Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam
A.
Tujuan
Pelaksanaan Syariat Islam
Setiap pemeluk agama Islam wajib
mentaati, mengamalkan dan menjalankan Syari'at Islam secara kaffah dalam
kehidupan sehari-hari dengan tertib dan sempurna, baik melaui diri pribadi,
keluarga, masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demi terwujudnya
pelaksanaan Syari'at Islam dalam masyarakat, maka banyak hal yang mendasar yang
harus dibenahi dan ditata ulang terlebih dahulu dan untuk itu diperlukan suatu
aturan atau Undang-Undang yang menjadi pembatas terhadap berhasilnya
pelaksanaan Syari'at Islam tersebut.
Islam merupakan agama yang sempurna dan
universal. Hal tersebut disebabkan agama Islam tidak hanya mengatur hubungan
antara manusia dengan khaliqnya, akan tetapi juga mengatur hubungan antara
manusia dengan sesamanya, hubungan manusia dengan diri sendiri dan hubungan
manusia dengan alam sekitar.
Untuk menata semua hubungan-hubungan
tersebut, manusia telah diberikan kesempurnaan yaitu kemampuan berfikir yang
disebut dengan akal. Akallah yang membedakan dirinya dengan makhluk-makhluk
yang lain. Dalam menjalankan dan menjaga keutuhan hubungan-hubungan tersebut,
manusia perlu kepada pendidikan, karena pendidikan itu merupakan kebutuhan
naluriyah manusia. Di samping itu juga pendidikan berfungsi untuk mengangkat
martabat dan harga diri manusia pada posisi terhormat dan termulia, baik di
sisi manusia maupun di sisi Allah SWT.
Agama
mengatur tata kehidupan seorang muslim dengan hukum-hukum syari’at berdasarkan
Al-Qur’an dan Hadits. Hukum syari’at dari Al-Qur’an tersebut dikodifikasikan
dalam bentuk aturan yang lebih jelas dan rinci melalui ijtihad para ulama yang
disebut dengan fiqih yaitu ilmu yang membahas pemahaman dan tafsiran ayat-ayat
Al-Qur’an yang berkenaan dengan hukum[1].
Syari’at Islam diturunkan untuk kepentingan dunia dan akhirat, maka keadaan ini
menjadi faktor terpenting yang mendorong pemeluk-pemeluknya untuk mentaati
hukum-hukum tersebut di mata orang ramai atau di kala sendiri, di waktu suka
maupun duka, karena mereka percaya bahwa ketaatan mengamalkan hukum-hukum
tersebut merupakan salah satu ibadah yang akan mendapat pahala, sebaliknya jika
seseorang membuat pelanggaran terhadap larangan atau meninggalkan kewajiban[2].
Maka, ia dijatuhi hukuman agar ia mau menjalankan kewajiban tersebut. Seperti
halnya terhadap orang yang meninggalkan shalat dan zakat mereka juga akan
dikenakan hukuman oleh Allah di hari akhirat kelak.
Gagasan
hukum Allah dalam agama Islam biasanya dijabarkan dalam kata fikih dan syari’ah
(Syari'at). Secara orisinal, bermakna pemahaman, namun dalam pengertian yang
luas yaitu seluruh upaya untuk mengelaborasi rincian hukum ke dalam norma-norma
spesifik Negara, menjustifikasinya dengan perujukan kepada wahyu. Jadi, kata
fiqih menunjuk kepada aktivitas manusia. begitu juga Sebaliknya Syari'at
merujuk kepada hukum-hukum Tuhan, dalam kualitasnya sebagai wahyu. Sebagai
hukum Tuhan, Syari'at menempati posisi paling penting dalam kehidupan
masyarakat muslim.
Secara umum,
maksud dan tujuan diturunkan syariat Islam adalah untuk mendatangkan
kemaslahatan dan sekaligus menolak kemudharatan dalam kehidupan umat manusia.
Konsep ini dikenal dengan sebutan maqashid syar’iah. Maqashid Syaria’h berarti
tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat
ditelusuri dalam ayat-ayat al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw sebagai alasan
logis bagi rumusan suatu hukum yaang berorientasi kepada kemaslahatan umat
manusia.
Dalam
kitabnya al-Mustashfa, Imam al-Ghazali menjelaskan konsep maqashid syariah.
Menurutnya, tujuan syara’ yang berhubungan dengan makhluk ada lima, yaitu
menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka. Maka, setiap hal yang
mengandung upaya menjaga lima perkara pokok tersebut itu adalah maslahat.
Sebaliknya, setiap hal yang tidak mengandung lima perkara pokok tersebut adalah
mafsadah, dan menolaknya termasuk maslahat.
Maslahat
Islamiah yang diwujudkan melalui hukum-hukum Islam dan ditetapkan berdasarkan
nash-nash agama adalah maslahat hakiki. Maslahat ini mengacu kepada
pemeliharaan terhadap lima hal, yaitu memelihara agama, jiwa, harta, akal dan keturunan.
