Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Gender Menurut Syariat Islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Allah swt Ta’ala menciptakan laki-laki dan wanita dengan karakteristik yang berbeda. Secara alami (sunnatullah), laki-laki memiliki otot-otot yang kekar, kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang berat, pantang menyerah, sabar dan lain-lain. Cocok dengan pekerjaan yang melelahkan dan sesuai dengan tugasnya yaitu menghidupi keluarga secara layak.
Sedangkan bentuk kesulitan yang dialami wanita yaitu: Mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh mendidik anak, serta menstruasi yang mengakibatkan kondisinya labil, selera makan berkurang, pusing-pusing, rasa sakit di perut serta melemahnya daya pikir, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 14:
وَوَصَّينَا الإِنسٰنَ بِوٰلِدَيهِ حَمَلَتهُ أُمُّهُ وَهنًا عَلىٰ وَهنٍ وَفِصٰلُهُ فى عامَينِ أَنِ اشكُر لى وَلِوٰلِدَيكَ إِلَىَّ المَصيرُ – سورة لقمان
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang, Ibu Bapaknya; Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.” (Qs. Luqman: 14)
Ketika dia melahirkan bayinya, dia harus beristirahat, menunggu hingga 40 hari atau 60 hari dalam kondisi sakit dan merasakan keluhan yang demikian banyak. Ditambah lagi masa menyusui dan mengasuh yang menghabiskan waktu selama dua tahun. Selama masa tersebut, si bayi menikmati makanan dan gizi yang dimakan oleh sang ibu, sehingga mengurangi staminanya.
Oleh karena itu, Dienul Islam menghendaki agar wanita melakukan pekerjaan/karir yang tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya dan tidak mengungkung haknya di dalam bekerja, kecuali pada aspek-aspek yang dapat menjaga kehormatan dirinya, kemuliaannya dan ketenangannya serta menjaganya dari pelecehan dan pencampakan. Dienul Islam telah menjamin kehidupan yang bahagia dan damai bagi wanita dan tidak membuatnya perlu untuk bekerja di luar rumah dalam kondisi normal. Islam membebankan ke atas pundak laki-laki untuk bekerja dengan giat dan bersusah payah demi menghidupi keluarganya.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Gender
Gènder dalam sosiologi mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan  jenis kelaminindividu (seseorang) dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam masyarakat.WHOmemberi batasan gender sebagai "seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan, yangdikonstruksi secara sosial, dalam suatu masyarakat."[1]
Konsep gender berbeda dariseksatau jenis kelamin(laki-laki dan perempuan) yang bersifat  biologis, walaupun dalam pembicaraan sehari-hari seks dan gender dapat salingdipertukarkan. Ilmu bahasa (linguistik ) juga menggunakan istilah gender (alternatif lainadalah genus) bagi pengelompokankata benda(nomina) dalam sejumlah bahasa. Banyak  bahasa, yang terkenal dari rumpun bahasa Indo-Eropa(contohnya bahasa Spanyol) dan Afroasiatik (seperti bahasa Arab), mengenal kata benda "maskulin" dan "feminin" (beberapa  juga mengenal kata benda "netral").Dalam isu LGBT, gender dikaitkan dengan orientasi seksual. Seseorang yang merasa identitas gendernya tidak sejalan dengan jenis kelaminnya dapat menyebut dirinya"intergender", seperti dalam kasus waria[2].
Dalam konsep gender, yang dikenal adalah peran gender  individu di masyarakat, sehingga orang mengenal maskulinitas dan femininitas. Sebagai ilustrasi, sesuatu yang dianggap maskulin dalam satukebudayaanbisa dianggap sebagai feminin dalam budaya lain. Dengankata lain, ciri maskulin atau feminin itu tergantung dari konteks sosial-budaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin.
B.    Aspek Hukum Wanita Bekerja Menurut Hukum Islam
Dalam hukum Islam tanggung jawab dalam rumah tangga, terutama tanggung jawab dalam menafkahi seluruh keluarga merupakan tanggung jawab seorang suami. Alasan sehingga peletakan tanggung jawab kepada suami ini sering didasari pada adanya perbedaan secara fisik antara laki-laki dan wanita, karena laki-laki dinilai memiliki fisik yang kuat, maka dalam Islam laki-laki menjadi tulang punggung bagi kaum wanita, sehingga dalam Islam laki-lakilah diharapkan memberi segala kebutuhan bagi kaum wanita, sehingga dalam Islam laki-lakilah diharapkan memberi segala kebutuhan bagi kaum wanita.
Disamping itu peletakan tanggung jawab ini juga memiliki makna fungsional. Demikian misalnya dalam mengutip pemikiran Talcot Persons sebagai tokoh aliran fungsionalis-Miqdad Yaljan melihat bahwa perbedaan peran antara laki-laki dan wanita dalam rumah tangga ini memiliki makna fungsional dalam mengatasi kemungkinan persaingan antara suami dan istri dalam rumah tangga, sebab menurutnya jika perbedaan ini tidak diatur, keserasian dan keharmonisan kehidupan dalam perkawinan dan masyarakat akan rusak.[3]
 Perbedaan pendapat mengenai boleh tidaknya seorang perempuan bekerja dalam khasanah fiqih bermula pada adanya surat al-ahzab ayat 73 (33:73) yang  berbunyi : ”Dan hendaklah kamu tetap berdiam (waqama) di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah terdahulu”. Perbedaan tersebut muncul sebagai akibat adanya perbedaan dalam memahami kata perintah ”waqarna” yang menjadi kata kunci ayat tersebut.
