BAB II
Wanita Karier Dalam Pandangan Islam
A. Peranan Wanita dalam Islam
Wanita dalam Islam dapat mempersiapkan
dirinya secara mantap untuk membina keluarga yang baik, sehingga dapat
memainkan peranannya sebagai pendidik utama dalam keluarganya. Untuk itu,
sebagai seorang wanita yang kelak akan menjadi ibu dituntut untuk memiliki
kriteria sebagai berikut: Beriman dan bertaqwa, berilmu dan beramal saleh,
amanah dan jujur, ikhlas dan sabar, berakhlak mulia, sehat jasmani dan rohani,
dewasa dan berwibawa, terampil teguh pendirian.[18]
Untuk mempersiapkan wanita agar
kelaknya menjadi pendidik bagi keluarga, maka sebaiknya kaum wanita dapat
menggunakan hak dan kewajibannya dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam
masalah pendidikan, ibadah maupun pekerjaan. Kewajiban yang dituntut pada
seorang wanita adalah kewajiban sebagai ibu, artinya wanita sebagai ibu mampu
memberikan sesuatu yang terbaik bagi keluarganya kelak, oleh sebab itu
hendaknya wanita mengawali semua tindakan sehari-hari dengan sifat yang baik,
di samping berperan sebagai ibu wanita juga berperan sebagai istri yang harus
menanamkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral Islam dalam keluarga, dalam
hal ini wanita dalam Islam mempunyai dua peran yaitu:
- Wanita Berperan
Sebagai Ibu
Wanita dalam keluarga berperan sebagai
ibu, yang merupakan orang pertama sekali dikenal oleh anak, dan berusaha untuk
memberikan perhatian sepenuhnya terhadap sang anak, baik pada saat dia masih
berada di dalam kandungan, pada saat dia dilahirkan, dan juga yang memberi
perhatian penuh terhadap masalah pendidikannya, seperti dikemukakan oleh
Muhammad Al-Toumy bahwa: “Perilaku ibu sewaktu mengandung sudah berpengaruh
terhadap janin yang dikandungnya”.[19] Dengan demikian proses
pendidikan terhadap anak sudah dimulai sejak anak dalam kandungan. Oleh karena
itu ibu harus berusaha menjaga kondisi fisik dan mental sejak dari mengandung
sampai anak menjadi dewasa.
Kedudukan seorang ibu dalam keluarga
sangatlah strategis, khususnya dalam membangun pribadi-pribadi yang
dipercayakan Allah kepada masing-masing keluarga. Namun demikian banyak orang
yang menyepelekan peran ibu dalam membangun keluarga, terutama dalam mengurus
anak-anak dan rumah tangga. Akan tetapi harus kita renungkan betapa banyak
tugas yang dikerjakan ibu dan betapa besarnya pengorbanan yang dilakukannya.[20]
Islam telah mewasiatkan agar ibu
diperlakukan dengan baik, lemah lembut, agar orang-orang muslim menghormati
sang ibu dan menjadikan wasiat tersebut sebagai pengesaan terhadap Allah dan
pengabdian terhadap-Nya, sebagaimana Islam menjadikan hak ibu lebih kuat dari
hak seorang ayah, hal itu terjadi karena sang ibu mengalami banyak kesusahan
dalam melahirkan seorang anak, baik pada saat ia sedang mengandung, pada saat
ia melahirkan, pada saat ia menyusui, maupun pada saat ia mendidik.[21]Allah SWT berfirman:
ووصينا الإنسان بوالديه حملته أمه وهنا على وهن وفصاله في عامين أن اشكرلي ولوالديك إلي المصير )لقمان:١٤(
Artinya: “Dan Kami perintahkan
kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya: ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam
dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang
ibu bapakmu, hanya kepada Ku-lah kembalimu”. (Al-Lukman: 14)
Dan Allah memerintahkan kepada
hamba-Nya, agar berbakti dan berbuat baik kepada kedua ibu bapaknya karena
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah ditambah kelemahan si janin,
kemudian setelah lahir memeliharanya dengan menyusuinya selama dua tahun, maka
hendaklah engkau bersyukur kepada Allah dan bersyukur kepada kedua orang tuamu.[22]
Dengan demikian menjadi seorang ibu yang baik
bukanlah hal yang ringan, oleh karena itu seorang ibu mempunyai peran yang
agung dan berani memikul segudang tanggung jawab serta risiko dalam mengandung,
melahirkan, menyusui, membimbing dan menancapkan nilai-nilai aqidah kepada
anaknya. Untuk melahirkan dan mengasuh mungkin semua ibu bisa melakukannya,
namun untuk membimbing, mendidik, dan menanamkan nilai aqidah hanya ibu sejati
yang dapat melakukannya, oleh karena itu ibu yang baik tidak mungkin tega bila
sesuatu yang buruk terjadi pada anaknya.
Seorang ibu memiliki peran yang
penting dalam proses pendidikan anak sejak dini, sebab ibulah sosok yang
pertama sekali berinteraksi dengan anak, sosok pertama yang memberi rasa aman,
dan sosok pertama yang dipercaya dan didengar omongannya, karena ibu menjadi
sekolah pertama bagi anak-anaknya. Peran ibu sangat menentukan kualitas
masyarakat dan negaranya, sedemikian penting peran ibu dalam menentukan masa
depan masyarakat dan negaranya, sampai kaum perempuan (ibu) diibaratkan tiang
negara.
Selanjutnya, Islam memandang posisi ibu
sebagai posisi yang paling penting dalam membina generasi Islam dalam rumah
tangga dan masyarakat. Sehingga Rasulullah menempatkan posisi ibu yang utama
bagi anaknya, sebagai mana sabda nabi SAW:
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : جاء رجل الى رسول الله ص م : يا رسول الله من احق الناس بحسني صحابتي؟ قال امك. قال ثم من؟ قال امك. قال ثم من؟ قال امك. قال ثم من؟ قال ابوك ) .متتفق عليه(
Artinya: “Dari
Abu Hurairah berkata: Datanglah seorang kepada Nabi SAW dan bertanya: Siapakah
yang berhak aku layani dengan sebaik-baiknya? Nabi menjawab: ibumu. Kemudian
siapa? Nabi menjawab: Ibumu, kemudian siapa? Nabi menjawab: ibumu. Lalu siapa?
