BAB III
ZUHUD DAN PENGARUHNYA TERHADAP
PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Pendidikan
Islam
Pendidikan adalah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan’’.[1]
Sedangkan menurut M. Arifin memberikan definisi pendidikan adalah “suatu proses
dimana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat
dipengaruhi oleh pembiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat
dan dipakai oleh siapapun untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri untuk
mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu kebiasaan yang baik”.[2]
Sedangkan Islam adalah suatu sistem akidah, syariat dan akhlak yang
mengatur hidup dan kehidupan manusia dari berbagai hubungan Islam. Sehingga
agama Islam yang terakhir diturunkan ini menyempurnakan agama wahyu yang ada
sebelumnya”.[3]
Pendidikan Islam adalah proses pengembangan dan pembinaan. Menurut
Abdurrahman Annahlawi “Pendidikan Islam merupakan amanat yang harus dikenalkan
oleh suatu generasi ke generasi berikutnya, terutama dari orang tua atau
pendidik kepada anak-anak dan murid-muridnya”.[4]
Pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia
yang berpedoman pada syariat Allah, artinya manusia tidak merasa keberatan atas
ketetapan Allah dan rasul-Nya. Dengan demikian tidak akan ada yang dapat
menyelematkan manusia dari keburukan dan kerugian kecuali keimanan kepada
Allah, amal yang saleh dan saling berpesan dalam kesabaran dalam mewujudkan
kebenaran dan memerangi kebatilan.
Pendidikan Islam juga bisa membawa kita kepada tingkat kedewasaan yang
sesungguhnya, dalam arti dapat menggunakan akal dan budi yang diberikan oleh
Allah SWT. Dengan adanya akal dan budi tersebut manusia berkeinginan untuk
mengenal, memahami, menghayati dan mengamalkan sesuatu yang dipelajarinya untuk
kepentingan diri sendiri maupun untuk orang lain. Melalui pendidikan pula
manusia dapat melangsungkan kehidupan dan mencapai kehidupan yang layak,
sejahtera, harmonis dan bahagia.
Menurut penulis pendidikan Islam adalah suatu proses menanamkan
nilai-nilai keagamaan yang berupa iman dan taqwa kepada Allah Swt, juga
mengembangkan intelektualitas, emosional dan keterampilan bagi kesejahteraan
hidup manusia muslim didunia demi untuk akhiratnya.
B. Pengaruh Zuhud Terhadap
Pendidikan Islam
- Mendatangkan kebaikan di Dunia Dan Akhirat
Kebaikan dunia tidak hanya terbatas pada harta, wanita, kedudukan, tempat
tinggal dan kehormatan serta hal-hal lainnya yang menjadi perhiasan dunia.
Karena manfaat apa yang dapat diperoleh orang yang memiliki semua ini,
sedangkan ia hidup dalam kesempitan yang luar biasa dan keraguan yang membuat
sesak dada.
Seseorang mungkin mencari tujuan yang sama dengan manusia lainnya, namun
ketika kita renungkan, semua manusia itu tidaklah sama dalam tujuan kebaikan
dan keinginannya, tetapi terdapat perbedaan dalam hasrat dan tuntutan hidup.
Tujuan utamanya yang mereka harapkan adalah dapat mengusir kegelisahan. Namun
apa yang telah dicapai dalam pencariannya dalam mengusir kegelisahan ini. Hal
ini barulah terlaksana ketika manusia menghadap kepada Allah Azza wa Jalla
dengan beramal saleh sebagai bekal di akhirat.
Kesejukan dan ketenangan jiwa serta kemantapannya merupakan hasil dari
amal untuk bekal diakhirat, yang dilakukan oleh manusia terhadap jiwanya yang
terwujud dalam pendidikan dan penyucian jiwa. Ini bisa juga terjadi disebabkan
adanya kesesuaian manusia dengan fitrahnya yang telah Allah sucikan sejak
lahir.
Sedangkan kebaikan akhirat tidaklah terdapat percampuran dan pengaburan
padanya. Tidak lain adalah surga yang dibentangkan seluas langit dan bumi yang
disediakan khusus bagi orang yang bertaqwa. Sebagian manusia berkeyakinan bahwa
sangatlah sukar untuk mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat sekaligus dalam
satu waktu. Yang menjadi sebab, mengapa tidak terbayangkan dalam pandangan
manusia? Ini karena mereka mengilusikan kata “kebaikan” terbatas dalam
urusan-urusan yang tampak dihadapan mata, seperti harta benda, wanita dan
lainnya. Mereka melupakan bahwa derajat kebaikan dunia sesungguhnya adalah
perasaan jiwa yang tenang. Bahkan, itu merupakan angan-angan yang sirna bagi
pencinta dunia dimana mereka menempuh segala cara untuk menggapai ketentraman
ini dan mengusir kegelisahan, namun yang
mereka dapatkan adalah kegelisahan demi kegelisahan.
