Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Usaha-usaha Untuk Mengatasi Dendam


A.  Usaha-usaha Untuk Mengatasi Dendam

            Sebagaimana diketahui bahwa setiap timbulnya suatu permasalahan pasti ada jalan untuk mengatasinya. Demikian pula dengan penyakit dendam yang timbul dalam hati seseorang. Apabila ia melakukan usaha-usaha untuk mengatasi penyakit dendam tersebut, maka sifat dendam pasti akan hilang dari hatinya. Adapun usaha-usaha yang harus dilakukan seseorang dalam mengatasi dendam adalah sebagai berikut:
1.   Dalam Konsep Tasamuh
Sebelum penulis membahas tentang usaha-usaha mengatasi dendam dalam konsep tasamuh, ada baiknya terlebih dahulu penulis menjelaskan pengertian tasamuh itu sendiri.            
            Menurut M. Nasikin Tasamuh atau toleransi adalah “sikap menghormati orang lain untuk melaksanakan hak-haknya”.[1]
            Dengan demikian dapat dipahami bahwa manusia wajib untuk saling menghormati, karena manusia dapat merasakan bahagia apabila ia hidup bersama manusia lainnya. Manusia tidak dapat hidup sendiri di dalam masyarakat tanpa adanya bantuan dan kerja sama dengan manusia lainnya. Seperti zaman sekarang kita tidak bisa lepas dari memanfaatkan, menerima jasa dan memerlukan hasil usaha orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Adapun dalam konsep tasamuh usaha yang harus dilakukan seseorang untuk mengatasi timbulnya penyakit dendam adalah sebagai berikut:
a.    Menumbuhkan sikap saling menghargai dan menghormati sesama.
M. Nasikin dalam bukunya “Ayo Belajar Agama Islam” mengatakan bahwa  “Sikap saling menghormati dan menghargai merupakan suatu sikap yang sangat dianjurkan dalam agama Islam. Karena sikap ini dapat menimbulkan kedamaian dan perdamaian antar sesama manusia.[2]
Dengan demikian, apabila seseorang dapat menumbuhkan sikap menghargai dan menghormati orang lain, maka sikap dendam yang tersimpan dalam hatinya akan mudah dihilangkan.

b.   Menumbuhkan Perasaan Cinta Kepada Kebaikan dan Saling Tolong Menolong Sesama Muslim

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris dalam bukunya “Menyucikan Jiwa” mengatakan bahwa Di antara pendidikan Islam yang terarah dan telah disyariatkan Islam adalah mempertebal rasa solidaritas terhadap sesama muslim. Hal ini dilakukan, baik secara silaturrahmi kepada saudara, kerabat, teman dan orang-orang yang tertimpa musibah. Membantu orang yang lemah dan orang-orang yang menghadapi kesulitan, meringankan penderitaan mereka. [3]
Seruan-seruan seperti itu sangat dianjurkan dalam agama Islam untuk mengikis nafsu amarah yang senantiasa mendorong manusia bersikap dendam dan egois serta tak memiliki kepedulian dan tanggung jawab sosial. Itulah kegiatan-kegiatan pendidikan sosial yang hendaknya dijalani oleh setiap umat Islam. Hal ini Sebagai implementasi atas seruan Nabi Saw yang mengajak umatnya untuk memperhatikan persoalan-persoalan umat Islam. Dalam hal ini Rasulullah SAW., bersabda:
عن أبى هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم: قال: قال رسول الله صلى الله وسلم: من عاد مريضا أوزار أخاله فى الله، ناداه مناد بأن طبت، وطاب ممشاك وتبوأت من الجنة منزلا. (رواه: الترمذي)
                                                              