Nabi menjawab: ayahmu”. (Muttafaqun ‘Alaihi).[23]
Dalam rangka memuliakan ibu dan mengangkat kedudukannya,
Islam memerintahkan semua orang supaya taat kepada ibunya, berbuat baik
kepadanya, menghormatinya, serta memberikan segala sesuatu yang bagus, baik,
patut kepadanya.
Dalam hal ini sudah jelas dikatakan bahwa
pendidikan utama dan pembina utama dalam membentuk kepribadian anak adalah ibu,
karena pada tahun pertama dari pertumbuhan anak akan lebih banyak berhubungan
dengan ibunya dari pada ayahnya. Firman Allah surat al-Baqarah ayat 233:
والوالدات يرضعن أو لادهن حولين كاملين لمن أراد أن يتم الرضاعة.... )البقرة: ٢٣٣(
Artinya: “Para
ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan....” (Al-Baqarah: 233)
Ayat ini menjelaskan bahwa kewajiban
dan tanggungjawab seorang ibu dalam menyusukan anak sangatlah besar, bahkan
binatang-binatang yang membesarkan anaknya dengan air susu pun tidak
menyerahkan kepada induk yang lain buat menyusukan anaknya, dan kalau penyusuan
di sia-siakan berdosalah dia dihadapan Allah.[24]
Dengan demikian, dalam menyusukan anak
seorang ibu harus mencurahkan kasih sayangnya kepada anaknya, karena Islam
telah mengatur bahwa seorang ibu harus menyusukan anaknya sampai genap berusia
dua tahun, agar perkembangan fisik dan psikis mereka sempurna.
Dalam hal ini proses menyusui itu memiliki
arti penting tersendiri dalam proses tumbuh kembang anak, bukan semata karena
air susu ibu ada zat yang sangat dibutuhkan dalam memelihara kecerdasan dan
kelangsungan hidup anak, tetapi dalam proses menyusui itu pula ada kehangatan interaksi
ibu dan anak yang sangat dibutuhkan dalam membangun kualitas tumbuh kembang
anak.[25]
Kehadiran ibu dalam perkembangan jiwa
anak amat penting bila anak kehilangan peran dan fungsi ibunya, sehingga dalam
proses tumbuh kembangnya anak kehilangan pembinaan, bimbingan, kasih sanyang
dan sebagainya, maka anak akan mengalami “Deprivasi Maternal ”
(kehilangan yang berhubungan dengan ibu). Deprivasi maternal dengan
segala dampaknya dalam perkembangan dapat terjadi tidak hanya jika anak
semata-mata kehilangan figur ibu secara fisik, tetapi juga dikarenakan peran
ibu amat penting dalam proses imitasi dan indentifikasi anak terhadap ibunya.
Deprivasi maternal pada anak usia dini jauh lebih besar pengaruhnya dari pada
anak pada usia yang lebih besar. Keadaan ini menyebabkan hubungan kasih sayang
antara ibu dan anak terputus.
Pada awal perkembangan anak memerlukan
stimulasi dini yang diberikan oleh ibu melalui panca indra fungsi-fungsi mental
emosional agar anak terpacu dan berkembang. Anak-anak yang dibesarkan dalam
keluarga yang mengalami deprivasi maternal juga mempunyai resiko tinggi untuk
menderita gangguan perkembangan kepribadiannya, yaitu perkembangan mental
intelektual, mental emosianal bahkan perkembangan psikososial dan spiritualnya.
Tidak jarang bagi mereka bila kelak telah dewasa akan memperlihatkan berbagai
prilaku menyimpang, anti sosial, bahkan tidak kriminal.[26]
Mengingat ibu adalah yang utama yang
dapat diandalkan oleh semua bangsa dalam mendidik anak-anak, dia haruslah orang
yang berakal, pintar, arif, bijaksana, terpelajar dan sempurna.[27] Oleh karena itu hendaknya
seorang ibu berhati-hati bertindak di hadapan anak dan di dalam perlakuannya
terutama ketika anak dalam usia balita. Dimana pada usia tersebut kemampuan
anak baru sebatas menangkap dan meniru apa yang di indrai dari sekelilingnya.
Jadi anak akan dengan mudah menirukan apa yang dilihat, di dengar, dan
dirasakan tanpa mengerti arti dan maksud sebenarnya.[28]
Seorang ibu menjadikan dirinya tempat
pengaduan anak, artinya ibu dapat menjadi pembimbing, pengarah dan pemberi
fasilitas bagi anaknya. Juga ibu boleh ikut mencampuri urusan anak bila
dipandang perlu ibulah yang mendidik anak dalam rumah tangga dan dari padanya
pula dapat diwarisi sifat-sifat yang baik, karena ibu yang banyak bergaul
dengan anak, tugas ibu tidak cukup mendidik anaknya dalam lingkungan keluarga,
ibu juga harus membina anaknya untuk mengenalkan lingkungan yang lebih luas
serta membekali anaknya dengan semangat hidup dan membiasakan anak-anak dengan
hal-hal yang baik pula, hal ini bukanlah tugas yang ringan bagi ibu. Mengingat
begitu berat tugas ibu maka ibu mendapat kedudukan yang sangat terhormat dalam
rumah tangga begitu juga dalam masyarakat, sebagaimana
sabda nabi SAW:
عن انس رضي الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : الجنة تحت اقدم الامهات) رواه احمد (
Artinya: “Dari
Anas r.a bersabda Rasulullah SAW: Surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu”.
(HR. Ahmad)[29]
Kandungan hadits di atas menunjukkan
bahwa Islam menjunjung tinggi derajat para ibu, ia ditempatkan pada posisi yang
sangat terhormat di dunia ini tidak ada yang boleh menghinanya dan seorang anak
juga harus berbuat baik kepada ibu disamping ibu harus menjaga anak-anak dan
menjadikan anak mendapat kehidupan surgawi di dunia dan di akhirat, sehingga
dalam kesempatan ini ibu dapat mengembangkan Islam atau beribadat dalam tingkat
rumah tangga karena telah mendidik anak-anaknya dengan baik, ini merupakan
tugas orang tua terutama ibu dalam mengislamisasikan generasi penerus. Hal ini
berarti seorang ibu harus mempunyai pengetahuan yang memadai dan pendidikan
anak pun tidak bisa dilaksanakan sambilan saja, apalagi menyerahkan sepenuhnya
ke sekolah atau masyarakat.