Padahal konsep kezuhudan dalam pendidikan telah mengatakan “kerjakanlah
apa yang kamu benci namun dicintai Allah, tinggalkan pekerjaan yang kamu cintai
bila itu dibenci Allah”.[5]
Bila manusia berhasil menguasai nafsunya dan mereka tidak pernah rela menjadi
budak nafsu, mereka akan mencapai kebaikan didunia dan akhirat.
- Mencintai Allah dan Merasakan Kebersamaan-nya
Seorang hamba jika menunaikan kewajiban yang diamanatkan kepadanya,
kemudian menambah pendekatan diri kepada Allah melalui ibadah-ibadah sunnah,
serta berjihad melawan hawa nafsunya sekaligus mendidiknya, sesungguhnya
manusia seperti itu telah mencapai tingkat kecintaan yang tinggi kepada Allah
Ta’ala, bersama dengan-Nya dan perlindungan-Nya dari ketergelinciran ke dalam
dosa yang akan merugikannya.
- Diterima Dikalangan Manusia Dan Mendapat Tempat Dihati Mereka
Tidak ada manusia, kecuali yang ingin mendapatkan tempat di mata manusia
dan di cintai oleh mereka. Bahkan, inilah yang banyak diinginkan oleh sebagian
besar penguasa, mereka mengeluarkan biaya yang tidak sedikit hanya untuk
diterima dikalangan masyarakat dan mendapat perhatian dari mereka. Sebagian
besar manusia mengira bahwa salah satu cara untuk meraihnya adalah membeli hati
mereka dengan perhiasan dunia yang terdiri dari harta dan wanita, serta
kedudukan. Tudak pernah terlistas dalam hati mereka bahwa semua itu terkait
dengan hubungan antara hamba dan Tuhannya,dan itu sesuai dengan kadar kedekatan
itu atau sebaliknya, hingga dapat diwujudkannya.
Hal ini disebabkan, urusan
tersebut merupakan timbangan keimanan yang tidak diperhatikan, kecuali oleh
mereka yang berhati mulia seperti tabi’in Abu Hazim Salamah bin Dinar ketika
mengatakan,”seorang hamba tidaklah akan baik hubungan antar dia dan
Allah,kecuali baik pulahubungan dengan hamba-Nya yang lain. Sebaliknya,
tidaklah akan buruk hubungannya dengan Allah, kecuali buruk hubungan dengan
sesamanya. Untuk memelihara hubungan baik satu arah, dengan Allah SWT., adalah
lebih mudah dibanding memelihara hubungan semua arah dengan banyak manusia.
Sesungguhnya ketika kamu memelihara dengan baik hubungan dengan-Nya, maka akan
berpalinglah semua wajah (pandangan manusia) menghadmu, sebaliknya tatkala
rusak hubungan baikmu dengan-Nya, semua wajah seketika itu akan menghindar darimu”.[6]
Al-Quran menegaskan bahwa pendidikan Islam adalah ajaran yang memberikan spirit
kehidupan, dan sejarah Islam telah memberikan kesaksian tentangnya. Selama
berabad-abad, sejarah Islam telah menunjukkan bagaimana ajaran ini memberikan
spirit kehidupan seperti terutama dalam bagian pendidikan Islam seperti yang
diungkapkan al-Quran.
Dewasa ini, seringkali kita saksikan bagaimana pengertian dan konsep Islam
yang kita miliki tidak memberikan atau menciptakan kehidupan. Kita harus
memperbaiki pandangan kita sehubungan dengan pengertian dan konsep ini.
Barangkali kita keliru dalam menggambarkan dan memahami konsep serta ajaran
Islam. Pola pikir kita harus segera diperbaiki. Inilah yang dimaksud dengan
menghidupkan kembali pemikiran dan pendidikan Islam. Pola pikir dan cara
pandang kita terhadap Islam harus dibenahi. Perspektif yang kita gunakan selama
ini untuk meneropong Islam bukanlah perspektif yang benar. Dengan begitu,
perspektif dan pola pemikiran kita harus segera diperbaiki.
Potret kezuhudan serupa dengan potret keberadaan budak dunia dan pengabaian
dunia. Meskipun tidak tertera dalam al-Quran, namun kata zuhud banyak dijumpai
dalam ucapan Nabi, perkataan Imam Ali dan tokoh-tokoh besar lainnya. Tidak
diragukan lagi bahwa kezuhudan merupakan pengertian dan konsep yang suci. Islam
senantiasa mengajak manusia kepada kezuhudan.
Dari segi bahasa (Arab), istilah zuhud memiliki arti 'tidak suka
atau tidak menginginkan'. Jika orang Arab menggunakan kata zahada, itu
berarti ia tidak menyukai sesuatu. Zahada fîhi berarti 'tidak menyukai'.