Artinya: “Siapa saja yang menjenguk orang sakit atau mengunjungi saudaranya   karena Allah, maka dia diseru oleh penyeru: engkau baik, jalanmu baik dan engkau akan menempati satu tempat di surga” (HR. Tarmidzi).[4]
Dalam riwayat yang lain dari Ibnu Umar Nabi Muhammad SAW.,. Menyeru umatnya untuk memperkuat rasa cinta kepada kebaikan, mengulurkan bantuan dan pertolongan kepada saudaranya. Dalam hal ini Rasul bersabda:
عن ابن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: المسلم أخوالمسلم لايظلمه ولايسلمه. من كان فى حاجة أخيه كان الله في حاجته، ومن فرّج عن مسلمٍ كربة فرّج الله عنه بها كربةً من كرب يوم القيامة، ومن ستر مسلمًا ستره الله يوم القيامة (رواه: متفق عليه)                          

Artinya: Dari Ibn Umar r.a. bahwasanya Rasulullah SAW., bersabda: “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Ia tidak boleh menganiayanya dan tidak pula menelantarkannya. Barang siapa (membantu memenuhi) keperluan saudaranya maka Allah akan (memenuhi) keperluannya pula. Dan barang siapa berupaya melepaskan satu kesulitan seorang muslim, maka Allah akan melepaskan suatu kesulitan di antara kesulitan-kesulitan di hari kiamat. Dan barang siapa yang menutupi (aib) saudaranya yang muslim maka Allah akan menutupi (aibnya) di hari kiamat”. (HR. Bukhari-Muslim).[5]

c.    Memilih teman yang shaleh dalam setiap kali mengadakan kegiatan
Manusia terpengaruh oleh teman dan kawannya. Jika mereka shaleh, maka ia akan terpengaruh oleh keshalehan mereka dan berusaha untuk bisa seperti mereka. Hal ini sesuai dengan ungkapan Muhammad Abdul Qadir Abu Faris dalam bukunya  Menyucikan Jiwa” mengatakan bahwa “Teman yang shaleh adalah teman yang tidak menyimpan perasaan dendam dalam hatinya, karena penyakit dendam jarang terjangkit dalam hati orang-orang yang sudah dekat dengan Allah”. [6]
Dengan demikian apabila orang yang memiliki penyakit dendam memilih berkawan dengan orang yang saleh, maka  ia akan mampu menghilangkan sifat dendamnya tersebut.
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris dalam bukunya ”Menyucikan Jiwa” juga mengatakan bahwa “Memilih berkawan dengan orang yang saleh ini merupakan prinsip penting dalam pendidikan Islam yang diserukan kepada seluruh orang Islam dalam kondisi apapun, baik dalam acara resmi, sekolah, masyarakat, teman bergaul maupun yang lainnya.[7]
Teman dan sahabat yang baik merupakan faktor yang amat berperan dalam meraih prestasi yang baik dan menghilangkan sifat-sifat tercela. Apabila orang muslim dan para pengemban misi pendidikan meremehkan masalah ini, niscaya masyarakat menjadi sangat berpotensi terjangkit beberapa penyakit yang salah satunya adalah dendam. Hal ini dapat merusak kedamaian dan ketentraman masyarakat muslim itu sendiri.
Kepribadian generasi muda sangat berpeluang terjebak dalam arus pemikiran dan pandangan hidup yang menyimpang. Oleh karena itu, landasan positif bagi setiap kegiatan dapat diambil dari petunjuk Nabi Saw dalam memilih kawan yang saleh dan menghindari unsur-unsur negatif yang ditimbulkan dalam kegiatan bersama (bermasyarakat). Abu Musa al-Asy’ari ra meriwayatkan bahwasanya Nabi Saw telah bersabda:
عن أبي موسى الأشعري رضي الله عنه أن ألنبي صلى الله عليه وسلم،قال: إنما مثل الجلس الصالح وجليس السوء، كحامل المسك، ونافخ الكبر، فحامل المسك، إما أن يحذيك،وأما أن تبتاع منه، وإما أن تجد منه ريحا طيبة، ونافخ الكبر إما أن يحرق ثيابك، وإما أن تجد منه ريحا منتنة. (رواه متفق عليه)
Artinya: Dari Abu Musa Al-Asy’Ari r.a. bahwasanya Nabi SAW., bersabda: ”Sesungguhnya perumpamaan antara teman yang baik dengan teman yang buruk adalah laksana orang yang membawa minyak wangi dengan peniup tungku pandai besi. Orang yang membawa minyak wangi adakalanya ia memberimu, atau kamu membeli kepadanya atau kamu mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan peniup tungku pandai besi besi adakalanya ia akan membakar pakaianmu dan adakalanya pula engkau mendapatkan bau yang busuk daripadanya”. (HR. Bukhari-Muslim)[8] 

d.   Berpartisipasi aktif dalam bermasyarakat dengan niat dan semangat yang positif serta bersungguh-sungguh

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris dalam bukunya “Menyucikan Jiwa” mengatakan bahwa “Salah satu usaha yang harus dilakukan oleh sesorang untuk mengikis penyakit dendam adalah ikut berpartisipasi dalam bermasyarakat dengan niat yang positif serta sungguh-sungguh” .[9]
Hal ini dilakukan nya ketika ia hendak keluar rumah, misalnya dengan maksud mencari hiburan untuk mengisi waktu luang, baik dijalan-jalan atau di tempat-tempat yang berhawa segar ataupun di mana saja mereka berada.
 Dengan demikian, manusia harus bergaul bersama siapa saja yang ia jumpai dengan semangat dan sikap yang positif, senang berbuat baik, bersikap sesuai dengan akhlak yang Islami serta menghindari sikap yang berlebihan dan menyakitkan orang lain.
Perbuatan seperti ini dapat menghilangkan perasaan dendam yang tersimpan dalam hatinya. Dalam hal ini Rasulullah bersabda dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu said Hal ini Said al-Khudriy r.a., bahwa Nabi Saw telah bersabda:
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم، قال: إيّا كم والجلوس فى الطرقات، فقالوا: يا رسول الله، مالنا من مجالسنا بد ّنتحدث فيها. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلّم: فإذا أبيتم إلا المجلس فأعطو الطّريق حقّه،، فقالوا: وما حقّ الطريق يارسول لله؟ قال: غضّ البصر وكفّ الأذى وردّالسلام والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر(رواه: متفق عليه)

Artinya: Dari Abu Sa’id Al-Khudri r.a, dari Nabi SAW,. beliau bersabda:  “Jauhilah diri kalian duduk di pinggir-pinggir jalan. “Mereka berkata: “Ya Rasulullah, kami pasti memerlukan majelis-majelis untuk mengobrol di sana. “Maka Rasulullah SAW., bersabda: “Apabila kalian enggan kecuali majelis itu maka penuhilah oleh kalian hak (orang yang melewati) jalan itu: mereka katakan: ”Apa saja hak orang yang melewati jalan itu wahai Rasulullah? ”Rasul pun menjawab: memejamkan pandangan, menahan gangguan (tidak mengganggu orang), menjawab salam, memerintahkan yang makruf dan mencegah yang munkar”. (HR. Bukhari-Muslim).[10]

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis dapat memahami bahwa usaha-usaha yang harus dilakukan oleh seseorang untuk mengatasi dendam dalam yang konsep tasamuh adalah: menumbuhkan sikap saling menghargai dan menghormati sesama, menumbuhkan perasaan cinta kepada kebaikan dan saling tolong menolong sesama Muslim, Memilih teman yang saleh dalam setiap kali mengadakan kegiatan, dan  berpartisipasi aktif dalam bermasyarakat dengan niat dan semangat yang positif serta bersungguh-sungguh.
2. Dalam konsep Tasawuf

Sebelum penulis membahas usaha-usaha mengatasi dendam dalam konsep tasawuf, terlebih dahulu penulis menjelaskan pengertian tasawuf itu sendiri.
 Menurut Damanhuri Basyir dalam bukunya “Ilmu Tasawuf” mengatakan bahwa tasawuf merupakan suatu disiplin ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ikhwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkan hati dari sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat yang terpuji serta melangkah menuju keridhaan Allah dan Rasulnya”.[11] Ilmu tasawuf adalah pengembangan dari “Ihsan” atau akhlak.
Adapun dalam konsep tasawuf usaha-usaha yang harus dilakukan oleh seseorang untuk mengatasi timbulnya penyakit dendam adalah sebagai berikut:
a.    Memperbanyak Zikir kepada Allah
Shaleh Ahmad Asa-Syaami, dalam bukunya “Berakhlak dan Beradab Mulia” mengatakan bahwa “Nabi Muhammad SAW., adalah orang yang paling sempurna dalam berzikir kepada Allah, bahkan seluruh ucapan Nabi berisi zikir kepada Allah.  Beliau selalu berzikir kepada Allah dalam setiap waktu, baik dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring maupun aktivitas lainnya. [12]  
Dengan demikian zikir merupakan suatu perbuatan mulia yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Oleh karena itu, setiap orang muslim harus selalu memperbanyak berzikir kepada Allah, karena zikir merupakan salah satu jalan yang paling besar untuk terciptanya ketenteraman hati. Berzikir juga akan menghilangkan kegelisahan dan kegundahan jiwa serta dendam kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran yang berbunyi:
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% ̍ø.ÉÎ/ «!$# 3 Ÿwr& ̍ò2ÉÎ/ «!$# ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$#
  (الرعد: 28)
Artinya: Orang-orang yang beriman hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (Q.S. Ar-Ra’du: 28).[13]

Melihat ayat di atas, penulis dapat memahami bahwa berzikir memiliki pengaruh yang besar untuk terwujudnya ketenangan jiwa. Seseorang yang telah beriman kepada Allah harus senantiasa memperbanyak berzikir kepada Allah. Oleh karena itu, salah satu jalan untuk mengtasi timbulnya penyakit dendam adalah memperbanyak berzikir kepada Allah.
Orang yang telah banyak berzikir kepada Allah ia akan selalu rindu kepada-Nya dan akan hilang sifat dendam dan benci kepada orang lain yang menyebabkan Allah murka kepadanya.
b.   Mensyukuri Berbagai Nikmat Allah
Mensyukuri nikmat Allah juga merupakan jalan untuk mengatasi timbulnya penyakit dendam, karena dengan bersyukur kepada Allah seseorang akan mampu menerima segala pemberian Allah dengan hati yang lapang dan jiwa yang tenang. Ia tidak akan iri dan dengki kepada orang lain yang memperoleh nikmat. Dengan demikian penyakit dendam tidak akan timbul dalam hatinya.
Demikian pula seorang hamba yang telah beriman kepada Allah dan Rasulnya, ia sangat dianjurkan untuk bersyukur terhadap nikmat yang telah di berikan oleh Allah kepadanya.
Moh. Zuhri berkata “Seorang muslim walaupun ia hidup dalam keadaan menderita dan fakir atau sakit. Namun penderitaan dan kefakirannya itu belum seberapa jika di bandingkan dengan nikmat yang telah di berikan oleh Allah kepadanya”.[14] Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran:
bÎ)ur (#rãès? spyJ÷èÏR «!$# Ÿw !$ydqÝÁøtéB 3 žcÎ) ©!$# Öqàÿtós9 ÒOÏm§  (النحل: 18)
Artinya: Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. An-Nahl: 18).
Melihat ayat di atas, penulis dapat mengerti bahwa manusia tidak akan mampu menghitung nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. Dengan demikian sudah sepantasnyalah manusia mensyukuri terhadap nikmat Allah yang diberikan kepadanya.
Orang yang bersyukur adalah orang mampu mengatasi dendam dalam hatinya, karena ia tidak akan putus asa terhadap cobaan dan musibah yang menimpa dirinya. Ia juga tidak akan iri hati dan dengki kepada orang yang memperoleh nikmat yang merupakan salah satu faktor terjangkitnya sifat dendam. Orang yang bersyukur juga tidak akan susah kalau ia  fakir dan  miskin, ia yakin bahwa rizkinya sudah ada di tangan Allah SWT.
c.    Merasakan Keagungan Sang Pencipta dan Kedahsyatan Azab-Nya