Sebagian ulama Kufa-sebuah aliran pemikiran hukum yang banyak diafiliasikan dengan rasionalisme Imam Abu Hanifah-memahami Waqama yang berarti” tinggalah dirumah kalian dan tetaplah berada disana” sementara ulamaulama Bashar dan sebagian ulama Kufa membaca Waqama dalam arti ”tinggalah dirumah kalian dalam tenang dan hormat”.[4]
Berkenaan dalam perbedaan penafsiran terhadap kata waqama tersebut, secara sederhana setidaknya ada tiga pemikiran atau pendapat yang berkenaan dengan wanita yang bekerja yaitu :
1.     Mereka yang secara absolut melarang seorang wanita yang bekerja. Al- Qurtubi misalnya berpendapat bahwa ayat tersebut bisa dipahami perempuan Islam secara umum diperintahkan untuk menetap didalam rumah, walaupun ia mengakui bahwa sebenarnya relasi ayat ini lebih terarah kepada istri-istri nabi Muhamad SAW, tetapi perempuan selain istri nabi juga tercakup dalam perintah tersebut, hal yang hampir senada juga terjemahkan oleh Ibnu Katsir, yang mengatakan bahwa ayat diatas mengandung arti perempuan tidak dibenarkan kecuali ada kebutuhan yang dibenarkan oleh agama.
2.     Pendapat yang memperbolehkan wanita bekerja asal ada ijin dari suami, serta dalam keadaan ”darurat”. Muhammad Qutub berpendapat bahwa ayat ini bukan berarti bukan larangan terhadap perempuan untuk bekerja, karena Islam tidak melarang perempuan bekerja. Hanya saja Islam tidak mendorong hal tersebut, Islam membenarkan mereka bekerja karena darurat dan bukan menjadikanya dasar.[5]  Hampir sama dengan pendapatnya Muhammad Qutub diatas, Haya Binti Mubarok Al-Barik8 berpendapat bahwa pada dasarnya adalah haram bagi seorang wanita bekerja diluar. Haramnya seorang wanita bekerja diluar berkaitan dengan keterbatasan-keterbatasan yang dipunyai oleh seorang wanita, misalnya karena haid, hamil, melahirkan dan nifas, menyusui dan merawat anak serta dilihat dari susunan tubuh yang dinilai memiliki perbedaan dengan laki-laki.[6] Bahkan lebih lanjut menurutnya terhadap seorang wanita yang bekerja diluar akan banyak menimbulkan dampak negatif jika dibandingkan positifnya, misalnya menelantarkan anak-anak, meruntuhkan nilai moral dan sikap keagamaan wanita tersebut, dapat kehilangan sifat naluri kewanitaanya dan lain-lainya.[7] Namun demikian menurut Haya Binti Mubarok Al-Barik bisa sajaseorang wanita/istri bekerja diluar rumah jika hal ini dalam keadaan darurat dengan tentunya memperoleh ijin dari suami mereka, tidak bercampur dengan laki-laki atau melakukan khalwat (mojok) dengan lelaki lain, tidak berlaku tabarruj dan tidak memakai wewangian yang bisa membangkitkan birahi seseorang.[8]
3.     Mereka yang membolehkan secara mutlak seorang wanita bekerja, pendapat ini tidak lepas dari analisis gender yang dilakukan terhadap ketentuan ayat tersebut. Demikian misalnya Ashgar Ali Engineer, menurutnya kedua pendapat sebelumnya sangat dipengaruhi oleh feodalisme. Oleh karena pemahaman terhadap ayat tersebut setidaknya dapat dilepaskan dari konteks sosial pada saat ayat itu diturunkan.Struktur sosial pada masa nabi tidaklah benar-benar mewakili kesetaraan laki-laki dan perempuan, sehingga domestikasi perempuan dianggap kewajiban dan suatu hal yang wajar.[9]
B.    Pendapat Ulama Tentang Hukum Wanita Bekerja diPabrik
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Lahan pekerjaan seorang wanita adalah pekerjaan yang dikhususkan untuknya seperti pekerjaan mengajar anak-anak perempuan baik secara administratif ataupun secara pribadi, pekerjaan menjahit pakaian wanita di rumahnya dan sebagainya. Adapun pekerjaan dalam lahan yang dikhususkan untuk orang laki-laki maka tidaklah diperbolehkan baginya. Karena bekerja pada lahan tersebut akan mengundang ikhtilath sedangkan hal tersebut adalah fitnah yang besar yang harus dihindari.
Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda: Artinya: “Saya tidak meninggalkan fitnah (godaan) yang lebih berbahaya bagi seorang laki-laki daripada fitnah perempuan.” Maka seorang laki-laki harus menjauhkan keluarganya dari tempat-tempat fitnah dan sebab-sebabnya dalam segala kondisi.[10] Tidak seorang pun yang berselisih bahwa wanita berhak bekerja, akan tetapi pembicaraan hanya berkisar tentang lapangan pekerjaan apa yang layak bagi seorang wanita, dan penjelasannya sebagai berikut:
Ia berhak mengerjakan apa saja yang biasa dikerjakan oleh seorang wanita biasa lainnya dirumah suaminya dan keluarganya seperti memasak, membuat adonan kue, membuat roti, menyapu, mencuci pakaian, dan bermacam-macam pelayanan lainnya serta pekerjaan bersama yang sesuai dengannya dalam rumah tangga. Ia juga berhak mengajar, berjual beli, menenun kain, membuat batik, memintal, menjahit dan semisalnya apabila tidak mendorong pada perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh syara  seperti berduaan dengan selain mahram atau bercampur dengan laki-laki lain, yang mengakibatkan fitnah atau menyebabkan ia meninggalkan hal-hal yang harus dilakukannya terhadap keluarganya, atau menyebabkan ia tidak mematuhi perintah orang yang harus dipatuhinya dan tanpa ridha mereka.[11]