Namun, yang pasti, kezuhudan dalam ajaran Islam, kristen, dan non-kristen
digunakan sehubungan dengan kehidupan duniawi yang kemudian menjadi terminologi
tersendiri.[7]
Orang zuhud secara alamiah tidak menyukai sesuatu. Umpama, orang sakit yang
enggan makan, atau orang yang membenci dan tidak menyukai makanan yang
manis-manis. Atau juga orang yang dikarenakan memiliki Kelainan seks tidak
menyukai wanita. Inikah yang dimaksud dengan orang zuhud? Tak seorang pun yang
tidak mencintai kehidupan duniawi berdasarkan naluri alamiahnya. Orang zuhud
secara naluriah menyukai kenikmatan materi. Namun, dikarenakan tujuan dan
maksud-maksud tertentu, pebuatan dan sikapnya menunjukan dirinya tidak menyukai
sesuatu. Maksudnya, ia akan meninggalkan segenap hal yang disukainya demi suatu
tujuan. Dalam hal ini, pengertian dari 'mengarahkan jiwa dan pemikiran kepada
sesuatu berdasarkan tujuan dan aktivitas' tentu berbeda dengan pengertian
'tidak menyukai sesuatu secara alamiah'. Makna kezuhudan adalah ketidakpedulian
terhadap hal-hal yang diinginkan secara alamiah. Inilah pengertian zuhud
menurut masyarakat umum.
Kezuhudan
menjadikan seseorang meninggalkan sesuatu yang disukai demi suatu tujuan.
Sekarang, kita akan menelaah tentang tujuan tersebut serta menentukan pandangan
Islam berkaitan dengan masalah ini. Pertama-tama, kita harus melihat apakah
Islam menganggapnya sebagai suatu kewajiban atau sekadar mustahab (sunnah)?
Maksudnya, apakah Islam mewajibkan atau sekadar menganjurkan secara mustahab
kepada seseorang untuk menutup mata dari kenikmatan duniawi yang
disukainya? Apakah pada dasarnya Islam tidak pernah menganjurkan manusia untuk
meninggalkan kenikmatan duniawi demi suatu tujuan?.
Anggaplah hal
seperti ini terdapat dalam Islam. Namun, timbul suatu pertanyaan, apakah tujuan
Islam dalam menganjurkan kezuhudan? Tujuan-tujuan agung apakah yang akan
dicapai manusia sehingga harus meninggalkan kenikmatan duniawi?
Tujuan-tujuan apakah yang mengharuskan manusia berpaling dari kelezatan
duniawi? Berpaling dari kelezatan duniawi bukan saja dianggap sebagai perbuatan
baik, bahkan Islam menerima dan menganjurkan manusia untuk melakukannya.
Sebagian orang beranggapan, filsafat kezuhudan menghendaki keterpisahan antara
ihwal keagamaan dengan ihwal keduniawian seperti perdagangan, pertanian, dan
industri. Urusan agama hanya berkenaan dengan masalah peribadatan, sedangkan di
luar itu (pencarian materi, perdagangan, pertanian, manajemen, dan sebagainya)
merupakan urusan duniawi. Apa yang disebut dengan kezuhudan adalah meninggalkan
urusan dunia untuk mengurus akhirat. Ini merupakan anggapan yang keliru,
lantaran Islam juga menganjurkan manusia untuk menggarap urusan duniawi. Zuhud
mencakup semua urusan (baik duniawi maupun ukhrowi).
Dalam kehidupan dapat kita lihat bentuk kezuhudan yang memisahkan ihwal keduniawian
dengan keakhiratan. Dalam hal ini, praktek kezuhudan memisahkan secara kontras
dua bentuk urusan. Sebagian berhubungan dengan keduniawian, seperti mencari
nafkah, berdagang, bertani, industri, mencari rezeki, dan memperoleh harta.
Semua yang berhubungan dengan kehidupan merupakan urusan duniawi. Harta
berhubungan dengan alam kehidupan di dunia (dengan urusan duniawi) dan sama
sekali tidak ada kaitannya dengan alam kehidupan lainnya. Sebaliknya, terdapat
pula persoalan yang tidak berhubungan dengan kehidupan dunia. Tepatnya,
persoalan tersebut tidak menimbulkan pengaruh apapun terhadap kehidupan
duniawi. Inilah yang disebut dengan Ibadah, seperti berdoa, berpuasa, dan
membersihkan jiwa. Jadi, kezuhudan berarti meninggalkan kehidupan dunia
lantaran ingin menyendiri demi menjalankan urusan keakhiratan (ibadah).
Dengan demikian, kezuhudan berarti meninggalkan urusan duniawi untuk
mencapai urusan ukhrawi. Untuk menjadi orang zuhud, seseorang harus memutuskan
hubungan sosialnya dengan masyarakat. Jalan kezuhudan adalah mengasingkan dan
mengucilkan diri, serta rahbaniyyah (persemediaan) dan bertapa.
Karenanya, zuhud dalam pengertian semacam ini identik dengan rahbaniyyah yang
diajarkan dalam agama Nasrani.