- Wanita Berperan
Sebagai Istri
Dalam membina rumah tangga peranan
wanita atau istri sangatlah besar, karena selain mendukung tugas suami
kelangsungan hidup berkeluarga dan tanggung jawab membina rumah tangga serta
mengurus anak-anak adalah tugas seorang istri,
kebahagiaan dan kesengsaraan sebuah rumah tangga sangat ditentukan oleh
seorang istri meskipun anggota yang lain juga ikut berperan dalam urusan rumah
tangga. Berkenaan dengan ini Zakiah Daradjat berpendapat:
Istri yang bijaksana dapat menjadikan rumah
tangganya sebagai tempat yang paling aman dan menyenangkan bagi suaminya, ia
dapat menjadikan dirinya sebagai teman baik yang memberikan ketenangan dan
kebahagiaan bagi suaminya, ia dapat meredamkan hati suami yang sedang marah,
mendinginkan hati suaminya yang sedang panas, menjadikan dirinya sebagai tempat
penumpahan segala emosi, kesal, kecewa atau kesedihan suami dapat didengar dan
dirasakannya, akhirnya ketenangan jiwa suami akan segera pulih kembali.[30]
Seorang istri juga harus mampu
mengatur rumah tangganya dengan baik, ia harus menjadikan rumah tangganya
sebagai pusat ketenangan dan ketenteraman bagi keluarganya. Untuk itu seorang
istri hendaknya pandai membuat rumah menjadi nyaman, hal ini tentu bukan
berarti rumah harus dilengkapi dengan perabotan mewah, di luar batas kemampuan
ekonomi. Tetapi menata seindah mungkin dan menjaga kebersihan sehingga enak
dipandang. Sabda Nabi SAW:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : سعادة لابني ادم ثلاث : وسقاوة لابني ادم ثلاث فمن سعادة ابني ادم الزوجة الصالحة. والمركب الصالح والمسكن الواسع وسقاوة لا بني ادم ثلاث المسكن السؤ والزوجة السؤ والمركب السؤ).روه احمد(
Artinya: “Bersabda Rasulullah SAW,
kebahagiaan bagi anak Adam ada tiga dan kesengsaraan bagi anak Adam ada tiga.
Maka di antara yang membahagiakan anak Adam adalah istri yang saleh, kendaraan
yang baik serta rumah yang lapang. Dan kesengsaraan bagi anak Adam ada tiga
yaitu tempat yang tidak baik, istri yang tidak baik dan kendaraan yang tidak
baik”. (HR. Ahmad)[31]
Bagi seorang istri ia mempunyai
kewajiban yang bersifat psikis artinya ia harus menyiapkan dirinya untuk
dijadikan tempat pengaduan bagi suami, maupun diajak berdiskusi dan
bermusyawarah dalam memecahkan semua persoalan. Sehingga ia dapat mengerti,
memahami dan meringankan beban suaminya dan membuat suami merasa leluasa tenang
dan tenteram dari hal-hal yang menyesatkan, begitu juga dengan suami harus
berbuat baik terhadap istri sebagaimana layaknya. Firman Allah dalam surat Ar-Rum
ayat 21 sebagai berikut:
ومن أياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون) الروم: ٢١(
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (
Ar-Rum: 21).
Allah menciptakan manusia terdiri atas
dua jenis laki-laki dan perempuan agar saling isi-mengisi kebutuhan hidup di
dunia ini dan menjadikan tenteram dengan adanya rasa kasih sayang diantara
keduanya. Maka sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah yang maha bijaksana, bagi orang-orang yang mau berpikir.[32] Dengan demikian Allah
telah menjadikan bahwa dalam satu rumah tangga harus ada rasa kasih sayang diantara
keduanya agar tercipta rumah tangga yang harmonis dan mereka berkewajiban
mengurus rumah tangga dan anak-anaknya dengan sebaik mungkin dan mereka juga
dikategorikan sebagai salah satu penyebab dari pada kebahagiaan dalam suatu
rumah tangga.
B. Kedudukan Wanita Karier
dalam Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam wanita mempunyai
kedudukan yang sangat tinggi dan terhormat dan dapat berperan sesuai dengan
kemampuannya, Islam mengakui profesi kaum wanita. Oleh sebab itu, profesi
wanita dan kariernya diakui sesuai dengan kemampuannya secara kodrat.
Bagi wanita yang menjadi wanita karier
bukanlah pekerjaan yang gampang, karena wanita harus memainkan peran ganda,
yakni pekerjaan diluar rumah untuk meniti karier dan mengurus rumah tangga.
Dengan demikian seorang wanita karier harus memenuhi beberapa persyaratan agar
dapat memainkan peran ganda tersebut diantaranya:
1.
Memilih kesiapan mental, keberanian memikul tanggung jawab dan tidak tergantung kepada orang lain, kebiasaan
bekerja keras, tekun dan disiplin.
2. Memiliki kesiapan jasmani,
mampu mengembangkan keharmonisan hubungan antara karier dan rumah tangga,
memiliki pergaulan yang luas tetap dapat menjaga harga diri sehingga dapat
terhindar dari gosip.
3. Mampu menggunakan peluang dan
kesempatan yang baik.
4. Mempunyai pendamping yang
mendukung gagasan-gagasannya.[33]
Dalam hal ini Islam mengakui hak-hak
yang berhubungan dengan pekerjaan dan profesi antara laki-laki dan wanita.
Dalam perfektif Islam wanita tidak dibebani mencari nafkah, baik untuk dirinya
sendiri apalagi untuk orang lain, yang bertanggung jawab adalah ayahnya jika ia
belum berkeluarga, jika ia sudah berkeluarga maka suaminya yang bertanggung
jawab, saudara laki-laki dan pamannya jika ayah dan suaminya tidak ada. Hal ini
akan memberikan peluang kepada wanita untuk dapat mendidik anak-anaknya,
mengurus suaminya, sehingga dapat dilindungi dari pelecehan dan penistaan.
Namun wanita bekerja dan mendapat
penghasilan untuk membantu meringankan beban keluarga bukanlah suatu yang
haram. Pada prinsipnya Islam mengarahkan kepada kaum wanita supaya dalam
bekerja harus mengutamakan tugas dan fitrahnya, yaitu mengurus rumah tangga dan
mendidik anak-anaknya agar kelak dapat dipersiapkan menjadi penerus risalah
yang dibawa Rasul. Seorang wanita tidak melanggar fitrah dan syariat yang telah
ditetapkan, hendaklah wanita tetap menjaga kehormatan keluarga, sehingga tidak
muncul peluang bagi kerusakan moral dan tersebarnya fitnah terhadap wanita di
tengah masyarakat. Dengan memperhatikan peraturan tersebut, wanita tetap dapat
menjaga jati dirinya sebagai hamba Allah yang shalihah, ia tetap menjaga harkat
dan martabat dirinya dan keluarganya, sehingga kemampuan ilmu yang ada pada
dirinya dapat bermanfaat untuk orang lain dan dapat membantu meringankan beban
keluarga tanpa harus mengorbankan harga dirinya.[34]
Adanya
hak yang sama antara pria dan wanita dalam prestasi, menunjukkan ajaran Islam
mengakui kedudukan wanita dalam berkarier, melalui hak ini wanita di sejajarkan
dengan pria dalam berprestasi, sehingga karier seorang wanita diakui,
tergantung pada usaha dan do’anya karena disisi Allah kedudukan mereka sama.
Untuk menerapkan persamaan hak antara
kaum wanita dan pria dalam prestasi kerjanya, Nabi Muhammad SAW mengakui antara
kaum wanita dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama dan mendapat jasa yang
serupa dengan prestasi yang sama karena, pada zaman sebelum kedatangan Islam,
penghargaan yang diberikan terhadap jasa dan prestasi seorang wanita berbeda dengan
penghargaan yang diberikan terhadap laki-laki, walaupun jasa dan prestasinya
sama. Prestasi kaum wanita dianggap lebih rendah dari kaum laki-laki.
Sehubungan dengan kenyataan ini, Allah
SWT mengangkat keberadaan wanita dan menjelaskan kesamaan mereka dengan kaum
laki-laki karena hak kaum wanita telah dirampas sebelum kedatangan Islam,
dengan demikian Allah menyamakan kedudukan mereka dari segala hal. Firman Allah
SWT dalam surat An-Nahl ayat 97 sebagai berikut:
من عمل صالحا من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة ولنجزينهم أجرهم بأحسن ما كانو يعملون )
النحل:٩٧(
Artinya: “Barang siapa yang
mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan”. (An-Nahl: 97)
Ayat
ini menjelaskan bahwa amal yang shalih atau perbuatan dari hasil-hasil
pekerjaan yang baik dengan iman itu samalah kedudukan diantara laki-laki dan
perempuan. Masing-masing sama-sama sanggup menumbuhkan iman dalam hatinya dan
masing-masingpun sanggup akan berbuat baik. Maka tidaklah kurang tanggung jawab
orang perempuan dari pada laki-laki didalam menegakkan iman kepada Allah. Oleh
sebab itu laki-laki dan perempuan dengan iman dan amal shalihnya sama-sama
dijanjikan Allah akan diberi kehidupan yang baik (Hayatan Thayyibah).[35]
Dengan demikian dalam pandangan Islam
laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama, keduanya mendapat pahala
yang sama disisi Allah sesuai dengan tingkat keimanan dan amal yang mereka
lakukan. Dengan demikian, Islam menghargai wanita dalam berkarier sehingga
karyanya dianggap sejajar dengan pria dan diakui sebagai angkatan kerja yang
dapat berprestasi dalam segala bidang, yang memungkinkan bagi wanita untuk
bekerja.
Kedudukan wanita dalam Islam juga
diperkuat dengan diakuinya hak usaha dan profesi. Untuk mengakui kedudukan
wanita dalam berkarier, Islam mengakui hak usaha dan profesi kaum wanita, hal ini
menunjukkan bahwa Islam tidak menghambat wanita dalam berprofesi atau berkarier
dalam suatu jenis pekerjaan.
Dalam hal ini Islam tidak membatasi dan
menghalangi kaum wanita untuk berusaha atau berkarier dalam rangka memenuhi
kebutuhan dan kesejahteraan hidup sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya,
karena begitu banyak peran untuk wanita dalam memperoleh suatu profesi untuk
bekerja, dengan demikian Nabi Muhammad SAW membela kaum wanita dari segala
bentuk penindasan kaum Jahiliyah. “Islam memandang umat manusia itu sama, tidak
ada perbedaan antara pria dan wanita sebagai angkatan kerja. Allah menyuruh
wanita maupun pria agar bisa bekerja sama, saling tolong-menolong, baik dalam
rangka kepentingan pekerjaan (karier) maupun untuk kepentingan lainnya”.[36]
Nabi Muhammad SAW sangat menyayangi,
mencintai dan menghormati kaum wanita dalam pergaulan hidup sehari-hari, selalu
mempergunakan cara yang lembut, baik perkataan maupun tindakannya terhadap kaum
wanita. Dalam pandangan Islam, peran laki-laki dan wanita dilihat dalam hal
saling melengkapi satu sama lain bukan komperatif, mereka harus menjalankan
ibadat-ibadat yang sama, dan di hadapan Allah harus mempertanggung jawabkan apa
yang telah mereka kerjakan selama di dunia ini. Dengan demikian dapat dikatakan
dalam hubungannya dengan realitas sesama makhluk manusia bahwa posisi mereka
adalah sama, tetapi dalam tindakan duniawi, yakni dalam tingkatan psikologis,
biologis dan sosial, mereka satu sama lain saling melengkapi.
Untuk mengangkat harkat dan martabat
kaum wanita, Islam menegaskan bahwa dalam tatanan sosial tugas-tugas harus
dibagi sesuai dengan kodratnya. Laki-laki melaksanakan sesuatu yang
memungkinkan dan sesuai dengan kemampuannya sebagai laki-laki dan wanita
melaksanakan sesuatu yang sejajar dengan hakikat kewanitaannya. “Agama Islam
menghendaki agar wanita melakukan pekerjaan atau karier yang tidak bertentangan
dengan kodrat kewanitaan mengungkung haknya dalam bekerja kecuali pada
aspek-aspek yang dapat menjaga kehormatan dirinya, kemuliaan, dan ketenangannya
serta menjaga dari pelecehan dan pencampakan”.[37] Dengan demikian pembagian
tugas dan tanggung jawab kerja ini menunjukkan Islam sangat memperhatikan aspek
kemampuan dan kesanggupan wanita dalam berkarier.
Lebih luas, Islam tidak hanya mengakui
hak-hak wanita dalam berkarier, akan tetapi juga hak-hak lainnya. Seperti yang
diutarakan oleh Sayid Sabiq yaitu:
Dalam ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh
syari’at Islam, tampak jelas agama Islam telah mengangkat derajat kaum wanita.
Jika wanita pasangan hidup pria, berarti menyamai sebagai manusia. Maka dengan
sendirinya wanita memiliki segala hak dan kewajiban yang dimiliki oleh pria,
seperti hak milik, hak warisan, hak membuat perjanjian dan persekutuan, hak
menguasai harta benda, hak berusaha, hak memilih suami dan menentukan nasibnya
sendiri.[38]
Dengan demikian menurut pandangan
Islam wanita mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki sesuai dengan
kodrat kewanitaannya, dalam lapangan kerja terbukti bahwa Islam mengakui
kedudukan wanita dengan memberikan hak profesi dan hak berusaha agar mereka
bisa berkarier menurut potensi kewanitaannya.
C. Hak dan Kewajiban Wanita
Karier dalam Rumah Tangga
Dalam keluarga pria dan wanita sebagai
orang tua dalam rumah tangga mempunyai kewajiban tertentu terhadap
anak-anaknya. Kewajiban utama terhadap anak adalah pendidikannya, pada dasarnya
yang bertanggung jawab atas pendidikan adalah orang tua, dalam hal ini menurut
Zakiah Daradjad ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan orang tua terhadap
anak-anaknya adalah sebagai berikut:
1.
Memelihara dan membesarkan anak, ini adalah bentuk yang paling sederhana dan tanggungjawab setiap orang tua
dan merupakan dorongan alam untuk memperhatikan kelangsungan hidup manusia.
2.
Melindungi dan menjamin kesamaan, baik jasmani maupun rohani, dari berbagai
gangguan penyakit dari penyelewengan kehidupan dan tujuan hidup yang sesuai
dengan falsafah hidup dan agama yang dianutnya.
3.
Memberikan pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang
untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin yang dapat
di capainya.
4.
Membahagiakan anak, baik didunia maupun diakhirat, sesuai dengan pandangan
dan tujuan hidup muslim.[39]
Untuk itu Islam tidak membedakan hak
antara pria dan wanita dalam segala bidang, wanita mempunyai hak, kewajiban,
dan peluang yang sama dengan kaum pria begitu juga wanita mempunyai kesempatan
berkarier dengan tidak melalaikan fungsi dan kedudukannya di rumah, yaitu
sebagai istri yang baik bagi suaminya
dan bertanggung jawab bagi anak-anaknya.
Dalam hal ini wanita mempunyai
kemuliaan dan ketinggian yang dicapainya sejauh mana ia menikmati hak-hak yang
dapat menjaganya, memuliakannya, melindunginya dan menghargainya. Dengan
demikian Islam telah memberikan hak-hak kepada wanita yaitu:
a.
Hak untuk hidup, dalam hal ini wanita mempunyai hak yang sama dengan pria, tanpa ada perbedaan sedikitpun,
bahkan wasiat untuk menjaga hak wanita dalam hal ini lebih kuat dan dominan.
b. Hak mendapat kemuliaan
sebagai keturunan Adam. Pria dan wanita tidak ada perbedaan sedikitpun.
c. Persamaan antara pria dan
wanita dalam mendapatkan balasan, baik di dunia maupun di akhirat.
d. Hak dalam mengemukakan
pendapat dan musyawarah.
e. Hak ekonomi, Islam telah
memberikan kepada wanita kebebasan penuh untuk mengelola dan mengatur urusan
ekonomi, baik yang terkait dengan harta, kepemilikan, perdagangan dan kebebasan
penuh untuk menggunakan maharnya bila ia sudah bersuami dan juga mempunyai
wewenang untuk melakukan akad jual beli, persewaan, serikat, pegadaian dan lain
sebagainya.
f. Hak mendapatkan perlakuan
yang baik.
g. Hak mendapatkan pengajaran.
h. Hak memilih suami.
i. Hak mendapat nafkah.
j. Hak mendapat warisan.
k. Hak mendapa mahar.
l. Hak untuk bemesraan.
m. Hak untuk menyusui anak dan
mendapat nafkah atas hal tersebut.
n. Hak untuk merawat anaknya.
o. Hak mendapat nafkah karena
‘Iddah (masa menunggu setelah dicerai suaminya.
p. Hak untuk beraktivitas
(bekerja).
q. Hak untuk ikut berpatisipasi
dalam masalah-masalah yang muncul di tengah masyarakat.[40]
Dengan demikian wanita dalam Islam mempunyai
hak-hak sendiri disamping kewajiban yang harus dikerjakannya. Islam telah menyamakan
antara pria dan wanita dalam hal-hal yang keduanya sama dalam soal keahlian.
Tetapi, Islam juga membedakan antara keduanya dalam hal-hal yang berbeda sesuai
menurut kadar perbedaannya.[41] Firman Allah SWT surat
Al-Baqarah ayat 228:
... ولهن
مثل
الذي
عليهن
بالمعروف)
... البقرة
: ٢٢٨(
Artinya: “...Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
makruf....” (Al-Baqarah: 228).
Dengan demikian wanita dalam Islam juga mempunyai hak dan kewajiban
tersendiri dalam rumah tangga, sebagaimana juga orang laki-laki ada hak dan ada
kewajiban. Bukan saja wanita hanya wajib patuh pada suami, tidak boleh
membantah dan selalu wajib taat, akan tetapi wanita juga mempunyai hak buat
dihargai, berhak atas hak miliknya sebagaimana berhaknya atas dirinya.[42]
Terkait dengan persoalan ini, Harun
Nasution mengungkapkan:
Pria dan wanita sama-sama mempunyai
hak dan tanggung jawab tertentu. Hukum Islam menetapkan pria dan wanita
merupakan prilaku-prilaku yang bertanggung jawab mereka yang sama-sama diminta
untuk mempertanggung jawabkan. Islam juga memberikan kepada wanita martabat kemanusian
yang sama dengan laki-laki, diperlakukan secara hormat, bebas menentukan
pilihan, kebebasan mengemukakan pendapat dan bebas bertindak, apakah itu
belajar, mengajar, mewarisi, berdagang serta perbuatan-perbuatan lain dalam
kehidupan sehari-hari.[43]
Akan tetapi mengingat adanya kelebihan
dan kekurangan diantara keduanya, Islam melebihkan kaum pria satu derajat di
atas kaum wanita karena kaum laki-laki adalah pemimpin (pelindung) bagi kaum
wanita. Firman Allah SWT:
الرجال قوامون علي النساء بما فضل الله بعضهم علي بعض )النساء :٤ ٣(
Artinya: “Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita)”(An-Nisa’:
34).