C.    Dampak Negatif Wanita Bekerja
Beberapa Dampak Negatif dari Terjunnya Wanita untuk Bekerja Di antara dampak-dampak negatif tersebut adalah:
1.     Penelitian kedokteran di lapangan (dunia Barat) menunjukkan telah terjadi perubahan yang amat signifikan terhadap bentuk tubuh wanita karir secara biologis, sehingga menyebabkannya kehilangan naluri kewanitaan. Meskipun jenis kelamin mereka tidak berubah menjadi laki-laki, namun jenis wanita semacam ini dijuluki sebagai jenis kelamin ke tiga. Menurut data statistik, kebanyakan penyebab kemandulan para istri yang merupakan wanita karir tersebut bukan karena penyakit yang biasa dialami oleh anggota badan, tetapi lebih diakibatkan oleh ulah wanita di masyarakat Eropa yang secara total, baik dari aspek materiil, pemikiran maupun biologis lari dari fithrahnya (yakni sifat keibuan).
2.     Penyebab lainnya adalah upaya mereka untuk mendapatkan persamaan hak dengan kaum laki-laki dalam segala bidang. Hal inilah yang secara perlahan melenyapkan sifat keibuan mereka, banyaknya terjadi kemandulan serta mandegnya air susu ibu (ASI) sebagai akibat perbauran dengan kaum laki-laki.
3.     Di barat, muncul fenomena yang mengkhawatirkan sekali akibat terjunnya kaum wanita sebagai wanita karir, yaitu terjadinya tindak kekerasan terhadap anak-anak kecil berupa pukulan yang keras, sehingga dapat mengakibatkan mereka meninggal dunia, gila atau cacat fisik. Majalah-majalah yang beredar di sana menyebutkan nama penyakit baru ini dengan sebutan Battered Baby Syn (penyakit anak akibat dipukul). Majalah Hexagon dalam volume No. 5 tahun 1978 menyebutkan bahwa banyak sekali rumah – rumah sakit di Eropa dan Amerika yang menampung anak-anak kecil yang dipukul secara keras oleh ibu-ibu mereka atau terkadang oleh bapak-bapak mereka.
4.     Sahal Mahfudz mengatakan, “Pada tahun 1967, lebih dari 6500 anak kecil yang dirawat di beberapa rumah sakit di Inggris, dan sekitar 20% dari mereka berakhir dengan meninggal, sedangkan sisanya mengalami cacat fisik dan mental secara akut. Ada lagi, sekitar ratusan orang yang mengalami kebutaan dan lainnya ketulian setiap tahunnya, ada yang mengalami cacat fisik, idiot dan lumpuh akibat pukulan keras.”
5.     Para wanita karir yang menjadi ibu rumah tangga tidak dapat memberikan pelayanan secara berkesinambungan terhadap anak-anak mereka yang masih kecil, karena hampir seluruh waktunya dicurahkan untuk karir mereka. Sehingga anak-anak mereka hanya mendapatkan jatah sisa waktu dalam keadaan cape dan loyo.
6.     Berkurangnya angka kelahiran, sehingga pemerintah negara tersebut saat ini menggalakkan kampanye memperbanyak anak dan memberikan penghargaan bagi keluarga yang memiliki banyak anak. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan kondisi yang ada di dunia Islam saat ini.[12]
D.    Syarat Wanita Boleh Bekerja di Luar Rumah Menurut Islam
Ada kondisi yang teramat mendesak yang menyebabkan seorang wanita terpaksa diperbolehkan bekerja ke luar rumah, namun tetap dengan persyaratan sebagai berikut:
1.     Disetujui oleh kedua orangtuanya atau wakilnya atau suaminya, sebab persetujuannya adalah wajib secara agama dan qadla’ (hukum).
2.     Pekerjaan tersebut terhindar dari ikhtilath (berbaur dengan bukan mahram), khalwat (bersunyi-sunyi, menyendiri) dengan laki-laki asing. Sebab ada dampak negatif yang besar jika hal tersebut sampai terjadi,. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Artinya: “Tidaklah seorang lak-laki bersepi-sepian dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) kecuali setan mejadi yang ketiganya.”[13] “Tidaklah seorang laki-laki berkhalwat (bersunyi-sunyi, menyendiri) dengan seorang wanita, kecuali bila bersama laki-laki (yang merupakan) mahramnya.” (HR. Bukhari)
3.     Menutupi seluruh tubuhnya di hadapan  laki-laki asing dan menjauhi semua hal yang memicu timbulnya fitnah, baik di dalam berpakaian, berhias atau pun berwangi-wangian (menggunakan parfum).
4.     Komitmen dengan akhlaq Islami dan hendaknya menampakkan keseriusan dan sungguh-sungguh di dalam berbicara, alias tidak dibuat-buat dan sengaja melunak-lunakkan suara.Firman Allah: “Maka janganlah sekali-kali kalian melunak-lunakan ucapan sehingga membuat condong orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit dan berkata-katalah dengan perkataan yang ma’ruf/baik.” Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 32
يَا نِسَاء النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاء إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفاً
Artinya:   Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik,(Qs. Al-Ahzab:32)
5.     Hendaknya pekerjaan tersebut sesuai dengan tabi’at dan kodratnya seperti dalam bidang pengajaran, kebidanan, menjahit dan lain-lain.










BAB III
P E N U T U P
Berdasarkan uraian-uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab terakhir ini penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan serta mengajukan beberapa saran.
A.    Kesimpulan
1.      Dalam hukum Islam tanggung jawab dalam rumah tangga, terutama tanggung jawab dalam menafkahi seluruh keluarga merupakan tanggung jawab seorang suami.
2.      Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Lahan pekerjaan seorang wanita adalah pekerjaan yang dikhususkan untuknya seperti pekerjaan mengajar anak-anak perempuan baik secara administratif ataupun secara pribadi, pekerjaan menjahit pakaian wanita di rumahnya dan sebagainya.
3.      Diantara dampak negative wanita bekerja adalah upaya mereka untuk mendapatkan persamaan hak dengan kaum laki-laki dalam segala bidang. Hal inilah yang secara perlahan melenyapkan sifat keibuan mereka, banyaknya terjadi kemandulan serta mandegnya air susu ibu (ASI) sebagai akibat perbauran dengan kaum laki-laki.
B.    Saran – Saran
1.      Disarankan kepada mahasiswa untuk dapat memperdalam ilmu tentang masalah baru yang muncul dalam dunia islam demi untuk bekal mereka dalam kehidupan.
2.      Disarankan kepada pihak Fakultas untuk dapat menyediakan Tenaga Pengajar yang dalam masalah- masalah baru yang muncul dalam dunia islam demi untuk menambah kualitas mahasiswa pada saat mengajar.





















DAFTAR PUSTAKA

Al- Qur’anulkarim dan Terjemahan Departemen Agama RI.

Ash-Shiddieqi, Hasbi, Kumpulan Soal Jawab, Jakarta: Bulan Bintang, 1971.
Mahfudz, Sahal, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Surabaya: Diantama, 2004.
Uman, Cholil, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, Surabaya: Ampel Suci, 1994.
M. Quraisy Shihab, Tafsir Al – Misbah, Lentera Hati, 2002
Zuhdi, Masjfuk; Masail Fiqhiyah, Jakarta : PT. Toko Gunung Agung, 1994.
Azizy, Ahmad Qodri; Islam Dan Permasalahan Sosial, cet. I, Yogyakarta : LKIS, 2000.
Abdul Madjid, Ahmad; Masail Fiqhiyyah, Pasuruan : PT. Garoeda Buana Indah, 2000.
Amal al-Mar’ah Baina Al-Islam wa Al-Gharb” tulisan Ibrahim an-Ni’mah – Abu Hafshoh)
Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerbit Darul Haq
Miqdad Yaljan, Potret Rumah Tangga Islami, Pustaka Mantiq, Solo, Tanpa Tahun,
Arif Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologi Tentang Peran Wanita di Dalam Masyarakat, Jakarta, Gramedia, 1985.


[1] Arif Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologi Tentang Peran Wanita di Dalam Masyarakat, (Jakarta, Gramedia, 1985), hal. 10.

[2] Ibid., hal. 11.
[3] Miqdad Yaljan, Potret Rumah Tangga Islami,, (Solo: Pustaka Mantiq, tt, )hal. 89-90.
[4] Ali Muhanif, Perempuan Dalam Literature Islam Klasik, (Gramedia Pustaka Umum Bekerja Sama Dengan PPIM IAIN Jakarta, 2002), hal. 19-20.
[5] Ibid, hal.20.

[6] Ibid, hal.159-161.

[7] Ibid, hal.170
[8] Ibid, hal. 56

[9] Arif Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologi Tentang Peran Wanita di Dalam Masyarakat, (Jakarta, Gramedia, 1985), hal. 2.
[10] (Fatawa Mar’ah, 1/103)

[11] (Majalatul Buhuts Al-Islamiyah 19/160)
[12] Sahal Mahfudz, , Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, (Surabaya: Diantama, 2004), hal. 35-46.
[13] (Hadits Riwayat At-Tirmidzi dalam Al-Fitan 2165, Ahmad 115)