Apakah Islam menerima bentuk kezuhudan seperti ini? Tidak! Alasan untuk ini
sudah jelas sekali dan untuk membuktikannya tidak diperlukan dalil atau
argumen. Sebagian orang beranggapan bahwa filsafat hijab cenderung pada
persemedian (rahbaniyyah).
Nabi pernah bersabda: "Rahbaniyyah umatku adalah jihad." Islam
justru menganjurkan untuk melakukan hal-hal yang dianggap aliran lain sebagai
urusan duniawi, bahkan menganggapnya sebagai ibadah. Ada yang mengatakan bahwa
kata zuhud tertera dalam al-Quran:
وشروه بثمن بخس دراهم معدودة ج وكانوا
فيه من الزاهدين (يوسف: ۲۰)
Artinya: "...dan
mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf."(QS. Yusuf: 20)
Kata zuhud memiliki pengertian etimologis maupun terminologis. Dalam ayat
ini, kata zuhud merujuk pada makna etimologisnya. Sebagai buktinya, kata zahada
fihi memiliki arti 'tidak menyukai' atau 'tidak menginginkan sesuatu'. Ayat
ini berbicara tentang Nabi Yusuf. Dikarenakan ketidak tahuannya akan keutamaan
Nabi Yusuf, mereka menjual beliau dengan beberapa dirham saja. Kata zuhud
secara terminologis tidak terdapat dalam al-Quran. Segenap hal yang dalam
pengertian Nasrani merupakan bagian duniawi, dianggap Islam sebagai bagian dari
urusan ukhrawi yang dilakukan semata-mata untuk Allah. Islam tidak menyatakan
adanya perbedaan antara keberadaan dunia dan akhirat.
Menurut pandangan Islam, perniagaan atau pertanian bisa menjadi urusan
duniawi sekaligus ukhrawi, asalkan perbuatan serta tujuannya saling terkait
satu sama lain. Jika Anda bekerja dan mencari nafkah, carilah dengan cara yang
sesuai dengan syariat Islam. Jika Anda berdagang, janganlah memakan uang riba.
Janganlah Anda melakukan tipu daya dalam bertransaksi. Anda harus bersikap
adil. Tujuan Anda berdagang adalah untuk menghasilkan kekayaan dan
menyelamatkan diri dari kehinaan mengemis. Selain pula bertujuan untuk berbakti
kepada masyarakat serta turut meningkatkan pendidikan Islam masyarakat. Menurut
Islam, sikap semacam ini merupakan ibadah. Bertani dan bekerja termasuk dalam
kategori beribadah apabila dilakukan seperti ini. Atas dasar ini, perbuatan
tersebut tidak akan keluar dari ihwal keakhiratan. Apabila orang yang memahami
dan mencoba mewujudkan tujuan-tujuan Islami, melakukan seluruh perbuatan
tersebut, maka ia bisa disebut sebagai orang yang sedang beribadah. Segenap hal
yang dianggap ibadah oleh aliran-aliran lain, akan dipandang Islam sebagai
bagian dari urusan duniawi. Ibadah shalat dan puasa tidak hanya bernuansa
keakhiratan semata, namun juga bernuansa keduniawian. Ibadah doa berhubungan,
baik dengan kehidupan ukhrawi maupun kehidupan duniawi. Sebagaimana berdagang
dan bertani bisa berhubungan dengan kehidupan akhirat, demikian pula ibadah
yang juga bermanfaat bagi kehidupan dunia.
Berdasarkan
semua itu, Islam tidak pernah mengartikan kezuhudan sebagai pemisahan antara
kehidupan dunia dan akhirat. Tujuan penghalalan dan pengharaman Islam terhadap
sesuatu memiliki dua dimensi; untuk kehidupan dunia dan akhirat. Islam
mengharamkan, misalnya, minuman keras dikarenakan hal itu berbahaya bagi
kehidupan dunia maupun akhirat. Perjudian dan riba hukumnya haram lantaran
keduanya membahayakan kehidupan dunia dan akhirat.
Kali ini penulis akan menjelaskan pengertian lain dari istilah zuhud dengan
mengutip dari beberapa pendapat ulama. Seluruh urusan duniawi merupakan tugas
yang harus kita laksanakan. Akan tetapi, kenikmatan duniawi jelas berbeda
dengan kenikmatan ukhrawi. Dilema yang timbul darinya adalah, apakah kita harus
merasakan kenikmatan duniawi dan menjauhkan diri dari kenikmatan ukhrawi,
ataukah kita harus mencari kenikmatan ukhrawi dan menghindarkan kenikmatan
duniawi. Pola pikir semacam ini juga keliru. Mereka mengatakan, manusia tidak
harus meninggalkan pekerjaan, pencarian nafkah, serta seluruh urusan duniawi.
Seseorang harus bekerja dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai manusia.
Tetapi ia harus berusaha keras untuk tidak menikmati dunia. Apabila ia sampai
menikmati dunia, otomatis kenikmatan ukhrawi akan berkurang.