Ayat diatas menjelaskan bahwa kaum
laki-laki adalah pemimpin, penguasa, kepala dan kaum pendidik bagi kaum wanita,
karena kaum laki-laki mempunyai kelebihan diatas kaum wanita yang dibuktikan
dengan kekhususannya tugas kenabian dan kerasulan hanya bagi kaum laki-laki.[44]
Dengan demikian wanita dalam rumah
tangga yang berperan sebagai istri mempunyai kewajiban tersendiri yaitu:
a. Taat kepada suami, sebaik-baiknya
sifat yang dimiliki istri adalah taat
kepada suami yang akan tercipta kedamaian dan
kebahagiaan, ini merupakan hal
yang lebih utama dari pada melakukan ibadah-ibadah sunnah yang lain, Rasulullah
SAW bersabda:
عن ابي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لا يحل للمرأة أن تصوم وزوجها شاهد إلا بإذنه )
رواه البخارى(
Artinya: “Dari
Abu Hurairah r.a. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Tidak di bolehkan bagi
seorang istri untuk berpuasa (sunnah) sedang pada saat itu suaminya ada di sisinya
kecuali atas seizinnya”. (HR.Bukhari)[45]
Al-Hafidz
Ibnu Hajar berkata: Hadist ini menunjukkan bahwa lebih diutamakan kepada
seorang istri untuk memenuhi hak suami dari pada mengerjakan kebajikan yang
hukumnya sunnah, karena hak suami itu wajib, sementara menunaikan kewajiban
lebih didahulukan dari pada menunaikan perkara yang sunnah ini merupakan bukti
besar hak suami atas istri.[46] Allah SWT telah
mewajibkan istri untuk menaati suaminya dalam segala hal yang didalamnya tidak
terdapat pelanggaran agama dan maksiat kepada Allah.
b. Menjaga harta suami, rahasia
suami dan kehormatannya di saat suami tidak ada di rumah, ini merupakan salah
satu kewajiban wanita karier sebagai istri dalam membina keluarga yang baik.
Rasulullah SAW menyatakan sebai-baiknya istri adalah bila engkau memandangnya
menyenangkanmu, bila engkau memerintahkan ia mematuhimu, bila engkau berjanji,
diterimanya dengan baik, dan bila engkau berpisah (tidak berada di rumah) ia
menjaga dirinya dan bertamu dengan baik.
Sebagai konsekwensi logis dari pemimpin dalam keluarga dan berkewajiban mencari
dan memberi nafkah terhadap keluarga. Maka suami akan lebih banyak berada di
luar rumah untuk bekerja, dengan demikin ia akan selalu meninggalkan istrinya
sehingga tidak dapat mengetahui apa saja yang dilakukan oleh istri, sebab tidak
mungkin ia mampu mengawasi istrinya setiap hari.[47] Sehingga hal ini dapat
menumbuhkan kepercayaan suami secara penuh terhadap istri, di samping istri
menjaga kehormatan suami dia juga harus menjaga kehormatannya dan menata rumah
tangga yang bersih, rapi, dan sehat
sehingga tampak indah dipandang dan dapat membuat nyaman penghuni rumah
c. Berhias untuk suami, ini merupakan
kewajiban wanita karier sebagai istri dalam keluarga dan perhiasan istri
merupakan hak bagi suaminya, sesungguhnya banyak hal yang bisa bahkan harus
menopong terbina dan terpelihara hubungan dan suasana yang harmonis, tenang dan
damai antara susmi dan istri, sedapat mungkin kita berupaya melakukan hal yang
disukai oleh masing-masing kita (suami istri) dan sebaliknya berupaya
nenghindari hal-hal yang masing-masing kita tidak menyukainya.[48]
Salah satu hal yang setiap suami
menyukainya adalah bila istri tampil rapi, indah dan harum, dan dilakukan oleh
istri untuk suami atau singkatnya istri berhias untuk suami, jangan membiarkan
diri dalam keadaan kumuh, kotor sehingga menimbulkan bau tak sedap. Istri
dambaan akan selalu berupaya menjaga pandangan suami yakni tidak akan dilihat
oleh suaminya kecuali penampilan yang rapi dan indah.
d. Mendidik anak dengan
memberikan pendidikan yang baik ini merupakan kewajiban wanita karier sebagai
istri dalam rumah tangga hal ini dapat ditempuh melalui berbagai cara, seperti
pendidikan melalui keteladanan, perintah, nasihat-nasihat dan lain sebagainya.
Di lingkungan keluarga wanita karier sebagai ibu dan juga sebagai pendidik
utama dalam segala perkataan dan tingkah laku ibu harus menjadi contoh tauladan
bagi anak-anaknya.
Sehubungan dengan ini kewajiban wanita
karier selaku sebagai ibu dalam memberikan pendidikan kepada anak, ajaran Islam
juga mengutamakan pendidikan dan pembinaan akhlak, tauhid dan lain sebagainya.
Hal ini dipertegas dengan sabda Nabi sebagai berikut:
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق).رواه البيهقى(
Artinya: “Dari
Abu Hurairah r.a, berkata: Bersabda Rasulullah SAW: Sesungguhnya aku diutus
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Baihaqi)[49]
Demikian pentingnya akhlak bagi
kehidupan anak-anaknya, maka pendidikan dan pembinaannya diembankan kepada ibu
sejak dini, karena usia dini adalah usia di mana anak suka meniru dan mencontoh
apa saja yang ditanamkan kepadanya akan dapat dicamkan dalam waktu yang sangat
lama. Oleh karena itu usia dini adalah yang paling tepat untuk pembelajaran
akhlak bagi anak-anak.
e. Melindungi Anak, selain sebagai
pendidik anak dalam lingkungan keluarga, wanita karier juga sebagai pelindung
dalam arti memelihara dan melindungi anggota keluarga dari berbagai macam
bahaya, termasuk juga melindungi keluarga dari api neraka. Hal ini sesuai
dengan firman Allah SWT dalam surat At-Tahrim ayat 6:
ياأيها
الذين
أمنوا
قو
أنفسكم
و
أهليكم
نارا)....