”Seorang muslim jika ia merasakan keagungan tuhan yang maha pencipta, merasakan kedahsyatan sisksaan-Nya, merasakan keberadaan surga dan segala bentuk nikmat di dalamnya, maka ia akan taat kepadaAllah SWT., dan akan menjauhi penyakit dendam”.[15]
Orang yang takut kepada Allah akan yakin bahwa dendam merupakan suatu sifat yang sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia juga yakin bahwa orang yang bersifat dendam akan mendapatkan azab dan siksa dari Allah di hari akhirat kelak.
d.       Bertaqwa kepada Allah SWT
Surahman Hidayat dalam bukunya “Khutbah yang Menggugah” mengatakan bahwa taqwa adalah “upaya menjaga diri dari sesuatu yang menimbulkan dosa, yaitu dengan jalan meninggalkan apa saja yang dilarang oleh Allah dan melakukan apa saja yang diperintah oleh-Nya”.[16]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang bertaqwa akan menjauhi dendam kepada orang lain, karena dendam merupakan suatu perbuatan yang berdosa kepada Allah SWT.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa usaha-usaha mengatasi dendam dalam konsep tasawuf adalah: memperbanyak zikir kepada Allah, mensyukuri berbagai nikmat Allah, merasakan keagungan sang pencipta dan kedahsyatan azab-Nya dan bertaqwa kepada Allah.
3.   Dalam konsep Ishlah

Sebelum penulis membahas usaha-usaha mengatasi dendam dalam konsep Ishlah, terlebih dahulu penulis menjelaskan pengertian Ishlah itu sendiri.
Menurut Budhy Munawar Rachman dalam bukunya “Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban” mengatakan bahwa “Ishlah adalah sama dengan kata-kata shaleh dan maslahat yang mengandung makna baik dan kemaslahatan”.[17] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa “Ishlah adalah perdamaian atau mendamaikan orang yang sedang melakukan suatu pertikaian”.[18]
Sedangkan Ishlah yang di maksud dalam pembahasan ini adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mengatasi timbulnya penyakit dendam. Adapun dalam konsep Ishlah usaha-usaha yang harus dilakukan oleh seseorang untuk mengatasi timbulnya penyakit dendam adalah sebagai berikut:
a.    Menumbuhkan sikap cinta pada persatuan dan perdamaian
“Persatuan dan perdamaian merupakan suatu jalan yang untuk mengikis perasaan dendam, karena dengan adanya persatuan dan perdamaian akan hilang permusuhan antar sesama manusia”.[19]
Dengan demikian, apabila seseorang dapat menumbuhkan sikap cinta perdamaian dan persatuan, maka sikap dendam yang tersimpan dalam hatinya akan mudah dihilangkan.
b.   Menumbuhkan sikap suka memaafkan kesalahan orang lain.
“Sikap saling memaafkan merupakan suatu sikap yang sangat dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, karena dengan sikap ini akan timbul sebuah perdamaian dalam kehidupan, sehingga orang yang suka memaafkan kesalahan orang lain akan mampu mengatasi timbulnya penyakit dendam dalam hatinya”.[20]
Demikian pula orang yang suka memaafkan kesalahan orang lain, ia juga yakin bahwa setiap manusia tidak akan pernah luput dari dosa dan kesalahan. Dengan demikian ia tidak akan merasa berat untuk memaafkan kesalahan orang lain.
c.    Bersikap lemah lembut kepada orang lain.
Orang yang ingin sembuh dari penyakit dendam, ia harus bersikap lemah lembut kepada orang lain. Terutama orang yang telah menyakiti perasaannya, sebab sikap lemah dan kasih sayang akan mengurangi rasa kebencian kepada orang lain. Sikap ini akan terwujud apabila seseorang mampu menghindari dari dendam kepada orang lain.
d.   Beriman dan beramal shaleh dengan sebenarnya
Iman dan amal shaleh merupakan dasar utama untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. [21]
Orang yang beriman dan beramal shaleh adalah termasuk orang mampu menghilangkan atau mengatasi penyakit dendam yang timbul dalam hatinya. Dengan demikian ia akan mendapatkan tempat yang baik disisi Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran:
 ô`tB Ÿ@ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhŠsÛ ( óOßg¨YtƒÌôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ    (النحل: 97)
Artinya: “Siapa saja yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun  perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Q.S. An-Nahl: 97).[22]
e.    Berakhlak mulia kepada orang lain
Di antara jembatan untuk mengatasi timbulnya penyakit dendam adalah berperilaku baik kepada orang lain melalui ucapan maupun perbuatan. Karena akhlak yang mulia tidak akan timbul pada orang-orang yang menyimpan perasaan dendam. Akan tetapi hanya orang-orang yang berakhlak baiklah yang mampu mengatasi timbulnya perasaan dendam.
Moh. Zuhri dalam bukunya “Himpunan Khutbah Jum’at” mengatakan bahwa  ”Berakhlak atau berprilaku mulia juga merupakan suatu kebaikan yang sangat mulia disisi Allah, karena orang yang baik bukanlah orang yang hanya mampu melakukan ibadah kepada Allah semata. Akan tetapi ia juga harus mampu melakukan hubungan baik dengan sesamanya”.[23] Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran yang berbunyi:                      
žw uŽöyz Îû 9ŽÏVŸ2 `ÏiB öNßg1uqôf¯R žwÎ) ô`tB ttBr& >ps%y|ÁÎ/ ÷rr& >$rã÷ètB ÷rr& £x»n=ô¹Î) šú÷üt/ Ĩ$¨Y9$#  `tBur ö@yèøÿtƒ šÏ9ºsŒ uä!$tóÏFö/$# ÏN$|ÊósD «!$# t$öq|¡sù ÏmŠÏ?÷sçR #·ô_r& $\KÏàtã (النساء:114)