Pada saat manusia merasa bahagia di dunia, pada saat itu pula kebahagiaan
ukhrawinya berkurang. Jadi, kita harus meninggalkan kenikmatan duniawi supaya
bisa memperoleh kenikmatan ukhrawi. Bagaimana sebenarnya pendapat ini? Apakah
benar-benar terdapat konsep ganti rugi kenikmatan? Apakah Islam mengatakan
adanya dua macam kenikmatan? Apakah Islam meyakini bahwa bila menikmati
kelezatan dunia, manusia akan kehilangan nikmat ukhrawinya? Apakah Islam
meyakini, apabila menjauhkan diri dari kenikmatan dunia dan melepaskannya,
manusia akan memperoleh ganti rugi (di akhirat)? Dengan kata lain, apakah
setiap orang berhak mendapatkan ukuran tertentu dari kenikmatan yang harus
dicapai, baik di dunia dan di akhirat? Apakah orang yang telah mendapatkan
kenikmatan di dunia, tidak akan kebagian nikmat akhirat? Sebaliknya, apakah
orang yang belum memperolehnya ketika di dunia akan mendapat bagiannya di
akhirat? Mereka sebenarnya keliru dalam memahami ayat yang berbunyi:
اذهبتم طيّبتكم في حيا تكم الدنيا واستمعتم بها (ألأحقف:۲٠)
Artinya: "Kamu telah
menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniamu (saja)..."(QS.
Al-Ahqaf:20)
Pemahaman semacam ini jelas keliru! Jika dalam kehidupan dunia seseorang
menjauhkan diri dari kenikmatan yang terkandung di dalamnya, bahkan
melepaskannya, ia tidak akan merasakan kenikmatan duniawi. Dan di akhirat nanti
pun, ia tetap tidak akan memperoleh kenikmatan. Kenikmatan ukhrawi diperoleh
melalui berbagai faktor lain, dan bukan disebabkan oleh pengabaian kenikmatan
duniawi secara sengaja.
Aspek lain dari persoalan ini adalah; apakah dengan menikmati dunia, kita
tidak lagi berhak memperoleh kenikmatan lain? Jika memang demikian, berarti
Anda harus menanggung nasib buruk, yakni penderitaan di dunia dan juga di
akhirat. Keduanya tidak mungkin diperoleh secara bersamaan. Menurut logika
Islam, pendapat semacam ini tidaklah masuk akal.
Islam telah menjatuhkan vonis haram terhadap sejumlah kenikmatan duniawi.
Kenikmatan duniawi yang diharamkan tersebut bisa menjadikan manusia tidak dapat
menikmati kelezatan duniawi. Bahkan lebih dari itu, akan menimbulkan akibat
buruk bagi kehidupan manusia di dunia. Kenikmatan berzina akan menjadikan
manusia kehilangan kenikmatan ukhrawi, bahkan menyebabkan siksa di akhirat.
Kenikmatan minuman keras akan menjauhkan manusia dari kenikmatan duniawi.
Begitu pula dengan kenikmatan berjudi (jika memang nikmat), menggunjing,
berbohong, dan seluruh perbuatan haram lainnya. Lain halnya dengan kenikmatan
yang halal. Al-Quran menghalalkan kebahagiaan di dunia. Semua yang
membahagiakan, membersihkan, menyucikan, serta tidak membahayakan manusia, akan
dihalalkan al-Quran.
Kenikmatan yang diharamkan al-Quran pada hakikatnya bukanlah kenikmatan.
Sebaliknya, semua itu merupakan penderitaan belaka. Apabila Anda menganggap
minuman keras membawa kebahagiaan dan kenikmatan, maka Anda telah mengabaikan
sama sekali seluruh akibat buruk yang akan ditimbulkannya terhadap jiwa
manusia, kesehatan tubuh, dan kehidupan masyarakat. Anda hanya melihat
kenikmatan berzina yang bersifat temporer, dan tidak memperhatikan akibat buruk
yang ditimbulkannya. Al-Quran mengharamkan perzinaan dikarenakan itu merupakan
perbuatan keji dan membahayakan. Semua perbuatan yang menimbulkan akibat baik
akan dihalalkan al-Quran. Dalam hal ini, al-Quran mengatakan:
ويحلّ لهم الطّيّبت ويحرّم عليهم الخبإث (۱۵۷)
Artinya: "...dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk...."(QS. al-A’raf:157)
Jadi,
kezuhudan dalam Islam bukan bermakna menutup mata dari kenikmatan duniawi yang
halal agar memperoleh ganti rugi kenikmatan di akhirat. Ganti rugi semacam ini
tidak pernah ada.
C. Konsep dan Tujuan Zuhud Dalam Pendidikan
Islam
Konsep
zuhud jelas terdapat dalam ajaran Islam. Dalam pandangan Islam, kezuhudan
bukanlah sesuatu yang diwajibkan. la merupakan keutamaan dan kesempurnaan.
