dalam menerapkan peraturan dan hukuman kepada anak didiknya. Hukuman yang diharapkan dalam menerapkan disiplin terhadap anak merupakan hukuman yang edukatif dan tidak merugikan anak secara fisik dan spikisnya, jika seorang guru menghukum siswanya dengan marah-marah atau menampar anak didiknya, maka hukuman yang dilakukan tersebut bukanlah hukuman yang efektif.
Anak didik merupakan makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu saling berintegrasi, saling tolong menolong, saling ingin maju, ingin berkumpul, ingin menyesuaikan diri, dan hidup dalam kebersamaan. Sifat sebagai makhluk sosial sudah dimiliki sejak bayi, dan tampaknya merupakan potensi yang dibawa sejak lahir. Bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki sifat ketergantungan manusia dengan manusia lainnya dan manusia juga memiliki sifat adaptability dan intelegensi.
Oleh karena itu, jika dalam kebutuhan anak terhadap orang lain dan berinteraksi dengan baik di dalam lingkungannya terdapat hal-hal yang ternyata malah membuat anak terkekang kebebasannya, maka kebutuhan akan nilai-nilai sosial dalam diri anak akan terhambat. Hukuman fisik dan psikis yang berdampak besar, tidak lain merupakan faktor yang menyebabkan seorang anak manusia terenggut kemerdekaannya.[15] Dengan kata lain, bila anak dalam belajar dibatasi ruang gerak perkembangan intelegensinya dan nilai-nilai manusiawi untuk berkata-kata atau berpendapat, jelas hal itu keliru karena akan membuat anak memberontak untuk memenuhi apa yang menjadi rasa penasaran di dalam dirinya, dan hal inilah, yang jika mendapatkan bimbingan dan pengarahan yang baik dari orang tua maupun pendidik maka akan menjadikan anak berbuat di luar koridor kemanusiaan, sehingga perilaku tersebut nantinya akan membuat anak berperilaku ke arah kejahatan yang dapat merugikan dirinya sendiri, merugikan manusia lainnya, kelompok maupun individu-individu tertentu di dalam masyarakat.



[1]Bagaimana cara manusia belajar dan apa saja syarat-syarat dari manusia belajar merupakan satu permasalahan dalam satu sudut pendidikan yang menjadi perhatian sejumlah ahli psikologi. Psikologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu Psyche yang berarti jiwa dan Logos yang berarti ilmu, jadi secara harfiah psikologi berarti ilmu tentang jiwa atau ilmu jiwa. Lihat Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2002), h. 1.
[2]Ahmad Ali Budaiwi, Imbalan dan hukuman..., h. 40-41.
[3]Bayi memahami dunia seperti yang terlihat saja oleh mereka dan apa saja yang tertangkap indera mereka yang lain. Mereka berkembang dari fungsi refleks yang sederhana, seperti menghisap, menuju kemampuan mengorganisasi skema melalui beberpa tahap. Pada tahap akhir periode ini, bayi sudah mampu memunculkan respon dalam urutan yang lebih komplek seperti mampu mengambil benda yang tersembunyi. Lihat Lusi Nuryanti, Psikologi Anak, (Jakarta: Indeks, 2008), h. 20.
[4]Pada periode ini anak sudah mampu menilai secara sederhana dan sudah mampu menggunakan simbol. Akan tetapi pada periode ini, anak belum mampu mengembangkan konsep tentang sebuah aturan, anak hanya melakukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh menurut orang dewasa di sekitar mereka. Misalnya ketika anak bermain sepak bola, mereka tahu tidak boleh memegang bola dengan tangan dan mereka dapat mengikuti aturan itu ketika bermain, namun anak belum mampu menalar mengapa aturannya seperti itu. Lihat Lusi Nuryanti, Psikologi..., h. 21.
[5]Anak-anak menunjukkan kemampuan untuk mengklasifikasikan beberapa tugas dan mengurutkan objek dalam aturan tertentu. Anak-anak mampu menyelesaikan masalah yang konkrit dan memahami konsep bolak-balik (reversibility). Konsep bolak-balik misalnya diterapka dalam aritmatika. Contoh: 2+5=7 dan 7-2= 5. Lihat Lusi Nuryanti, Psikologi..., h. 21.
[6]Operasi mental anak usia ini tidak lagi terbatas pada objek-objek yang konkret, namun mereka sudah dapat menerapkannya pada pernyataan verbal dan logika, baik pada objek yang nyata maupun tidak, dan kejadian pada waktu sekarang atau masa depan. Kemampuan anak untuk menggeneralisasikan pernyataan yang abstrak sudah muncul, begitu juga dengan kemampuan hipotesa dan kemungkinan hasilnya. Lihat Lusi Nuryanti, Psikologi..., h. 22.
[7]Anak menghentiksn respons-respons terbukanya dan mengalihkan emosi ke dalam dirinya sendiri. Lihat M. Dimyati Mahmud, Psikologi Suatu Pengantar, (Yogyakarta: BPFE, 1990), h. 167.
[8]Penelitian ini dilakukan pada 1510 anak yang dibagi menjadi dua grup. Grup pertama terdiri atas 806 anak berusia 2-4 tahun, dan grup kedua terdiri atas 704 anak berusia 5-9 tahun. Pada masing-masing grup terdiri atas anak yang mendapat dan tidak mendapat perlakuan keras dari orangtua mereka. Kemudian setiap anak diminta untuk menjalani tes IQ pada awal penelitian dan pada akhir penelitian 4 tahun kemudian. Dari hasil pemeriksaan tersebut ditemukan bahwa IQ pada anak yang tidak mendapat kekerasan di grup pertama memiliki peningkatan sebanyak 5 poin lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang mendapat kekerasan. Begitupula yang terjadi di grup dua, ditemukan adanya peningkatan sebanyak 2,8 poin lebih tinggi pada anak yang tidak mendapat kekerasan dibandingkan dengan anak yang mendapat kekerasan. Lihat facebook Bams Dwie HS, Pukulan Fisik dapat Menurunkan IQ Anak. Minggu 17 April 2011.
[9]Sosiologi adalah ilmu yang membahas tentang tingkah laku manusia yang sesuai dan memenuhi syarat untuk hidup bersama yang telah ditentukan oleh masyarakat dengan sikap saling menghormati, menghargai, tenggang rasa, saling membantu, hidup harmonis dan mau membela kepentingan bersama. Lihat Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, (Padang: Angakasa Raya, 1987), h. 10.
[10]Jamaal Abdur Rahman, Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah, terj. Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2008), h. 177.
[11]Muhammad Nabil Kazhim, Mendidik Anak..., h.137.
[12]Muhammad Nabil Kazhim, Mendidik Tanpa Memukul, terj. Giarso, (Solo: Abyan, 2009), h.131.
[13]Muhammad Nabil Kazhim, Mendidik Tanpa..., h. 131-132.
[14]Teori humanistik menunjukkan bahwa tingkah laku manusia pada mulanya ditentukan oleh bagaimana mereka merasakan dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, individu adalah langsung dari internal, bebas memilih, dimotivasi oleh keinginan untuk aktualisasi diri atau memenuhi potensi keunikan mereka sebagai manusia. Rogers berpendapat bahwa, humanistik pendidikan adalah suatu usaha memenuhi keinginan manusia unutk belajar, bebas dari ancaman, inisiatif sendiri, dan belajar untuk berubah ke arah yang labih baik. Lihat Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 181-186.
[15]Muhammad Nabil Kazhim, Mendidik Anak..., h. 151.