Artinya: Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau Mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (Q.S. An-Nisa’: 114).

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa  dalam konsep ishlah usaha-usaha yang harus dilakukan oleh seseorang untuk mengatasi timbulnya penyakit dendam adalah: menumbuhkan sikap cinta persatuan dan perdamaian, menumbuhkan sikap saling menghargai dan menghormati orang lain, menumbuhkan sikap suka memaafkan kesalahan orang lain, bersikap lemah lembut kepada orang lain, Beriman dan beramal shaleh dengan sebenarnya dan berakhlak mulia kepada orang lain.




               [1] M. Nasikin, Ayo Belajar Agama Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007), Hal. 37.

               [2] Ibid., hal. 40.

[3] Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Menyucikan Jiwa, (Jakarta: Gema Insani Pres, 2005), hal. 217.

[4] Imam Nawawi, Terjemahan Riyadhus Shalihin…,  hal. 390.

               [5] Ibid., hal. 293.
[6] Ibid.,  hal. 216.

[7] Ibid., hal. 217.

[8] Imam Nawawi, Terjemahan Riyadhus Shalihin…, hal. 391.

[9] Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Menyucikan Jiwa…, hal. 220.

[10] Imam Nawawi, Terjemahan Riyadhus Shalihin…,  hal. 246.
               [11] Damanhuri Basyir, Ilmu Tasawuf, (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2005), hal. 2.

               [12] Shaleh Ahmad Asa-Syaami, Berakhlak dan Beradab Mulia, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 43.
[13] Ibid., hal. 44.
               [14] Moh. Zuhri, Himpunan Khutbah Jum’at, (Jakarta: Pustaka Amani, 1988),  hal. 202.
[15] Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Menyucikan Jiwa…, hal. 215.
              
               [16] Surahman Hidayat, Khutbah yang Menggugah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), hal. 20.
[17] Budhy Munawar Rachman, Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, (Jakarta: Pustaka Mizan, 2006), hal. 1121.

[18] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 444.

               [19] Shaleh Ahmad Asa-Syaami, Berakhlak dan Beradab Mulia…, hal. 46.
               [20] Ibid., hal. 47.

[21] Shaleh Ahmad Asa-Syaami, Berakhlak dan Beradab Mulia..., hal. 45.
[22] Departemen Agama RI, Mushaf Al-Quran Terjemah..., hal. 293.

               [23] Moh. Zuhri, Himpunan Khutbah Jum’at…, hal. 255.