Namun, keutamaan dan kemuliaan bukanlah tujuan kezuhudan. Dalam beberapa
keadaan, Islam menganjurkan manusia menjalani kezuhudan demi tercapainya tujuan
dalam pendidikan Islam. Islam menganjurkan agar manusia tidak menjadi penyembah
berhala kenikmatan duniawi dan tenggelam di dalamnya. Kendatipun jika terbenam
dalam berbagai kenikmatan yang halal, seseorang tidak akan dianggap telah
melakukan perbuatan yang haram. Namun, apabila tidak melakukannya, berarti
manusia telah melakukan pekerjaan moral yang agung. Islam tidak menyetujui
praktik penyembahan kenikmatan duniawi meski dengan cara yang halal.[8]
Konsep zuhud diatas adalah seperti yang
ditawarkan oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha yang memegang kepada firman Allah:
يا بني
ادم خذوا زينتكم عند كل مسجد وكلوا واشربوا ولاتسرفوا إنّه لا يحبّ المسرفين
Artinya: wahai anak cucu
adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap memasuki masjid, makan dan
minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan. (QS. Al-A’raf: 31)
Untuk sejumlah tujuan, Islam bisa menerima konsep kezuhudan yang memiliki
makna 'menutup mata dari kenikmatan halal duniawi'. Tatkala seseorang
berhadapan dengan orang yang lebih memerlukan dan membutuhkan, apa yang mesti
dilakukannya? la harus mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang kepentingan
dirinya sendiri, serta harus bersikap dermawan. Kenikmatan halal yang
diperbolehkan baginya, harus diberikan kepada orang lain (yang membutuhkan). la tidak akan makan sebelum
memberi makan orang lain. Ini bukan berarti ia membuang makanannya dengan
harapan di akhirat kelak ada orang yang memberinya makan. Jika tetap melakukan
hal seperti itu, kelak ia akan mendapat teguran di akhirat: "Kamu telah
melakukan perbuatan bodoh dengan membuang-buang makanan dan menganggap kami
akan memberimu makan."
la tidak akan mengenakan pakaian sebelum memberinya kepada orang lain. la
juga tidak mau makan sampai orang lain bisa beristirahat dan merasa tenang. la
tidak mau merasakan kenikmatan duniawi dikarenakan ingin memberikannya kepada
orang lain. Inilah bentuk îtsâr (sikap lebih mementingkan orang lain
dari diri sendiri) yang merupakan sifat manusiawi yang sangat tinggi dan agung.
Salah satu sikap yang manusiawi adalah îtsâr. Kezuhudan semacam ini
merupakan kezuhudan yang benar, bersifat manusiawi, dan bernilai tinggi. Akal
dan hati siapa yang akan menolak kezuhudan seperti ini? Agama yang tidak
menyarankan îtsâr, pada hakikatnya bukanlah agama. Mazhab akhlak yang
tidak menganjurkan kezuhudan semacam ini adalah mazhab yang tidak memahami
ajaran serta nilai-nilai kemanusian yang paling tinggi.
Masyarakat yang kebanyakan anggotanya terdiri dari orang-orang miskin,
tentu akan menghadapi kondisi perekonomian yang sangat memprihatinkan. Saking
miskinnya masyarakat tersebut, sampai-sampai para orang tua akan membiarkan
anaknya memakan rumput-rumputan. Apa yang bisa dilakukan seseorang di
tengah-tengah masyarakat yang seperti ini? Perbuatan mulia yang bisa dilakukan
adalah ikut merasakan (empati) penderitaan orang lain. la harus mengatakan pada
dirinya sendiri, banyak saudara-saudara saya yang tidak mendapatkan makanan
untuk disantap, mengapa saya harus menyantap (makanan mewah)? Saudara-saudara
saya tidak memiliki baju untuk dikenakan, mengapa saya mengenakan baju mewah?
Dengan kata lain, sikap kebersamaan dalam kedukaan merupakan bantuan moral yang
bisa diberikan seseorang ketika dirinya tidak mampu mengentaskan kemiskinan
orang lain secara material. Saya hanya bisa melakukan sebatas ini. Saya
berusaha membantu mereka secara moral, bukan secara material. Mendahulukan
kepentingan orang lain merupakan bantuan material. Ini juga memiliki makna
filosofis.
Di tengah masyarakat, terdapat orang miskin dan orang kaya, orang mampu dan
orang yang tidak mampu. Ada sejumlah orang yang mengenakan pakaian yang jauh
lebih mewah dari ini. Namun, banyak juga anggota masyarakat yang tidak mampu
memiliki pakaian mewah seperti ini. Mereka hanya mengenakan pakaian
compang-camping. Kita tidak mampu memberikan pakaian yang kita kenakan kepada
masyarakat seperti itu.
Kita tidak mampu mengentaskan mereka dari kemiskinan. Namun, satu hal yang
bisa kita lakukan, yakni mencoba merasakan penderitaan mereka. Tentu mereka
akan memandang kebidupan kita. Turut merasakan penderitaan orang lain merupakan
tugas semua orang. Namun, tugas tersebut harus lebih sungguh-sungguh dijalankan
para pemimpin. Hal-hal seperti inilah yang diajarkan dalam pendidikan Islam.