Ini disebabkan dunia, tempat manusia hidup, ditegakkan di atas pilar-pilar
kehidupan yang lima itu.Tanpa terpeliharanya hal ini tidak akan tercapai
kehidupan manusia yang luhur secara sempurna.[3]
Oleh karena
itu, kemuliaan manusia tidak bisa dipisahkan dari pemeliharaan terhadap lima
hal tadi. Agama, misalnya, merupakan keharusan bagi manusia. Dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang dibawa oleh ajaran agama, manusia menjadi lebih tinggi
derajatnya dari derajat hewan. Sebab beragama adalah salah satu ciri khas
manusia. Dalam memeluk suatu agama, manusia harus memperoleh rasa aman dan
damai, tanpa ada intimidasi. Islam dengan peraturan-peraturan hukumnya
melindungi kebebasan beragama.[4]
Maka jelaslah
bahwa dalam konsep maqashid syariah ada lima kebutuhan kehidupan primer manusia
yang mesti ada (ad-dharuriyyat al-khams) atau kini populer dengan
sebutan HAM (Hak Asasi Manusia) yang dilindungi oleh syariat yaitu agama, jiwa,
akal, nasab, dan harta. Syariat diturunkan untuk memelihara kelima HAM
tersebut. Pelanggaran terhadap salah satu daripadanya dianggap sebagai suatu
kriminal (jarimah).
Untuk menjaga
kemaslahatan adh-dharuriyat al-khams atau HAM, Islam
mensyariatkan sanksi (uqubat) yang cukup tegas, yaitu hukuman hudud, qishash
dan ta’zi,r demi menciptakan kemaslahatan publik dan menolak
kemudharatan. Hukuman murtad (had ar-riddah) yaitu dibunuh, bertujuan
untuk menjaga kemaslahatan agama, agar orang tidak mempermainkan agama dengan
seenaknya. Hukuman minum minuman keras (had al-khamr) yaitu cambuk
delapan puluh kali atau empat puluh kali bertujuan untuk menjaga akal agar
tetap baik dan sehat.
Hukuman zina (had
az-zina) yaitu seratus kali cambuk bagi yang belum kawin (ghair muhshan)
dan rajam bagi yang sudah kawin (muhshan) bertujuan untuk menjaga nasab
dan menghindari dari penyakit yang berbahaya. Hukuman tuduhan berzina (had
al-qazf) yaitu dicambuk delapan puluh kali bertujuan untuk menjaga
kehormatan. Hukuman pencurian (had as-sariqah) yaitu potong tangan
bertujuan untuk menjaga harta. Dan hukuman pembunuhan dan penganiayaan yaitu
qishah (dibunuh atau dianiaya pula) bertujuan untuk menjaga jiwa manusia.
Oleh karena
itu, dalam Islam dikenal beberapa jenis hukuman seperti potong tangan, cambuk,
rajam, qishah dan bunuh. Hukuman ini diberikan sesuai dengan jenis dan
tingkatan kriminalnya. Tujuan semua jenis hukuman ini adalah untuk menjaga
kehormatan seseorang, menjaga masyarakat dari kekacauaan dan prilaku buruk atau
hina, mensucikan jiwa yang telah ternoda dengan dosa, dan memelihara
kemaslahatan asasi manusia yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta.[5]
Di samping
itu tujuan utamanya yaitu untuk memberi efek jera dan pembelajaran sehingga
dapat mencegah perbuatan kriminal atau maksiat. Dengan demikian, maka jelaslah
bahwa hukuman dalam Islam bertujuan untuk menjaga dan melindungi HAM. Meskipun
secara kasat mata hukuman Islam terkesan kejam dan keras, namun sebenarnya
syariat Islam dalam menentukan hukuman lebih banyak bertujuan sebagai sarana
untuk mencapai kemaslahatan publik dan menjaganya. Hukuman yang ditetapkan
untuk kriminal itu lebih bersifat preventif, sehingga orang akan menahan diri
dari melakukan hal itu. Hukuman tidak akan efektif bila hanya sebatas melarang,
tanpa ada sanksi yang tegas. Dengan kata lain, tanpa sanksi yang tegas dan
menjerakan, suatu aturan/hukum tidak punya konsekuensi apa-apa. Sebaliknya,
bila disertai dengan hukuman yang tegas dan keras , maka segala aturan baik
bersifat perintah atau larangan itu akan diperhitungkan dan memiliki arti.
Inilah tabiat suatu hukuman.
Islam
merupakan satu-satunya agama yang diakui dan dirihai Allah Swt kepada umat
manusia dan berlaku sepanjang zaman. Syariat Islam datang sebagai penyempurna
sekaligus penghapus syariat Nabi-Nabi sebelumnya yang hanya bersifat temporer
dan teritorial. Sebagai agama yang terakhir dan sempurna, Islam membawa misi
perdamaian dan rahmatan lil’alamin sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-Anbiya’
ayat107:
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ) الأنبياء: ١٠٧(
Artinya: Dan tiadalah Kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.(Qs. Al-Anbiya’:107)
Dan dalam surat Yunus ayat 57 Allah SWT juga
berfirman:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاء لِّمَا
فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ) يونس: ٥٧(
Artinya: Hai manusia,
sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi
penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman.( Yunus : 57)
Secara umum,
maksud dan tujuan diturunkan syariat Islam adalah untuk mendatangkan
kemaslahatan dan sekaligus menolak kemudharatan dalam kehidupan umat manusia.
Konsep ini dikenal dengan maqashid syariah. Maqashid Syariah berarti tujuan
Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat
ditelusuri dalam ayat-ayat al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw sebagai alasan
logis bagi rumusan suatu hukum yaang berorientasi kepada kemaslahatan umat
manusia.
[1] Taufik Adnan Amal. Politik Syari’at
Islam dari Indonesia Hingga Nigeria.Cet. I, (Jakarta: Pustaka Alvabet,
2004), hal. 40.
[3] M.
Lukman. Hakim, Dkk, Syariah Sosial
Menuju Revolusi Kultural, (Malang: UMM Press, 2004), hal. 29.
[5]
Musa, Muhammad Yusuf, Islam: suatu kajian komprehensif, (Jakarta: rajawali press. 1988), hal. 57.
Post a Comment for "Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam"