BAB
III
AKHLAK
FATIMAH AZ-ZAHRA
A. Teladan
Yang Baik
Allah Swt. mendidik makhluknya yang
bernama manusia dengan perantaran para utusan-Nya. Allah dalam mendidik
hambanya dengan menggunakan berbagai macam cara seperti memberikan kabar
gembira berupa nikmat-nikmat yang abadi, menakut-nakuti dengan azab yang pedih,
menceritakan kisah kaum terdahulu, menceritakan kisah para Nabi, menggunakan
contoh atau sumpah dan sebaginya. “Fatimah Az-zahra adalah mutiara di dalam
lautan keberkahan . Ibunya Khadijah Al-Kubra, adalah seorang wanita mulia yang
tidak ada seorangpun yang mampu melewatinya”.[1]
Salah satu cara yang paling mujarab yang
digunakan berkali-kali dalam Alquran adalah menyodorkan teladan yang layak dan
baik dengan cara langsung atau tidak langsung. Begitu juga menentukan teladan
yang baik dan menekankan untuk mengikutinya serta tidak menganggap baik
mengikuti teladan yang buruk dan menghancurkan pemikiran dan budaya yang tidak
baik.
Alquran mengenalkan Rasulullah Saw. sebagai teladan yang baik bagi
kaum beriman: “Dalam diri Rasulullah Saw. ada teladan untuk kalian orang-orang
yang berharap kepada Allah dan hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah”.
Artinya, mengikuti Rasul sebagai teladan adalah sebuah taufik dan sifat yang
terpuji yang tidak bisa didapatkan oleh setiap orang, akan tetapi hanya bisa
didapatkan oleh orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kiamat
serta orang-orang yang betul-betul mencintai Allah dan banyak mengingat-Nya
saja. Yang pada akhirnya mengingat dan perhatian yang terus menerus inilah yang
akan menyebabkan seseorang untuk meneladani Rasulullah secara sempurna.
Sebaliknya, jika keimanan seseorang kepada Allah Swt. dan hari kiamat semakin
lemah maka semangat dan taufik untuk meneladani Rasulullah Saw. juga akan
semakin kecil dan lemah.
Fatimah Az-zahra dikenal sebagai wanita yang
berakhlak mulia, pemilik jiwa yang suci, berperasaan lembut, dan cerdas. Kelembutan
jiwa dan keindahan pekertinya disempurnakan dengan kecerdasan pikiran dan
ketangkasannya. Ia tak pernah melakukan atau mengucapkan sesuatu yang sia-sia,
tidak pula mendekati perilaku yang tercela.[2]
Sebuah misal, Alquran menganjurkan kepada Rasulullah
saw untuk meneladani para nabi ulul Azmi dalam menyampaikan risalahnya artinya
hendaknya seperti mereka sabar dan istiqamah dan hindarilah tergesa-gesa
“(Dalam bertablig dan menahan godaan umat). Bersabarlah sebagaimana para nabi
ulul azmi bersabar dan jangan tergesa-gesa (dalam mengazab mereka)”.
Alquran dalam mendidik umat menggunakan contoh
dalam bentuk cerita, seperti dalam ayat yang menceritakan kisah Asiyah; isteri
Firaun dan Maryam; putri Nabi Imran as mereka adalah teladan bagi para mukminin
alam, baik laki-laki maupun perempuan. Kalau mau meneladani maka teladanilah
dua wanita ini, dari sisi panjangnya jangkauan dan semangat tingginya Asiyah;
isteri Firaun di mana ia saat itu berada dalam istana dengan fasilitas yang
memadai, tetapi ia tidak menghiraukan masalah dunia dan memandangnya sebagai
sesuatu yang hina bahkan meminta kepada Allah untuk dibangunkan sebuah rumah
yang abadi di akhirat dan hendaknya diselamatkan dari tangan Firaun yang zalim
dan kaumnya. Begitu
juga teladanilah Maryam, dari sisi kesuciannya dan iman serta penghambaannya
yang murni kepada Allah swt.
Sehubungan dengan contoh teladan Maryam, dia
adalah teladan untuk zamannya. Sementara Sayyidah Fatimah adalah teladan
seluruh wanita sepanjang sejarah. Rasulullah Saw. bersabda bahwa Maryam adalah
teladan bagi para wanita di zamannya sementara Fatimah adalah teladan wanita
seluruh alam dari awal sampai akhir. Rasulullah bersabda bahwa malaikat telah
turun kepadaku dan memberikan kabar gembira bahwa Fatimah adalah teladan
seluruh wanita penghuni surga dan teladan seluruh wanita umatku.
Fatimah Az-zahra tidak pernah mempergunakan
lisannya kecuali untuk mengatakan kebenaran. Sertiap ucapannya dikatakan dengan
jujur, dan tidak pernah menyebutkan keburukan seseorang, atau menyebut orang
lain dengan kata-kata yang buruk. Ia tidak suka bergosip, apalagi mengadu domba;
tak suka bercanda berlebihan, apalagi mengatakan sesuatu yang sia-sia; dengan
kukuh ia akan menjaga rahasia, memenuhi setiap janji, dan menasehati siapa yang
memintanya. Ia sadar bahwa kedudukan mulia di sisi Rasulullah yang dicapai
suaminya adalah buah dari kejujuran dan dan kesetiaannya menyampaikan amanat.[3]
Dari sini jelas, bahwa kedudukan
Sayyidah Fatimah lebih tinggi dari kedudukan Maryam dan Asiyah. Kedudukan Fatimah
tidak hanya lebih tinggi dari kedudukan Maryam dan Asiyah. Bahkan puncak
kedudukan keduanya adalah di saat mereka mendapatkan taufiq untuk membantu ibu
Sayyidah Fatimah ketika melahirkan Fatimah. Kisah lahirnya Sayyidah Fatimah ini
diriwayatkan dari ucapan Imam Shadiq bahwa ketika Khadijah binti Khuwailid
kawin dengan Muhammad saw tidak ada seorang wanita Quraisy pun yang mau
menjenguk Khadijah, terutama ketika melahirkan putrinya yang bernama Fatimah
a.s. maka dengan izin Allah datanglah empat wanita surga dan salah satunya
mengenalkan diri seraya berkata saya adalah Sarah istri Ibrahim as dan ini
adalah Asiyah putri muzahim (istri Firaun) dan dia adalah temanmu di surga dan
ini adalah Maryam putri Imran as dan ini adalah Shafura putri Syuaib as kami
adalah utusan Allah swt untuk menolongmu di mana setiap wanita menolong
wanita-wanita lain yang membutuhkan.
Maka lahirlah Sayyidah Fatimah yang suci dan
sinarnya menyinari rumah-rumah daerah sekelilingnya. Pada saat itu sepuluh peri dari
surga masuk ke rumah Khadijah yang masing-masing dari mereka membawa dua bejana
air telaga Kautsar. Wanita yang berada di depan Khadijah adalah Maryam. Ia
mengangkat Sayyidah Fatimah dan memandikannya dengan air telaga Kautsar
kemudian membungkusnya dengan kain putih yang putihnya lebih putih dari susu
dan lebih harum dari misyk (minyak wangi). “Fatimah Az-Zahra adalah contoh sempurna
seorang perempuan ideal; contoh seperti apa yang dapat diraih seorang perempuan
, namun tak seorangpun dapat meraihnya”.[4]
Setelah mengkaji masalah meneladani dan
caranya dalam Alquran sekarang bagaimana kita meneladani Sayyidah Fatimah as di
mana faktor pembentuk kepribadian seorang teladan merupakan masalah yang
betul-betul menjadi bahan kajian. Kalau hanya berbicara faktor pembentuk
seperti genetik, lingkungan, lingkungan geografi dan lingkungan masyarakat maka
meneladani tidak memiliki makna karena faktor tersebut adalah keterpaksaan. Oleh karena
itu, selain kita mengakui faktor tersebut maka kita juga harus mengakui faktor
yang terpenting lainnya yaitu kebebasan dan kemauan seorang sosok teladan.
Lantas bagaimana dengan faktor pembentuk kepribadian Sayyidah Fatimah as dan
bagaimana caranya kita meneladani beliau.
Kalau kita lihat dari sisi genetik,
lingkungan, baik lingkungan sebelum lahir maupun lingkungan setelah lahir,
lingkungan sosial, lingkungan geografi Sayyidah Fatimah tidak diragukan bahwa
beliau adalah sosok teladan yang patut untuk diteladani dan diikuti karena ayah
beliau adalah Muhammad saw sebagai manusia yang paling mulia dan ibunya Khadijah binti khuwailid wanita yang
paling suci dan mulia di zamannya sementara kakek neneknya adalah orang-orang
yang saleh dan paling suci di bumi pada masa itu. Nutfah Sayyidah Fatimah telah
dibuahi di saat ayahnya telah mencapai kesucian ruh karena ibadahnya kepada
Allah swt. selama empat puluh hari dan bahan nutfahnya adalah makanan syurgawi yang
paling suci dan bagus. Oleh karena itu beliau dinamakan Haura’ Al-Insiyah, peri
yang berupa manusia dan Rasulullah selalu merindukan bau surga dalam wujud
beliau.
Fatimah dipelihara dalam keluarga
yang penuh kasih sayang, ceria dan suci di mana setelah wafat ibunya beliau
dididik oleh pendidik yang paling bagus akhlaknya yaitu ayahnya sendiri dan
berada di sisi suami yang selalu berada di bawah naungan Rasulullah saw. dan
faktor lain yaitu faktor secara gaib yaitu selalu mendapatkan ilham dari Allah
swt. melalui malaikat yang turun kepadanya.
Dari sisi faktor-faktor ini kita
bisa meneladaninya dalam kehidupan ini seperti ketika ada niat untuk kawin maka
harus teliti dalam memilih pasangan hidup, pentingnya kedua orang tua untuk
membangun dan membersihkan diri dan kejiwaan sebelum terjadinya pembuahan dan
setelah itu keharusan kedua orang tua dalam mengonsumsi makanan halal dalam
masa kehamilan sampai menyusui.
Kita sebagai manusia biasa dalam
meneladani orang suci seperti Sayyidah Fatimah sekalipun tidak akan sampai
walau hanya pada tanah bekas kakinya akan tetapi pandangan seperti ini jangan
sampai menjadikan kita putus asa dan menjadi penghalang dalam meneladaninya.
Kedudukan beliau yang sangat tinggi hendaknya menjadikan spirit bagi kita yang
mau meneladaninya karena faktor yang paling pokok dalam pembentukan kepribadian
beliau adalah ikhtiar dan pilihan bebas beliau. “Fatimah Az-zahra lahir kedunia di sebuah
rumah yang paling mulia di Quraisy. Ayahnya adalah orang yang jujur dan
terpercaya”.[5]
Sayyidah Fatimah adalah manusia yang suci dari
dosa, tetapi beliau adalah manusia juga, sehingga dalam meneladani kita lihat
sisi kesamaannya dengan kita sebagai manusia, di mana kita bisa meneladani
beliau dari sisi dia juga memiliki kecondongan dan syahwat, hawa nafsu, fitrah,
akal , penghambaan dan ibadah dan hubungan sosial sehingga bagaimana beliau
menggunakan semua ini kita bisa mencontohnya dan meneladaninya.
B.
Cinta dan Kasih Sayang
Kisah cinta suci antara Ali bin Abi Thalib dan
Fatimah Az-Zahra. Cinta sahabat Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra memang
luar biasa indah, cinta yang selalu terjaga kerahasiaannya dalam sikap, kata,
maupun ekspresi. Hingga akhirnya Allah menyatukan mereka dalam sebuah ikatan
suci pernikahan. Konon, karena saking teramat rahasianya, setan saja tidak tahu
urusan cinta diantara keduanya. Sudah lama Ali terpesona dan jatuh hati pada
Fatimah, ia pernah tertohok dua kali saat Abu Bakar dan Umar melamar Fatimah.
Sementara dirinya belum siap untuk melakukannya. Namun, kesabaran beliau
berbuah manis, lamaran kedua orang sahabat yang sudah tidak diragukan lagi
keshalihannya tersebut ternyata ditolak oleh Rasulullah. Hingga akhirnya Ali
memberanikan diri, dan ternyata lamarannya yang mesti hanya bermodal baju besi
diterima oleh Rasulullah.
Di sisi lain, Fatimah ternyata juga sudah lama
memendam cintanya kepada Ali. Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari
setelah keduanya menikah, Fatimah berkata kepada Ali, "Maafkan aku, karena
sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta kepada
seorang pemuda dan aku ingin menikah dengannya", Ali pun bertanya mengapa
ia tak mau menikah dengannya, dan apakah Fatimah menyesal menikah dengannya. Sambil
tersenyum Fatimah Az-Zahra menjawab, "Pemuda itu adalah dirimu".
Rumah tangga Ali dan Fatimah dipenuhi dengan
cinta dan kasih sayang. Suatu hari kedua tertawa satu sama laia saat Rasulullah
Saw. mendekati mereka dari arah belakang. Saat itu, Ali berkata kepada Fatimah
yang membuatnya tersenyum untuk menyangkal apa yang dikatakannya. Demikian pula ketika Fatimah mengatakan
sesuatu kepada Ali, ia juga tersenyum untuk menyangkal apa yang dikatakannya. Rasulullah
Saw sangat bahagia mendapati putri dan menantunya saling mencintai dan
mengasihinya.[6]
Diceritakan, Ali Bin Abi Thalib waktu itu
ingin melamar Fatimah, putri nabi Muhammad saw. Tapi karena dia tidak mempunyai
uang untuk membeli mahar, maka ia membatalkan niat itu. Ali segera berhijrah
untuk bekerja dan mengumpulkan uang. Pada saat Ali sedang bekerja keras, ia
mendengar kabar kalau Abu Bakar ternyata melamar Fatimah. Wah, bagaimana agaknya
perasaan Ali, wanita yang sudah dia inginkan dilamar oleh seseorang yang ilmu
agamanya lebih hebat dari dia. Tetapi Ali tetap bekerja dengan giat. Lalu
setelah beberapa lama Ali mendengar kabar kalau lamaran Abu Bakar kepada
Fatimah ditolak. Ali tertegun dan sedikit bergembira tentunya, kata Ali “waah,
saya masih punya kesempatan ”. Setelah mendengar kabar itu, Ali bekerja lebih
giat lagi agar cepat mengumpulkan uang dan segera melamar Fatimah. Tapi tak
lama setelah itu, Ali mendengar kabar kalau Umar Bin Khatab melamar Fatimah.
Wah, sekali lagi Ali mendahulukan orang lain, bagaimana perasaannya? Tapi tak
berapa lama Ali mendengar kalau lamaran Umar bin Khatab ditolak. betapa
senangnya Ali, mendengar kabar itu.
Tapi tak lama, kesenangan itu kembali pudar karena terdengar kabar lagi, ternyata Utsman
bin Affan melamar Fatimah. ini sudah yang ketiga kalinya, kata Ali “mungkin
kali ini diterima. Kalaulah Usman tidak melamar Fatimah secepat ini, InsyaAllah
tidak lama lagi saya akan melamar Fatimah, tapi , apa hendak dikata , adakah
mau mengalah?". Dan sekali lagi, tidak berapa lama dari itu, kabar
ditolaknya lamaran Utsman bin Affan pun terdengar lagi, betapa bahagianya Ali.
Semangat Ali untuk melamar Fatimah pun berkobar lagi, dan semangat itu didukung
oleh sahabat-sahabat Ali. Kata sahabatnya “ pergilah Ali, lamar Fatimah
sekarang, tunggu apa lagi? kamu kan
sudah bekerja keras selama ini, kamu juga sudah mengumpulkan harta dan cukup
untuk membeli mahar. tunggu apa lagi? Tunggu yang ke4 kalinya? baik cepat!” Dengan
segera Ali memeberanikan diri untuk menghadap ke Nabi Muhammad saw. dengan
tujuan melamar Fatimah, dan sahabat-sahabat tahu? lamarannya diterima!
Ternyata memang dari dulu Fatimah az-Zahra
sudah mempunyai perasaan dengan Ali dan menunggu Ali untuk melamarnya. Begitu
juga dengan Ali, dari dulu dia juga sudah mempunyai perasaan dengan Fatimah
az-Zahra. Tapi mereka berdua sabar menyembunyikan perasaan itu sampai saatnya
tiba, sampai saatnya Ijab Kabul disahkan. Walaupun Ali sudah merasakan
kekecewaan 3 kali mendahulukan orang lain, akhirnya kekecewaan itu terbayar
juga. Jodoh memang tidak kemana dari cerita itu, lebih memperjelas lagi kan
bahwa “Cinta itu, mengambil kesempatan , atau mempersilakan yang lain.
Cinta adalah hal fitrah yang tentu saja
dimiliki oleh setiap orang, namun bagaimanakah membingkai perasaan tersebut
agar bukan cinta yang mengendalikan diri kita, tetapi diri kita yang
mengendalikan cinta. Mungkin cukup sulit menemukan teladan dalam hal tersebut
disekitar kita saat ini. Walaupun bukan tidak ada.. barangkali, kita saja yang
tidak mengetahuinya. Dan inilah kisah dari Khalifah ke-4, suami dari Putri
kesayangan Rasulullah tentang membingkai perasaan dan bertanggung jawab akan
perasaan tersebut “Bukan janji-janji” Akhirnya Ali pun menikahi Fatimah
az-Zahra, dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin
disumbangkan sahabat-sahabatnya tapi Nabi berkeras agar ia membayar bakinya,
Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, Umar
dan Fatimah. Dengan keberanian untuk menikah.
Ali Bin Abi Thalib adalah manusia sejati.,“Laa
fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda lain yang lebih sejati kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua
perasaan dengan tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk
menanti. Seperti Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama
adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Dan ternyata tak kurang juga
yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu
hari (setelah mereka menikah) Fatimah berkata kepada Ali, “Maafkan aku, karena
sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada
seorang pemuda” Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau
menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu” Sambil tersenyum Fatimah berkata,
“Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari
setelah keduanya menikah, Fatimah berkata kepada Ali: Fatimah : “Wahai suamiku
Ali, aku telah halal bagimu, aku pun sangat bersyukur kepada Allah karena
ayahku memilihkan aku suami yang tampan, sholeh, cerdas dan baik sepertimu”. Ali:
“Aku pun begitu wahai Fatimahku sayang, aku sangat bersyukur kepada Allah
akhirnya cintaku padamu yang telah lama kupendam telah menjadi halal dengan
ikatan suci pernikahanku denganmu.” Fatimah : (berkata dengan lembut) “Wahai
suamiku, bolehkah aku berkata jujur padamu? karena aku ingin terjalin
komunikasi yang baik diantara kita dan kelanjutan rumah tangga kita”. Ali:
“Tentu saja istriku, silahkan, aku akan mendengarkanmu…”. Fatimah : “Wahai Ali
suamiku, maafkan aku, tahukah engkau bahwa sesungguhnya sebelum aku menikah denganmu,
aku telah lama mengagumi dan memendam rasa cinta kepada seorang pemuda, dan aku
merasa pemuda itu pun memendam rasa cintanya untukku. Namun akhirnya ayahku
menikahkan aku denganmu. Sekarang aku adalah istrimu, kau adalah imamku maka
aku pun ikhlas melayanimu, mendampingimu, mematuhimu dan menaatimu, marilah
kita berdua bersama-sama membangun keluarga yang diridhai Allah.
Sungguh bahagianya Ali mendengar pernyataan
Fatimah yang siap mengarungi bahtera kehidupan bersama, suatu pernyataan yang
sangat jujur dan tulus dari hati perempuan sholehah. Tapi Ali juga terkejut dan
agak sedih ketika mengetahui bahwa sebelum menikah dengannya ternyata Fatimah
telah memendam perasaan kepada seorang pemuda. Ali merasa agak sedih karena
sepertinya Fatimah menikah dengannya karena permintaan Rasul yang tak lain
adalah ayahnya Fatimah, Ali kagum dengan Fatimah yang mau merelakan perasaannya
demi taat dan berbakti kepada orang tuanya yaitu Rasul dan mau menjadi istri
Ali dengan ikhlas.
Namun Ali memang sungguh pemuda yang sangat
baik hati, ia memang sangat bahagia sekali telah menjadi suami Fatimah, tapi
karena rasa cintanya karena Allah yang sangat tulus kepada Fatimah, hati Ali
pun merasa agak bersalah jika hati Fatimah terluka, karena Ali sangat tahu
bagaimana rasanya menderita karena cinta. Dan sekarang Fatimah sedang
merasakannya. Ali bingung ingin berkata apa, perasaan didalam hatinya bercampur
aduk. Di satu sisi ia sangat bahagia telah menikah dengan Fatimah, dan Fatimah
pun telah ikhlas menjadi istrinya. Tapi disisi lain Ali tahu bahwa hati Fatimah
sedang terluka. Ali pun terdiam sejenak, ia tak menanggapi pernyataan Fatimah.
Fatimah pun lalu berkata, “Wahai Ali suamiku
sayang, Astagfirullah, maafkan aku. Aku tak ada maksud ingin menyakitimu, demi
Allah aku hanya ingin jujur padamu, saat ini kaulah pemilik cintaku, raja yang
menguasai hatiku.”.
Ali masih saja terdiam, bahkan Ali mengalihkan
pandangannya dari wajah Fatimah yang cantik itu. Melihat sikap Ali, Fatimah pun
berkata sambil merayu Ali, “Wahai suamiku Ali, tak usah lah kau pikirkan
kata-kataku itu, marilah kita berdua nikmati malam indah kita ini. Ayolah
sayang, aku menantimu Ali”. Ali tetap saja terdiam dan tidak terlalu
menghiraukan rayuan Fatimah, tiba-tiba Ali pun berkata, “Fatimah, kau tahu
bahwa aku sangat mencintaimu, kau pun tahu betapa aku berjuang memendam rasa
cintaku demi untuk ikatan suci bersamamu, kau pun juga tahu betapa bahagianya
kau telah menjadi istriku. Tapi Fatimah, tahukah engkau saat ini aku juga sedih
karena mengetahui hatimu sedang terluka. Sungguh aku tak ingin orang yang
kucintai tersakiti, aku bisa merasa bersalah jika seandainya kau menikahiku
bukan karena kau sungguh-sungguh cinta kepadaku. Walaupun aku tahu lambat laun
pasti kau akan sangat sungguh-sungguh mencintaiku. Tapi aku tak ingin melihatmu
sakit sampai akhirnya kau mencintaiku..
Fatimah pun tersenyum mendengar kata-kata Ali,
Ali diam sesaat sambil merenung, tak terasa mata Ali pun mulai keluar air mata,
lalu dengan sangat tulus Ali berkata lagi, “Wahai Fatimah, aku sudah menikahimu
tapi aku belum menyentuh sedikit pun dari dirimu, kau masih suci. Aku rela
menceraikanmu malam ini agar kau bisa menikah dengan pemuda yang kau cintai
itu, aku akan ikhlas, lagi pula pemuda itu juga mencintaimu. Jadi aku tak akan
khawatir ia akan menyakitimu. Aku tak ingin cintaku padamu hanya bertepuk
sebelah tangan, sungguh aku sangat mencintaimu, demi Allah aku tak ingin kau
terluka… Menikahlah dengannya, aku rela”.
Fatimah juga meneteskan airmata sambil
tersenyum menatap Ali, Fatimah sangat kagum dengan ketulusan cinta Ali
kepadanya, ketika itu juga Fatimah ingin berkata kepada Ali, tapi Ali memotong
dan berkata, “Tapi Fatimah, sebelum aku menceraikanmu, bolehkah aku tahu siapa
pemuda yang kau pendam rasa cintanya itu?, aku berjanji tak akan meminta apapun
lagi darimu, namun izinkanlah aku mengetahui nama pemuda itu.
Airmata Fatimah mengalir semakin deras,
Fatimah tak kuat lagi membendung rasa bahagianya dan Fatimah langsung memeluk
Ali dengan erat. Lalu Fatimah pun berkata dengan tersedu-sedu,“Wahai Ali, demi
Allah aku sangat mencintaimu, sungguh aku sangat mencintaimu karena
Allah." Berkali-kali Fatimah mengulang kata-katanya. Setelah emosinya bisa
terkontrol, Fatimah pun berkata kepada Ali, “Wahai Ali, Awalnya aku ingin
tertawa dan menahan tawa sejak melihat sikapmu setelah aku mengatakan bahwa
sebenarnya aku memendam rasa cinta kepada seorang pemuda sebelum menikah
denganmu, aku hanya ingin menggodamu, sudah lama aku ingin bisa bercanda mesra
bersamamu. Tapi kau malah membuatku menangis bahagia. Apakah kau tahu
sebenarnya pemuda itu sudah menikah”. Ali menjadi bingung, Ali pun berkata
dengan selembut mungkin, walaupun ia kesal dengan ulah Fatimah kepadanya ”Apa
maksudmu wahai Fatimah? Kau bilang padaku bahwa kau memendam rasa cinta kepada
seorang pemuda, tapi kau malah kau bilang sangat mencintaiku, dan kau juga
bilang ingin tertawa melihat sikapku, apakah kau ingin mempermainkan aku
Fatimah?, sudahlah tolong sebut siapa nama pemuda itu? Mengapa kau
mengharapkannya walaupun dia sudah menikah?”.
Fatimah pun kembali memeluk Ali dengan erat,
tapi kali ini dengan dekapan yang mesra. Lalu menjawab pertanyaan Ali dengan
manja, “Ali sayang, kau benar seperti yang kukatakan bahwa aku memang telah
memendam rasa cintaku itu, aku memendamnya bertahun-tahun, sudah sejak lama aku
ingin mengungkapkannya, tapi aku terlalu takut, aku tak ingin menodai anugerah
cinta yang Allah berikan ini, aku pun tahu bagaimana beratnya memendam rasa
cinta apalagi dahulu aku sering bertemu dengannya. Hatiku bergetar bila ku bertemu
dengannya. Kau juga benar wahai Ali cintaku, ia memang sudah menikah. Tapi
tahukah engkau wahai sayangku, pada malam pertama pernikahannya ia malah dibuat
menangis dan kesal oleh perempuan yang baru dinikahinya”
Ali pun masih agak bingung, tapi Fatimah
segera melanjutkan kata-katanya dengan nada yang semakin menggoda Ali, ”Kau
ingin tahu siapa pemuda itu? Baiklah akan kuberi tahu. Sekarang ia berada
disisiku, aku sedang memeluk mesra pemuda itu, tapi kok dia diam saja ya,
padahal aku memeluknya sangat erat dan berkata-kata manja padanya, aku sangat
mencintainya dan aku pun sangat bahagia ternyata memang dugaanku benar, ia juga
sangat mencintaiku.
C.
Pelajaran Iman dan Taqwa
Fatimah Az-Zahra, adalah seorang figur yang unggul dalam keutamaan
ini. Dalam doanya, beliau sering berucap, “Ya Allah, kecilkanlah jiwaku di
mataku dan tampakkanlah keagungan-Mu kepadaku. Ya Allah, sibukkanlah aku dengan
tugas yang aku pikul saat Engkau menciptakanku, dan jangan Engkau sibukkan aku
dengan hal-hal yang lain.” Keikhlasan dalam beramal adalah jembatan menuju keselamatan dan
keberuntungan. Manusia yang memiliki jiwa keikhlasan akan terbebas dari seluruh
belenggu hawa nafsu dan akan sampai ke tahap penghambaan murni. “Fatimah juga
seorang yang memiliki karakter seperti Ali. Ia seorang pemalu dan menjaga
kehormatan”.[7]
Keikhlasan akan memberikan keindahan, kebaikan, dan kejujuran
kepada seseorang. Contoh terbaik dalam hal ini dapat ditemukan pada pribadi
agung Fatimah Az-Zahra. Seseorang pernah bertanya kepada Imam Mahdi, “Siapakah
di antara putri-putri Nabi yang lebih utama dan memiliki kedudukan yang lebih
tinggi?” Beliau menjawab, “Fatimah.” Dia bertanya lagi, “Bagaimana Anda
menyebut Fatimah sebagai yang lebih utama padahal beliau hanya hidup singkat
dan tidak lama bersama Nabi?” Beliau menjawab, “Allah memberikan keutamaan dan
kemuliaan ini kepada Fatimah karena keikhlasan dan ketulusan hatinya.”
Sayyidah Fatimah dalam munajatnya sering mengungkapkan kata-kata
demikian, “Ya Allah, berilah aku keikhlasan. Aku ingin tetap tunduk dan
menghamba kepada-Mu di kala senang dan susah. Saat kemiskinan mengusikku atau
kekayaan datang kepadaku, aku tetap berharap kepada-Mu. Hanya dari-Mu aku
memohon kenikmatan tak berujung dan kelapangan pandangan yang tak berakhir
dengan kegelapan. Ya Allah, hiasilah aku dengan iman dan masukkanlah aku ke
dalam golongan mereka yang mendapatkan petunjuk.”
Kecintaan Fatimah kepada Allah disebut oleh Rasulullah
sebagai buah dari keimanannya yang tulus. Beliau bersabda, “Keimanan kepada Allah telah merasuk ke qalbu
Fatimah sedemikian dalam, sehingga membuatnya tenggelam dalam ibadah dan
melupakan segalanya.” Manusia yang mengenal Tuhannya akan menghiasi perilaku
dan tutur katanya dengan akhlak yang terpuji. Asma’, salah seorang wanita yang
dekat dengan Fatimah mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seorangpun wanita
yang lebih santun dari Fatimah. Fatimah belajar kesantunan dari Dzat yang Maha
Benar. “ Kehidupan Fatimah dan Ali ra merupakan
kehidupan yang susah, berat dan penuh perjuangan . Keduanya merupakan dua orang
yang paling dicintai oleh Nabi Saw. sering kali Nabi Saw. berkunjung kerumah
mereka dan tidak melihat sedikitpun makanan untuk mengganjal perut mereka”.[8]
Hanya orang yang terdidik dengan tuntunan Ilahi-lah yang bisa
memiliki perilaku dan kesantunan yang suci. Ketika Allah melalui firman-Nya
memerintahkan umat untuk tidak memanggil Rasul dengan namanya, Fatimah lantas
memanggil ayahnya dengan sebutan Rasulullah. Kepadanya Nabi bersabda, “Fatimah,
ayat suci ini tidak mencakup dirimu.” Dalam kehidupan rumah tangganya, putri
Nabi ini selalu menjaga etika dan akhlak. Kehidupan Ali dan Fatimah yang saling
menjaga kesantunan ini layak menjadi teladan bagi semua.
Kasih sayang dan kelemah-lembutan Fatimah diakui oleh semua orang
yang hidup satu zaman dengannya. Dalam sejarah disebutkan bahwa kaum fakir
miskin dan mereka yang memiliki hajat akan datang ke rumah Fatimah ketika semua
telah tertutup. Fatimah tidak pernah menolak permintaan mereka, padahal
kehidupannya sendiri serba berkekurangan.
Poin penting lain yang dapat menjadi inspirasi dari kehidupan dan
kepribadian penghulu wanita sejagat ini adalah sikap tanggap dan peduli yang
ditunjukkan beliau terhadap masalah rumah tangga, pendidikan dan masalah
sosial. Banyak yang berprasangka bahwa keimanan dan penghambaan yang tulus
kepada Allah akan menghalangi orang untuk berkecimpung dalam urusan dunia.
Kehidupan Fatimah Az-Zahra mengajarkan kepada semua orang akan hal yang berbeda
dengan anggapan itu. Dunia di mata beliau adalah tempat kehidupan, meski
demikian hal itu tidak berarti harus dikesampingkan. Beliau menegaskan bahwa
dunia laksana anak tangga untuk menuju ke puncak kesempurnaan, dengan syarat
hati tidak tertawan oleh tipuannya. Fatimah berkata, “Ya Allah, perbaikilah
duniaku bergantungnya kehidupanku. Perbaikilah kondisi akhiratku, karena ke
sanalah aku akan kembali. Panjangkanlah umurku selagi aku masih bisa berharap
kebaikan dan berkah dari dunia ini.
Detik-detik akhir kehidupannya telah tiba. Duka dan derita terasa
amat berat untuk dipikul oleh putri tercinta Nabi ini. Meski demikian, dengan
lemah lembut Fatimah bersimpuh di hadapan Sang Maha Pencipta mengadukan
keadaannya. Asma berkata, “Saya menyaksikan saat itu Fatimah mengangkat
tangannya dan berdoa, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan perantara
kemuliaan Nabi dan kecintaannya kepadaku. Aku memohon kepada-Mu dengan nama Ali
dan kesedihannya atas kepergianku. Aku memohon kepada-Mu dengan perantara Hasan
dan Husein serta derita mereka yang aku rasakan. Aku memohon kepada-Mu atas
nama putri-putriku dan kesedihan mereka. Aku memohon, kasihilah umat ayahku
yang berdosa. Ampunilah dosa-dosa mereka. Masukkanlah mereka ke dalam surga-Mu.
Sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha Pengasih dari semua pengasih.”
Sebelum ajal datang menjemputnya, Fatimah Az-Zahra menghadap kiblat
setelah sebelumnya berwudhu. Beliau mengangkat tangan dan berdoa, “Ya Allah,
jadikanlah kematian bagai kekasih yang aku nantikan. Ya Allah, curahkanlah
rahmat dan inayah-Mu kepadaku. Tempatkanlah ruhku di tengah ruh orang-orang
yang suci dan jasadku di sisi jasad-jasad mulia. Ya Allah, masukkanlah amalanku
ke dalam amalan-amalan yang Engkau terima.
Tanggal 3 Jumadil Akhir tahun 11 Hijriyyah, Fatimah Az-Zahra putri
kesayangan Nabi menutup mata untuk selamanya. Beliau wafat meninggalkan
pelajaran-pelajaran yang berharga bagi kemanusiaan. Kepada Fatimah, Rasul
pernah bersabda, “Fatimah, Allah telah memilihmu dan menghiasimu dengan
makrifat dan pengetahuan. Dia juga telah membersihkanmu dan memuliakanmu di
atas wanita seluruh jagat”.
Kecintaan Rasulullah kepada Fatimah Az-Zahra merupakan satu hal
khusus yang layak untuk dipelajari dari kehidupan beliau. Disaat bangsa Arab
menganggap anak perempuan sebagai pembawa sial dan kehinaan, Rasul memuliakan
dan menghormati putrinya sedemikian besar. Selain itu, Rasulullah biasa memuji
seseorang yang memiliki keutamaan. Dengan kata lain, pujian Rasul kepada
Fatimah adalah karena beliau menyaksikan kemuliaan pada diri putrinya itu. Nabi
tahu akan apa yang bakal terjadi sepeninggalnya kelak.
Karena itu, sejak dini beliau telah mengenalkan kemuliaan
dan keagungan Fatimah kepada umatnya, supaya kelak mereka tidak bisa beralasan
tidak mengenal keutamaan penghulu wanita sejagat itu. Fatimah adalah contoh nyata dari sebuah inspirasi bagi kaum wanita.
Dengan mengikuti dan meneladaninya, kesuksesan dan kebahagiaan hakiki yang
menghantarkan kepada keteladanan akan bisa digapai. Fatimah adalah wanita yang
banyak menimba ilmu, makrifat dan hikmah hakiki.
0 Comments
Post a Comment