Hal
ini juga merupakan filsafat zuhud lainnya. Apakah Islam menerima sikap
mementingkan orang lain dan memberikan bantuan secara material? Apakah Islam
juga menerima sikap empati, yakni ikut merasakan penderitaan orang lain dan
memberikan bantual moral? Tentu! Islam tentu akan menerima semua sikap
tersebut. Sebab, semua itu merapakan perbuatan orang-orang yang memiliki tujuan
rasional dan sesuai dengan syariat.
Penulis
merasakan bahwa zuhud yang seperti itu mempunyai nilai-nilai pendidikan yang
diajarkan oleh Rasulullah. Bukanlah zuhud itu harus memisahkan diri dari
masyarakat ramai, tetapi bagaimana memanfaatkan hidup supaya dapat bermanfaat
bagi masyarakat.
D. Aplikasi Zuhud Dalam
Pendidikan Islam
Setelah berbicara panjang lebar mengenai masalah zuhud, sekarang
bagaimanakah cara menerapkan konsep zuhud dalam pendidikan yang bernuansa
Islam. Hal ini haruslah diketahui oleh semua orang muslim supaya kita terlepas
dari pendapat-pendapat tentang zuhud yang keliru, seperti yang mengharuskan
orang yang zuhud itu harus menyepi ketempat-tempat sunyi, ataupun harus
melepaskan pergaulannya dengan masyarakat ramai.
Islam
menyeru kepada orang yang beriman untuk ikut aktif dan serius dalam berbagai
kegiatan kemasyarakatan, yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah
digariskan dan nilai-nilai luhur yang kesemuanya akan menjamin berlangsungnya
aktifitas tersebut secara baik dan memiliki dampak yang mendidik. Dengan harapan
orang Islam kelak akan menjadi pelopor kebaikan, perbaikan dan pembangunan. Dan
juga agar masyarakat muslim terselamatkan dari timbulnya fenomena-fenomena
sikap anarkis, tak peduli terhadap nilai-nilai, egois maupun pelit yang
berlebihan.
Beberapa aplikasi konsep zuhud yang
ditawarkan Islam ketika seseorang hendak menjalankan kegiatan-kegiatan dalam
bermasyarakat yang bernilai pendidikan Islam, antara lain sebagai berikut:
a.
Berpartisipasi aktif dalam
bermasyarakat dengan niatan dan semangat yang positif serta bersungguh-sungguh.
Ketika seorang muslim hendak keluar rumah, misalnya dengan maksud
melepaskan kepenatan atau mencari hiburan untuk mengisi waktu luang baik
dijalan-jalan atau di tempat-tempat yang berhawa segar ataupun dimana saja
berada, maka ia harus bergaul bersama siapa saja yang ia jumpai dengan semangat
dan sikap positif, senang berbuat baik, bersikap sesuai dengan akhlak Islami,
menghindari sikap yang berlebihan dan menyakitkan orang lain. Seperti itulah
yang dibimbingkan oleh Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Said
al-Khudriy ra bahwa Nabi Saw telah bersabda:
إيّا كم والجلوس بالطرقات قالوا يا رسول الله, مالنا من مجالسا بدّنتحدث
فيها . فقال صلىالله عليه وسلّم : إذا أبيتم إلاالمجلس فأعطوالطّريق حقّه. فقالوا:
وما حقّ الطريق يا رسولالله؟ قال: غضّ البصر وكفّ الأذى وردّالسلام والأمر
بالمعروف والنهي عن المنكر(رواه:بخاري)
Artinya: “Jagalah diri kalian dari duduk-duduk dijalan. Mereka
menjawab “Ya Rasulullah, kami tidak memiliki mejelis yang dapat kami pergunakan
untuk berbincang-bincang”. Maka Rasulullah pun menjawab, “apabila kalian enggan
kecuali majelis itu maka penuhilah oleh kalian hak (orang yang melewati) jalan
itu: mereka katakan:”Apa saja hak orang yang melewati jalan itu yan Rasul?”.
Rasul pun menjawab: memejamkan mata, mencegah yang menyakitkan, menjawab salam,
memerintahkan yang makruf dan mencegah yang munkar. (HR:Bukhari).[9]
b.
Memilih teman dalam setiap kali
mengadakan kegiatan.
Ini merupakan prinsip penting dalam pendidikan yang diserukan Islam
kepada orang muslim dalam kondisi apappun, dalam acara resmi, sekolah,
masyarakat, teman bergaul maupun lainnya.
Karena teman dan sahabat yang baik merupakan faktor yang amat berperan
dalam meraih prestasi yang baik dan penyemangat untuk melakukan hal-hal yang
baik dan saleh.
Apabila orang muslim dan para pengemban misi pendidikan meremehkan
masalah ini, niscaya masyarakat menjadi sangat berpotensi terjangkit beberapa
penyakit perilaku, dan utamanya kepribadian generasi mudanya sangat berpeluang
terjebak dalam arus pemikiran dan pandangan hidup yang menyimpang.
Oleh karena itu, landasan positif bagi setiap kegiatan dapat diambil dari
petunjuk Nabi Saw dalam memilih kawan yang saleh dan menghindari unsur-unsur
negatif yang ditimbulkan dalam kegiatan bersama (bermasyarakat). Abu Musa
al-Asy’ari ra meriwayatkan bahwasanya Nabi Saw telah bersabda:
إنما مثل الجليس الصّالح وجليس السوء كحامل
المسك ونافخ الكبر. فحامل المسك إما ان يحذيك, وإما ان تبتاع منه وإما ان تجدا
منهريحاً خبيثةً (رواه: بخاري)
Artinya: “Perumpamaan
antara teman yang saleh dengan teman yang baik adalah laksana orang yang
membawa minyak wangi dengan tukang peniup ubupan. Orang yang membawa minyak
wangi adakalanya akan memberikan sebagian (minyak itu) kepadamu, adakalanya
engkau membelinya dari orang tersebut dan adakalanya pula engkau memperoleh bau
yang wangi darinya. Adapun peniup ubupan adakalanya ia akan membakar pakaianmu
dan adakalanya pula engkau memperoleh darinya bau yang tak sedap”. (HR. Bukhari)[10].
c.
Menumbuhkan perasaan cinta
kebaikan dan membantu orang lain sebagai perwujudan dari rasa solidaritas
terhadap sesama.
Diantara pendidikan Islam terarah yang di syariatkan Islam dengan maksud
mempertebal rasa solidaritas terhadap sesama adalah silaturrahmi kepada
saudara, kerabat, teman dan orang-orang yang tertimpa musibah, membantu orang
yang lemah dan orang-orang yang menghadapi kesulitan, meringankan penderitaan
mereka. Seruan-seruan ini dimaksudkan dengan untuk mengikis nafsu amarah yang
senantiasa mendorong manusia bersikap bakhil, egois dan tak memiliki kepedulian
dan tanggung jawab sosial. Itulah kegiatan-kegiatan pendidikan sosial yang hendaknya
dijalani oleh setiap umat Islam. Sebagai implementasi atas seruan Nabi Saw yang
mengajak umatnya untuk memperhatikan persoalan-persoalan umat Islam.
من عادمريضا. اوزار اجاله في الله ناداه مناد ان طبت وطاب ممشاك وتبقّ أت
منالجنة منزلا (رواه: بخاري)
Artinya: “Barang siapa yang menjenguk orang sakit atau mengunjungi
saudaranya karena Allah, maka dia diseru oleh penyeru: engkau baik, jalanmu
baik dan engkau akan menempati satu tempat di surga” (HR. Bukhari)[11]
Dan dalam riwayat yang lain dari Ibnu Umar memperkuat seruan cinta kebaikan,
mengulurkan bantuan dan pertolongan kepada saudaranya. Sabda beliau:
المسلم اخوالمسلم. لايظلمهولايسلمه. من كان في
حاجة اخيه كانالله في حاجته. ومن فرّج عن مسلمٍ كربة فرّج الله عنه بها كربةً من
كرب يوم القيامة. ومن ستر مسلمًا ستره الله يوم القيامة (رواه: بخاري)
Artinya: “Seorang muslim
adalah saudara bagi muslim yang lain. Ia tidak boleh menganiayanya dan tidak
pula menelantarkannya. Barang siapa (membantu memenuhi) keperluan saudaranya
maka Allah akan (memenuhi) keperluannya pula. Dan barang siapa berupaya
melepaskan satu kesulitan seorang muslim, maka Allah akan melepaskan suatu
kesulitan di antara kesulitan-kesulitan dihari kiamat. Dan barang siapa yang
menutupi (aib) saudaranya yang muslim maka Allah akan menutupi (aibnya) di hari
kiamat”. (HR. Bukhari)[12]
[1]
Muslim, Metode Mendidik Anak dalam Rumah
Tangga, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 64
[2] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hal. 12
[3] Departemen Pendidikan, Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, (t.t.p,
2002), hal. 24
[4]
Abdurrahman Annahlawi, Pendidikan Islam
di Rumah, sekolah dan masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal.
86
[5]
Abdul Hamid Al-Balali, Madrasah
Pendidikan Jiwa, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hal.152
[6]
Ahmad Hasan Kanzun, Waktu Luang Bagi Remaja Muslim, (Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2002), hal. 63
[7] Abdul Hamid Al-Balali, Madrasah ..., hal.149
[8]
Djeilani Abdul Qadir, Koreksi Ajaran tasawuf, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), hal. 127
[9]
Bukhari, Shahih Bukhari,Juz XVIII (Beirut: Darul Kutub
Al-Ilmiah, 2001), hal. 447
[11]
Bukhari, Shahih ..., hal. 286
0 Comments
Post a Comment