التحريم: ٦ (
Artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka....” (Q.S.
At-Tahrim: 6).
Ayat di atas Ali bin Abi Thalib mengartikan bahwa: Didiklah mereka dan berilah
pengajaran yang cukup untuk menghadapi hari esok mereka.[50] Dengan demikian wanita karier
sebagai seorang ibu untuk bertanggung jawab melindungi anak-anaknya, karena
anak adalah amanah Allah SWT yang diembankan kepada seorang ibu yang kelak akan
diminta pertanggung jawaban atas pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimaksudkan
agar anak-anak dapat mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
Seorang wanita karier berkewajiban
mengawasi serta menyelamatkan anaknya dari hal-hal yang merusak moral dan juga
mengawasi anak supaya tidak bergaul dengan orang-orang yang tidak berpendidikan
yang dapat membawa pengaruh negatif bagi kehidupan anak selanjutnya. Ahmad
Syalabi mengatakan “Orang tua haruslah pula menjaga agar anaknya jangan sampai
bergaul dengan anak-anak lainnya yang telah terbiasa dengan makanan yang serba
enak dan mewah dan pakaian yang serba mewah, begitu pula terhadap anak-anak
yang berkelakuan jelek”.[51] Pengawasan wanita karier
sebagai ibu dalam rumah tangga haruslah meliputi semua aktivitas, baik rohani
maupun jasmani, supaya sesuai dengan ajaran agama, antara lain dengan
memberikan pengajaran dan bimbingan langsung kepada anak. Akan tetapi dalam hal
ini suami juga berkewajiban memberikan pendidikan dan kasih sayang kepada anak
demi mencapai kebahagiaan di kemudian hari.
D. Tanggung Jawab Wanita
Karier Terhadap Pendidikan Anak.
Wanita karier sebagai ibu rumah
mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dalam mengurus rumah tangga dan
mendidik anak-anaknya. Karena di tangan ibulah anak-anak menerima sentuhan
kasih sayang yang pertama sekali. Anak lebih dulu mengenal ibunya daripada ayahnya,
karena mereka lebih dekat dengan ibu dan lebih banyak berada di sisinya dan di
samping itu ibu lebih banyak berinteraksi dengan anak-anaknya, sehingga ibu
dapat memberikan pendidikan lebih dalam terhadap anak dan seorang ibu lebih
mengenal keadaannya, perkembangan mereka
pada masa-masa pertumbuhan dan puber, ini merupakan masa yang paling
berbahaya bagi kehidupan mental, jiwa dan tingkah laku anak, sebagaimana
diungkapkan oleh penyair Hafiz Ibrahim: “Seorang ibu adalah Madrasah, apabila
engkau mempersiapkannya berarti engkau
telah mempersiapkan generasi muda yang baik dan gagah berani, seorang ibu
adalah guru pertama dari semua guru yang pertama dan pengaruhnya menyentuh
seluruh jagat raya”.[52]
Berdasarkan kutipan di atas dapat
disimpulkan bahwa seorang ibu yang dipersiapkan dengan baik, maka akan
mempersiapkan generasi yang baik pula. “Banyak orang mengatakan seorang ibu
menggoyang-goyangkan tempat tidur anaknya dengan tangannya, maka ia sebenarnya
tengah menggoyangkan dunia dan sistem kehidupan di masa mendatang”.[53]
Dengan demikian seorang wanita yang
berperan sebagai ibu merupakan salah satu penegak kehidupan keluarga dan
termasuk pemeran utama dalam mencetak tokoh-tokoh besar. Dalam hal ini menurut
Abdullah Nasih Ulwan ada beberapa tanggung jawab ibu dalam memberikan
pendidikan terhadap anak yaitu:
Tanggung jawab keimanan, yaitu dengan
cara membuka kehidupan anak dengan
kalimat “La ilaha illallah” yaitu ketika anak baru lahir agar di pertama
didengar adalah asma Allah SWT. Tanggung jawab pendidikan moral, yakni dengan
cara membiasakan anak untuk hidup sederhana dan menghindarnya dari kemewahan
yang berlebihan serta menjauhkan mereka dari yang bebas. Tanggung jawab fisik,
dengan cara memberi nafkah yang halal dan baik agar ia tumbuh menjadi anak yang
sehat fisiknya. Tanggung jawab pendidikan akal (rasio) yaitu mengajarkan
berbagai ilmu dan menumbuhkan kesadaran berpikir anak. Tanggung jawab
pendidikan kejiwaan, dengan cara menghindarkan anak dari perasaan kurang
percaya diri dan rendah diri. Mencegah anak dari sifat takut serta mendorong
anak untuk menumbuhkan kepercayaan diri.[54]
Dengan demikian wanita karier selaku
sebagai ibu dalam rumah tangga juga bertanggung jawab dalam masalah pendidikan
anaknya, terutama dalam hal memberikan pendidikan agama, misalnya tanggung
jawab keimanan guna meningkatkan pelaksanaan ibadah, ini merupakan tanggung jawab
yang paling besar dalam rumah tangga karena wanita itu adalah pemimpin bagi
anak-anaknya Nabi SAW bersabda:
عن ابي عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم انه قال " :والمرأة راعية على بيت بعلها وولده, وهى مسؤلة عنهم)" رواه البخارى و المسلم(
Artinya : Dari Abi
‘Umar ra., dari Nabi Muhammad SAW bersabda: “Seorang wanita atau istri adalah
pemimpin yang mengurus rumah tangga suaminya dan anak-anaknya dan dia akan
dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya” (HR.Bukhari dan Muslim).[55]
Dalam lingkungan keluarga, wanita
karier sebagai ibu dalam rumah tangga merupakan pemimpin yang utama dan juga
wajib menanamkan pendidikan aqidah, tauhid, serta mengajarkan tulis baca
Al-Qur’an bagi anak dan memperhatikan masalah pendidikan moral, fisik, akal dan
kejiwaan. Islam telah menjadikan tanda bukti aqidah pada manusia dengan
pengakuan bahwa Allah itu Esa dan Muhammad adalah Rasul-Nya, yang dikenal
dengan Kalimah Syahadat perlu diajarkan oleh wanita karier dalam rumah tangga
karena ia merupakan kunci manusia masuk ke dalam Islam dan dibenarkan kepadanya
semua hukum-hukumnya maka pengakuan terhadap ke-Esaan Allah mengandung
kepercayaan kepada Allah dari dua aspek, yakni aspek Rububiyah (Penciptaan dan
Pendidikan atau Pengelolaan), serta aspek Uluhiyah (Peribadatan).
Di samping itu Al-Qur’an merupakan
materi pendidikan yang dapat meluruskan hati dan jiwa. Karena itulah
putra-putri wajib dididik dengan materi Al-Qur’an dan menjadikan kitab suci ini
sebagai bekal hidupnya. Hal ini akan terwujud bila mereka dibiasakan sejak kecil untuk menghafal dan
membacanya, serta menghayati isi yang terkandung di dalamnya. Mempelajari
Al-Qur’an merupakan suatu jalan pembuka jiwa sesuai dengan kehendak Islam, dan
merupakan petunjuk praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Menjadi wanita karier yang shalihah adalah
bermula dari didikan dalam rumah tangga, di mana rumah tangga merupakan jenjang
utama dan pertama dalam membina mental agama bagi anak. Ini membuktikan pula
bahwa peran yang dilakukan ibu sejak dari masa mengandung, di mana ia dapat
mengisi mental anaknya dengan akhlak, budi pekerti dan moral yang tinggi.
Kesemuanya ini akan menentukan kehidupan anak di masa yang akan datang bahkan
kehidupan suatu negara. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu A’la Maududi:
“Bahwa pemerintah dan administrasi yang baik sangat ditentukan oleh wanita yang
menjadi ibu rumah tangga yang baik. Menjadi istri yang baik dan penjaga rumah
yang baik”.[56]
Demikian besar tanggung jawab wanita
karier dalam rumah tangga yang berperan sebagai seorang ibu yang bertanggung
jawab penuh terhadap pendidikan anak-anak mereka. Hal ini tidak terbatas pada
kehidupan dan kesehatan fisik saja, akan tetapi yang lebih penting mencakup
kesehatan akal, pendidikan agama, pendidikan akhlak dan kebiasaan mereka.
Wanita karier mempunyai peran yang sangat besar terhadap perkembangan
pendidikan anak, karena seorang wanita karier dituntut untuk mendidik, mengasuh,
menjaga, dan memahami kehidupan anak demi masa depan agar mencapai kebahagiaan
di dunia dan akhirat kelak.
[18] Fatiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Islam Al-Ghazali,
Cet II, (Jakarta: P3M, 1990), hal. 43.
[19] Omar Muhammad Al-Toumy
Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),
hal. 39.
[20] http://www.republika.co.id/ koran detail.asp? Id:181949 dan
kat id:315. 20 Oktober 2007.
[21] Moh. Suri Sudahri A dan Entin Raniah Ramelan, Ruang Lingkup
Aktivitas Wanita Muslimah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996), hal. 104.
[22] Salim Bahreisy dan Said
Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid VI, (Surabaya: Bina
Ilmu, t.t), hal. 257.
[23] Imam Az-Zabidi, Ringkasan Shahih al-Bukhari, Bab Tentang Sopan
Santun, Terjemahan: Cecep Syamsul Hari dan Thalib Anis (Bandung: Mizan,
1997), hal. 846.
[24] Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Azhar,
Juzu’ II, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hal. 232.
[25] http://www.republika.co.id./koran detail.asp?id= 181949&kat
id=315. 20 Oktober 2007.
[26] http://baitijannati.wordpress.Com/ 2007/10/20/ibu-dan-pendidikan-usia-dini/
[27] Ukhasyah Abdulmannan Athibi, Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya,
Cet I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hal. 52.
[28] Khairiyah Husain Thaha, Konsep Ibu
Teladan, Cet IV, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal. 84.
[29] As-Suyuthuy, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakri, Al-Jam’us As-Sahqir,
Cet I, (Beirut: Darul Fikri, 1981), hal. 563.
[30] Zakiah Daradjat, Islam dan Peranan
Wanita, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Cet. IV, hal. 1-2.
[32] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu
Katsier, Jilid VI, (Surabaya: Bina Ilmu, t.t), hal. 232.
[33] Sitoresmi Syukri Fadholi, Sosok Wanita Muslimah Pandangan
Seseorang Artis, Cet I, (Yokyakarta: Tiara Wacana, 1993), hal. 53.
[34] Http://www.geocities.com/munawir 501/artikel 122.Htm.
[35] Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Azhar,
Juzu’.II, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hal. 292.
[37] http://www.pikiran-rakyat. Com / cetak, 10/40/34/hikmah/etika
wacana htm. 20 Oktober 2007.
[38] Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1990), hal. 231.
[39] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara. t.t.), hal.38.
[40] Abdul Majid Az-Zinzani, Hak-Hak Politik Wanita dalam Islam,
Cet I, (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2003), hal. 79-86.
[41] Ukasyah Abdulmanan Athibi, Wanita Mengapa…., hal. 85
[42] Haji .Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Azhar,
Juzu’ II, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hal. 209.
[43] Harun Nasution, Hak Azasi Manusia dalam Islam, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1987), hal. 284.
[44] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat…, 387.
[45] Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari, Penjelasan Kitab Shahih
Al-Buhkari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), hal. 359.
[46] http://forum.kotasantri.com/view topic.php? t=595. 20
Oktober 2007.
[47] M. Rusli Amin, MA, Kunci Sukses Membangun Keluarga Idaman,
(Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003), hal. 9.
[48] Ibid M. Rusli Amin, MA, Kunci
Sukses…,hal. 72.
[49] Al-Baihaqi, Sunan Kubra, Jilid X,
(Beriut: Darul Fikri, t.t), hal. 192.
[50] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tfsier Ibnu
Katsier, Jilid VIII, (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), hal. 163.
[52] Abu fatiyah Al-Adnani. Panduan membina
mental pribadi muslim ideal, (Jakarta: Qisti Saufa Abadi, 2000), hal. 47.
[53] Ali Qaimi, Peranan Ibu Dalam Mendidik Anak,Cet II, (Jakarta:
Cahaya, 2005), hal. 82.
[54] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan
Anak dalam Islam, (Solo: Pustaka Amanah, 1998), hal. 178.
[55] Nashiruddin Al-Bani, Ringkasan Shahih Muslim, Cet I, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2005), hal. 601.
[56] Abu A’la Maududi Terjemahan Ahmad Noer Z,
Al-Hijah dan Status Wanita Islam, Cet I, (Bandung: Risalah, 1984), hal.
713.
0 Comments
Post a Comment